cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan" : 10 Documents clear
MENGGALI ELEMEN HUKUM KEBIASAAN HUMANITER INTERNASIONAL TENTANG PERLINDUNGAN LINGKUNGAN ALAM DALAM LATIHAN TEMPUR TNI Arlina Permanasari
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.210

Abstract

ABSTRAKLatihan tempur Angkatan Bersenjata sangat diperlukan untuk membangun militer yang kuat, namun jika dilakukan secara kontinyu dalam waktu lama akan menimbulkan kerusakan lingkungan alam. Karenanya latihan tempur harus ramah lingkungan dan memperhatikan alat serta cara berperang baik pada saat maupun setelah pelaksanaan latihan. Penelitian normatif ini menganalisis elemen materiil dan psikologis berupa aturan nasional dan kebijakan yang berkaitan dengan latihan tempur TNI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elemen hukum kebiasaan humaniter internasional telah diinternalisasikan dalam aturan internal TNI, namun masih memerlukan aturan pelaksanaan pada tingkat taktis-operasional. Kata kunci: hukum kebiasaan humaniter internasional; latihan tempur; perlindungan lingkungan alam.ABSTRACTArmed Forces combat training is very essential to build a strong military force, but if conducted continuously for a long time it will cause damage to the natural environment. Therefore combat training must be environmentally friendly and consider the means and methods of warfare during and after the training. This normative research analyses material and psychological elements in the form of national regulations and policies related to Indonesian Armed Forces combat training. The result shows that elements of customary international humanitarian law have been internalized in TNI regulations, but still requires implementing regulations at the tactical-operational level.Keywords: combat training; customary international humanitarian law; protection of natural environment. 
KEDUDUKAN DAN PROSES PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 35/PUU-X/2012 SERTA IMPLEMENTASINYA DI PROVINSI RIAU Suparto Suparto
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.171

Abstract

ABSTRAKBerdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adat dimasukkan dalam hutan negara hal ini merugikan masyarakat adat sehingga Undang-undang tersebut diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permasalahannya adalah Bagaimana kedudukan dan proses penetapan hutan adat pasca putusan MK No. 35/PUU-X/2012 serta implementasinya di Provinsi Riau. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil (1). Kedudukan hutan adat pasca putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hutan adat tidak lagi bagian dari hutan negara melainkan menjadi hutan hak. Proses penetapan hutan adat diatur dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Agar hutan adat menjadi hutan hak, prosesnya melalui dua tahapan yaitu: (a) Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah (Perda). (b) Penetapan oleh Menteri LHK terhadap hutan adat. (2). Sampai saat ini di Provinsi Riau baru ada 2 hutan adat yang telah ditetapkan oleh Menteri LHK yaitu Hutan Adat Kampa dan Hutan Adat Petapahan di Kabupaten Kampar. Oleh karena itu perlu didesak untuk kabupaten lain agar segera membuat Perda tentang masyarakat hukum adat, sebagai syarat untuk penetapan hutan adat oleh Menteri LHK. Kata kunci: kedudukan; implementasi; hutan adat; putusan mahkamah konstitusi.ABSTRACTBased on Law No. 41 of 1999 concerning Forestry, customary forests are included in state forests, this is detrimental to indigenous peoples so that the Law is reviewed before the Constitutional Court (MK). The problem is what is the position and process of determining customary forest after the Constitutional Court decision No. 35/PUU-X/2012 and its implementation in Riau Province. Based on the research results obtained (1). The position of the customary forest after the Constitutional Court decision no. 35/PUU-X/2012, customary forest is no longer part of state forest but is a private forest. The process of determining customary forest is regulated by Regulation of the Minister of Environment and Forestry (LHK) No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 concerning Private Forests. In order for customary forest to become private forest, the process goes through two stages, namely: (a) Recognition of the existence of customary law communities through regional regulations (Perda). (b) Determination by the Minister of Environment and Forestry on customary forests. (2). Until now, in Riau Province there are only 2 customary forests that have been designated by the Minister of Environment and Forestry, namely Kampa Customary Forest and Petapahan Customary Forest in Kampar Regency. Therefore, it is necessary to rush for other districts to immediately make a regional regulation on customary law communities, as a condition for the designation of customary forests by the Minister of Environment and Forestry.Keywords: position; implementation; customary forest; constitutional court decision.
PROSPEKTIF OMNIBUS LAW BIDANG SUMBER DAYA ALAM Elita Rahmi; Rustian Mushawirya; Eko Nuriyatman
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.170

Abstract

ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji prospektif model pengaturan Sumber Daya Alam, yang dapat menjadi umbrella act dan keterpaduan dalam menyatukan kebijakan Sumber Daya Alam (kelembagaan), sehingga terbentuk sinergi pengelolaan Sumber Daya Alam guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang dapat memotret tindakan pemerintah. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep serta pendekatan prospektif, dengan didasari kuesioner yang menjadi bahan hukum primer. Hasil penelitian menunjukkan, pengaturan Sumber Daya Alam yang ditemui dalam banyak peraturan perundang-undangan menjadi penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang tidak terkendali karena konflik norma yang tidak terhindarkan. Model harmonisasi perundang-undangan bidang Sumber Daya Alam dalam wujud omnibus law wajahnya tumpang tindih perlu diakhiri. Saatnya pengaturan dan kelembagaan Sumber Daya Alam segera dirampingkan dalam suatu kelembagaan yang terpadu, sehingga koordinasi kebijakan bidang ekologi, ekonomi dan sosial dapat terawasi melalui sistem pembangunan berkelanjutan. Sinergi kebijakan Sumber Daya Alam akan mempercepat proses pembangunan dan meminimalisir konflik serta sengketa bidang Sumber Daya Alam. Kata kunci: omnibus law; prospektif; sumber daya alam.ABSTRACTThe purpose of this research is to review the Prospective model of natural resource regulation, which can be an umbrella act and cohesion in uniting natural resources policy (institutional), so that a synergy of natural resource management is formed in order to realize sustainable development can photograph government actions. The research method used is normative juridical using primary, secondary and tertiary legal materials. While the approach used is a historical approach, a statutory approach, a concept approach and a prospective approach, based on questionnaires that become the primary legal material. The results showed that the regulation of natural resources encountered in many laws and regulations became the cause of uncontrolled environmental damage and pollution due to the inevitable conflict of norms. The model of the harmony of natural resources legislation in the form of omnibus law whose faces overlap need to be ended. It is time for the regulation and institutionalization of natural resources to be streamlined in an integrated institution, so that policy coordination in the ecological, economic and social fields can be supervised through a sustainable development system. Natural Resources policy synergy will speed up the development process and minimize conflicts and disputes in the field of Natural Resources.Keywords: omnibus law; prospective; natural resources.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN PASCA BERLAKUNYA PERDIRJEN KSDAE TENTANG KEMITRAAN KONSERVASI Ali Sadikin
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.159

Abstract

ABSTRAKKawasan hutan konservasi diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDAE. Berlakunya Perdirjen KSDAE No. P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang petunjuk teknis kemitraan konservasi memunculkan kesenjangan normatif dalam hukum positif dengan memberikan legitimasi kepada masyarakat sekitar kawasan hutan untuk melakukan kegiatan diluar amanat UU.No.5 Tahun 1990 tentang KSDAE. Permasalahan penelitian ini menekankan pada: Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana kehutanan dalam kawasan konservasi? Bagaimana penegakan hukum tindak pidana kehutanan dalam kawasan hutan konservasi pasca berlakunya perdirjen ksdae? Bagaimana hambatan dan solusi dalam penegakan hukum tindak pidana kehutanan dalam kawasan konservasi pasca berlakunya perdirjen KSDAE? Metode Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Rekomendasi perlu penguatan konsep konservasi dalam Perdirjen KSDAE sehingga tidak mengaburkan perbuatan pidana kehutanan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana penegakan hukum tindak pidana kehutanan di kawasan konservasi pasca berlakunya Perdirjen KSDAE. Disimpulkan bahwa berlakunya perdirjen ksdae tentang petunjuk teknis kemitraan konservasi di kawasan hutan konservasi telah melakukan sifat melawan hukum formil. Kata kunci: kawasan konservasi; kemitraan; kesenjangan normatif; Perdirjen KSDAE.ABSTRACTThe conservation areas are regulated with the Act No. 5 in 1990 About KSDAE. It is amended about the technique instructions of conservation partnership appeared the norm discrepancy on the level of positive law by preventing the legitimacy to the society surround the forest areas to execute the activities beyond the Act No. 5 in 1990 About KSDAE. This observation focused on how to hold up the forest crime in the conservation areas? How is the legal up holding of forestry crime in the conservation areas after being available? How are the blocking and solution in upholding the forestry crime in the conservation areas after being available? This observation method is used the legal normative observation with qualitative. Recommendation is to be strengthened the concept of conservation on dirjen of regulation so it is no blurred the acts of forestry crime. This aim of observation to recognize how far the legal upholding of feresty crime in conservation areas after being available the regulation of dirjen. It Concluded that being available the ksdae regulation about the technical partnership conservation in the conservation area has contradicted against the nature of legal formil.Keywords: the conservation areas; partnership; the legal norm of discrepancy; the regulation of KSDAE. 
PEMBARUAN POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF Ilham Dwi Rafiqi
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.163

Abstract

ABSTRAKSalah satu penyebab yang paling mendasar atas permasalahan pengelolaan sumber daya alam adalah penyimpangan dalam agenda politik hukumnya. Akibatnya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam yang dibuat seringkali justru menimbulkan permasalahan baru. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan filosofis. Teknik analisa adalah deskriptif kualitatif, interpretatif dan heuristik. Hasil penelitian menunjukan bahwa konstruksi existing politik hukum pengelolaan sumber daya alam tidak berjalan sesuai dengan konstruksi ideal cita-cita bangsa yang memiliki karakter sosialis. konstruksi existing politik hukum pembentukan perundang-undangan sektor pengelolaan sumber daya alam nasional cenderung berkarakter “neo-liberalistik” yang mengarahkan dukungan pada swasta, hubungan antara pemerintah dan masyarakat juga hanya sebatas subordinatif sehingga keadilan yang berusaha diwujudkan adalah keadilan distributif (individual). Hukum progresif hadir menawarkan perspektif baru dengan berpegang pada prinsip bahwa agenda politik hukum pembentukan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara responsif, partisipatif, dan holistik.Kata kunci: politik hukum; pengelolaan sumber daya alam; hukum progresifABSTRACTOne of the most fundamental causes of natural resource management problems is deviations in the legal political agenda. As a result, laws and regulations in the field of natural resource management often create new problems. The results showed that the existing construction of natural resource management laws did not work in accordance with the construction of the ideals of a nation that had a socialist character. The existing construction of the law on national natural resource management tends to have a "neo-liberalistic" character that directs support to the private sector, the relationship between the government and the community is also only subordinate so that the justice that is sought to be realized is distributive justice (individual). The politics of law in the formation of legislation in the field of natural resource management with a progressive legal perspective holds responsive, particpatory, and holistic principles.Keywords: legal policy; natural resource management; progressive law
PENGGUNAAN PENTA HELIX MODEL SEBAGAI UPAYA INTEGRATIF MEMERANGI SAMPAH PLASTIK DI LAUT INDONESIA Sapto Hermawan; Wida Astuti
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.164

Abstract

ABSTRAKMendalilkan kepada beberapa hasil penelitian, Indonesia dikelompokkan sebagai salah satu produsen sampah plastik di laut, sehingga situasi ini perlu mendapatkan peran nyata secara integratif dan serius. Artikel ini bertujuan menganalisis penggunaan model Penta Helix sebagai salah satu upaya integratif guna memerangi sampah plastik di laut Indonesia melalui kajian dari masing-masing elemen pembentuk model Penta Helix. Masing-masing elemen sebagai penyusun model Penta Helix yaitu elemen Pemerintah, elemen Lembaga Swadaya Masyarakat, elemen Sektor Swasta, elemen Perguruan Tinggi, dan elemen Masyarakat Madani. Artikel ini disusun menggunakan metode penelitian hukum normatif. Artikel ini berkesimpulan bahwa target penurunan sampah plastik di laut perlu didukung melalui sinergi semua elemen pemangku kepentingan yang menjadi unsur pembentuk model Penta Helix. Mendasarkan analisis dari masing-masing elemen model Penta Helix dapat disimpulkan bahwa elemen peran Lembaga Swadaya Masyarakat sudah bagus. Elemen peran pemerintah cukup baik kendatipun masih ada beberapa kelemahan. Tiga elemen tersisa yaitu peran perguruan tinggi; peran sektor swasta; dan peran masyarakat madani tampaknya perlu mendapatkan perhatian khusus dan perlu ditingkatkan lagi. Artikel ini berpendapat, jika masing-masing elemen pembentuk model Penta Helix dipergunakan dengan terukur dan terintegrasi maka selain target penurunan sampah laut akan lebih cepat terealisasi, dalam jangka panjang juga bermanfaat untuk menjaga ekosistem laut secara berkelanjutan. Kata kunci: ekosistem laut berkelanjutan; model penta helix; sampah plastik.ABSTRACTBased on several research results, Indonesia is classified as one of the producers of marine plastic litter, so this situation needs serious attention and also intergrative action. The objective of this article is to analyze each of element of the Penta Helix model as a part of integrative action to combat marine plastic litter in Indonesia. This article is written with normative legal research. This article concludes that the target for reducing marine plastic litter needs to be supported through the synergy of all stakeholder elements. Based on the analysis of each component of the Penta Helix model, it can be concluded that the aspects of the role of non-governmental organizations are respectable. The element of the government's role is quite good, although there are still some weaknesses. The remaining three components are the role of universities, the role of the private sector, and the role of civil society, seems to need special attention and needs to be improved. This article argues that if the Penta Helix model is used prudently, the target for reducing marine plastic litter will be more quickly realized. Besides, in the long term, it is beneficial to maintain a sustainable marine ecosystem.Keywords: sustainable marine ecosystems; penta helix model; marine plastic litter.
TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PERDAGANGAN SATWA LIAR DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI MELALUI KERJASAMA NEGARA-NEGARA ASEAN Netty Songtiar Rismauly Naiborhu
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.209

Abstract

ABSTRAKPerlindungan terhadap satwa liar dan keanekaragaman hayati merupakan bagian integral dari upaya pembangunan berkelanjutan yang harus diwujudkan sebagai bagian dari tanggung jawab negara. Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Beberapa permasalahan yang dihadapi negara-negara di dunia termasuk Indonesia adalah perlindungan perdagangan satwa liar dan keanekaragaman hayati, kehilangan biodiversity sebagian besar spesies flora dan fauna di alam bebas sangat terancam kelangsungan hidupnya bahkan hampir punah karena habitatnya telah dirusak oleh kegiatan manusia, padahal secara ekologis peranannya penting dalam kelangsungan hidup di alam semesta. Untuk menghadapi permasalahan di atas, negara-negara ASEAN telah mengadakan kerjasama regional untuk penguatan penaatan terhadap CITES dan Convention Biological Diversity. Kata kunci: keanekaragaman hayati; perdagangan satwa; tanggung jawab negara.ABSTRACTProtection of wildlife and biodiversity is an integral part of sustainable development efforts that must be realized as part of the responsibility of the state. The state prevents the use of natural resources that cause pollution and/or environmental damage. Some of the problems faced by countries in the world including Indonesia are the protection of wildlife trade and biodiversity, biodiversity loss of most species of flora and fauna in the wild is very threatened survival even almost extinct because its habitat has been ravaged by human activities, when ecologically its role is important in survival in the universe. To deal with the above problems, ASEAN countries have established regional cooperation to strengthen the strengthening of cites and convention biological diversity.Keywords: biodiversity; endangered species; state responsibility.
TUJUAN PEMIDANAAN UNDANG-UNDANG MINERBA DALAM PERSPEKTIF KEBIJAKAN KRIMINALISASI Faisal Faisal; Derita Prapti Rahayu
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.189

Abstract

ABSTRAKKetentuan pidana Pasal 162 UU Minerba menetapkan perbuatan menghalang-halangi kegiatan usaha pertambangan sebagai perbuatan pidana (delik). Tujuan penelitian ingin mengetahui secara kritis tujuan pemidanaan delik Pasal 162 dalam perspektif kebijakan kriminalisasi. Asas manfaat yang diharapkan agar dapat melihat secara objektif dalil teori kriminalisasi, sehingga dapat memberikan masukan bagi pembentuk undang-undang dalam memformulasikan ketentuan pidana. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menyimpulkan kebijakan kriminalisasi pada delik Pasal 162 tidak dapat dibenarkan menurut teori moral dan teori liberal individualistik. Hakikat nilai moralitas masyarakat terdistorsi dengan keberlakuan delik tersebut. Negara telah membatasi ruang kebebasan warga negara untuk hidup merdeka menyampaikan dan memperjuangkan hak-hak dasarnya. Bahkan kebijakan kriminalisasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang tidak mendapat legitimasi yang kuat dari esensi tujuan pemidanaan yang sejalan dengan prinsip nilai, prinsip kemanfaatan, dan prinsip kemanusiaan. Rekomendasi kedepan agar kebijakan legislasi haruslah dilakukan dengan pendekatan rasional dan pendekatan kebijakan. Kata kunci: teori kriminalisasi; kebijakan; pemidanaan; pertambangan.ABSTRACTCriminal provisions Article 162 of the Minerba Law stipulates that obstructing mining business activities is a criminal act (offense). The research objective is to know critically the purpose of criminalization of Article 162 in the perspective of criminalization policy. The principle of benefit is expected to be able to see objectively the arguments of criminalization theory, so that it can provide input for legislators in formulating criminal provisions. The research method uses normative legal research. The results of the research conclude that the criminalization policy on the offense of Article 162 cannot be justified according to moral theory and liberal individualistic theory. The nature of the moral values of society is distorted by the enactment of this offense. The state has limited the space for the freedom of citizens to live in freedom to convey and fight for their basic rights. Even the criminalization policies carried out by legislators do not get strong legitimacy from the essence of the purpose of punishment which is in line with the principles of values, principles of benefit, and principles of humanity. Future recommendations so that legislative policies must be carried out with a rational approach and a policy approach.Keywords: criminalization theory; policy; criminalization; mining.
ANALISIS PENGATURAN HUKUM PENGELOLAAN BERKELANJUTAN PADA DANAU PERKOTAAN DI JABODETABEK, INDONESIA Sinta Ramadhania Putri Maresi; Tommy Hendra Purwaka; Heri Purwadi
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.155

Abstract

ABSTRAKMinimnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola danau perkotaan menyebabkan permasalahan, salah satunya adalah penurunan kualitas danau perkotaan. Dalam hal ini, ketidakjelasan batasan kewenangan pengelolaan danau perkotaan antara pemerintah pusat, provinsi dengan pemerintah kota/kabupaten adalah salah satu permasalahan penting yang harus segera diselesaikan. Penelitian dilakukan dengan kajian pustaka dan desk study terhadap berbagai kebijakan pemerintah dengan kondisi yang ada saat ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wujud pengaturan hukum di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu regulasi, peraturan kebijakan, dan kebijakan. Berpedoman pada peraturan yang telah diklasifikasikan, maka dibutuhkan unit satuan kerja yang dapat merealisasikan atau melaksanakan peraturan-peraturan tersebut agar memberikan manfaat bagi masyarakat. Kesimpulannya adalah rencana pembangunan berkelanjutan dalam perlindungan dan pengelolaan danau perkotaan dapat dilakukan melalui pengembangan pengaturan hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kata kunci: danau perkotaan; pembangunan berkelanjutan; pengaturan hukum; rehabilitasi lingkungan.ABSTRACTThe lack of local government authority in managing urban lakes causes problems, one of which is the decline in the quality of urban lakes. In this case, the unclear boundaries of the authority for urban lake management between the central, provincial and city/district governments is one of the critical issues that must be resolved immediately. The research was conducted with a literature review and desk study of various government policies with current conditions. The results showed that the form of legal regulation in Indonesia is divided into 3 (three) parts, namely regulations, policy regulations, and policies. Guided by classified regulations, a work unit is needed that can realize or implement these regulations in order to provide benefits to the community. The conclusion is that a sustainable development plan in the protection and management of urban lakes can be carried out through the development of legal arrangements, compliance and law enforcement including alternative instruments, as well as environmental rehabilitation efforts.Keywords: environmental rehabilitation, legal system, sustainable development, urban lakes.
PENGATURAN AIR DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA Nadia Astriani
Bina Hukum Lingkungan Vol 5, No 2 (2021): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v5i2.223

Abstract

ABSTRAKAir memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu fungsi sosial, fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan. Sehingga pengaturan tentang air harus melihat ketiga fungsi tersebut. Di sisi lain Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya air menghadapi berbagai permasalahan terkait air, mulai dari banjir, kekeringan dan pencemaran. Hukum memiliki peran penting dalam menyelesaikan berbagai permasalahan terkait air. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti lebih mendalam mengenai pengaturan air dalam sistem hukum Indonesia. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis normative. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan air di Indonesia difokuskan kepada peran air sebagai sumber daya pembangunan ekonomi. Dalam sistem hukum Indonesia, penulis menempatkan air dalam sub sistem hukum lingkungan yaitu hukum sumber daya alam, meskipun demikian seiring perkembangan ilmu pengetahuan, hukum sumber daya air pun berkembang semakin luas dan mewarnai keseluruhan sistem hukum Indonesia. Kata kunci: air; sumber daya air; hukum.ABSTRACTThey are 3 functions of water, which is social functions, economic functions and environmental functions. All of regulation related to water should contain three functions of water. On the other hand, Indonesia as a country who had big potential of water resources, was face various problems related with water, ranging from floods, droughts and pollution. Law has an important role in solving various problems related to water. So, the authors are interested in researching more deeply about water regulation in Indonesian legal system. The research was conducted using a normative juridical research method. And the results of the study show that water regulation in Indonesia is focused on the role of water as a resource for economic development. In Indonesian legal system, the author places water in the sub-system of environmental law, namely the law of natural resources, however, along with the development of science, the law of water resources has also expanded and colored the entire Indonesian legal system.Keywords: law; water; water resources. 

Page 1 of 1 | Total Record : 10