cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan
ISSN : -     EISSN : 25976907     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan merupakan jurnal berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dengan durasi 4 (empat) kali dalam setahun, pada Bulan Februari, Mei, Agustus dan November. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan menjadi sarana publikasi artikel hasil temuan Penelitian orisinal atau artikel analisis. Bahasa yang digunakan jurnal adalah bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Ruang lingkup tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum Yang mencakup Bidang Hukum Keperdataan.
Arjuna Subject : -
Articles 425 Documents
Pelaksanaan Hareuta Peunulang Menurut Tinjauan Kompilasi Hukum Islam di Kabupaten Pidie, Aceh, Indonesia Lulu Munirah; Teuku Muttaqin Mansur
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.351 KB)

Abstract

Artikel ini bertujuan menemukan dan menjelaskan konsep dana kibat hukum pelaksanaan hareuta peunulang dan penyelesaiannya di Kabupaten Pidie, Aceh, Indonesia ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data diperoleh melalui library research dan field research. Data disajikan dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, konsep hareuta peuneulang merupakan konsep hibah adat yang telah dipraktikkan secara turun temurun dalam kalangan masyarakat di Kabupaten Pidie. Konsep tersebut berupa pemberian rumah dan/atau tanah dari orang tua kepada anak perempuan sebelum melangsungkan pernikahan sebagai bekal dalam berumah tangga. Dalam pelaksanaannya, pemberian (hibah) hareuta peunulang menimbulkan masalah karena hanya diberikan kepada anak perempuan, sementara anak laki-laki yang seharusnya juga mendapatkan harta warisan sebagaimana di atur dalam KHI justru tidak mendapakannya. Persengketaan atau gugatan terhadap pembagian harta warisan tersebut di Kabupaten Pidie dapat diselesaikan secara musyawarah oleh perangkat gampong, tuhapeut, imuem meunasah, dan perangkat gampong lainnya. Disarankan kepada masyarakat dalam putusan pembagian harta warisan dapat berpedoman pada Pasal 171 huruf g dan Pasal 210 KHI, serta prinsip-prinsip hukum Islam. Hal ini untuk menghindari pertikaian dalam hal pembagian harta warisan.This article aims to find and explain about the concept, legal effect and its legal settlement of hareuta peunulang in Pidie, Aceh, Indonesia in terms of Compilation of Islamic Law (KHI). Data obtained through library research and field research. Data presented by using qualitative descriptive. The result showed, hareuta peuneulang is an indigenos grants that has been practiced by communities in Pidie District. The concept for the grant of the house and / or the land from parents to daughters before married as financial support in settling down. In its implementation, the grant of hareuta peunulang poses a problem because it is only given to daughter, while son who should also get inheritance as arranged in KHI do not get it. The dispute or lawsuit against the division of the inheritance in Pidie can be resolved by deliberation by gampong components, tuha peut, imuem meunasah and other gampong component. It is suggested to the comunities in the decision of the division of inheritance can be guided by Article 171 letter g and Article 210 KHI, as well as the principles of Islamic law. This is to avoid disputes in terms of division of inheritance. 
Resiko Yang Dihadapi Bank Dalam Transaksi Pembayaran dengan Letter Of Credit (L/C) Agus Setiawan
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.241 KB)

Abstract

Pengaturan tentang Letter of Credit dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan/atau Lintas Devisa belum komprehensif mengatur tentang L/C. Sementara UCP (Uniform Customs and Pratice for Documentary Credits) 600 Pasal 1 sampai dengan Pasal 6 belum sepenuhnya diterapkan di indonesia, karena Indonesia belum memiliki peraturan yang dapat mendukung UCP 600 di Indonesia. Sehingga bank-bank di Indonesia tidak dapat menjadikan peraturan yang ada sebagai pedoman apabila terjadinya sengketa terhadap L/C, hal ini menimbulkan banyak resiko yang dapat terjadi pada perjanjian melalui Letter of Credit yang dapat menyebabkan kerugian.Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan peraturan-peraturan Letter of Credit di indonesia sebagai alat pembayaran, proses pelaksanaan penjaminan pembayaran harga barang dengan menggunakan L/C dan resiko yang timbul pada pembayaran dengan menggunakan L/C, dan upaya hukum yang dapat dilakukan untuk penyelesaian sengketa L/C.Untuk memperoleh data dalam penulisan ini dilakukan penilitian kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan tulisan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan/atau Lintas Devisa, UCP 600 dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 6, dan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/34/ULN belum komprehensif mengatur L/C, karena peraturan tersebut belum dapat di terapkan secara menyeluruh sehingga bank-bank di Indonesia tidak dapat menjadikan peraturan yang ada sebagai pedoman apabila terjadinya sengketa terhadap L/C. Pelaksanaan L/C mulai dari penandatangan kontrak, dokumen pengapalan, dan memilih bank yang akan ditunjuk melakukan pembayaran, sehingga resiko yang dihadapi barang tidak sampai, hilang atau rusaknya barang, wanprestasi, pemalsuan dokumen, bencana alam, dan juga karena terjadinya perang. Upaya hukum yang dapat dilakukan jika terjadinya sengketa L/C maka pilihan hukum adalah melalui Arbitrase sebagai pilihan hukum yang telah disepakati didalam dokumen, dan dimana ditandatanganinya dokumen perjanjian.Disarankan kepada pemerintah atau juga bank yang terlibat dalam perjanjian pembayaran dengan menggunakan L/C agar selalu memperhatikan mekanisme pemabayaran dan juga melihat resiko yang akan terjadi sebelum melakukan transaksi dan juga harus memlilih upaya hukum negara mana yang akan berwenang jika terjadi sengketa pembayaran dengan menggunakan L/C. The regulation about of the Letter of Credit in the Government Regulation Number 1 Years 1982 about the implementation of export import and/or across the foreign exchange reserves have not yet comprehensive set of L/C. While the UCP (Uniform Customs and Practice for Documentary Credits) 600 Article 1 to Article 6 has not been fully implemented in Indonesia, Because Indonesia does not yet have rules that can support the UCP 600 in Indonesia. So the banks in Indonesia could not make the existing regulations as guidelines when there was a dispute over against the L/C. This thing is lead to the many risks that can occur on the covenant through Letter of Credit that can cause loss. This research thesis written with the aims to know and explain the rules of Letter of Credit in Indonesia as the appliance payment, explains the process of the implementation of the guarantee the payment of the price of the items using the L/C and the risks on the payment by using the L/C, and explain the efforts of the law that can be done for the settlement of disputes over the L/C. To obtain the data in the writing of this research thesis conducted an extensive micro insurance literature by studying the books, legislation, and writings related to issues that are examined. Based on the results of research, the Government Regulation No. 1 Year 1982 about the implementation of export import and/or across the foreign exchange reserves, The UCP 600 in Article 1 to Article 6 and the circular Letter of Bank Indonesia No.26/34/ULN not yet comprehensive to set the L/C, Because the regulation has not been able to apply to the comprehensive so that banks in Indonesia could not make the existing regulations as guidelines when there was a dispute over against L/C. The implementation of L/C start from the signing of the contract, shipping documents and select the bank that will be appointed to pay, so that the risks faced is not receive the object, lost or destruction of goods, default, counterfeiting document, natural disasters, and also because of the war. The efforts of the regulation that can be done if the dispute over the L/C is, is through the Arbitration as the choise of law which have been agreed in the document, and where the agreementsigning.Recommendation to the government or bank also involved in the payment agreement with using the L/C to always consider payment mechanism and also see the risk that will happen before make a transaction and also have to select the legal efforts of which countries will be authorized if there is a dispute over payment by using the L/C.
Perlindungan Terhadap Nasabah Penyimpan Saat Bank Dilikuidasi Hayatul Izzah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.389 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaturan tentang perlindungan terhadap nasabah penyimpan saat bank dilikuidasi dan menjelaskan perlindungan terhadap nasabah penyimpan pada bank yang dilikuidasi.Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dengan maksud memperoleh data primer melalui buku-buku, jurnal, laporan penelitian dan website dari internet mengenai topik pembahasan. Data dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, pengaturan tentang perlindungan terhadap nasabah penyimpan saat bank dilikuidasi diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Kepres No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, Kepres No. 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban BPR, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 26/KMK.017/1998 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan UU No.24 Tahun 2004 tentang LPS. Sebelum adanya LPS, perlindungan terhadap dana nasabah penyimpan pada bank yang dilikuidasi tidak ada jaminan yang jelas dari pemerintah. Setelah ditetapkannya LPS, perlindungan hukum yang diberikan terhadap nasabah penyimpan dana lebih nyata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perlindungan secara langsung yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan sampai dengan nominal Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Adapun perlindungan secara tidak langsung adalah dengan penyelesaian atau penanganan Bank Gagal.Disarankan kepada pemerintah atau pihak terkait diharapkan untuk meninjau kembali peraturan yang telah ditetapkan mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan agar ketika terjadi likuidasi bank, simpanan nasabah tetap bisa ditarik secara utuh dan tidak merugikan nasabah. This research aims to clarify the regulation on the protection of depositors when banks were liquidated and explain the protection of depositors in the liquidated banks. The method used normative legal research methods. While data collection is done through the study of literature with a view to obtaining primary data through books, journals, research reports and websites of the internet on the topic of discussion. Data were analysed using a qualitative approach. Based on the survey results revealed that, an agreement on the protection of depositors when the bank liquidated regulated in Law No. 10 of 1998, Presidential Decree No.26 of 1998 on Guarantee Liability on Payment of Commercial Bank, Presidential Decree No.193 of 1998 concerning Guarantee Liability on RB, Minister of Finance Decree No. 26 / KMK.017 / 1998 on Conditions and Procedures for the Implementation of Government Guarantee Obligations of Commercial Banks, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection (BFL) and Law No.24 of 2004 on LPS. Prior to the LPS, the protection of depositors funds in the bank liquidated no clear guarantees from the government. After the enactment of LPS, the legal protection given to depositors more real, either directly or indirectly. Direct protection that guarantees deposits of depositors up to par Rp. 100,000,000.00 (one hundred million rupiah). As for the indirect protection is with the resolution or Failed Bank handling. Suggested to the government or related parties are expected to review the regulations that have been set regarding the protection of depositors so that in the event of liquidation of the bank, customer deposits remain to be drawn in full and do not harm customers.
Tanggung Jawab Orang Tua Dalam Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak Maulina Wati
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.591 KB)

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskanbentuk tanggung jawab orang tua dan bentuk kerugian terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak dalam kecelakaan lalu lintas, serta langkahpenyelesaian pembayaran ganti kerugian yang dilakukan oleh orang tua terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian.Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mempelajari serta menganalisa ketentuan-ketentuan perundang-undangan, buku-buku teks, jurnal, artikel, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan ini dan penelitian lapangan dilakukan dengan mewawancarai responden dan informan yang telah ditentukan. Keseluruhan data tersebut kemudian dianalisis dan disajikan dalam bentuk deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa bentuk tanggung jawab orang tua terhadap kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh anak berupa memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan. Namun, pada pembayaran ganti kerugian terdapat ketidaksesuaian dengan kerugian yang nyata diderita pihak korban. Adapun mengenai bentuk kerugian di sini meliputi kerugian materiil dan kerugian immateriil. Upaya penyelesaian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga dilakukan secara negosiasi/musyawarah yang terhadap kerugiannya dibayarkan secara tunai.Kepada orang tua disarankan agar memberikan ganti kerugian sesuai dengan kerugian yang diderita oleh korbandan kepada pihak ketiga untuk melakukan upaya penyelesaian melalui pengadilan, apabila ganti kerugian yang dibayarkan oleh orang tua tidak sebanding dengan kerugian sebenarnya. The aim of this research is to explain the form of parents responsibility and disadvantages of the actions against laws that are done by adolescents in traffic accident, along with adolescents parents responsibility for making amends for the third party. The data of this research is gained by doing two kinds of research that are library research and field research. The library research is done by studying and analyzing the rules of law, textbooks, journals, articles, and the other documents relate to this research topic. Then, field research was executed by interviewing the certain respondents and informants. The whole data will be analyzed and accomplished descriptively. Based on the research result, it is known that the form of parents’ responsibility in solving their adolescents’ traffic accidents is by making amends for the third party (victim). However, it is found that there is an imbalance between the amends and the real damage that happened to victims. The damage that often happened to victim included material and immaterial damage. Then there is an effort to solve this imbalance that occurred to third party by negotiating/musyawarat to pay in cash.It is recommended to parents to balance the amends with victim’s damage, and the victim is recommended to bring the case to the court if the imbalance of the damage amends is made by parents.
Implementasi Peran Nazhir Dalam Pengelolaan Tanah Wakaf Secara Produktif Amalia Sani
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (30.431 KB)

Abstract

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada Pasal 11 menjelaskan 4 peran nazhir yaitu melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;  mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). Kenyataannya, tidak semua peran tersebut berjalan sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang tersebut. Seperti halnya terjadi pada Gampong Lampulo, dimanaada beberapa tanah wakaf yang dibiarkan terbengkalai, yang seharusnya dapat dikelola secara baik dan produktif. Namun demikian, beberapa hambatan dan kendala yang muncul dalam mengelola harta wakaf dalam pengelolaan harta wakaf juga tidak dipungkiri. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis empiris, dan data yang diperoleh penelitian ini melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research). Hasil penelitian yang didapat bahwa dari seluruh peran nazhir yang ditetapkan dalam perundang-undangan, tidak semua peran dilaksanakan dengan sempurna. Ada  kendala yang dihadapi dalam hal nazhir melaksanakan perannya untuk mengelola harta wakaf secara produktif. Peran tidak diterapkan disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Kendala yang muncul dari segi internal berupa terbatasnya peruntukan tanah wakaf dan kurang kreatif dalam mengelola harta wakaf. Sedangkan kendala dari segi eksternal berupa bencana alam yang menyebabkan banyak dokumen wakaf yang hilang, pekerjaan nazhir yang dilaksanakan sebagai pekerjaan sampingan dan dana terbatas yang diberikan pemerintah untuk mengelola harta wakaf. Berdasarkan hasil tersebut, sebaiknya pengelolaan tanah wakaf tidak hanya menjadi tugas nazhir sebagai pihak pengelola, namun juga dibutuhkan dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak.  The Act number 41, Article 11 year 2004, which concerns on Waqf, stipulated four major roles of Nazhir. According to Article 11, a Nazhir is responsible for the administration of property/asset of Waqf land, managing and developing them based upon the purpose, function, and allocation, then also controlling and protecting them as well as reporting them to Badan Wakaf Indonesia (BWI). In fact, however, not all roles as mentioned above that conducted by Nazhir are in accordance with the law. As a result, a lot of Waqf land are abandoned since those land are not well-managed by Nazhir.This research is conducted to explain clearly how Nazhir should manage the Waqf land to be productive and describe some obstacles experienced by Nazhir. By analyzing the obstacles, solution can be gained. This is library and field research, the result of this research has surprisingly proven that not all roles of Nazhir are according to the law. It is because of some internal and external factors that influenced them. The internal factors arise due to limited allocation of Waqf land as well as incapacity of Nazhir to manage the land in more creative ways. As for external factors, natural disaster has caused a lot of Waqf documents are missing, Nazhir is regarded as side-job, and inadequate fund allocated by local government to manage property/asset of Waqf land. Therefore, for the solution, encouragement and support from many parties is mainly needed and more importantly Nazhir must conduct their whole roles professionally.
Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak di Kabupaten Aceh Tengah Rouli Lastiurma Sinaga
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.532 KB)

Abstract

Masyarakat batak adalah masyarakat yang menganut sistem patrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak laki-laki, dalam masyarakat batak yang berhak mendapatkan harta warisan hanya anak laki-laki sedangkan anak perempuan yang sudah menikah akan masuk dalam clan suaminya. Dalam kenyataannya masyarakat batak yang ada di Aceh Tengah anak perempuan telah berkedudukan sebagai ahli waris. Tujuan penulisan ini kedudukan anak perempuan dalam masyarakat Batak di Aceh Tengah, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hak waris terhadap anak perempuan dalam masyarakat Batak,  pelaksanaan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak di Aceh Tengah terhadap anak perempuan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris, data penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder dengan cara menelaah buku-buku dan undang-undang yang berlaku. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk mendapat data primer yang dilakukan dengan teknik wawancara dengan responden dan informen. Hasil penelitian, anak perempuan dalam masyarakat batak di Kabupaten Aceh Tengah sudah berkedudukan sebagai ahli waris, orang batak yang telah merantau di Aceh Tengah membagikan harta warisan kepada anak-anaknya dengan tidak membedakan gender. Faktor yang mempengaruhi perkembangan hak waris yaitu, faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor agama dan faktor perkawinan yang di pandang lebih adil dalam pembagian warisan, sehingga tidak terjadi masalah dalam keluarga. Pembagian warisan yang dilakukan oleh masyarakat batak dengan dua cara yaitu sebelum pewaris meninggal dunia dan sesudah pewaris meninggal dunia, dengan adanya musyawarah dan kesepakatan dalam keluarga yang dipimpin oleh saudara tertua. Saran dari peneliti agar pemerintah membuat peraturan perundang-undangan tentang pembagian warisan yang bersifat nasional, sehingga tidak ada keanekaragamaan pembagian warisan baik dikalangan muslim maupun non muslim, maka terciptalah kepastian hukum tentang kedudukan anak perempuan dalam masyarakat batak sebagai ahli waris. Batak Societyis Patrilineal, the nancestry line taken from the son, so only a son will inherit the wealth besides the girl will join along the husband’ sclan. But nowadays, the girls of Batak in Aceh Tengah also have a right to inherit according to the law that applied in the society. The purposes of this research is to find the information about girls’ position in the  Batak society who goes to overseas, the factors that influence Batak's cultural hereditary law, and the implementation of wealth sharing of Batak Society in Aceh Tengah. This research applies the Normative Empirical method. The Secondary data is obtained through the Library Research from the books and positive law that applicable. And the primer data is obtained through the Field Reasearch by interviewing some respondents and informants. The research shows that the girls’ positionin Batak Society of Aceh y is already worth as the heirs. They divide the wealth to the boy and girl at the same amount regardless to gender. The major factor that leads this change is economy, education, environtment, and also religion factor and marital factor that accepted as the most fairest way to divide the wealth. There exist two methods in dividing the inheritance, whether before or after the heirs passed away by conducting a deliberation and agreement between the family led by the eldest son. It is advisable to the government, they shouldcreate a law on thedistibution of inheritance that could be applied as the national positive law, so there will be no longer differences in it, and could lead to the supremacy of law about the girls’ position in the Batak society as the heirs.
Pelaksanaan Tanggung Jawab Mutlak Atas Tindakan Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Orang Dengan Gangguan Jiwa Menurut Pasal 1367 KUH Perdata Hendri Dwitanto; Mustakim Mustakim
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.277 KB)

Abstract

Pasal 1367 KUH Perdata menentukan bahwa “seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”, demikian halnya perbuatan melawan hukum yang dilakukan orang dengan gangguan jiwa maka harus menjadi tanggung jawab dari orang tua atau wali dalam mengganti kerugian yang diderita oleh korban. Namun, dalam kenyataannya sering ditemukan kasus di mana orang dengan gangguan jiwa melakukan tindakan yang merugikan orang lain, akan tetapi sebagian orang tua/wali tidak melakukan tanggung jawabnya atas tindakan orang yang berada di bawah kekuasaannya. Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk menjelaskan tentang pelaksanaan tanggung jawab dari wali ataupun pengampu kepada korban, bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh pengampu kepada korban, dan upaya hukum yang ditempuh oleh korban dalam mendapatkan ganti rugi. Untuk memperoleh data dalam penulisan jurnal ini diperlukan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan, yaitu dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, teori-teori dan buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sedangkan data primer diperoleh dari penelitian lapangan, yaitu dilakukan dengan cara mewawancarai responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pelaksanaan tanggung jawab kepada korban ialah mengembalikan keadaan korban seperti sedia kala dengan tanggung jawab secara hukum, baik dengan cara ganti rugi maupun rehabilitasi atas kerusakan mental atau jiwa yang dialami orang korban. Namun, di sisi lain masih ada sebagian orang tua/wali tidak melaksanakan tanggung jawab terhadap kerugian korban. Bentuk ganti rugi oleh wali/pengampu terhadap korban ialah ganti rugi materil seperti biaya perbaikan kerusakan barang, perawatan di rumah sakit, dan lain-lain, serta kerugian immateril seperti biaya rehabilitasi dan pemberian sejumlah uang. Kemudian upaya hukum yang ditempuh ialah melalui jalur non litigasi khususnya mediasi untuk mencapai suatu perdamaian di antara pihak orang tua/wali dengan pihak korban. Disarankan kepada negara, baik itu lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif agar dapat menetapkan aturan yang lebih khusus mengenai perbuatan melawan hukum yang pelakunya ialah orang dengan gangguan jiwa, karena selama ini diketahui bahwa peraturan mengenai hal tersebut di dalam KUH Perdata masih terlalu umum sehingga sering menimbulkan ketidakpastian hukum. Article 1367 of the Indonesian Civil Code declare that "a person is responsible for the damage which was caused by his own act, as well as for that which was caused by the acts of the individuals for whom he is responsible, or caused by matters which are under his supervision," as well as tort that people with mental disorders then it should be the liability of the parent or guardian to replace the losses suffered by the victim. However, the reality is often found in cases in which people with mental disorders perform actions that harm others, but some parents or guardians do not undertake liability for the actions of people who are under his control. The purpose of this journal is to explain the implementation of the liabilities of a guardian or parent to the victim, the form of compensation given by guardian to victims, and legal actions taken by the victim in getting indemnity. To obtain the data in this journal is required secondary data and primary data. Secondary data were obtained from the research literature, which is done by studying the legislation, theories and books related to the problems researched, while the primary data obtained from field research, which is done by interviewing respondents and informants. Based on this research, it is known that the implementation of the responsibility to the victims is to restore the victim as usual with the strict liability, either by way of compensation and rehabilitation of mental damage suffered by the victim. The form of compensation given by guardian to victims is material indemnity such as the cost of repairing damage to goods, hospitalization, and others, as well as immaterial indemnity such as the cost of rehabilitation and the present of a sum of money. Then the legal action which can be reached by the victim is through non-litigation particularly mediation to reach a peace between the parents or guardians with the victim. Suggested to the state, both the legislature and the executive in order to set out the rules more specific regarding the torts which the perpetrator is a person with a mental disorder, since it is known that the regulation on the same subject in the Indonesian Civil Code is still too common and often lead to uncertainty law.
Pemberian Kredit dengan Jaminan Fidusia yang Tidak Didaftarkan Muhammad Kausar
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.782 KB)

Abstract

Salah satu cara untuk mengatasi risiko dalam pemberian kredit di lembaga perbankan adalah dengan memberikan jaminan.Salah satu lembaga pengikatan jaminan pada BNI Cabang Meulaboh adalah Jaminan Fidusia.Hasil penelitianpada BNI Cabang Meulaboh menunjukkan bahwa terdapat 60 objek jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Sedangkan Pasal 11 dan 14 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menentukan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan dan Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya fidusia dalam buku daftar fidusia. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan prosedur pemberian kredit dengan jaminan fidusia, menjelaskan alasan tidak didaftarkannya Jaminan Fidusia, dan menjelaskan akibat hukum bagi perjanjian fidusia yang tidak didaftarkan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris.Data diperoleh melalui penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan.Pemberian kredit dengan Jaminan Fidusia dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu permohonan kredit, analisa kredit, pemberian keputusan, perjanjian kredit, pembayaran, pembuatan akta jaminan fidusia, dan pendaftaran. Jaminan Fidusia tidak didaftarkan karena biaya pembuatan akta jaminan fidusia yang relatif tinggi dan karena nilai pinjaman relatif kecil.Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan mengakibatkan perjanjian fidusia tidak lahir sehingga kreditur bukan krediturpreferent, dan sifatdroit de suite tidak berlaku bagi para pihak. One way to deal with the risks involved in loan aggrement is to provide guarantees. One of the guarantees provided at BNI Branch Meulaboh, Aceh Barat is Fiduciary assignment. Research shows that there are 60 objects of fiduciary assignment are not registered. However, Articles 11 and 14 of Law No. 42 of 1999 on Fiduciary assignment state that the object encumbered with a fiduciary must be registered and fiduciary born on the same date as the date noted in the register books. This study aims to explain the procedure of loan aggrement with fiduciary assignment, to explain the reasons for the non-registration of Fiduciary assignment, and to explain the legal consequences for an unregistered fiduciary agreement. This research uses qualitative method with empirical juridical approach. Data were obtained through field research and literature research. The loan agreement with Fiduciary is done in several stages, namely the loan application, the analysis of the application, the decision making process, loan agreement, payment, the making of fiduciary assignment certificate, and registration. The Fiduciary agreement is not registered due to the high cost of making fiduciary deed, and also because the loan value is relatively small. Unregistered fiduciary agreement convert the fiduciary assignment not born so that the creditor is not a preferential creditor, and the principle of droit de suite does not apply to the parties.
Pemeriksaan Setempat (Descente) Sebagai Faktor Pendukung Pembuktian Dalam Perkara Perdata Astri Chania
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.738 KB)

Abstract

- Dalam Pasal 153 HIR ayat 1 dikatakan  bahwa jika dipandang perlu atau berguna, maka Ketua dapat mengangkat seorang atau dua orang Komisaris dari Majelis dengan dibantu oleh Panitera untuk mengadakan peninjauan dan pemeriksaan setempat, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Hakim. Pemeriksaan setempat diatur di dalam SEMA No. 7 Tahun 2001, dalam SEMA tersebut dikatakan bahwa dalam perkara perdata seringkali objek yang menjadi sengketa tidak dapat dihadirkan ke muka persidangan, sehingga dibutuhkan pemeriksaan ke tempat objek sengketa berada untuk menghindari putusan yang akan non executable atau tidak dapat dilaksanakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tata cara pemeriksaan setempat dalam suatu perkara perdata yang dilakukan oleh Hakim, untuk mengetahui fungsi pemeriksaan setempat dalam perkara perdata dan menjelaskan dampak yang terjadi apabila tidak dilaksanakan pemeriksaan setempat dalam perkara perdata.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode secara yuridis-empiris yang didukung dengan wawancara 2 (dua) orang hakim sebagai responden.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tata cara pemeriksaan setempat harus dihadiri oleh para pihak, kemudian hakim datang ketempat objek sengketa, setelah persidangan di objek sengketa maka panitera membuat berita acara persidangan dan hakim membuat akta pendapat. Pemeriksaan setempat memiliki fungsi untuk menguatkan serta memperjelas fakta atau peristiwa dari objek sengketa sehingga apabila hakim tidak melakukan pemeriksaan setempat sebelum menjatuhkan putusan maka akan berdampak pada putusan yang tidak dapat dilaksanakan karena objek sengketa kabur atau tidak jelas. Disarankan kepada pemerintah agar peraturan mengenai pemeriksaan setempat diatur secara jelas dan khusus sehingga dapat memudahkan untuk memahami serta mempelajari mengenai pemeriksaan setempat dan diharapkan kepada setiap hakim untuk melakukan proses pemeriksaan setempat terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan sesuai dengan tata cara yang sudah dilakukan sebelumnya. In article 153 section 1 of HIR said that the chairman can choose one or two commissioners from judges if it is needed. It is helped by clerck of court to do a review and local investigation that can be used as judgement substance by the judge. Local investigation is regulated in SEMA No. 7 in 2001. It is said that the object of local action can’t be presented into court in civil law. Thus, the investigation to the object of Legal action is needed in order to avoid non executable injuction. The aim of this research is explaining the rules of local investigation in civil law which is done by judges. Besides, it is to know the function and to explain the effect happened if it is not done in civil law.The research methodology in this research are yuridical and empirical method which is supported by interview with two judges as respondents.The result of this research showed that the rules of local investigation should be presented by all sides, and the judges come to the object of clerck of court make investigation and interrogation of court. And the judges make the judgement of document. The function of local investigation is to strengthen and clarify the fact or event from the object of legal action. If the judge doesn’t do local investigation before giving injuction, it will give effect into injuction itself that can’t be done because the object of legal action is unclear. Therefore, it is suggested to government to arrange local investigation clearly and specifically. So, it will get easier to understand and learn about it. And, it is hoped to every judges to do local investigation process first before giving injuction by using the rules done before.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Depot Air Dalam Penerapan Kualitas Standar Mutu Air Minum Isi Ulang Dikaitkan Dengan Perlindungan Konsumen di Kota Banda Aceh Sari Ramadhana; Sri Walny Rahayu
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 1: Agustus 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (249.395 KB)

Abstract

Tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur oleh Norma Pasal 19 UUPK Tahun 1999 tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha jo Pasal 3 Permenkes Nomor 43 Tahun 2010 Tentang Hygiene Sanitasi Depot Air Minum. Namun dalam praktiknya di Kota Banda Aceh ditemukan pelaku usaha depot air minum isi ulang belum memenuhi tanggung jawabnya dalam menerapkan kualitas standar mutu untuk melindungi hak konsumen. Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui dan menjelaskan tanggung jawab pelaku usaha depot air minum dalam penerapan kualitas standar mutu air minum isi ulang telah dilaksanakan oleh pelaku usaha depot air minum. Bentuk kerugian konsumen akibat pelaku usaha yang tidak menerapkan kualitas standar mutu air minum isi ulang, dan upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dalam melindungi hak-hak konsumen berkaitan dengan air minum isi ulang. Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsep legal positif dengan cara mengkaji penerapan kaidah atau norma dalam hukum positif. Data penelitian yuridis normatif berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier didukung oleh data primer di lapangan sebagai ilmu bantu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha depot air minum isi ulang belum memenuhi persyaratan hygiene sanitasi air minum di antaranya ada beberapa perlengkapan dan peralatan yang digunakan seperti kran pengisian air minum, kran pengisian galon sudah berkarat, tendon air minum sering terbuka, lantai hanya dilapisi karpet sehingga tidak kedap air, bangunan terbuat dari kayu sehingga tidak mudah untuk dibersihkan. Bentuk kerugian yang diderita konsumen karena tidak adanya penerapan kualitas standar mutu air minum isi ulang mengalami keracunan bakteri sehingga menyebabkan diare, gejala tifus, pusing. Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh seperti melakukan pengawasan, sosialisasi, dan pembinaan, namun pengawasan yang dilakukan belum maksimal sebagaimana dalam peraturan perundang-undangan seperti belum memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang belum memenuhi kualitas standar mutu, belum adanya data yang terpilah, belum adanya kerja sama yang bersinergi dengan Yayasan Perlindungan Konsumen Aceh  (YAPKA), sehingga masih ditemukan pelaku usaha yang belum menerapkan kualitas standar mutu. Diharapkan kepada pelaku usaha depot air minum isi ulang di Kota Banda Aceh menyadari tanggung jawabnya karena akan menimbulkan resiko bagi konsumennya dan pelanggaran terhadap hal tersebut dikenakan sanksi dalam aturan yang berlaku, oleh karena itu perlu mengikuti berbagai bentuk pelatihan, sosialisasi, dan pembinaan. Disarankan kepada konsumen agar lebih cermat dan berhati-hati untuk memilih depot air minum isi ulang. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh adanya data terpilah mengenai pelaku usaha yang telah dan yang belum menerapkan kualitas standar mutu air minum isi ulang, berkoordinasi dan bersinergi kepada YAPKA, memberikan sanksi administratif seperti larangan distribusi air minum isi ulang kepada depot yang tidak menerapkan kualitas standar mutu. The responsibility of businesses to consumers is governed by the norms of Article 19 of the Consumer Protection Law of 1999 on the responsibility of business operators in conjunction with Article 3 Health Ministers Regulation No. 43 Year 2010 on hygiene sanitation drinking water refill. However, in practice in Banda Aceh found businesses refill drinking water has not fulfilled its responsibility in applying quality standards to protect consumer rights. The purpose of this script to investigate and clarify the responsibility of business operators refill drinking water quality standards in the application of quality drinking water refills has been implemented by businesses refill drinking water. Forms of consumer losses due to businesses that do not implement quality standards of drinking water quality refill, and the efforts made by the City Health Office Banda Aceh in protecting consumer rights related to drinking water refills. This study is normative, ie an approach that uses positive legal concept by reviewing the application of the rules or norms in the positive law. Normative research data in the form of primary legal materials, secondary law, and tertiary legal materials supported by primary data in the field as an auxiliary science. Based on the survey results revealed that the responsibility of business operators refill drinking water do not meet the requirements of hygiene sanitation of drinking water in between there are some supplies and equipment used such as faucets filling drinking water, faucet filling gallon rusty, tendon drinking water is often open, the floor is just lined carpet so it is not waterproof, the building is made of wood so it is not easy to be cleaned. Form of losses suffered by consumers due to lack of implementation of quality standards of drinking water quality refill poisoning bacteria causing diarrhea, typhoid symptoms, dizziness. Efforts have been made by the Health Department of Banda Aceh as supervision, socialization, and coaching, but the supervision is done not maximized as in the legislation as not to impose sanctions against businesses that do not meet the quality standards of quality, the lack of disaggregated data, the lack of cooperation in synergy with Yayasan Perlindungan Konsumen Aceh  (YAPKA), so still found businesses that have yet to implement the quality standards of quality. Expected to businesses refill drinking water in Banda Aceh aware of his responsibility because it would pose a risk to consumers and violation of the terms of sanctions in the rules, therefore, need to participate in various forms of training, socialization, and coaching. It is suggested to consumers to be more careful and cautious to choose depot refill drinking water. City Health Department is expected to Banda Aceh their disaggregated data about businesses that have yet to adopt the quality and standards of quality of drinking water refill, coordinate and synergize to YAPKA, to impose administrative sanctions such as a ban on the distribution of drinking water refill to refill drinking water entrepreneurs who do not implement the quality standards of quality.

Page 1 of 43 | Total Record : 425