cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
KERTHA WICAKSANA
Published by Universitas Warmadewa
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 147 Documents
Keabsahan Perjanjian Cessie Melalui E-Commerce I Dewa Ayu Dwi Mayasari
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.51-56

Abstract

Pada umumnya perjanjian cessie dibuat langsung atau tatap muka antara pihak yang ingin masuk ke dalam kontrak. Cessie adalah transfer piutang atas nama (debitur) dari kreditor lama kepada kreditor baru. Seiring perkembangan jaman dan teknologi, tidak hanya transaksi yang dapat dilakukan melalui media elektronik, perjanjian Cessie pun sering dilakukan melalui media elektronik. Permasalahan yang pertama adalah keabsahan perjanjian cessie yang dilaksanakan melalui E-Commerce dapat dianggap sah setelah para pihak membaca dan menyetujuinya, dan menandatangani kontrak elektronik. Selanjutnya, Permasalahan yang kedua mengenai bentuk perlindungan hukum yang bisa diberikan kepada pihak-pihak yang masuk kontrak cessie melalui e-commerce mengacu pada 1 poin 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Hasil analisis kedua permasalahan yang diangkat menunjukkan bahwa Keabsahan perjanjian cessie yang dilaksanakan melalui E-Commerce dapat dianggap sah setelah para pihak membaca dan menyetujuinya, serta menandatangani dokumen elektronik dimaksud dengan mencantumkan kewajiban dan hak dari para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Kata Kunci: E-Commerce; Keabsahan; Perjanjian Cessie In general, cessie agreements are made directly or face to face between parties who want to enter into the contract. Cessie is the transfer of receivables on behalf of (debtors) from old creditors to new creditors. Along with the development of time and technology, not only transactions that can be done through electronic media, Cessie agreements are often carried out through electronic media. The first problem is the validity of the cessie agreement carried out through E-Commerce can be considered valid after the parties have read and agreed to it, and signed an electronic contract. Furthermore, the second problem concerning the form of legal protection that can be given to parties entering the cessie contract through e-commerce refers to 1 point 2 of Law Number 11 the Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions. The results of the analysis of the two problems raised indicate that the validity of the cessie agreement carried out through E-Commerce can be considered valid after the parties have read and agreed to it, and signed the electronic document by including the obligations and rights of the parties following the approved agreement. Keywords: E-Commerce; The Legality; Cessie Contract
STANDAR PERLINDUNGAN HUKUM KEGIATAN INVESTASI PADA BISNIS JASA PARIWISATA DI INDONESIA Lis Julianti; Rika Putri Subekti
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.2018.156-166

Abstract

Kegiatan pariwisata yang beragam menimbulkan pergerakan bisnis di berbagai daerah dan berbagai bidang, termasuk investasi. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang berorientasi untuk memberikan pengembalian investasi yang cepat dan aman. Investasi pada dasarnya meliputi berbagai bidang, kepariwisataan termasuk di dalamnya. Pada konstitusional, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Investasi pada dasarnya meliputi berbagai bidang termasuk kepariwisataan. Cukup diketahui kekuatan pariwisata Indonesia terletak pada potensi alam yang besar dan seni budaya yang tinggi, sumber daya manusia yang profesional, akomodasi perhotelan yang baik, penduduk yang ramah tamah. Pariwisata tak ubahnya generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat seperti halnya di Bali. Dalam pengamatan empiris, tidak kurang 80% dari seluruh masyarakat Bali menggantungkan hidupnya pada pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah (1) Bagaimanakah pengaturan mengenai investasi asing pada bisnis jasa pariwisata dalam kerangka hukum internasional dan nasional? (2) Bagaimanakah bentuk perlindungan investasi asing pada bisnis jasa pariwisata di Indonesia? Pengaturan investasi dalam kerangka hukum nasional bersinergi dengan prinsip-prinsip kepariwisataan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. The diverse tourism activities bring about business movement in various regions and various fields, including investment. Investment activity is an activity oriented to provide quick and safe return of investment. Investment basically covers various fields, including tourism. In the constitutional, Article 33 of the 1945 Constitution has determined that the national economy and social welfare are to realize the common prosperity. Investment basically covers various fields including tourism. It is well known that Indonesia's tourism strength lies in its great natural potential and high cultural arts, professional human resources, excellent hospitality accommodation, hospitable residents. Tourism is like a generator driving the development of the economy of society as it does in Bali. In empirical observation, no less than 80% of all Balinese people rely on tourism, either directly or indirectly. The issues to be addressed in this paper are (1) What is the regulation of foreign investment in the tourism services business within the framework of international and national law? (2) What is the form of protection of foreign investment in tourism services business in Indonesia? Investment arrangements within the framework of national law synergize with the principles of tourism as outlined in Law Number 10 Year 2009 on Tourism.
KARAKTERISTIK KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Jawade Hafids
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.2018.22-37

Abstract

Abstrak Pendidikan adalah hak setiap warga Negara sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pendidikan tinggi yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Lulusan pendidikan tinggi hukum diharuskan untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi, tidak hanya dengan sesama lulusan sarjana hukum, akan tetapi juga dengan profesi lainnya. Lulusan pendidikan tinggi hukum harus mempunyai daya saing global dengan penguasaan bahasa asing yang mumpuni khususnya tentang ilmu hukum. Kata kunci : Ilmu Pengetahuan, Pendidikan Tinggi, Ilmu Hukum
Prinsip-Prinsip Kepariwisataan dan Hak Prioritas Masyarakat dalam Pengelolaan Pariwisata berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Dewa Gde Rudy; I Dewa Ayu Dwi Mayasari
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.2.2019.73-84

Abstract

Abstrak Pariwisata merupakan faktor penting dalam pembangunan ekonomi suatu Negara, karena mendorong perkembangan beberapa sektor perekonomian nasional. Mengingat begitu pentingnya pariwisata bagi perekonomian suatu Negara, maka pariwisata itu harus dikelola dengan sebaik-baiknya agar betul-betul dapat mendatangkan kesejahteraan bagi rnasyarakat. Jadi pengelolaan tersebut dapat diartikan sebagai suatu proses perencanaan, kebijaksanaan penyelenggaraan, serta pemanfaatan umber daya alam yang terkandung didalamnya secara berkelanjutan. Terkait dengan pengelolaan pariwisata, terkait dengan sejumlah prinsip-prinsip pengelolaan yang pada dasarnya menekankan pada nilai-nilai kelestarian lingkungan alarn komunitas, dan nilai-nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya secara bermanfaat bagi kesejahteraan komunitas lokal. Pengelolaan kepariwisataan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, pihak swasta (pelaku usaha pariwisata) dan masyarakat yang diharapkan ikut berpartisipasi. Dalam penelitian ini dibahas dua permasalahan. Pertama, Bagaimana prinsip~prinsip penyelenggaraan kepariwisataan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan dan Bagaimana hak prioritas masyarakat dalam pengelolaan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Penelitian jenis ini merupakan penelitian hukum normatif karena mempfokuskan analisa terhadap norma hukum yang muncul. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisa konsep hukum. Mengenai prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan diatur berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Mengenai hak-hak prioritas masyarakat dalam pengelolaan yaitu setiap masyarakat mempunyai hak prioritas menjadi pekerja/buruh, konsinyasi, dan pengelolaan dalam bidang usaha pariwisata. Dalam konteks pengelola ini, setiap masyarakat diberikan hak untuk mengusahakan sumber daya yang dimilikinya dalam bidang usaha pariwisata. Konstruksi ini menjadikan masyarakat sekitar tidak lagi menjadi komunitas marginal, tetapi memiliki daya tawar (bargaining position) yang lebih dalam menentukan sendiri dan menikmati keuntungan pariwisata yang terdapat di wilayahnya. Abstract Tourism is an important factor in the economic development of a country, because it encourages the development of several sectors of the national economy. Given the importance of tourism for the economy of a country, tourism must be managed as well as possible so that it can truly bring prosperity to the community. So management can be interpreted as a planning process, implementation policy, as well as sustainable use of natural resources contained in it. Related to tourism management, it is related to a number of management principles which basically emphasize the values of environmental conservation, community values and social values that enable tourists to enjoy their tourism activities in a way that is beneficial to the welfare of the local community. Tourism management involves various parties, such as the regional government, the private sector (tourism business actors) and the people who are expected to participate. In this research has two issues were discussed. first, how the principles of tourism management according to Law Number 10 of 2009 concerning Tourism and How are community priority rights in management according to Law Number 10 of 2009 concerning Tourism This type of research is normative legal research because it focuses on analysis against legal norms that arise. The approach used is the legal approach and legal concept analysis approach. Regarding the principles of the implementation of tourism are regulated based on the provisions of Article 5 of Law Number 10 of 2009 concerning Tourism. Regarding community priority rights in management, each community has priority rights to be workers / laborers, consignment, and management in the field of tourism business. In the context of this manager, every community is given the right to seek the resources it has in the field of tourism business. This construction makes the surrounding community no longer a marginal community, but has a bargaining position that is more in its own right and enjoys the tourism benefits found in its territory.
Mediasi Penal Dalam Ius Constitutum dan Ius Contituendum di Indonesia Diah Ratna Sari Hariyanto; Pande Yogantara S
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.26-37

Abstract

Belum ada undang-undang yang mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia, sehingga hal ini menarik untuk diteliti karena mediasi penal memiliki banyak manfaat untuk dapat diterapkan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar hukum mediasi penal dalam konteks hukum yang berlaku (ius constitutum), kedudukan ketentuan hukum yang berlaku (ius constitutum) yang mengatur mengenai mediasi penal di Indonesia, dan perkembangan pengaturan mediasi penal dalam konteks hukum pada masa yang akan datang (ius constituendum) di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan sejarah, dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam praktek mediasi penal di Indonesia adalah kewenangan diskresi kepolisian yang diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI dan KUHAP, selain itu juga digunakan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2015 Tentang Pemolisian Masyarakat dan Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution. Dasar hukum ini bersifat eksplisit dan tidak mengatur secara tegas mengenai mediasi penal. Tidak ada dasar hukum yang kuat yang mengatur mengenai mediasi penal. Pembaharuan hukum pidana secara implisit telah mengarahkan penggunaan mediasi penal dalam hukum pidana di masa yang akan datang. Kata Kunci: Constituendum; Ius Constitutum; Mediasi Penal There is no law that regulates penal mediation in Indonesia, so it’s interesting to investigate because penal mediation has many advantege to be applied in Indonesia. The purpose of this study is to analyze legal basis of penal mediation in the context of the ius constitutum, the position of the ius constitutum penal mediation in Indonesia, and the development of penal mediation arrangements in the criminal law of the ius constituendum in Indonesia. This research’s is a normative legal research, with the case approach, the statute approach, the conceptual approach, the historical approach and the comparative approach. The result shows that the legal basis used in the practice of penal mediation in Indonesia is the discretion power of the police authority regulated in Act No. 2 of 2002 on the Police of the Republic of Indonesia and Criminal Procedure Code, but also used the Regulation of the Chief of Police of the Republic of Indonesia No. 3 of 2015 on Community Policing and the Police Letter no. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, December 14, 2009, About Case Handling Through Alternative Dispute Resolution. The legal basis about penal mediation is explicit and does not forceful. There is no forceful legal basis regulate of penal mediation. Criminal law reform has implicitly directed the use of penal mediation in future criminal law. Keywords: Ius constituendum; Ius constitutum; Penal mediation
EFFECTIVENESS OF MEDIATION AS A TYPOLOGY OF CIVIL DISPUTE SETTLEMENT (ADR) AT DISTRICT COURT OF BALI I Ketut Tjukup; I Putu Rasmadi Arsha Putra; Dewa Gede Pradnya Yustiawan
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.2018.104-111

Abstract

Mediation has been a typology of civil dispute settlement through negotiation process to obtain agreement from the parties assisted by mediator. The Court implements mediation which is a process of civil disputes settlement that must be taken as an instrument to fulfill the four purposes of the Supreme Court, such as addressing the problem of the accumulation of cases; faster and cheaper dispute resolution; expanding access for the parties to a sense of justice; and strengthening and maximizing the function of the courts in dispute settlement. The focus of this study lies in the investigation of the extent to which effective mediation is applied as an alternative of civil disputes settlement at the District Court of Bali. The method used is empirical law research method. The nature of this research is descriptive. There are two types of data, namely primary data and secondary data with the location of research is the District Court in Bali Province. Data collection was done by using interview techniques; Data processing and analysis were carried out by applying qualitative data analysis method. The result of the research shows that the implementation of mediation in the District Court in Bali has been in accordance with the legislation and has been capable of decomposing cases. However, obstacles in the implemention are still other significant problems that need concern of resolution. The obstacles are those relating to legal substance, legal structure and legal culture.
PERLINDUNGAN KAWASAN HUTAN WISATA BERBASIS ADAT DI DESA SANGEH Ni Komang Sutrisni; I Made Hendra Wijaya
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.2018.64-68

Abstract

Abstrak Objek dalam pembahasan jurnal ini berlokasi di kawasan wiasata alam sangeh yang mana di dalamnya terdapat berbagai habitat fauna dan flora, fauna yang terbanyak adalah Kera abu-abu (Macaca fascicularis) kurang lebih 600 ekor dan flora pohon pala di kawasan hutan wisata alam sangeh. Perlindungan Kawasan wisata alam sangeh melibatkan desa adat dalam melindungi dan mengelola kawasan wisata alam sangeh, baik itu melindungi habitat monyet dan satwa lainnya maupun fauna yang ada di kawasan hutan wisata alam sangeh, perlindungan kawasan hutan wisata berbasis adat di desa sangeh dapat dilihat berupa bentuk kearifan lokal berbentuk bangunan suci (pura), maupun adanya Tri Hita Karana di dalam aturan adat, peran adat dalam melindungi kawasan hutan wisata sangeh dapat dilihat pada awig-awig desa adat Sangeh serta dibentuknya kelembagaan sadar wisata oleh desa adat sangeh untuk mengelola dan melindungi kawasan hutan wisata sangeh. Kata Kunci: Perlindungan, Kawasan Hutan dan Desa Adat Abstract Objects in the discussion of this journal are in the area of natural tourism sangeh which in it there are various habitats of fauna and flora, the fauna is gray monkey (Macaca fascicularis) approximately 600 head and flora of nutmeg trees in the forest area of sangeh natural forest. Protection Sangeh natural tourism area involves indigenous villages in protecting and managing natural sangeh tourism area, whether it is protecting the habitat of monkeys and other animals and fauna that exist in natural forest sangeh forest, protection of custom-based tourism forest area in sangeh village can be seen in the form of wisdom local in the form of a sacred building (temple), or Tri Hita Karana in customary law, customary role in protecting forest area of sangeh can be seen in awang-awig of Sangeh custom village and the establishment of conscious tourism institution by adat sangeh village to manage and protect forest area sangeh tour Keywords: Protection, Forest and Indigenous Villages
Tanggung Jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Ni Nyoman Arif Tri Noviyanti; Ni Made Sukaryati Karma; I Nyoman Sutama
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.2.2019.109-113

Abstract

Indonesia sebagai negara yang berkembang, masih banyak membutuhkan suatu pembangunan di segala sektor khususnya dalam bidang ekonomi. Korporasi yaitu sekelompok orang badan hukum maupun bukan badan hukum yang memiliki persamaan hak dan kewajiban. Peran korporasi sangat penting dalam kehidupan masyarakat seperti pada kegiatan pertambangan, pemanfaatan sumber daya alam dan lain sebagainya. Namun, kegiatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut memberikan dampak pada lingkungan hidup dimana korporasi melalaikan fungsi lingkungan hidup dengan menimbulkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan, sehingga perlu diketahui tanggung jawab korporasi apabila melakukan suatu tindak pidana lingkungan hidup. Dari latar belakang di atas, maka penulis mengambil judul penelitian Tanggung Jawab Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Bagaimana pengaturan tindak pidana lingkungan hidup terhadap korporasi dan Bagaimana tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup menurut UUPPLH. Indonesia as a country that is growing, it still requires a lot of development in all sectors, especially in the economic sphere. The Corporation that is a legal entity or a group of people is not a legal entity which has equal rights and obligations. The role of the Corporation is very important in people's lives such as in mining activities, the utilization of natural resources and so on. However, the activities undertaken by the corporations provide the impact on the environment in which the Corporation's neglect of environmental functions with cause pollution and damage to the environment, so keep in mind the responsibility of the corporations when doing an environmental crime. From the background of the above, the authors take the title of the study Corporate Responsibility in Environmental criminal act. Formulation of the problem in this study i.e. how setting environmental criminal act against corporations and How corporate responsibility in environmental criminal act according to UUPPLH.
Status Tanah Karang Desa Di Desa Pakraman Selat Belega Ketut Adi Wirawan; I Ketut Sukadana; Cok Gede Suryanata
KERTHA WICAKSANA Vol. 13 No. 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.13.1.2019.12-18

Abstract

Adanya aturan khusus mengenai tanah karang desa secara adat terhadap krama atau masyarakat yang memiliki tanah karang desa di Desa Selat Belega baik dalam bentuk warisan turun-temurun yang telah diatur atau diungkapkan Awig-awig di Desa Selat Belega. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aturan dan kewajiban tata krama desa atau untuk penduduk pemilik tanah karang desa sebagaimana telah ada dalam aturan adat Desa Selat Belega dan sebagaimana diatur dalam hukum adat dan desa tradisional Awig-awig. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris yaitu mencari fakta-fakta dalam prakteknya di masyarakat, kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan hukum untuk mencari jalan pemecahannya. Hasil pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kewajiban manusia desa sebagai pemegang tanah karang desa antara berada di Desa Pakraman Selat sesuai dengan Awig-Awig dan Pararem Desa, menjadi milik para pengarep , tedun mebanjar, ngayah di desa pakraman dan/atau Kahyangan Tiga dan mengeluarkan Pepeson, patuh dan patuh pada awig-awig di desa Pakraman dan telah menjadi kebiasaan adat Banjar. Posisi tanah karang desa di Desa Selat Belaga adalah melemahnya desa Pakraman yang diserahkan penggunaannya dengan sopan santun dari generasi ke generasi sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya masing-masing, krama yang menempati desa karang memiliki ukuran kecil, tanah menengah dan besar, misalnya ada daerah 200, 400 dan 800 dengan kewajiban ngayahan desa dan tedun mebanjar. Kata kunci: Tanah Karang Desa; Desa Pakraman; Awig-Awig There are special rules regarding traditional village coral land against krama or the community that owns village coral land in the Desa Selat Belega both in the form of genetic inheritance that has been regulated or revealed by Awig-awig in the Desa Selat Belega. The purpose of this study was to find out how the rules and obligations of village manners or for residents of village coral landowners as already contained in the traditional rules of the Desa Selat Belega and as stipulated in conventional law and traditional villages Awig-awig. This type of research used in this study is a type of empirical legal analysis that is looking for facts in practice in society, then associated with legal provisions to find a way to solve it. The results of the discussion in this study are as follows: Obligations of village people as holders of village coral land between being in Pakraman Selat Village according to Awig-Awig and Pararem Desa, belonging to the pengepep, tedun mebanjar, ngayah in pakraman village and/or Kahyangan Tiga and issued Pepeson, obedient and obedient to awig-awig in Pakraman village and had become a custom of Banjar. The village coral land position in the Desa Selat Belega is the weakening of Pakraman village which has been surrendered by manners from generation to generation in accordance with the needs of their respective communities, the krama that occupy the coral village have small size, medium and large land, for example 200, 400 and 800 with the obligation to cultivate the village and incur losses. Keywords: Tanah Karang Desa; Pakraman Village; Awig-Awig
TINJAUAN YURIDIS ASAS KESEIMBANGAN DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Ni Made Puspasutari Ujianti; Anak Agung Sagung Laksmi Dewi
KERTHA WICAKSANA Vol. 12 No. 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.2018.133-139

Abstract

Pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah yang menyerap dana APBN/APBD hampir sebesar 60 % akan menciptakan lapangan pekerjaan yang direbut oleh para pengusaha baik pengusaha dalam negeri maupun pengusaha luar negeri karena bangsa Indonesia telah memasuki era globalisasi dan leberalisme perdagangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan barang/jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak, yaitu pihak pengguna barang/jasa (pemerintah) dan pihak penyedia barang/jasa (pengusaha), dengan kepentingan yang berbeda yang sulit dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai kesepakatan. Pengadaan barang/jasa dilakukan dengan melalui tahapan proses pengadaan, yang akhirnya penyedia barang/jasa yang terpilih akan menandatangani kontrak dengan pengguna barang/jasa. Kontrak tersebut memuat kesepakatan antara pengguna barang/jasa sebagai Pihak Pertama dan penyedia barang/jasa sebagai Pihak Kedua. Dalam pembuatan suatu kontrak, para pihak seharusnya memiliki kedudukan yang seimbang, karena apabila tidak memiliki kedudukan yang seimbang, maka dimungkinkan terjadinya salah satu pihak akan mendominasi pihak lain. Bagaimana prinsip keseimbangan diimplementasikan dalam kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dibidang pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung ? Dari hasil penelitian diketahui bahwa; pada kontrak pengadaan barang / jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung, pada awal kontrak (pra kontrak) memang terlihat bahwa posisi tawar para pihak adalah seimbang. Tetapi jika dicermati pada isi kontrak terlihat ada ketidakseimbangan kedudukan. Asas keseimbangan belum diimplementasikan secara baik di Kabupaten Badung. Procurement of goods / services for the needs of the Government that absorb funds APBN / APBD almost 60% will create employment seized by entrepreneurs both domestic entrepreneurs and foreign businessmen because the nation of Indonesia has entered the era of globalization and trade leberalisme. To anticipate this by issuing Presidential Regulation (Perpres) No. 16 of 2018 on Procurement of Government Goods / Services. Procurement of goods / services basically involves two parties, namely the user of goods / services (government) and the provider of goods / services (entrepreneurs), with different interests that are difficult to meet if there is no mutual understanding and willingness to reach an agreement. Procurement of goods / services is done by going through the stages of the procurement process, which ultimately providers of goods / services selected will sign a contract with the user goods / services. The contract contains an agreement between the user of the goods / services as the First Party and the provider of goods / services as the Second Party. In making a contract, the parties should have a balanced position, because if it does not have a balanced position, then it is possible that one party will dominate the other. How is the principle of balance implemented in contracts signed by both parties in the field of procurement of goods / services for the purposes of the Government in Badung regency? From result of research known that; in the contract of procurement of goods / services for government purposes in Badung regency, at the beginning of the contract (pre contract) it is seen that the bargaining position of the parties is balanced. But if you look at the content of the contract there is an unbalanced position. The principle of balance has not been well implemented in Badung regency.

Page 4 of 15 | Total Record : 147