cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
KERTHA WICAKSANA
Published by Universitas Warmadewa
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 147 Documents
STANDAR PERLINDUNGAN HUKUM KEGIATAN INVESTASI PADA BISNIS JASA PARIWISATA DI INDONESIA Julianti, Lis; Subekti, Rika Putri
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.723.156-166

Abstract

Kegiatan pariwisata yang beragam menimbulkan pergerakan bisnis di berbagai daerah dan berbagai bidang, termasuk investasi. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang berorientasi untuk memberikan pengembalian investasi yang cepat dan aman. Investasi pada dasarnya meliputi berbagai bidang, kepariwisataan termasuk di dalamnya. Pada konstitusional, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Investasi pada dasarnya meliputi berbagai bidang termasuk kepariwisataan. Cukup diketahui kekuatan pariwisata Indonesia terletak pada potensi alam yang besar dan seni budaya yang tinggi, sumber daya manusia yang profesional, akomodasi perhotelan yang baik, penduduk yang ramah tamah. Pariwisata tak ubahnya generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat seperti halnya di Bali. Dalam pengamatan empiris, tidak kurang 80% dari seluruh masyarakat Bali menggantungkan hidupnya pada pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah (1) Bagaimanakah pengaturan mengenai investasi asing pada bisnis jasa pariwisata dalam kerangka hukum internasional dan nasional? (2) Bagaimanakah bentuk perlindungan investasi asing pada bisnis jasa pariwisata di Indonesia? Pengaturan investasi dalam kerangka hukum nasional bersinergi dengan prinsip-prinsip kepariwisataan yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. The diverse tourism activities bring about business movement in various regions and various fields, including investment. Investment activity is an activity oriented to provide quick and safe return of investment. Investment basically covers various fields, including tourism. In the constitutional, Article 33 of the 1945 Constitution has determined that the national economy and social welfare are to realize the common prosperity. Investment basically covers various fields including tourism. It is well known that Indonesias tourism strength lies in its great natural potential and high cultural arts, professional human resources, excellent hospitality accommodation, hospitable residents. Tourism is like a generator driving the development of the economy of society as it does in Bali. In empirical observation, no less than 80% of all Balinese people rely on tourism, either directly or indirectly. The issues to be addressed in this paper are (1) What is the regulation of foreign investment in the tourism services business within the framework of international and national law? (2) What is the form of protection of foreign investment in tourism services business in Indonesia? Investment arrangements within the framework of national law synergize with the principles of tourism as outlined in Law Number 10 Year 2009 on Tourism.
KARAKTERISTIK KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI HUKUM INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Hafids, Jawade
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.420.22-37

Abstract

Abstrak Pendidikan adalah hak setiap warga Negara sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pendidikan tinggi yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Lulusan pendidikan tinggi hukum diharuskan untuk dapat bersaing di dalam era globalisasi, tidak hanya dengan sesama lulusan sarjana hukum, akan tetapi juga dengan profesi lainnya. Lulusan pendidikan tinggi hukum harus mempunyai daya saing global dengan penguasaan bahasa asing yang mumpuni khususnya tentang ilmu hukum. Kata kunci : Ilmu Pengetahuan, Pendidikan Tinggi, Ilmu Hukum
EFFECTIVENESS OF MEDIATION AS A TYPOLOGY OF CIVIL DISPUTE SETTLEMENT (ADR) AT DISTRICT COURT OF BALI Tjukup, I Ketut; Arsha Putra, I Putu Rasmadi; Yustiawan, Dewa Gede Pradnya
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.706.104-111

Abstract

Mediation has been a typology of civil dispute settlement through negotiation process to obtain agreement from the parties assisted by mediator. The Court implements mediation which is a process of civil disputes settlement that must be taken as an instrument to fulfill the four purposes of the Supreme Court, such as addressing the problem of the accumulation of cases; faster and cheaper dispute resolution; expanding access for the parties to a sense of justice; and strengthening and maximizing the function of the courts in dispute settlement. The focus of this study lies in the investigation of the extent to which effective mediation is applied as an alternative of civil disputes settlement at the District Court of Bali. The method used is empirical law research method. The nature of this research is descriptive. There are two types of data, namely primary data and secondary data with the location of research is the District Court in Bali Province. Data collection was done by using interview techniques; Data processing and analysis were carried out by applying qualitative data analysis method. The result of the research shows that the implementation of mediation in the District Court in Bali has been in accordance with the legislation and has been capable of decomposing cases. However, obstacles in the implemention are still other significant problems that need concern of resolution. The obstacles are those relating to legal substance, legal structure and legal culture.
PERLINDUNGAN KAWASAN HUTAN WISATA BERBASIS ADAT DI DESA SANGEH Sutrisni, Ni Komang; Wijaya, I Made Hendra
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.416.64-68

Abstract

Abstrak Objek dalam pembahasan jurnal ini berlokasi di kawasan wiasata alam sangeh yang mana di dalamnya terdapat berbagai habitat fauna dan flora, fauna yang terbanyak adalah Kera abu-abu (Macaca fascicularis) kurang lebih 600 ekor dan flora pohon pala di kawasan hutan wisata alam sangeh. Perlindungan Kawasan wisata alam sangeh melibatkan desa adat dalam melindungi dan mengelola kawasan wisata alam sangeh, baik itu melindungi habitat monyet dan satwa lainnya maupun fauna yang ada di kawasan hutan wisata alam sangeh, perlindungan kawasan hutan wisata berbasis adat di desa sangeh dapat dilihat berupa bentuk kearifan lokal berbentuk bangunan suci (pura), maupun adanya Tri Hita Karana di dalam aturan adat, peran adat dalam melindungi kawasan hutan wisata sangeh dapat dilihat pada awig-awig desa adat Sangeh serta dibentuknya kelembagaan sadar wisata oleh desa adat sangeh untuk mengelola dan melindungi kawasan hutan wisata sangeh. Kata Kunci: Perlindungan, Kawasan Hutan dan Desa Adat Abstract Objects in the discussion of this journal are in the area of natural tourism sangeh which in it there are various habitats of fauna and flora, the fauna is gray monkey (Macaca fascicularis) approximately 600 head and flora of nutmeg trees in the forest area of sangeh natural forest. Protection Sangeh natural tourism area involves indigenous villages in protecting and managing natural sangeh tourism area, whether it is protecting the habitat of monkeys and other animals and fauna that exist in natural forest sangeh forest, protection of custom-based tourism forest area in sangeh village can be seen in the form of wisdom local in the form of a sacred building (temple), or Tri Hita Karana in customary law, customary role in protecting forest area of sangeh can be seen in awang-awig of Sangeh custom village and the establishment of conscious tourism institution by adat sangeh village to manage and protect forest area sangeh tour Keywords: Protection, Forest and Indigenous Villages
TINJAUAN YURIDIS ASAS KESEIMBANGAN DALAM KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Ujianti, Ni Made Puspasutari; Dewi, Anak Agung Sagung Laksmi
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.724.133-139

Abstract

Pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah yang menyerap dana APBN/APBD hampir sebesar 60 % akan menciptakan lapangan pekerjaan yang direbut oleh para pengusaha baik pengusaha dalam negeri maupun pengusaha luar negeri karena bangsa Indonesia telah memasuki era globalisasi dan leberalisme perdagangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan barang/jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak, yaitu pihak pengguna barang/jasa (pemerintah) dan pihak penyedia barang/jasa (pengusaha), dengan kepentingan yang berbeda yang sulit dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai kesepakatan. Pengadaan barang/jasa dilakukan dengan melalui tahapan proses pengadaan, yang akhirnya penyedia barang/jasa yang terpilih akan menandatangani kontrak dengan pengguna barang/jasa. Kontrak tersebut memuat kesepakatan antara pengguna barang/jasa sebagai Pihak Pertama dan penyedia barang/jasa sebagai Pihak Kedua. Dalam pembuatan suatu kontrak, para pihak seharusnya memiliki kedudukan yang seimbang, karena apabila tidak memiliki kedudukan yang seimbang, maka dimungkinkan terjadinya salah satu pihak akan mendominasi pihak lain. Bagaimana prinsip keseimbangan diimplementasikan dalam kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak dibidang pengadaan barang/jasa bagi keperluan Pemerintah di Kabupaten Badung ? Dari hasil penelitian diketahui bahwa; pada kontrak pengadaan barang / jasa bagi keperluan pemerintah di Kabupaten Badung, pada awal kontrak (pra kontrak) memang terlihat bahwa posisi tawar para pihak adalah seimbang. Tetapi jika dicermati pada isi kontrak terlihat ada ketidakseimbangan kedudukan. Asas keseimbangan belum diimplementasikan secara baik di Kabupaten Badung. Procurement of goods / services for the needs of the Government that absorb funds APBN / APBD almost 60% will create employment seized by entrepreneurs both domestic entrepreneurs and foreign businessmen because the nation of Indonesia has entered the era of globalization and trade leberalisme. To anticipate this by issuing Presidential Regulation (Perpres) No. 16 of 2018 on Procurement of Government Goods / Services. Procurement of goods / services basically involves two parties, namely the user of goods / services (government) and the provider of goods / services (entrepreneurs), with different interests that are difficult to meet if there is no mutual understanding and willingness to reach an agreement. Procurement of goods / services is done by going through the stages of the procurement process, which ultimately providers of goods / services selected will sign a contract with the user goods / services. The contract contains an agreement between the user of the goods / services as the First Party and the provider of goods / services as the Second Party. In making a contract, the parties should have a balanced position, because if it does not have a balanced position, then it is possible that one party will dominate the other. How is the principle of balance implemented in contracts signed by both parties in the field of procurement of goods / services for the purposes of the Government in Badung regency? From result of research known that; in the contract of procurement of goods / services for government purposes in Badung regency, at the beginning of the contract (pre contract) it is seen that the bargaining position of the parties is balanced. But if you look at the content of the contract there is an unbalanced position. The principle of balance has not been well implemented in Badung regency.
PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG MELALUI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DI PENGADILAN NIAGA (Studi Kasus PKPU PT.Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra, Putusan No.4/Pdt-Sus/PKPU/2017/PN.Niaga Sby) Arjaya, I Made; Dewi, A.A Sagung Laksmi
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.418.46-55

Abstract

Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Kewenangan Pengurus/Kuratordan Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)/ Kepailitan PT. Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil yang diperoleh adalah Kewenangan Pengurus dalamPenundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT. Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya adalah mengumumkan Putusan, menyelenggarakan Rapat-rapat,menerima dan menyiapkan Daftar Tagihan Kreditor,menyiapkan Rencana Perdamaian,menyiapkan Daftar Voting dan membuat Laporan.Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diawali dengan adanya Permohonan yang diajukan oleh Debitor atau oleh Kreditor. Permohonan tersebut harus dikabulkan oleh Pengadilan dengan menerbitkan Putusan yang berisi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) paling lama 45 hari dan dapat diperpanjang dengan menerbitkan Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap (PKPUT) paling lama 270 hari. Putusan PKPU harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Kata kunci: Kepailitan, Kurator, Debitor, Kreditor Abstract The purpose of the research is to know the authority of administrator and the prosedures of rescheduling debt payment/ bankruptcyPT. Rendamas Realty dan Jane Christina Tjandra at Surabaya Comercial Court. The type of research is normative law research with statute approach and case approach. The result is The Administrator/Receiver have authority to announced court statement, organizing meetings, receive registration, prepare the creditor bill list, preparing settelmen plan, prepare a voting list and make a report. The procedures of rescheduling debt payment begins with an application filed by a debtor or creditor. The application must be granted by the court by issuing a statement for 45 days and can be extended up to 270 days. Keywords: Bankrupcy, Receiver, Debtor, Creditor
HAK KEPEMILIKAN ATAS SATUAN RUMAH SUSUN DI ATAS TANAH HAK GUNA BANGUNAN YANG BERDIRI DIATAS TANAH HAK MILIK BERDASARKAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA Utama, I Wayan Kartika Jaya
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.720.112-123

Abstract

Penelitian ini di lakukan untuk menganalisa keteraturan hukum di masyarakat, Permasalahan Hak milik dalam Hal memiliki tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah merupakan hak dasar setiap warga negara Indonesia. hakikatnyastrata title terdapat gabungan kepemilikan bersama dan kepemilikan individu. Hal ini tidak dikenal dalam kepemilikan tanah dan rumah pada kawasan horizontal seperti komplek perumahan (real estate) atau pemukiman lainnya baik di perkotaan maupun perkampungan. Penelitian ini menggunakan metode hukum yuridis Normatif untuk melakukan studi pustaka karena ciri khas dan tradisi ilmu hukumPendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue opprach), pendekatan kasus (case opprach) dan pendekatan konseptual (conceptual opprach). Hasil penelitian menunjukan bahwa rumah susun di atas tanah Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas tanah Hak Milik sebagai tempat hunian dan jenis pembebanan hak atas satuan rumah susun di atas tanah Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas tanah Hak Milik dapat serta memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah atas penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber pertanahan untuk meminimalisir sengketa Pertanahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. This research is done to analyze the legal regulation in the community. The issue of property rights in terms of having a good and healthy living place and environment is the basic right of every Indonesian citizen. the essence of the title is that of joint ownership and individual ownership. It is not known in the ownership of land and houses in the horizontal area such as housing complex (real estate) or other settlements in both urban and settlement areas. This research uses Normative juridical legal method to conduct literature study because of the characteristic and traditions of law. The approach used in legal research is the approach of legislation (statue opprach), case approach (case opprach) and conceptual approach (conceptual opprach). The result of the research shows that the flats on the land of Hak Guna Bangunan which stands on the land of Hak Milik as the dwelling place and the type of imposition of the right to the unit of flats on the land of Hak Guna Bangunan which stands on the land of Hak Milik can also improve the public access to the sources economic, especially land over ownership, use and utilization of land and land resources to minimize land disputes to improve peoples welfare.
EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI (Kajian Terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2012, tentang Kepariwisataan Budaya Bali) Parwata, A.A Gede Oka; Wijaya, I Ketut Kasta Arya
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.1.415.69-75

Abstract

ABSTRAK Kegiatan pembangunan kepariwisataan dalam kehidupan Negara modern tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya sebuah kebijakan yang baik pula. Kepariwisataan dalam program suatu negara dihandalkan dan diarahkan untuk memberi manfaat bagi kesejahteraan bersama elemen berbangsa. Nilai dasar atas upaya mewujudkan kemakmuran ditetapkan melalui Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan untuk menciptakan iklim yang kondusif dan memberikan kepastian hukum. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan utamanya di Bali menjadi penting pada pengembangan pariwisata budaya sebagai penyangga agar terhindar dari komersialisasi dan komodifikasi yang hanya menempatkan Bali sebagai obyek eksploitasi. Desa pakraman berkait dengan kepariwisataan ini memerlukan porsi yang pasti berdasarkan hukum sehingga hak dan kewajiban serta kewenangannya guna mendapat jaminan atas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan seluruh kompenen terkait dalam pengelolaan kepariwisataan. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu yang mengkaji semua permasalahan melalui tinjauan hukum, acuannya dilakukan baik secara normatif maupun berdasarkan doktrin ilmu hukum. Pembahasan atas kewenangan desa pakraman tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 18B (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai pengakuan hak konstitusionalnya. Pengaturan pengelolaan kepariwisataan budaya Bali belum secara implisit mengatur bagaimana hak, kewajiban serta kewenangan yang dimiliki desa pakraman. Sepantasnya dalam Pengelolaan Kepariwisataan budaya memberikan tempat yang rasional kepada desa pakraman sebagai subyek pemilik kebudayaan. Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Kepariwisataan Budaya tidak secara tegas memberikan kedudukan hukum (hak, kewajiban dan wewenang) desa pakraman dalam pengelolaan Kepariwisataan Budaya Bali. Posisi kedudukannya selaku subyek internal, seharusnya diwujudkan dalam bentuk fungsi penguatan, pemberdayaan. Jika dibentuk dalam relasi koordinasi dengan unsur pemerintah daerah pun koordinasi dalam dengan sifat mendukung dan menguatkan kedudukan hukum desa pakraman. Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Desa Pakraman, Kepariwisataan Budaya ABSTRACT Tourism development activities in a modern country cannot work well without a good policy. Tourism as one of development programs of a country is a reliable way to bring prosperity to all of the people. The basic value of efforts to achieve prosperity is stated in Act no.10 Year 2009, which is about tourism for creating a conducive environment and to provide legal certainty. Cultural tourism development activities, particularly in Bali, play an important role as a buffer to avoid Bali from being commercialised and commodified, in other words, being an exploited object. The customary village (desa pakraman) must be given a clear portion in the law regarding tourism industry so that its rights, obligations and authorities to give legal certainty, justice and benefits are clear. This is a normative juridical study, which is a study that analyses all problems through legal perspective whose reference is obtained normatively or based on the doctrines in law discipline. Discussing the authority of Desa Pakraman cannot disregard Article 18B (2) Constituion 1945, which is a recognition of the rights of customary village. The regulations about cultural tourism of Bali have not yet implicitly defined the rights, obligations and authorities of desa pakraman. Cultural tourism management should provide desa pakraman with a rational portion as the subject and owner of Bali culture. Bali provincial regulation on cultural tourism does not explicitly give the legal status (rights, obligations and responsibilities) of desa pakraman in the management of Bali cultural tourism. As the internal subject, the legal status of desa pakraman should be manifested in the form of both reinforcement and empowerment functions. If the legal status of desa pakraman is in the form of a coordinative relation local government, such coordination should be supporting and strengthening the legal status of desa pakraman. Keywords: Legal Status, Customary Village (Pakraman), Cultural Tourism
KEKUATAN HUKUM SERTIPIKAT PENGGANTI KARENA HILANG Triyatmojo, Ananta; Kawuryan, Endang Sri
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.725.140-144

Abstract

Pada akhir-akhir ini, untuk bertransaksi atas hak atas tanah yang tanda bukti haknya berupa sertipikat pengganti karena hilang, banyak pihak yang meragukan kekuatan hukum dan kepastian hukum dari serpikat pengganti karena hilang tersebut, maka perlu dilakukian analisis dengan cara diskripsi komparatif, yakni dengan mengetengahkan prosedur penerbitan sertipikat pengganti karena hilang, dengan segala karakteristiknya.Dari hasil analisis dengan metode diskripsi komparatif dari ketentuan-ketentuan perundangan yang terkait nampak bahwa kedudukan hukum serpikat pengganti karena hilang sama halnya sertipikat originer, dan mempunyai kekuatan hukum yang sama pula, serta bagi pihak-pihak yang mengadakan transaksi terhadap hak atas tanah yang tanda bukti haknya berupa sertipikat pengganti karena hilang tidak perlu ragu-ragu, karana ia memperoleh perlindungan hukum baik perdata, pidana maupun tata usaha negara. In recent years, to transact land rights whose proof of rights is in the form of a replacement certificate due to disappearance, there are many who doubt the legal power and legal certainty of the successors replacement because it is missing, it is necessary to conduct an analysis by means of a comparative description, the procedure of issuance of the replacement certificate because it is lost, with all its characteristics. From the results of the analysis with the comparative description method of the relevant provisions of the law it appears that the status of the substitute law as a lost due to the originer certificate, and has the same legal force, as well as for the parties who entered into the transaction of land rights which the evidence his right in the form of a substitute certificate because of missing need not hesitate, because he obtained legal protection both civil, criminal and state administration.
FORMATION OF CORRUPTION ERADICATION COMISSION Kusuma, I Made Hendra
KERTHA WICAKSANA Vol 12, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/kw.12.2.703.80-89

Abstract

Since the establishment of the Corruption Eradication Commission (KPK) in 2002, corruption eradication agency in Indonesia is authorized to a three sections), namely police agency, prosecutor’s office and KPK. Among the three institutions, the KPK has an extraordinary authority, which is not granted to the police agency or the prosecutors office by the legislators. The authority includes the authority to take over the investigation of criminal act of corruption being perpetrated by the police officers or the prosecutors. In time police institution or prosecutors office begins a graft investigation of a criminal act of corruption, it shall be reported to KPK within a period of time no later than 14 working days and shall continuously be coordinated with the KPK. Even if at the same time the police, prosecutors, and KPK are investigating the same corruption, the involvement of the police or the prosecutors must be discontinued immediately. With regard to this fact, this paper reviews descriptively what and how exactly KPK with its extraordinary authority was originally formed. This paper uses secondary data in the form of literature and minutes of the meeting on the establishment of law on KPK in the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR-RI). The result of the study shows that the establishment of the KPK according to Law No. 30 of 2002 was designed to form an independent and super-agency of corruption eradication, with some authorities previously never granted to the police or the prosecutors, but by not eliminating the authority of the police and prosecutors as a part of corruption eradication institutions that have been already existed. In such a position, KPK functioned as a trigger mechanism holder over the police and prosecutors who are considered do not effectively and efficiently execute the action of eradication on corruption.

Page 1 of 15 | Total Record : 147