cover
Contact Name
Majalah Kedokteran Andalas
Contact Email
mka.fk.unand@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
mka.fk.unand@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota padang,
Sumatera barat
INDONESIA
Majalah Kedokteran Andalas
Published by Universitas Andalas
ISSN : 01262092     EISSN : 24425230     DOI : -
Core Subject : Health,
Majalah Kedokteran Andalas (MKA) (p-ISSN: 0126-2092, e-ISSN: 2442-5230) is a peer-reviewed, open access national journal published by Faculty of Medicine, Universitas Andalas and is dedicated to publish and disseminate research articles, literature reviews, and case reports, in the field of medicine and health, and other related disciplines.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 33, No 1: April 2009" : 11 Documents clear
THE EFFICACY OF BARE SCLERA AND MULTILAYER AMNIOTIC MEMBRANE TRANSPLANTATION (MLAMT) FOR RECURRENT MOOREN’S ULCER Getry Sukmawati; Havriza Vitresia
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1311.625 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

Abstrak“Mooren’s Ulcer” adalah ulkus kornea yang bersifat progresif, nyeri, sering berulang sedangkan penyebabnya tidak diketahui. Pada tulisan ini dilaporkan kegunaan tindakan operasi “Bare Sclera conjunctival resection” dengan pemasangan MLAMT pada ulkus Mooren yang diikuti dengan penutupan mata selama 3 hari berturut turut. Pada pasien ini dikerjakan 3 kali operasi yang sama. Kasus adalah seorang wanita berumur 45 tahun dengan Ulkus Mooren yang sudah berulang di pinggir kornea didaerah flap konyungtifa pada mata kanannya sedangkan mata kiri dengan “pthysis bulbi”. Visus mata kanan 20/25, mata kiri Nol, pemeriksaan laboratorium normal, saat ini pasien menolak untuk dilakukan operasi. Pasien datang 1 bulan kemudian dengan keadaan yang lebih buruk, dan setuju dioperasi, dilakukan Partial Bare Sclera conjunctival resection dengan MLAMT, pada hari kesembilan setelah operasi sudah terjadi epitelisasi komplit. Empat bulan kemudian ulkus korneanya meluas keparasentral dan superior kornea yang cendrung perforasi, dilakukan operasi kedua dengan tehnik yng sama. Ternyata epitelisasi kornea baru komplit pada hari ketigabelas. Hal yang sangat jelek adalah ditemukan lagi ulkus baru dibagian bawah kornea, sehingga diputuskan untuk langsung melakukan Total Bare Sclera conjunctival resection dan MLAMT, Epitelisasi komplit pada ulkus terjadi pada hari kesembilan. Pengobatan setelah operasi antibiotik tetes mata dan kortikosteroid secara sistemik. Visus mata kanan saat ini 20/40. Dapat disimpulkan bahwa Ulkus Mooren merupakan ulkus kornea yang progresif, dengan transplantasi membrane Amnion dan Bare Sclera dapat memperlama munculnya rekurensi tapi tidak menyembuhkannya.Kata kunci: MLAMT, Bare Sclera, Mooren’s ulcerAbstractMooren’s Ulcer is a progressive, pain corneal disease, which is difficult to be treated with unknown etiology. This Interventional Case Report is aimed at reporting the efficacy of Bare Sclera and (MLAMT) with three days patching for recurrent Mooren’s Ulcer.LAPORAN KASUS84We performed three times Bare Sclera conjunctiva resection with MLAMT on one case of recurrent Mooren’s ulcer. Fourty five years old female with Recurrent Mooren’s ulcer on the right eye, at margin of the conjunctival flap and pthysis bulbi on the left eye. Visual acuity (VA) on the right eye was 20/25. Normal laboratory examinations. In this condition she did not agree for operation. One month later, with worse condition, and we performed partial Bare Sclera with MLAMT. After surgery, the epithelialization was completes on the ninth day. Four months later, the active ulcer was extended to paracentral and superior cornea with impending perforatian. We did second surgery, partial Bare Sclera with MLAMT. After surgery, the epithelialization was completes on the thirteenth day. Unfortunately, we found the new ulcer on the inferior cornea, and then we decided to perform the third surgery, total Bare Sclera and MLAMT, the epithelialization was completes on the ninth day. Post operation, topical antibiotic and systemic corticosteroid. The VA on the right eye was 20/40.We conclude that, Mooren’s ulcer is a progressive corneal disease. Although only one case being reported, MLAMT can reduce the recurrence duration of Mooren’s ulcer, but cannot stop the progressivity. MLAMT could be performed more than once. Total conjunctiva resection can make epithelialization significantly faster than partial resection.Keywords: MLAMT, Bare Sclera, Mooren’s ulcer
STATUS HEMATOLOGI PENDERITA MALARIA SEREBRAL Nurhayati Nurhayati
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.932 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakMalaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia. Berdasarkan klasifikasi klinis, malaria dibedakan atas malaria berat dan malaria tanpa komplikasi. Malaria serebral merupakan komplikasi terberat dari malaria falsiparum.Telah dilakukan penelitian seksi silang terhadap penderita malaria falciparum yang dirawat inap di Bangsal Penyakit Dalam RS. Perjan. Dr. M. Djamil Padang dari bulan Juni 2002 sampai Juni 2006. Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel sebanyak 60 orang, terdiri dari 16 orang penderita malaria serebral dan 44 orang penderita malaria tanpa komplikasi.Data penelitian menunjukan terdapat perbedaan bermakna nilai hematokrit (p<0,05) dan jumlah leukosit (p<0,05) antara penderita malaria serebral dengan penderita malaria tanpa komplikasi. Dan terdapat korelasi positif antara nilai hemoglobin dengan hematokrit (r=0,864; p<0,05) pada penderita malaria falsiparum.Kata kunci: malaria serebral, malaria tanpa komplikasi, malaria falsiparumAbstract Malaria is still a problem of health of world society. Based on the clinical classification, are distinguished on severe malaria and uncomplicated malaria. Cerebral malaria is the worst complication of falciparum malaria. Cross section of the research done at the Hospital Dr. M. Djamil Padang againts medical record of malaria patients who are hospitalized in the Internal Medicine from June 2002 until June 2004. In this study, a total sample of 60 people, consisting of 16 cerebral malaria and 44 uncomplicated malaria. Data showed there were significant differences for hematocrit values (p <0.05) and total leukocytes values (p <0.05) between cerebral malaria and uncomplicated malaria patients. There is a positive correlation between hemoglobin with hematocrit values (r = 0.864; p <0.05) of falciparum malaria patients. Keywords: cerebral malaria, uncomplicated malaria, falciparum malaria
HAMBATAN DALAM MENDAPATKAN PENGALAMAN BELAJAR KLINIS PADA KEPANITERAAN KLINIK DI UNIT GAWAT DARURAT (UGD) BAGI MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG Hardisman Hardisman
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (338.632 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakPenatalaksanaan gawat darurat merupakan kompetensi yang vital dan harus dimiliki oleh setiap dokter. Selain itu, sejak tahun ajaran 2007/2008 pada tahapan klinik, FK-UNAND melakukan penataan lebih baik pada sistim kepaniteraan. Oleh karea itu perlu dilihat apakah peroses pendidikan di UGD juga telah memberikan pengalaman belajar klinis yang optimal? Serta apa hambatan dalam mendapatkan pengalaman klinis tersebut?.Desain penelitian ini adalah cross sectional study dan dilaksanakan pada bulan September 2007 - Maret 2008. Instrument pengumpulan data adalah kuisioner terstruktur dan sebagian besar menggunakan sistim skala. Populasi dan sampel penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang sedang menjalankan rotasi kepaniteraan klinik di Instalasi Gawat darurat (IGD) yang diambil pada dua siklus. Data-data kuantitatif dianalisa secara deskriptif. Untuk melihat bagaimana perbedaan gender dalam mendapatkan pengalaman belajar klinis dianalisa secara statistik (t-test).Kesempatan belajar memperoleh pengalaman klinis oleh mahasiswa mencapai skala 3 lebih (sedang) dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan (p>0,05). Secara sepesifik, kesempatan melakukan tindakan penatalaksanaan jalan nafas (airway management) merupakan kesempatan yang paling jarang didapatkan (skala 2,11). Kesempatan melakukan penatalaksanaan dan menjahit luka serta melakukan injeksi cukup sering, dengan skala 4,05 dan 4,25. Hambatan utama dalam memperoleh pengalaman klinis adalah karena jumlah pasein yang kurang (39,7%) kurangnya bimbingan (32,9%) dan sikap penerimaan atau penolakan dari staf perawat (16,4%).Kesempatan mendapatkan pengalaman dan pencapaian kompetensi klinis mahasiswa di UGD belumlah optimal. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hambatan seperti jumlah pasien dan bimbingan yang kurang serta sikap penerimaan dan kerjasama staf perawat.Kata Kunci: Pengalaman belajar klinis dan pendidikan kedokteran.ARTIKEL PENELITIAN9AbstractClinical competency in management of emergency cases is one of the very important competencies of medical graduate. Therefore, this important to recognize, does the clinical clerkship in Emergency Department (ED) provide adequate learning for medical students?.A cross sectional study was conducted between September 2007 and March 2008 in Faculty of Medicine of Andalas University. The data was gathered by structured questionnaire which majority of the questions are scale system. Respondents of the study are the students who are doing clinical attachment in ED when the study being conducted (two groups of rotation with total 110 students). Majority of the quantitative data has been analysed descriptively. To investigate difference clinical learning experiences and competencies between male and female students has been used statistical analysis of t-test.In average, the students obtain clinical learning experiences in medium level (above scale 3), in which there is no difference between male and female (p>0.05). Specifically, experience in conducting airway management is the lowest scale (2.11). Most of the students (66.4%) encounter barriers to gain clinical experience. They feel that the main barriers in obtaining clinical learning experiences are limited number of the patients (39.7%), inadequate supervision (32.9%) and nursing staff attitude (16.4%).The students do not get optimal clinical learning experience and competencies in ED. These are influenced by limited number of patients, inadequate supervision and attitude of nursing staffs.Keywords:Clinical learning experiences and and medical education.
PENGGUNAAN IV KATETER PADA PENATALAKSAAN EMFISEMA SUBKUTIS Oea Khairsyaf; Irvan Medison
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.759 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakDilaporkan seorang wanita usia 24 tahun di rujuk ke RSUP DR. M Djamil Padang dengan keluhan utama sesak nafas sejak tiga hari sebelumnya. Sesak nafas disertai oleh pembengkakan pada leher, wajah dan dinding dada. Pada riwayat penyakit sebelumnya didapatkan ia telah menderita asma sejak masa anak-anak.Diagnosis ditegakkan sebagai emfisema subkutis akibat eksaserbasi asma berat. Penatalaksanaan terapi berupa pemasangan kateter abocath no.14F yang telah di modifikasi subkutan.Pasien di rawat selama empat hari, kemudian dibolehkan pulang.Kata kunci: emfisema – asma – IV kateterAbstractTwenty four years old female patient admitted to the hospital with symptom of dyspnea since three days before entered the hospital. Dyspnea was accompanied by swelling in the neck, face and chest wall. She had suffered of asthma since a child.Patient was diagnosed as subcutaneous emphysema due to severe excacerbation of asthma. The treatment was treated with the insertion of modified abocath no. 14F subcutaneously.The patient was hospitalized for 4 days and went home with recovery.Keywords : emphysema – asthma – IV catheterLAPORAN KASUS
PENGARUH EKSTRAK MENGKUDU TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID DARAH DAN AKTIVITAS KATALASE TIKUS DM YANG DIINDUKSI ALOKSAN Rauza Sukma Rita; Eti Yerizel; Nursal Asbiran; Husnil Kadri
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.126 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakPenelitian yang menyimpulkan bahwa stres oksidatif meningkat pada penyakit diabetes mellitus telah cukup banyak. Stres oksidatif tersebut dapat diartikan sebagai suatu ketidakseimbangan antara prooksidan (radikal bebas) dengan antioksidan, karena antioksidan tidak mampu meredam peningkatan prooksidan. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh asupan ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia linn) yang berfungsi sebagai antioksidan terhadap kadar malondialdehid (penanda prooksidan) dan enzim katalase (penanda antioksidan) pada tikus diabetes karena induksi aloksan.Penelitian eksperimental ini dilakukan pada 12 ekor tikus putih dengan berat badan 200-250 gram yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (hanya diberi makan dan minum), kelompok kontrol positif (makan dan minum,serta diinduksi aloksan), kelompok perlakuan (makan dan minum, diinduksi aloksan, dan diberi ekstrak mengkudu (500 mg/kg BB/hari) selama 12 hari. Data yang diperoleh dianalisa secara statistik dengan uji Anova dengan derajat kepercayaan 95%.Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antar kelompok (p<0,05), dimana rerata kadar MDA darah kelompok kontrol negatif (4,2610,427 nmol/ml), kelompok kontrol positif (5,6050,391 nmol/ml), kelompok perlakuan (4,2610,427 nmol/ml) dan rerata aktivitas katalase kelompok kontrol negatif (6,5800,277 unit/mg), kelompok kontrol positif (4,9540,485 unit/mg), kelompok perlakuan (6,3140,651 unit/mg).Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak mengkudu dapat menu-runkan kadar MDA darah dan meningkatkan aktivitas enzim katalase tikus DM yang diinduksi aloksan.Kata kunci: ekstrak mengkudu – kadar MDA – aktivitas katalase – aloksan – tikus diabetesAbstractThere were so many study concluded that oxidative stress increased in diabetes mellitus. Oxidative stress can be defined as an imbalance between prooxidants and antioxidants, because antioxidants could not quench overARTIKEL PENELITIAN55production of prooxidants. This study investigated the effect of mengkudu extract (Morinda citrifolia linn) as antioxidant on malondialdehyde (MDA) level (prooxidant marker) and catalase (antioxidant marker) in alloxan induced diabetic rats.This experimental study had been carried out to 12 rats with 200-250 gram weight which divided into three group of four rats each, i.e. negative control, positive control (alloxan induced), and the group was treated by alloxan induced which followed by mengkudu extract oral (500mg/weight/day) for 12 days. The result was analyzed by using one way Anova with confidence interval 95%.There were significantly different in groups (p<0,05). The MDA level in negative control group is 4,2610,427 nmol/ml, positive control group is 5,6050,391 nmol/ml, and the group was treated by alloxan induced which followed by mengkudu extract oral is 4,2610,427 nmol/ml. Catalase activity in negative control group is 6,5800,277 unit/mg, positive control group is 4,9540,485 unit/mg, and the last group is 6,3140,651 unit/mg.The conclusion is mengkudu extract has capability to quench MDA level and increasing catalase activity in alloxan induced diabetic rats.Keywords : mengkudu extract – MDA level – catalase activity – aloksan – diabetic rats
PENCEGAHAN KOMPLIKASI TUBERCULOSIS AKIBAT PEMBERIAN TNF-α ANTAGONIS Huriatul Masdar
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.964 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakTNF-α antagonis telah digunakan secara luas dan menunjukan respon yang baik pada terapi penyakit-penyakit autoimun seperti Rheumatoid Artritis, psoriasis dan Inflammatory Bowel Diseases. Namun, beberapa penelitian melaporkan adanya komplikasi tuberculosis yang terjadi akibat penggunaan obat ini dalam jangka lama. Untuk meminimalisir komplikasi tersebut, skrining adanya TB dengan TST, IGRA dan pemeriksaan radiologi wajib dilakukan sebelum pemberian terapi dengan TNF-α antagonis. Pemeriksaan berkala adanya TB juga harus dilakukan selama pemberian terapi. Selain itu, pemilihan obat yang tepat dengan komplikasi minimal juga harus dilakukan untuk menekan aktivasi TB tersebut.Kata Kunci: TNF-α, TNF-α antagonis, penyakit autoimun, tuberculosis.AbstractTNF-α antagonist has been widely used and showed well responses in autoimmune diseases therapy such as Rheumatoid Arthritis, psoriasis and Inflammatory Bowel Diseases. However, many studies showed that the long time used of those biological agents activate tuberculosis infection. To minimize the complication, first, TB screening by TST, IGRA and radiology examination must be performed to exclude latent TB before starting the therapy using TNF-α antagonist. Second, regular TB check must also be done during TNF-α antagonist treatment. At last, choosing right agents for better treatment with less complication must be considered.Keywords: TNF-α, TNF-α antagonist, autoimmune diseases, tuberculosis.
EFEK EKSTRAK MAHKOTA DEWA (Phaleria Macrocarpa) TERHADAP KADAR MALONDIALDEHID SERUM PADA MENCIT DIABETES MELITUS AKIBAT INDUKSI ALOKSAN Zulkarnain Edward; Eti Yerizel
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.737 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakStress oksidatif yang terjadi pada diabetes melitus (DM) yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan peroksidasi lipid yang menghasilkan malondialdehid (MDA). Untuk menekan stress oksidatif diperlukan antioksidan tambahan dari ekstrak mahkota dewa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek ekstrak mahkota dewa terhadap kadar malondealdehide serum pada mencit DM akibat induksi aloksan.Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dengan menggunakan binatang percobaan 12 ekor mencit yang berumur 3 bulan. Binatang percobaan dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif (175 mg aloksan/kg BB) dan kelompok perlakuan (175 mg aloksan/kg BB dan 500 mg ekstrak mahkota dewa extract/kg BB). Data yang didapat dianalisa secara statistik dengan uji One Way Anova.Hasil penelitian menunjukan kadar MDA serum kelompok kontrol negatif 4,43 + 0,02 nmol/ml, kelompok kontrol positif 5,32 + 0,74 nmol/ml dan kelompok perlakuan 3,98 + 0,38 nmol/ml. Terdapat perbedaan yang bermakna (p˂0,05) antara kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak mahkota dewa bisa menurunkan kadar MDA serum pada mencit DM akibat induksi aloksan.Kata kunci : mahkota dewa, aloksan, diabetes melitus, MDAAbstractMalondialdehide (MDA) is the important marker of lipid peroxidation and showed that progression of diabetic evidence is corelated with oxidative stress and can be folowed up by MDA measurement. This research was conducted to study the effect of mahkota dewa extract on the MDA serum level on diabetes mellitus aloxan-induced rats.This research was held at Biochemistry Laboratory Medical Faculty of Andalas University Padang. Twelve Wistar rats of 3 months age were used. The rats wereARTIKEL PENELITIAN66grouped into 3 treatment i.e. 1) negative control, 2) positive control (175 mg aloxan/kg BW) and 3) treated group (175 mg aloxan/kg BW and 500 mg mahkota dewa extract/kg BW). The data was analyzed by one way anova test.The results showed that MDA serum level was 4.43 + 0.02 nmol/ml for the negative control group, 5.32 + 0.74 nmol/ml for positive control group and 3.98 + 0.38 nmol/ml for treated group. There were significant differences (p; 0.05) between negative control, positive control and treated groups. It can be concluded that the mahkota dewa extract decreases MDA level in diabetes mellitus aloxan-induced rats.Keywords : mahkota dewa, alloxan, diabetes mellitus, MDA
PERBANDINGAN EKSPRESI TUMOR NECROSIS FACTOR-α (TNF-α), INTERLEUKIN-1 (IL-1), DAN INTERLEUKIN-10 (IL-10) PADA LESI DAN NON-LESI PSORIASIS VULGARIS di RS. Dr. M. DJAMIL, PADANG Sri Lestari; Irma Primawati; Eryati Darwin
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.446 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakPatogenesis psoriasis dipengaruhi oleh sitokoin proinflamatori TNF-α, IL-1, dan sitokin anti-inflamatori IL-10. Dengan tehnik imunohistokimia dapat dideteksi TNF-α, IL-1, dan IL-10 pada jaringan kulit.Membandingkan jumlah ekspresi TNF-α, IL-1, dan IL-10 pada lesi dan non-lesi kulit dengan pemeriksaan imunohistokimia, dan hubungan jumlah ekspresi TNF-α, IL-1, dan IL-10 dengan derajad keparahan penyakit (skor PASI).Merupakan penelitian observasional dengan disain nested case control pada pasien psoriasis yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin, tahun 2003-2006. Untuk menghitung derajad keparahan penyakit dipakai skor PASI. Didapat 21 pasien (umur 21-68 tahun) yang ikut penelitian ini. Dilakukan biopsi dengan pewarnaan HE dan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi monoklonal. Perbandingan jumlah ekspresi TNF-α, IL-1, dan IL-10 dihitung dengan student’s t-test. Skor PASI dihitung dengan regression equation simplex, dan hubungan skor PASI dengan TNF-α, IL-1 dan IL-10 menggunakan Pearson’s correlation coefficient (r).Sebanyak 21 pasien (14 laki-laki, 7 perempuan), umur rata-rata 44,67±13,309. Lama menderita sakit antara 1-20 tahun (rata-rata 4,9±4,939). Nilai skor PASI antara 8,0 – 32,7(rata-rata 19,362±7,241). TNF-α, IL-1, dan IL-10 terwarnai kuat di dermis lesi psoriasis : TNF-α (20-35, mean 27.95±4.056) dibandingkan non-lesi kulit (0-1, mean 0.10±0.301), p< 0.0001; IL-1 (19-31, mean 23.67±3.411); and IL-10 (4-13, mean 8.52±2.562).Tidak terdapat ekspresi IL-1 and IL-10 pada non-lesi kulit. Tidak terdapat hubungan antara skor PASI dengan ekspresi TNF-α (r=0,365, p>0,05), IL-1(r=0.267, p>0.05), and IL-10 (r=0.054,p>0.05).Jumlah ekspresi TNF-α, IL-1, dan IL-10 meningkat secara signifikan pada lesi dibandingkan non-lesi kulit. Tidak terdapat hubungan antara skor PASI dengan ekspresi TNF-α, IL-1, dan IL-10 pada lesi kulit psoriatik.Kata kunci : Psoriasis vulgaris, TNF-α, IL-1, IL-10, PASIARTIKEL PENELITIAN30AbstractThe inflammatory cytokines (TNF-α, IL-1) and anti-inflammatory cytokine (IL-10) have been implicated in patogenesis of psoriasis. Immunohistochemistry has been used to detect TNF-α, IL-1, and IL-10 in skin.To compare the amount of TNF-α, IL-1, and IL-10 expressions in lesion and non- lesion psoriatic skin by immunohistochemistry examination, and the correlation of amounts of TNF-α, IL-1, and IL-10 expressions to disease severity degree (PASI score).A nested case control study was done among psoriatic pasients who attended to our policlinic during 2003-2006.The PASI score was used to measure of disease severity degree. There were 21 patients (ages 21- 68 yo). We did biopsy and stained using HE and histochemistry examination using monoclonal antibody. The expression amount of TNF-α, IL-1, and IL-10 were compared by student’s t-test. PASI scores were expressed using regression equation simplex, and the correlation between of PASI scores to TNF-α, IL-1, dan IL-10 were using Pearson’s correlation coefficient (r).Twenty one patients (14 men, 7 women), mean age 44.67±13.309. The duration of the disease were 1-20 tahun, mean 4.9±4.939. PASI score range 8.0 – 32.7 (mean 19.362±7.241). There were strong staining in dermis of skin lesions; TNF-α (20-35, mean 27.95±4.056) compared non-lesion skins (0-1, mean 0.10±0.301), p< 0.0001; IL-1 (19-31, mean 23.67±3.411); and IL-10 (4-13, mean 8.52±2.562).There were no expressions of IL-1 and IL-10 in non-lesion. No correlation between PASI scores and expressions of TNF-α (r=0,365, p>0,05), IL-1 (r=0.267, p>0.05), and IL-10 (r=0.054,p>0.05).The amount of TNF-α, IL-1, dan IL-10 expressions were increased significantly in the lesions compared non-lesion skin and there were no correlation between PASI scores to the expressions of the TNF-α, IL-1, and IL-10 in psoriatic skin.Keywords : Psoriasis vulgaris, TNF-α, IL-1, IL-10, PASI
FIBRILLARY ASTROCYTOMA Iskandar Syarif; Rismalisa Fitri
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (456.949 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakSeorang anak berumur 6,5 tahun yang menderita Fibrilary astrositoma dibawa ke rumah sakit dengan keluhan utama kaki kanan lemah sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, diplopia, dan kejang. Diagnosis berdasarkan CT-scan dan biopsy. Terapi suportif dilakukan sebelum pembedahan. Pembedahan terdiri dari 2 tahap, pertama berguna untuk menurunkan tekanan intrakranial dengan VP-shunt dan kedua untuk pengangkatan tumor. Reseksi tidak dapat dilakukan sehubungan dengan lokasi tumor. Tatalaksana dilanjutkan dengan radioterapi sebanyak 20 kali dengan dosis total 5000 Gy. Pasien meninggal 1 minggu setelah diperbolehkan pulang, hal ini disebabkan oleh herniasi. Kesimpulan, Fibrillary astrocytoma mempunyai prognosis buruk, karena sifatnya yang cenderung ganas walaupun mendapatkan terapi yang adekuat. Kata kunci : Fibrillary astrocytoma, VP-shunt, radioterapi.Abstract A girl 6.5 years old with Fibrillary astrocytoma was taken to hospital with chief complain right leg weakness since 2 weeks before admission, headache, diplopia and seizure. Diagnosis based on CT-scan imaging and biopsy. Supportive therapy was given to maintain before and after surgery. The surgery contained 2 phase, the first is VP-shunt to decrease intracranial pressure and the second is tumor resection. Tumor resection did not completely because of tumor location. The patient died caused by herniation after 1 week, when the patient allowed go home. Conclusion. Fibrillary astrocytoma was poor prognosis, because it is likely to be malignant despite adequate treatment. Keywords : Fibrillary astrocytoma, Vp-shunt, radiotherapyLAPORAN KASUS
POLA RESISTENSI KUMAN PENYEBAB DIARE TERHADAP ANTIBIOTIKA Yusri Dianne Jurnalis; Yorva Sayoet; Aslinar Aslinar
Majalah Kedokteran Andalas Vol 33, No 1: April 2009
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (430.867 KB) | DOI: 10.22338/mka.v33.i1.p%p.2009

Abstract

AbstrakResistensi kuman terhadap antibiotika sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional pada penyakit diare cenderung akan meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif. Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotika perlu dipantau agar dalam pengobatan penyakit diare dengan antibiotika dapat dilakukan pemilihan obat yang tepat.Untuk mengetahui pola resistensi kuman terhadap antibiotika pada pasien diare yang dirawat di bangsal IKA RS Dr. M. Djamil Padang dari Januari-Desember 2008.Data penelitian diperoleh dari catatan medik pasien diare yang dirawat di bangsal IKA dan dilakukan kultur dan sensitivitas dari sampel feses. Dilakukan uji resistensi terhadap kuman yang terdeteksi dengan antibiotika Ampisilin (Amp), Tetrasiklin (TE), Sulfametoxazole-Trimetoprim (STX), sebagai antibiotik ang paling banyak digunakan pada pasien diare.Dari hasil uji kultur dan sensitivitas pada 173 sampel feses didapatkan 3 jenis kuman yang terbanyak yaitu E.Coli sebanyak 92 (51.4%), Klebsiela sp 30 (16.8%), dan kuman Enterobacter sp 28 (15.6%). Resistensi kuman E.Coli terhadap antibotika AMP sebesar 53.3%, terhadap TE 67.4% dan terhadap STX 87%. Resistensi kuman Klebsiela sp terhadap antibiotika AMP sebesar 46%, terhadap TE 40% dan terhadap STX 73.3%. Dan resistensi kuman Enterobacter sp terhadap antibotika AMP sebesar 64.3%, terhadap TE 75% dan terhadap STX 82,1%.Kuman penyebab diare menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap Sulfametoxazole-Trimetoprim (STX).Kata kunci. resistensi, antibiotika, diareAbstractMicroorganisme resistance against antibiotic is highly influenced by intensity of antibiotics exposure. Irrational use of antibiotics in diarrhea tends to increase resistance of previously sensitive microorganism. Monitoring in antibiotics development resistance is required to achieve appropriate diarrhea therapy.ARTIKEL PENELITIAN42To assess microorganism resistance pattern against antibiotics in diarrhea patients hospitalized at Dr. M. Djamil General Hospital pediatric ward from January – December 2008.Study data obtained from culture of feces of diarrhea patients hospitalized in pediatric ward. Resistance test were performed using antibiotics Ampicillin (Amp), tetracycline (TE), sulphamethoxazole-trimethoprim (SXT), as the 3 most common antibiotic used for diarrhea.There were 173 feces samples performed culture and sensitivity test. Three microorganism species found frequently were E. coli (92; 51.4%), Klebsiella sp. (30; 16.8%), Enterobacter sp. (28; 15.6%). E. coli resistance to AMP were 53.3%, TE 67.4%, and SXT 87%. Resistance of Klebsiella sp. to AMP 46.7%, TE 40%, and SXT 73.3%. Enterobacter sp. resistance were 64.3%, 75%, and 82.1%, respectively.Sulphamethoxazole-trimethoprim was the highest resistance antibiotics against microorganism in acute diarrhea patients.Keywords : resistance, antibiotics, diarrhea

Page 1 of 2 | Total Record : 11


Filter by Year

2009 2009


Filter By Issues
All Issue Vol 46, No 5 (2023): Supplementary July 2023 Vol 46, No 4 (2023): Online Juli 2023 Vol 46, No 3 (2023): Supplementary May 2023 Vol 46, No 2 (2023): Online April 2023 Vol 46, No 1 (2023): Online Januari 2023 Vol 46, No 6 (2023): Online Oktober Vol 45, No 4 (2022): Online October 2022 Vol 45, No 3 (2022): Online July 2022 Vol 45, No 2 (2022): Online April 2022 Vol 45, No 1 (2022): Online Januari 2022 Vol 44, No 7 (2021): Online Desember 2021 Vol 44, No 6 (2021): Online November 2021 Vol 44, No 5 (2021): Online Oktober 2021 Vol 44, No 4 (2021): Online September 2021 Vol 44, No 3 (2021): Online August 2021 Vol 44, No 2 (2021): Online July 2021 Vol 44, No 1 (2021) Vol 43, No 2 (2020): Online Mei 2020 Vol 43, No 1 (2020): Published in January 2020 Vol 42, No 3 (2019): Published in September 2019 Vol 42, No 3S (2019): Published in November 2019 Vol 42, No 2 (2019): Published in May 2019 Vol 42, No 1 (2019): Published in January 2019 Vol 41, No 3 (2018): Published in September 2018 Vol 41, No 2 (2018): Published in May 2018 Vol 41, No 1 (2018): Published in January 2018 Vol 40, No 2 (2017): Published in September 2017 Vol 40, No 1 (2017): Published in May 2017 Vol 39, No 2 (2016): Published in August 2016 Vol 39, No 1 (2016): Published in April 2016 Vol 38, No 3 (2015): Published in December 2015 Vol 38, No 2 (2015): Published in September 2015 Vol 38 (2015): Supplement 1 | Published in September 2015 Vol 38, No 1 (2015): Published in May 2015 Vol 37, No 3 (2014): Published in December 2014 Vol 37, No 2 (2014): Published in September 2014 Vol 37 (2014): Supplement 2 | Published in December 2014 Vol 37 (2014): Supplement 1 | Published in March 2014 Vol 37, No 1 (2014): Published in May 2014 Vol 36, No 2 (2012): Published in August 2012 Vol 36, No 1 (2012): Published in April 2012 Vol 35, No 2 (2011): Published in August 2011 Vol 35, No 1 (2011): Published in April 2011 Vol 34, No 2 (2010): Published in August 2010 Vol 34, No 1 (2010): Published in April 2010 Vol 33, No 2: Agustus 2009 Vol 33, No 1: April 2009 Vol 32, No 2: Agustus 2008 Vol 32, No 1: April 2008 More Issue