cover
Contact Name
Apriana Vinasyiam
Contact Email
akuakultur.indonesia@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
akuakultur.indonesia@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Akuakultur Indonesia
ISSN : 14125269     EISSN : 23546700     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Jurnal Akuakultur Indonesia (JAI) merupakan salah satu sarana penyebarluasan informasi hasil-hasil penelitian serta kemajuan iptek dalam bidang akuakultur yang dikelola oleh Departemen Budidaya Perairan, FPIK–IPB. Sejak tahun 2005 penerbitan jurnal dilakukan 2 kali per tahun setiap bulan Januari dan Juli. Jumlah naskah yang diterbitkan per tahun relatif konsisten yaitu 23–30 naskah per tahun atau minimal 200 halaman.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia" : 10 Documents clear
Production performance of white shrimp Litopenaeus vannamei with super-intensive culture on different rearing densities Andhika Rakhmanda; Agung Pribadi; Parjiyo Parjiyo; Bobby Indra Gunawan Wibisono
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.56-64

Abstract

This research aimed to evaluate the production performance of white shrimp Litopenaeus vannamei with super-intensive culture on different rearing densities. The research was conducted at PT. Dewi Laut Aquaculture, Cikelet, Garut, West Java. As many of 8 ponds were used and divided into 2 groups based on the stock density of shrimp, 550 ind/m2 and 650 ind/m2, and reared for 99 days. The results showed that super-intensive shrimp culture at the density of 550–650 ind/m2 potentially produced shrimp with average body weight ranged from 15.91–19.31 g, survival rate 62.67–87.95%, growth 0.16 to 0.20 g/day, FCR 1.35–1.66, and productivity reach 5.55–9.19 kg/m2. There were no significant differences between the two stocking densities in body weight, growth, and feed conversion performance, while ponds with higher rearing density had better survival and productivity than ponds with lower rearing density. L. vannamei cultured at a density of 650 ind/m2 produces the best performance and most feasible to be applied in super-intensive white shrimp cultivation. Keywords: Litopenaeus vannamei, super-intensive, high-density, production performance ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja produksi udang vaname pada sistem super- intensif dengan padat penebaran berbeda. Penelitian dilaksanakan di tambak PT. Dewi Laut Aquaculture, Cikelet, Garut, Jawa Barat, menggunakan 8 petak tambak. Tambak dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing 4 petak tambak dengan padat tebar udang 550 ekor/m2 dan 4 petak tambak lainnya dengan padat tebar 650 ekor/m2 dengan masa pemeliharaan 99 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya udang vaname pada sistem super-intensif dengan padat tebar 550–650 ekor/m2 dapat menghasilkan udang dengan bobot rata-rata berkisar antara 15.91–19.31 g, sintasan 62.67–87.95%, pertumbuhan 0.16–0.20 g/hari, konversi pakan (FCR) 1.35–1.66, dan produktivitas mencapai 5.55–9.19 kg/m2. Tidak ada perbedaan nyata antara kedua padat penebaran pada kinerja bobot, pertumbuhan harian, dan FCR; sementara tambak dengan kepadatan tinggi memiliki nilai sintasan dan produktivitas yang lebih tinggi dari tambak dengan kepadatan rendah. Padat penebaran 650 ekor/m2 menghasilkan kinerja produksi terbaik dan paling layak untuk diaplikasikan dalam budidaya udang vaname super-intensif. Kata kunci : Litopenaeus vannamei, padat tebar tinggi, super-intensif, kinerja produksi
Evaluation of karamunting Melastoma malabathricum L leaf extract on gonad development and growth performance of tilapia Oreochromis niloticus Ermianus Samalei; Muhammad Zairin Jr.; Odang Carman; Muhammad Agus Suprayudi
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.1-13

Abstract

The objective of this study was to determine the optimum dose of melastoma Melastoma malabathricum leaf extract that can inhibit the gonad development of Nile tilapia and increase its growth rate. This study used a completely randomized design containing five extract dose treatments (0, 0.5, 1, 2, and 4 g/kg diet doses) and three replications. The undifferentiated Nile tilapia larvae (7 days post hatching) were randomly distributed (n=30) to fifteen aquaria (100×50×50 cm3) and maintained for 112 days using a common recirculation system. The results showed that all dose treatments were not significantly different (P>0.05) in gonadosomatic index values of the D84 and D98 samplings. However, the 1 g/kg diet (D112) was significantly different (P<0.05) in all dose treatments. The final histological results (D112) showed that the 1 g/kg diet obtained the highest inhibition level of the testis and ovary developments, which were still in stage II compared to 0.5 g/kg diet (stage III) and control (stage IV and V). The highest average weight, absolute growth rate, and specific growth rate were obtained in the 1 g/kg diet dose which was significantly different (P<0.05) compared to the control. The percentage of males increased significantly (P<0.05) following the increased dose treatment fed to the fish (4 g/kg diet) with 80.12±4.67%, but the survival rate significantly decreased (P<0.05) compared to the control. The administration of 1 g/kg diet dose obtained the best dose and potential as an inhibiting agent for gonad development in Nile tilapia. Keywords: Melastoma malabathricum, gonad inhibition, cytosterol, Oreochromis niloticus ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menentukan dosis optimum ekstrak daun melastoma Melastoma malabathricum yang dapat menghambat perkembangan gonad ikan nila sehingga meningkatkan laju pertumbuhan somatik dan mengevaluasi efektivitasnya sebagai agen seks reversal alami. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri atas lima perlakuan (dosis 0; 0,5; 1,0; 2,0; dan 4,0 g/kg pakan) dan tiga ulangan. Larva ikan nila sebelum kelamin terdiferensiasi (7 hari pascatetas) secara acak (n=30) dimasukkan ke dalam 15 buah akuarium (100×50×50 cm3) dan dipelihara selama 112 hari pada sistem resirkulasi. Hasil menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap nilai GSI pada sampling D84 dan D98. Namun, perlakuan 1 g/kg pakan pada sampling D112 berbeda nyata (P<0,05) dengan semua perlakuan. Hasil histologi terakhir (D112) menunjukkan bahwa perlakuan 1 g/kg pakan mengindikasikan penghambatan perkembangan testis dan ovari yang paling besar yang masing-masing berada pada TKG II, dibandingkan dengan perlakuan 0,5 g/kg pakan (TKG III), dan dibandingkan dengan kontrol (TKG IV dan TKG V). Pengamatan terhadap bobot rata-rata, laju pertumbuhan mutlak, dan laju pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan 1 g/kg pakan yang berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol. Persentase jantan meningkat secara signifikan (P<0,05) seiring meningkatnya konsentrasi ekstrak yang mencapai 80,12±4,67% pada perlakuan 4 g/kg pakan, namun tingkat kelangsungan hidup menurun secara signifikan (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol. Pada keseluruhan parameter, pemberian ekstrak 1 g/kg pakan merupakan dosis terbaik dan potensial sebagai agen penghambat perkembangan gonad pada ikan nila. Kata kunci:Melastoma malabathricum, penghambatan gonad, sitosterol, Oreochromis niloticus
Identification of sex linked molecular markers in Indonesian giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii Novi Megawati; Alimuddin; Ratu Siti Aliah
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.93-100

Abstract

Male giant freshwater prawn grows faster than its female. Therefore, male mono sex culture is one of the solutions to improve aquaculture production. The all-male population of giant freshwater prawns can be produced by mating the neo-females (sex-reversed males) with the normal males. This study was aimed to identify the molecular markers related to the giant freshwater prawn sex. Specific primers were designed based on female-specific AFLP marker sequences to distinguish male and female sex on the prawns. Three locations for obtaining the Indonesian prawns in this study were Aceh, Sukabumi, and Solo. Based on the PCR analysis with MrMKn primers, 30 samples of female prawns had 100 % occurred DNA bands, while no DNA bands were obtained in all-male prawns from Solo. Nevertheless, MrMKn primers still detected 10–16 % male prawns from Sukabumi and Aceh. This indicated that MrMKn primers could not yet distinguish the male prawns for all populations. Moreover, the results suggested that the three prawn samples were different based on female-specific gene sequence. The MrMKn primers have the opportunity to be used in the selection of the female ZZ (neo-female) prawns from Solo without progeny test, so that the determination of female ZZ candidates can be identified more quickly. However, the primer still needs to be redesigned to distinguish neo-female prawns from Sukabumi and Aceh. Keyword: giant freshwater prawn, mono sex, neo-female, sex markers ABSTRAK Udang galah jantan lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan betinanya sehingga budidaya udang galah monoseks jantan menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan produksi budidaya. Populasi monoseks jantan udang galah dapat dihasilkan dengan mengawinkan neofemales (sex-reversed males) dengan jantan normal. Sistem kromosom pada udang galah berbeda dengan ikan. Individu betina bersifat heterogametik (WZ) dan jantan homogametik (ZZ). Dalam perkembangannya, terdapat kendala dalam menentukan individu neofemale yang memiliki kromosom ZZ. Berdasarkan pendekatan sistem kromosom tersebut, maka dapat dijadikan acuan untuk membuat marka molekuler terkait kelamin udang galah. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi marka molekuler terkait jenis kelamin pada udang galah. Primer spesifik didesain berdasarkan sekuen female specific AFLP marker untuk membedakan kelamin jantan dan betina pada udang galah. Tiga sumber udang galah digunakan dalam penelitian ini, yaitu Aceh, Sukabumi, dan Solo. Berdasarkan hasil analisis PCR dengan primer MrKNn, dari 30 sampel pada kelompok udang galah betina diperoleh hasil 100% pita DNA muncul, dan tidak terdapat pita DNA pada semua udang galah jantan asal Solo. Namun demikian, primer MrMKn tersebut masih mendeteksi sebesar 10–16% pada udang galah asal Sukabumi dan Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa primer MrMKn belum dapat membedakan udang galah jantan dari semua populasi. Selain itu, dapat dikatakan bahwa ketiga udang galah uji adalah berbeda, khususnya sekuen gen spesifik betina. Primer MrMKn berpeluang digunakan dalam proses seleksi udang galah betina ZZ (neofemale) asal Solo tanpa harus melalui uji progeni sehingga penentuan kandidat betina ZZ lebih cepat teridentifikasi. Akan tetapi, primer masih perlu didesain ulang untuk membedakan neofemale asal Sukabumi dan Aceh. Kata kunci: marka kelamin, monoseks, neo-female, udang galah
The performance of gold-mouth turban Turbo chrysostomus larvae in different temperature and salinity media Aris Sando Hamzah; Kukuh Nirmala; Eddy Supriyono; Irzal Effendi
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.14-23

Abstract

Suhu dan salinitas merupakan parameter kualitas air yang berperan penting terhadap proses fisiologis siput mata bulan (T. chrysostomus) sehingga berdampak terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi pengaruh suhu dan salinitas terhadap perkembangan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva siput mata bulan (T. chrysostomus). Stadia pre-torsion veliger dicapai sekitar 11 jam 36 menit setelah fertilisasi atau sekitar 3 jam setelah trocophor. Stadia post-torsion veliger awal ditandai dengan cangkang yang telah terbentuk sempurna dan pada post-torsion veliger akhir, larva sudah mengembangkan operkulum, kaki, dan propodium. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perlakuan A1B3 memberikan waktu pencapaian stadia post-torsion veliger awal dan post-torsion veliger akhir tercepat yaitu masing-masing 19 jam 36 menit dan 22 jam 36 menit setelah pembuahan. Sedangkan perlakuan A1B1 memberikan waktu pencapaian stadia post-torsion veliger awal dan post-torsion veliger akhir terlama yaitu masing-masing 20 jam 30 menit dan 23 jam 25 menit setelah pembuahan. Suhu tidak berpengaruh nyata sedangkan salinitas berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan harian larva siput mata bulan. Laju pertumbuhan harian tertinggi pada suhu 27±0.5oC (A1) tercatat pada perlakuan B3 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B2. Suhu dan salinitas memberikan pengaruh yang signifikan namun interaksi keduanya tidak menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva siput mata bulan. Perlakuan A1B3 memberikan persentase tingkat kelangsungan hidup tertinggi dan tidak menunjukan nilai yang berbeda nyata dengan perlakuan A1B2. Parameter kualitas air yang diperoleh masih mendukung performa larva siput mata bulan hingga mencapai stadia juvenil.
Growth performance, immune response, and resistance of Nile tilapia fed paraprobiotic Bacillus sp. NP5 against Streptococcus agalactiae infection Aldy Mulyadin; Widanarni Widanarni; Munti Yuhana; Dinamella Wahjuningrum
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.34-46

Abstract

ABSTRACT This study was aimed to evaluate the effectiveness of Bacillus sp. NP5 paraprobiotic administration through commercial feed on growth performance, immune response, and resistance of Nile tilapia against Streptococcus agalactiae infection. Bacillus sp. NP5 paraprobiotic was produced through heat-inactivation at 95°C for 1 h, then performed a viability test on tryptic soy agar (TSA) media and incubated for 24 hours. Paraprobiotics could be used whether the bacteria did not grow on the TSA media. This study used a completely randomized design, containing three treatments with five replications, i.e. 1% (v/w) probiotic addition, 1% (v/w) paraprobiotic addition, and no addition of probiotic or paraprobiotic (control). The experimental fish were reared for 30 days. On day 31 of rearing, fish were challenged with S. agalactiae (107 CFU/mL) through intraperitoneal injection route, while the negative control was injected with PBS. This study results significantly improved growth performances and immune responses (P<0.05), compared to control after 30 days of probiotic and paraprobiotic Bacillus sp. NP5 administration. After challenge test, increased immune responses in probiotic and paraprobiotic of Bacillus sp. NP5 treatment had higher survival rates (P<0.05) than positive control. The administration of Bacillus sp. NP5 probiotic and paraprobiotic through commercial feed were effective in increasing growth performance, immune response, and resistance of Nile tilapia against S. agalactiae infection. Keywords: Bacillus sp. NP5, Nile tilapia, paraprobiotic, Streptococcus agalactiae ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas pemberian paraprobiotik Bacillus sp. NP5 melalui pakan dalam meningkatkan kinerja pertumbuhan, respons imun, dan resistansi ikan nila terhadap infeksi Streptococcus agalactiae. Proses pembuatan bakteri paraprobiotik yaitu Bacillus sp. NP5 diinaktivasi panas pada suhu 95°C selama 1 jam, dilanjutkan dengan pengujian viabilitas dengan menyebarkannya pada media tryptic soy agar kemudian diinkubasi selama 24 jam. Jika bakteri tidak tumbuh, maka paraprobiotik dapat digunakan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan dan lima ulangan, yaitu penambahan probiotik 1% (v/w), penambahan paraprobiotik 1% (v/w), dan tanpa penambahan probiotik atau paraprobiotik (kontrol). Ikan perlakuan dipelihara selama 30 hari dan pada hari ke-31, ikan diuji tantang dengan S. agalactiae (107 CFU/mL) melalui injeksi intraperitoneal, sementara perlakuan kontrol negatif diinjeksi dengan PBS. Hasil penelitian setelah 30 hari pemberian probiotik dan paraprobiotik Bacillus sp. NP5 menunjukkan kinerja pertumbuhan dan respons imun yang meningkat signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol. Pascauji tantang, peningkatan respons imun pada perlakuan probiotik dan paraprobiotik Bacillus sp. NP5 menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan kontrol positif. Pemberian probiotik dan paraprobiotik Bacillus sp. NP5 melalui pakan dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan, respons imun, dan resistansi ikan nila terhadap infeksi Streptococcus agalactiae. Kata kunci: Bacillus sp. NP5, ikan nila, paraprobiotik, Streptococcus agalactiae
Production Performance and Nitrogen and Phosphorus Mass Balance in Biofloc-based African Catfish Intensive Culture at Different Densities Sumitro; Tatag Budiardi; Hilmi Fauzi; Julie Ekasari
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.82-92

Abstract

This study aimed to evaluate the production performance and nitrogen and phosphorus mass balance of biofloc-based intensive African catfish Clarias gariepinus culture at different densities. African catfish with an average body weight of 2.64 ± 0.06 g was randomly distributed into 12 units of round tank with a working volume of 2 m3 of water and maintained for 8 weeks. A completely randomized experimental design with four treatments (in triplicates), i.e. a control treatment at a fish density of 500 fish m-3 with regular water exchange and without organic carbon source addition, and biofloc treatments (BFT) at three different densities, i.e. 500 fish m-3 (BFT500), 750 fish m-3 (BFT750), and 1000 fish m-3 (BFT1000). Biofloc systems were performed with a regular addition of tapioca flour (40% C). The production performance between biofloc system and the control was not significantly different, however water and nitrogen utilizations were significantly more efficient in biofloc system than those of the control. The highest fish specific growth rate was observed in BFT1000 and BFT500 (6.01% day-1 and 5.96% day-1, respectively) (P<0.05). Fish density significantly affected the fish growth performance and productivity in biofloc systems, but not nitrogen and phosphorus utilizations. In conclusion, higher fish density significantly increased the production and water utilization efficiency in biofloc systems, but has no effect on nitrogen and phosphorus utilization efficiency. Furthermore, increasing the fish density could significantly reduce the fish survival and require more efforts to control biofloc biomass in the culture system.
Dietary supplementation of betain to improve the growth and feed utilization in hybrid grouper (Epinephelus lanceolatus♂ × Epinephelus fuscoguttatus♀) juvenile Idul La Muhamad; Mia Setiawati; Wiyoto Wiyoto; Julie Ekasari
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.24-33

Abstract

Betaine plays some important roles in feed utilization and fish metabolism. The aim of this study was to evaluate the effect of dietary betaine supplementation on the growth performance and feed utilizationin hybrid grouper (Epinephelus lanceolatus♂ × Epinephelus fuscoguttatus♀). A completely randomized experimental design with four dietary levels of betaine, i.e.0.0%, 0.5%, 1.0%, and 2.0% in quadruplicate was done.Hybrid grouper juvenile obtained from Brackishwater Aquaculture Development Center, Situbondo, with an initial body length and body weight of 5.89 ± 0.05 cm and 2.86 ± 0.09 g, respectively was used as the tested animal. The fish was maintained in 60 cm x 40 cm x 40 cm aquaria with 75 L working capacity with individual recirculating system with a fish density of 15 fish/aquarium for 50 days. Experimental diet was provided to apparent satiation twice a day. The results of this study demonstrated that dietary betaine at a level of 0.5% resulted in higher feed utilization efficiency, protein and methionine retentions, and growth performance and lower ammonia excretion than those of the control (P<0.05). Higher antioxidative status was indicated by the lower malondialdehyde (MDA) in the liver of fish fed with betaine supplemented diets at levels of 1 - 2%. In conclusion, betaine supplementation of 0.5% could increase feed utilization efficiency and growth performance of hybdrid grouper. Keywods: Betaine, Hybrid Grouper, Growth Performance, Feed, Antioxidative Status ABSTRAK Betain memegang beberapa peranan penting dalam pemanfaatan pakan dan metabolisme pada ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi betain pada pakan terhadap kinerja pertumbuhan dan pemanfaatan pakan pada juvenil ikan kerapu hybrid cantang (Epinephelus lanceolatus♂ × Epinephelus fuscoguttatus♀). Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan pakan dengan tingkat suplementasi betain yang berbeda, yaitu 0.0%, 0.5%, 1.0%, dan 2.0% dengan empat ulangan. Juvenil ikan kerapu cantang yang berasal dari Balai Pengembangan Budidaya Laut Situbondo dengan panjang dan bobot awal masing-masing 5.89 ± 0.05 cm and 2.86 ± 0.09 g digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian ini. Ikan dipelihara dalam akuarium berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm dengan kapasitas 75L yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi individu dengan kepadatan 15 ekor per akuarium selama 50 hari. Pakan uji diberikan hingga sekenyangnya dua kali sehari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suplementasi betain sebanyak 0.5% menghasilkan pemanfaatan pakan, retensi protein, retensi metionina, kinerja pertumbuhan dan ekskresi ammonia yang lebih baik daripada kontrol (P<0.05). Status antioksidasi yang lebih juga yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya konsentrasi malondialdehid (MDA) pada hati ikan yang diberi pakan dengan suplementasi 1-2% betain. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi betain sebanyak 0.5% dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan dan kinerja pertumbuhan ikan kerapu cantang.
Effects of nano-scale nutrients supplement on natural productivity of Thalassiosira sp. and growth performance of Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei, reared under intensive conditions using concrete tank culture system Romi Novriadi; Rifqi Fadhilah; Aldy Eka Wahyudi; Dea Ananda Prayogi; Ilham Ilham; Sunil Nanda
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.47-55

Abstract

ABSTRACT The aim of this study was to evaluate the use of unique mixture of nano-nutrient to extent the growth of diatom Thalassiosira sp. and the effect to the water quality, growth performance, and protein composition on the whole body of the Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei. There are four treatments with four replicates per treatment with the use of commercial nano-nutrients (Aquaritin Aquaculture or AA) namely: (1) 0.70 mg/L; (2) 0.525 mg/L, (3) 0.35 mg/L, and (4) without any AA application, but included standard application of using urea and NPK fertilizers to enhance the growth of diatom. The use of AA was successful to trigger the growth of Thalassiosira sp. Group of shrimp treated with 0.70 mg/L had better growth rate. Results of feeding trial indicated that adding AA could also improve the biomass, final mean weight, survival, percentage weight gain, and better feed utilization in terms of FCR. The addition of AA to enhance the growth of Thalassiosira sp. also provides a beneficial impact to the protein composition in whole body of shrimp. Biologically, the protein composition in the whole body of shrimp treated with 0.7 mg/L was higher. The findings from this study showed that the addition of commercial nano-nutrient could enhance the growth of Thalassiosira sp. and led to better growth of shrimp cultured in concrete tank Key words: Growth, Litopenaeus vannamei, nano-nutrients, protein composition, Thalassiosira sp. ABSTRAK Tujuan penelitian yaitu mengevalusi penggunaan campuran unik nano-nutrien untuk meningkatkan pertumbuhan diatom Thalassiosira sp. dan pengaruhnya terhadap kualitas air, laju pertumbuhan, dan komposisi protein pada tubuh udang L. vannamei. Terdapat empat perlakuan dan empat ulangan per perlakuan dengan penggunaan nano-nutrisi komersial (Aquaritin Aquaculture atau AA) yaitu: (1) 0,70 mg/L; (2) 0,525 mg/L; (3) 0,35 mg/L, dan (4) tanpa pemberian AA, tetapi menggunakan penerapan standar pupuk urea dan NPK untuk pertumbuhan diatom. Penggunaan AA berhasil memicu pertumbuhan Thalassiosira sp. Kelompok udang yang diberi perlakuan 0,70 mg/L memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik. Hasil uji coba pemberian pakan menunjukkan bahwa penambahan AA juga dapat meningkatkan biomassa, bobot rata-rata akhir, kelangsungan hidup, persentase pertambahan bobot dan pemanfaatan pakan yang lebih baik dalam hal FCR. Penambahan AA untuk meningkatkan pertumbuhan Thalassiosira sp. juga memberikan dampak yang menguntungkan bagi komposisi protein di seluruh tubuh udang. Secara biologis komposisi protein di tubuh udang dengan perlakuan 0,70 mg/L lebih tinggi. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa penambahan nano-nutrien komersial dapat meningkatkan pertumbuhan Thalassiosira sp. dan mendorong pertumbuhan udang bada sistem budidaya di bak beton. Kata kunci: Komposisi protein, Litopenaeus vannamei, nano-nutrien, pertumbuhan, Thalassiosira sp.
Performance of perisel as shelter and periphyton substrate in the floating cage of Pacific white shrimp culture Rifka Liling Palinggi; Tatag Budiardi; Daniel Djokosetiyanto
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.65-71

Abstract

Shrimp culture in the floating cage is expected to reduce the utilization of land and its possible negative impact to the environment. The advantages of shrimp farming in the sea include the high dissolved oxygen concentration and the better meat quality. This research aimed to enhance the production performance of shrimp through the utilization of periphyton as a natural feed for shrimp. A completely randomized design with 3 treatments (in triplicates) were applied in this experiment, i.e floating cage without perishel (control), floating cage with PE perishel and PA perishel. Shrimp with body weight of 2.5 ± 0.2 g were stocked at the initial density of 2,000 shrimp in each cage, and maintained for 90 days. No significant difference was observed in the survival amongst treatments. The lowest feed conversion ratio (1.74) and coefficient of variance (3.21) were showed in treatment PA. The highest attachment and abundances of periphyton were found in treatment PA. It was concluded that the addition of perishel inside the floating cage may contribute as natural feed source for the shrimp and thus increase the production performance of shrimp. Keywords: floating cage, Litopenaeus vannamei, periphyton, perisel, shelter ABSTRAK Budidaya udang di KJA diharapkan dapat menekan isu pemanfaatan daratan sebagai tambak yang berdampak pada permasalahan lingkungan. Keunggulan laut untuk budidaya udang, antara lain adalah kadar oksigen terlarut relatif tinggi sehingga tidak perlu kincir, dan mutu daging udang yang dihasilkan relatif lebih baik. Penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan kinerja produksi dan memanfaatkan kesuburan perairan laut berupa perifiton sebagai pakan alami bagi udang. Penelitian ini terdiri atas tiga perlakuan, yakni: (A) kontrol (tanpa perishel), (B) jaring benang nilon (PE), dan (C) jaring benang serabut pendek (PA 6.6), masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan. Udang dengan bobot 2,5 ± 0,2 g ditebar sebanyak 2.000 ekor perwadah, dan dipelihara selama 90 hari. Hasil analisis kinerja produksi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antarperlakuan. Nilai konversi pakan terendah diperoleh pada perlakuan jaring benang PA dengan nilai 1,74. Nilai koefisien keragaman terendah diperoleh pada perlakuan jaring benang PA dengan nilai 3,21. Penempelan dan kepadatan perifiton yang cukup baik diperoleh pada jenis perishel jaring benang serabut pendek PA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan penambahan perishel sebagai shelter dan penumbuh perifiton diperoleh hasil produksi yang baik. Udang dapat memanfaatkan keberadaan perishel dalam wadah pemeliharaan sebagai tempat berlindung dan memperoleh makanan tambahan berupa pakan alami yang menempel pada perishel. Kata kunci: karamba jaring apung, perifiton, perisel, selter, udang vaname
Controlling the cannibalism of African catfish juvenile by 17β‒estradiol hormone administration and the stocking density determination Khoirotun Nisa Siregar; Fajar Maulana; Muhammad Zairin Jr.; Alimuddin Alimuddin; Widanarni Widanarni
Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia
Publisher : Indonesian Society of Scientific Aquaculture (ISSA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19027/jai.20.1.72-81

Abstract

An effort to increase the production of juvenile catfish is limited by the high mortality rate, especially caused by cannibalism. The hormonal treatment has been conducted as an effort to control cannibalism. This study used completely randomized factorial design, consisted of six treatments and three replications. There were two factors examined in this study, the first factor was different doses of 17β‒estradiol hormone (0, 30, and 60 mg estradiol‒17β/kg) incorporated in the feed, and the second factor was stocking density (150 and 300 fish/m2). Juvenile catfish with the size of 4.0 ± 0.1 cm were reared for 30 days in the 84 L aquarium. The results showed that hormone treatment could reduce cannibalism rate, type-I and II cannibalism compared to control (P<0.05). The results showed that the lowest of mortality was obtained in the treatment B (17β‒estradiol administration of 30 mg/kg, at stocking density of 150 fish/m2; P<0.05). The lowest cortisol level was found in treatment F, and the highest estradiol level was found in treatment F (17β‒estradiol administration of 60 mg/kg, at stocking density of 300 fish/m2; P<0.05). The lowest of blood glucose level was found in treatment B (P<0.05). The highest specific weight growth was found in the stocking density of 150 fish/m2 (P<0.05). The results of this study indicated that administration of 17β‒estradiol in feed could reduce the level of cannibalism in African catfish juvenile. Keywords: cannibalism, Juvenile, catfish, estradiol‒17β, cortisol ABSTRAK Upaya untuk meningkatkan produksi benih ikan lele dibatasi oleh tingginya angka kematian, terutama yang disebabkan oleh kanibalisme. Pendekatan hormonal telah dilakukan sebagai upaya pengendalian kanibalisme. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial, terdiri dari enam perlakuan dan tiga ulangan. Ada dua faktor yang diteliti dalam penelitian ini, faktor pertama adalah dosis hormon 17β‒estradiol yang berbeda (0, 30, dan 60 mg/kg) yang diberikan melalui pakan, dan faktor kedua adalah padat tebar (150 dan 300 ekor/m2). Benih ikan lele berukuran 4.0 ± 0.1 cm dipelihara selama 30 hari di akuarium (84 L). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hormon dapat menurunkan tingkat kanibalisme tipe‒I dan II dibandingkan kontrol (P<0.05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas terendah diperoleh pada perlakuan B (pemberian 17β‒estradiol 30 mg/kg, pada padat tebar 150 ekor/m2; P<0.05). Kadar kortisol terendah ditemukan pada perlakuan F, dan kadar estradiol tertinggi ditemukan pada perlakuan F (pemberian 17β‒estradiol 60 mg/kg, pada padat tebar 300 ekor/m2; P<0.05). Kadar glukosa darah terendah ditemukan pada perlakuan B (P<0.05). Pertumbuhan bobot spesifik tertinggi ditemukan pada padat tebar 150 ekor/m2 (P<0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hormon 17β‒estradiol dengan dosis 30 mg/kg pakan, dan padat tebar 150 ekor/m2 dapat menurunkan tingkat kanibalisme pada benih ikan lele di Afrika. Kata kunci: kanibalisme, juvenil, lele, 17β‒estradiol, kortisol

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2021 2021


Filter By Issues
All Issue Vol. 22 No. 2 (2023): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 22 No. 1 (2023): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 21 No. 2 (2022): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 21 No. 1 (2022): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 2 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 20 No. 1 (2021): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 19 No. 2 (2020): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 19 No. 1 (2020): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 18 No. 2 (2019): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 18 No. 1 (2019): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 17 No. 2 (2018): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 17 No. 1 (2018): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 16 No. 2 (2017): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 16 No. 1 (2017): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 15 No. 2 (2016): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 15 No. 1 (2016): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 14 No. 2 (2015): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 14 No. 1 (2015): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 13 No. 2 (2014): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 13 No. 1 (2014): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 12 No. 2 (2013): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 12 No. 1 (2013): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 11 No. 2 (2012): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 11 No. 1 (2012): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 10 No. 2 (2011): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 10 No. 1 (2011): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 9 No. 2 (2010): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 9 No. 1 (2010): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 8 No. 2 (2009): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 8 No. 1 (2009): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 7 No. 2 (2008): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 7 No. 1 (2008): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 6 No. 2 (2007): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 6 No. 1 (2007): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 5 No. 2 (2006): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 5 No. 1 (2006): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 4 No. 2 (2005): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 4 No. 1 (2005): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 3 No. 3 (2004): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 3 No. 2 (2004): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 3 No. 1 (2004): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 2 No. 2 (2003): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 2 No. 1 (2003): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 1 No. 3 (2002): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 1 No. 2 (2002): Jurnal Akuakultur Indonesia Vol. 1 No. 1 (2002): Jurnal Akuakultur Indonesia More Issue