Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

PERLUASAN ASAS LEGALITAS DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Febrian, Doly; Wilsa, Wilsa; Rachmad, Andi
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 6, No 1 (2024): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v6i1.783

Abstract

Dalam konteks masyarakat Indonesia, pandangan yang menyatakan bahwa dasar untuk melihat patut atau tidaknya suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum atau perbuatan pidana hanya ketentuan dalam Undang-undang yang harus ada sebelum perbuatan dilakukan merupakan pandangan yang kurang memuaskan. Hal ini karena dalam konteks masyarakat Indonesia, untuk melihat layak tidaknya suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum atau perbuatan pidana harus pula didasarkan pada “nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat”. Kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat diartikan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat saat melaksanakan aktivitas kesehariannya tanpa ada kekhawatiran akan ancaman atau perbuatan yang dapat merugikan antara individu dalam masyarakat. Dalam artian, asas legalitas selalu menuntut agar penetapan hukuman atas suatu perbuatan harus didahului oleh penetapan peraturan. Asas legalitas di Indonesia ini merupakan amanat fundamental KUHP Nasional yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang bertujuan jelas untuk memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memperkokoh rule of law. Terlepas dari penilaian bahwa Asas Legalitas ini memang sangat efektif dalam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan, muncul juga wacana bahwa asas legalitas ini dirasa kurang efektif bagi penegak hukum dalam merespon pesatnya perkembangan kejahatan dan bahkan dianggap sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar, yang oleh E Utrecht disebut sebagai kekurangan, maupun asas legalitas dalam perlindungan kepentingan-kepentingan kolektif, karena memungkinkan pembebasan pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam Peraturan Perundang-undangan. Mencegah terulangnya kembali perbuatan yang sama, mencegah terjadinya impunitas pelaku kejahatan dan mencegah terjadinya kekosongan hukum. Dengan tiga alasan tersebut, asas legalitas yang sering mengalami kebuntuhan ketika berhadapan dengan realitas dapat disimpangi secara selektif. 1 KUHP Nasional yang baru merupakan cerminan dari KUHP yang lama dari WvS tidak dibuang, sebab masih banyak ketentuan yang diadopsi, atau diadaptasi ke dalam KUHP baru. KUHP yang diberlakukan di Hindia Belanda saat itu berasal dari KUHP Belanda yang bersumber dari Code Penal Prancis.
KAJIAN HUKUM NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA RINGAN YANG DISELESAIKAN MELALUI PERADILAN ADAT ACEH (Studi Kasus Di Gampong Alue Canang Kec. Birem Bayeun Kab. Aceh Timur) Wahyu Siregar, Muhammad; Wilsa, Wilsa; Rachmad, Andi
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 4, No 2 (2022): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v4i2.483

Abstract

Tindak Pidana Ringan adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. salah satu bidang adat istiadat yang masih dilestarikan oleh masyarakat gampong di Aceh  adalah peradilan adat sebagai alternatif dalam menyelesaikan tindak pidana ringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui pengaturan dan pelaksanaan peradilan adat Aceh. Penelitian ini menggunakan dua metode yang digabungkan yaitu metode penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, dimana penelitian normatif merupakan penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan metode penelitian empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan penerapan hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan. Penyelesaian tindak pidana ringan sudah memiliki legalistas Terkait fungsi, prosedur, hak dan kewenangan serta wewenang yang diatur dalam peraturan Perundang-Undangan dan qanun Aceh. Ketentuan mengenai tindak pidana ringan telah diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) Qanun Aceh Nomor 9 tentang Pembinaan Adat Istiadat. Pelaksanaan penyelesaian tindak pidana ringan yang diselesaikan melalui peradilan adat di gampong Alue Canang sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana ringan salah satu yang sering terjadi adalah tindak pidana pencurian, penganiayaan dan lain sebagainya. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, maka pelaksanaan eksekusi dilakukan di Meunasah di depan umum, atau di tempat lain di rumah atau Mesjid (atas persetujuan bersama).
KOMUTASI HUKUMAN MATI PASAL 100 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 Renaldi, Ganang; Fuadi, Fuadi; Rachmad, Andi
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 6, No 1 (2024): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v6i1.773

Abstract

Hukum pidana mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan sebagai bentuk hukuman yang terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Perubahan hukuman mati menjadi hukuman mati dengan masa percobaan merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mencegah dan menghentikan praktik penyiksaan, Pasal 100 ayat (1) UU RI No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menegaskan bahwa “Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana”. Jika Narapidana berkelakukan baik di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) selama 10 tahun maka dengan adanya rekomendasi dari pihak lapas yang kemudian dituju ke Presiden dan presiden dapat memutuskan narapidana hukuman mati dapat diubah menjadi seumur hidup. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengaturan hukuman mati menurut KUHP Baru terdapat dalam ketentuan Pasal 64 Pasal 67 Pasal 98 Pasal 99 dan Pasal 100 dimana dalam KUHP yang baru pidana mati bukan lagi dianggap sebagai pidana pokok melainkan dianggap sebagai pidana alternatif, hal tersebut  sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat. Komutasi hukuman mati dalam Pasal 100 KUHP yang baru merupakan bentuk langkah progresif dengan membuka jalan tengah yang menjadi ius constituendum sebagai usaha harmonisasi bagi kelompok yang ingin mempertahankan hukuman mati (Retensionis) dan kelompok yang ingin menghapuskannya (Abolisionis). Komutasi hukuman mati semata-mata untuk keseimbangan kepentingan umum atau perlindungan masyarakat dan juga memperhatikan kepentingan atau perlindungan individu.
Peran Komisi Yudisial Sebagai Pengawas Hakim Dalam Memenuhi Rasa Keadilan Pada Masyarakat Nasution, Rahmad Maulana; Rachmad, Andi; Krisna, Liza Agnesta
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 5, No 1 (2023): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v5i1.764

Abstract

Komisi yudisial adalah lembaga pemerintah yang dibentuk setelah amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Komisi yudisial adalah lembaga pemerintah yang independen dengan kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung, serta kewenangan lain untuk mengukuhkan dan melindungi kehormatan, martabat dan perilaku hakim. Penelitian yang dilakukan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan melalui kajian teori, konsep, asas hukum serta pengujian Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan hasil penelitian. Pengaturan komisi yudisial dalam UUD NRI 1945 tidak terlepas dari kekuasaan kehakiman untuk tetap berpegang pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai profesionalisme. Landasan utama konsep pengawasan Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945. Tugas dan wewenang komisi yudisial dalam mengawasi perilaku hakim untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari dianutnya paham negara hukum salah satunya diwujudkan dengan cara menjamin perekrutan hakim agung untuk tetap berpegang pada nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi nilai profesionalisme. Konsep komisi yudisial dalam melaksanakan pengawasan terhadap hakim tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Kemudian berdasarkan Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, terdapat 10 (sepuluh) prinsip kode etik hakim yaitu : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.
PERAN SATRESKRIM POLRES ACEH TAMIANG DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA RINGAN DI KECAMATAN RANTAU Dwi Angga, Hanif; Wilsa, Wilsa; Rachmad, Andi
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 4, No 2 (2022): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v4i2.491

Abstract

Tindak pidana ringan di atur KUHAP dan khusus di Aceh di atur juga dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Banyaknya terjadi kasus tindak pidana ringan di Kecamatan Rantau sehingga peran Satreskrim dipertanyakan oleh masyarakakat di mana selama ini tindak pidana ringan banyak diselesaikan secara adat di desa terutama di Desa Paya Bedi Kecamatan rantau. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yuridis empiris. Pengaturan hukum tindak pidana ringan diatur dalam KUHAP sementara itu khusus di Aceh diatur dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak Pidana Ringan untuk Satreskrim Aceh Tamiang setiap tindak pidana yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu di desa sehingga fungsi satreskrim dalam menangani tipiring tidak sepenuhnya berjalan karena setiap permasalahan tipiring banyak diselesaikan di desa dan pihak kepolisian hanya menerima data tipiring yang terjadi di desa khususnya di desa paya bedi.
OPTIMALISASI RUMAH SINGGAH SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN QANUN KOTA LANGSA NOMOR 8 TAHUN 2019 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS DAN ANAK JALANAN Pratama, Andika Putra; Zuleha, Zuleha; Rachmad, Andi
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 5, No 1 (2023): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v5i1.758

Abstract

Rumah Singgah merupakan upaya pelayanan kesejahteraan sosial terhadap anak jalanan yang di landasi oleh Pasal 34 UUD NKRI Tahun 1945. Tujuan dari Rumah Singgah menolong anak jalan mengatasi masalah yang dihadapi serta menjumpai alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Metode yang digunakan dalam peneltiian ini adalah yuridis empiris. Keberadaan rumah singgah pada umumnya sangat bermanfaat bagi anak jalanan, pengemis karena dapat menjadi tempat berlindung dan tempat untuk mengembangkan kreatifitas. Namun di Kota Langsa rumah singgah tidak berfungsi dengan optimal ini dikarenakan tidak adanya dana dalam pengelolaan rumah singgah tersebut. Sehingga fungsi rumah singgah tidak berfungsi sebagaimana mestinya Sehingga pemerintah perlu memberi perhatian khusus terhadap rumah tersebut sehingga fungsi bisa dijalankan sebagaimana mestinya.
TANGGUNGJAWAB PEMERINTAH TERHADAP KORBAN KERUSAKAN JALAN Anjuri, Maulina; Rachmad, Andi; Iriansyah, Iriansyah
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 4, No 2 (2022): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v4i2.471

Abstract

Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa, “penyelenggara jalan wajib segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas”. Dalam ketentuan Pasal 273 Ayat (2) sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diantaranya mengakibatkan luka berat maka pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Kecelakaan terjadi pada Jalan Rel Kereta Api Gampong Paya Bujok Bramo dalam hal ini korban mengalami patah tulang pada tahun 2020 akibat kerusakan jalan tersebut. Korban menyatakan bahwa korban mengalami kerugian materil dan inmateril yang sangat besar sehingga atas kerusakan jalan tersebut yang mengakibatkan korban mengalami kerugian tidak ada yang bertanggung jawab. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian melalui studi pendekatan perpustakaan dengan menggunakan data sekunder sehingga diperoleh data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerintah wajib bertanggungjawab jika terjadinya kecelakaan akibat jalan rusak, dan memberi hak masyarakat apabila terjadi kecelakaan akibat jalan yang rusak yaitu mendapatkan santunan dari Jasa Raharja dengan jumlah sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/PMK.010/2017 tentang “Besaran Santunan Dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan”. dan juga berhak menuntut secara pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Jo. Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tanggung jawab pemerintah terhadap kerusakan jalan yang menimbulkan korban pengguna jalan di Kota Langsa tidak terlaksana karena pihak korban tidak membuat laporan perihal adanya korban kecelakaan akibat jalan rusak.
ANCAMAN PIDANA BAGI INTELECTUAL DADER TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN PENGEROYOKAN Lestari, Tri Ayu; Rachmad, Andi; Iriansyah, Iriansyah
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 5, No 2 (2023): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v5i2.755

Abstract

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mengenai Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama (pengeroyokan) diatur dalam ketentuan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 170 ayat (1) Jo Pasal 55 KUHPidana. Salah satu contoh kasus penganiayaan yang menyebabkan korban mengalami kecacatan fisik permanen yang terjadi di depan rumah sakit Regional jln. PTP N 1 Kebun Baru Kecamatan Langsa Baro, Kota Langsa. Dalam dalam penegakan hukum hanya sebagian pelaku yang ditindak namun pelaku utama (dader) diketahui saat ini pihak Kepolisian Resor Langsa belum melakukan penangkapan atas tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan. Penulisan ini menggunakan metode Penelitian hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian hukum yang analisis dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum ada tanggunggungjawab hukum dari pelaku utama, yang pada pokoknya pelaku utama belum diproses secara hukum. Kepolisian Resor Langsa, mengatakan pada perkara tersebut masih diproses, namun pelaku utama saat ini belum diketahui keberadaannya atau daftar pencarian orang (DPO) hingga belum ada penegakan hukumnya, terhadap pelaku utama pada perkara kasus SKTBL Nomor : SKTBL / 114 / VI / 2021 / SPKT / POLRES LANGSA/POLDA ACEH.
PERLINDUNGAN TERHADAP KREDITUR PADA PERJANJIAN IVESTASI MODAL USAHA DI TOKO EMAS KOHINOR LANGSA Rafshanjanie, Muhammad Khalied; Rachmad, Andi; Asnawi, M. Iqbal
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 5, No 2 (2023): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v5i2.793

Abstract

Dalam sebuah transaksi simpan pinjam, istilah semacam debitur dan kreditur sangat umum kita dengar.  Kreditur merupakan perorangan atau pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. Debitur adalah orang atau badan usaha yang memilki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang. Seorang Kreditur atas nama Tgk. Irwansyah Putra pada tanggal 26 Oktober 2021 menyerahkan emas sejumlah 200 (dua ratus) gram kepada debitur atas nama H. Asyari yang merupakan pemilik toko emas kohinor dengan perjanjian pada tanggal 26 setiap bulannya kreditur akan diberikan hasil Profit sejumlah 1,66 % dari jumlah modal, dengan perjanjian kerja sama selama 12 Bulan.  Namun setelah melakukan perikatan tersebut secara surat di bawah tangan, kemudian pihak debitur tidak menyerahkan profit kepada kreditur, sehingga pada bulan April 2022 pihak kreditur meminta kepada pihak debitur untuk menyerahkan kembali seluruh modal milik kreditur yang ada di toko emas milik debitur, namun Pihak Debitur melarikan diri dan tidak bertanggungjawab atas permasalahan tersebut.Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Empiris, yang merupakan sebuah penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum tentang Investasi modal usaha dilakasanakan dibawah payung hukum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perlindungan hukum terhadap kreditur atas adanya potensi pidana pada perjanjian investasi modal usaha di Toko Emas Kohinor terhadap Korban/Kreditur belum mendapatkan perlindungan hukum, hambatan dalam perlindungan hukum terhadap kreditur atas adanya potensi pidana pada perjanjian investasi modal usaha di Toko Emas Kohinor Langsa yaitu Pengadilan dan Kepolisian terhambat karena menunggu laporan dari Korban, hambatan bagi korban tidak mengerti proses hukum, upaya yang dilakukan yaitu pihak Pengadilan dan Kepolisian telah memberi arahan kepada pihak korban supaya perkara tersebut dapat diselesaikan secara hukum.
ANALISIS PERBANDINGAN PERUBAHAN SANKSI TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Ilham, Muhammad Zawil; Krisna, Liza Agnesta; Rachmad, Andi
Meukuta Alam : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Vol 6, No 1 (2024): JURNAL ILMIAH MAHASISWA : MEUKUTA ALAM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33059/ma.v6i1.776

Abstract

Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia adalah dengan menciptakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru yang sesuai dengan cita hukum dan sosial budaya di masyarakat. Rancangan Undang-Undang KUHP sudah beberapa kali diajukan sejak pasca kemerdekaan hingga saat ini, Menjadi menarik melihat Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimasukan dalam KUHP baru. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan sanksi tindak pidana korupsi antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan literatur terkait. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggantikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Beberapa pasal mengalami perubahan sanksi, seperti Pasal 603 yang menurunkan ancaman pidana. Perubahan ini dapat merugikan upaya pemberantasan korupsi dan menguntungkan pelaku. Perubahan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dapat melemahkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi dampak dan implikasinya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.