Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan

Praktek Perkawinan Beda Agama Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam (Studi Analisis Perkawinan di Kecamatan Kutalimbaru Deli Serdang) Nasution, Evriza Noverda; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4653

Abstract

Marriage is the basis of community life, the union between a man and a woman in the holy bond of marriage is the first step in the life of husband and wife to grow and develop in a life called a family. The occurrence of a marriage between a man and a woman is certainly based on a sense of affection and love where two people with different life backgrounds unite and live together to form a family. The feeling of love knows no religion, the feeling just grows and develops which sometimes becomes a difference between two people who make a marriage, the existence of an interfaith marriage in society often occurs and is carried out where both religion and law have prohibited the practice of interfaith marriage itself. Interfaith marriage is one of the deviant marriages in Indonesia, this paper is an explanation of one of the deviant marriages in Indonesia seen from the view of Law no. 1 of 1974 and also KHI Analysis of Marriage Practices in Namo Mirik Village, District. Kutalimbaru, where the majority of the population is Christian and the Muslim population is only a small part of the community, so that when there is a desire to marry from couples of different religions and each wants to stay in their religion, then interfaith marriage is what they choose to unite the couple. In this study, the method used is a socio-legal method where the research used in addition to using statutory analysis, social sciences and anthropology also become supporters in the discussion of this research. The results of the research conducted that the practice of interfaith marriage is one of the alternative marriages that couples choose in Namomirik village, Kutalimbaru sub-district, Deli Serdang. This happens because of the strong customs used in the village, customary law takes precedence over religious and state law.
Legalitas Pencatatan Perkawinan Melalui Penetapan Isbat Nikah Lubis, Akma Qamariah; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4605

Abstract

Itsbat of marriage is an endorsement of the assignment process, which has been held on the basis of Islamic jurisprudence, but not recorded at KUA. The goal of itsbat is to get a marriage license deed as evidence of legitimate marriage in accordance with the legislation in force in Indonesia, as provided for in article 2 paragraph (1) and (2) of law No. 1 of the year 1974 and article 7 paragraph (1), (2) and (3) Compilation Of Islamic Law. Itsbat matter of marriage (endorsement of marriage) may be filed in voluntair (the petition) and filed in kontentius (the suit) to the Court. Basic consideration of judges in giving the setting of itsbat marriage in a religious Court of which namely: 1) Legal standing (legal position) the applicant to litigate itsbat marriage in a religious court based on the provisions of article 7 paragraph (4) KHI, 2) Posita (facts and legal facts of the incident), 3) witnesses and evidence in the trial, as well as 4) the reasons for filing the itsbat marriage. This study aims to determine the legality of marriage registration through marriage isbat. This research uses the type of normative research. The results of the study indicate that the legitimacy of marriage registration through the determination of isbat. 
Konsep Kafa’ah Untuk Menentukan Calon Pasangan Dalam Membentuk Keharmonisan Rumah Tangga Wahyudi, Nano; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4714

Abstract

The achievement of the goal of marriage is not absolutely determined by the balance or comparability factor alone, but this can be the main support, and it is the religious and moral aspects that are more important and must be prioritized in creating a harmonious and better household guaranteeing the safety of the fostered household life.
Kedudukan Hukum Peminangan Dalam Perkawinan Perspektif Hukum Adat Dan Hukum Islam Khailid, Muhammad; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4651

Abstract

This research is motivated by the large number of prospective married couples who do not carry out the ta'aruf process in khitbah in accordance with Islamic teachings. In the practice of khitbah, there are still customary rules which make it difficult, resulting in the prevention of marriage. The purpose of this research is to dig up information on how the concept of Khitbah in the concept of Malay custom, its correlation and relationship with Islamic teachings. The method used in this research is field research by observing and interviewing, and studying books related to this discussion. The primary source is in the form of books by scholars' which are related to the concept of Khitbah. Ta'aruf and khitbah in Shari'a recommend prioritizing religious aspects over other factors. Because only religion will be able to perpetuate marriage. While wealth, lineage, position, beauty, good looks will fade and one day will disappear and avoid khalwat elements in it
Plaatsvervulling(Ahli Waris Pengganti) Disebabkan Murtad, Membunuh Serta Hilang (Mafqud) Menurut UU dan KHI & Analisis Dasar Putusan Pengadilan atau MA Ritonga, Ali Bata; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4652

Abstract

The position of the heir who has apostatized is a barrier for him to get the inheritance from the heir, this is because the distribution of inheritance must be given to heirs who are Muslim. The barrier to inheritance is killing. The majority of scholars agree that the heir who kills his muwarris is prevented from receiving an inheritance because his rights as an heir have fallen due to the murder. The killing of his prospective muwarris was an act that severed the ties of silaturrahmi between them as relatives. Kinship relationship is one of the causes of inheritance relations between muwarris and their heirs.
Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Beda Agama Perspektif KHI dan Hukum Islam Izhar, Izhar; Tanjung, Dhiauddin
JISIP: Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan Vol 7, No 2 (2023): JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (Maret)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jisip.v7i2.4606

Abstract

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[1]Kompilasi Hukum Islam (KHI).Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI).Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 209 ayat 1 dan 2 menyebutkan “ wasiat wajibah diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tuanya meninggal dunia tanpa wasiat, atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia tanpa wasiat”.[1]  Akan tetapi putusan dari Mahkamah No 16 K/AG/2010 dalam hal memberikan wasiat wajibah kepada istri yang non muslim. MA memberikan bagian wasiat wajibah kepada istri non muslim tentunya berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 209. Begitu juga halnya kepada orang tua atau anak kandung beda agama yang  terhalang mendapat hak warisan.Sementara dalam Pasal 171 KHI, ketentuan umum tentang orang yang berhak mendapat warisan dengan ketentuan bagian tertentu, namun ada hal lain yang tidak disebutkan secara khusus oleh KHI, yaitu agama yang diyakini ahli waris, sebagiamana hal tersebut tersirat dari pasal 171 huruf (c) KHI yang mendefinisikan ahli waris, yaitu: “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.” Berdasarkan ketentuan tersebut, berlainan agama akan terhalang haknya mendapat harta warisan layaknya ahli waris lainnya. Ketentuan ini merupakan kesepakatan sebagian ulama yang menentukan 3 hal yang menjadi halangan seseorang menjadi ahli waris yaitu karena perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Islam sebagai rahmatan lil alamin maka hukum yang terdapat dalam Isalampun harus mewujudkan kerahmatan itu, terlebih bahwa asas dari hukum itu adalah, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[1] Kompilasi Hukum Islam (KHI).