Kariosentono, Harijono
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Cermin Dunia Kedokteran

Profil Penggunaan Kortikosteroid Sistemik untuk Terapi Sindrom Stevens Johnson (SSJ) – Nekrolisis Eepidemal Toksik (NET) di Instalasi Rawat Inap RSUD DR. Moewardi Surakarta, Indonesia - Januari 2016 -Desember 2017 Tri Irfanti, Rakhma; Imelda Betaubun, Ance; Fiqri, Ahmad; Anggraeni, Reti; Rinandari, Ummi; Kariosentono, Harijono
Cermin Dunia Kedokteran Vol 48, No 4 (2021): Dermatologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.835 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v48i4.1364

Abstract

Latar belakang: Nekrolisis epidermal disebut Sindrom Stevens Johnson (SSJ) apabila yang terlibat kurang dari 10% dari area tubuh, 10% sampai 29% disebut SSJ overlap NET dan lebih dari 30% NET. Tujuan : Untuk mengetahui gambaran umum pasien SSJ-NET serta penggunaan kortikosteroid sistemik di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2016 – Desember 2017. Metode : Studi deskriptif retrospektif dengan populasi dan sampel penelitian pasien rawat inap di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, periode Januari 2016 – Desember 2017. Sampel menggunakan data sekunder dari status rekam medis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hasil: Total pasien 26 orang terutama berusia 46 – 55 tahun dan 56 – 65 tahun (23%). Laki-laki lebih banyak (57%). Diagnosis SSJ (61%) terbanyak dibandingkan SSJ overlap NET (19%) ataupun NET (19%). Hipertensi sebagai penyakit penyerta terbanyak (15%). Keterlibatan mukosa terbanyak pada mulut (88 %) dan penyebab terbanyak SSJ-NET melibatkan lebih dari satu macam obat (53%). Obat penyebab yang dicurigai terutama adalah antibiotik golongan sefalosporin dan parasetamol (23%). Rerata lama terapi deksametason adalah 10 hari dengan dosis rata-rata 25 mg per hari. Simpulan: Pengobatan kortikosteroid sistemik pada kasus SSJ – NET di RSUD dr. Moewardi Surakarta pada umumnya menghasilkan perbaikan klinis dengan rata-rata perawatan 10 hari dan dosis rata-rata deksametason 25 mg per hari.Background: Epidermal Necrolysis is classified into several degree of severity based on the area of the body involved, below 10% is SJS, 10% - 29% is SJS overlap TEN and 30% is TEN. Objective: To provide general description of SJS-TEN patients and systemic corticosteroids therapy in Dr.Moewardi General Hospital Surakarta January 2016 - December 2017. Methods: A retrospective descriptive study on in-patients in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta between January 2016 and December 2017. Results: Total sample was 26 patients, mostly male (57%) in 46 - 55 year-old and 56 - 65 year-old (23%). The most common diagnosis was SJS (61%) followed by SJS overlap TEN (19%) and TEN (19%). Hypertension was the most frequent comorbid disease (15%). Mostly affected was mouth mucosa (88%) and caused by mostly more than one drug (53%). Suspected causative drugs were mostly cephalosporin and paracetamol (23%). The average duration of dexamethason therapy was 10 days with an average dose 25 mg per day. Conclusion: SSJ - NET cases in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta were mostly treated with systemic corticosteroids for an average of 10 days and an average dose of dexamethason 25 mg per day.
Diagnosis Luka Tungkai Kronis Rafika Paramitasari, Anggana; Risman, Muhammad; Rahman, Aulia; Rieka Sulaikha, Khalida; Kariosentono, Harijono; Mulianto, Nurrachmat
Cermin Dunia Kedokteran Vol 46, No 1 (2019): Obstetri - Ginekologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1096.883 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v46i1.534

Abstract

Luka kronis adalah luka yang tidak dapat mengalami proses penyembuhan luka sesuai urutan dan dalam rentang waktu normal. Mayoritas luka kronis didapatkan di ekstremitas inferior dengan penyebab antara lain insufisiensi vena (45-60%), insufisiensi arteri (10-20%), diabetes (15-25%), ulkus dekubitus (1-5%), dan lain-lain (10-15%). Masing-masing penyebab memberikan gambaran klinis berbeda, begitu pula terapinya. Oleh karena itu gambaran klinis, patogenesis, dan diagnosis banding penting diketahui.Chronic wounds are characterized by failure to progress through a proper timely sequence of wound repair or without restoring to normal anatomy and function. Chronic wounds in lower leg including foot is a condition caused by venous insufficiency (45-60%), artery insufficiency (10-20%,) diabetes mellitus (15-25%), decubitus ulcer (1-5%), or other causes (10-15%). Each etiology has different clinical manifestations and therapy. Treatment of leg ulcers needs evaluation of many different etiologies. 
Perbandingan Fungsi Barier Kulit Pasien Dermatitis Atopik oleh Krim Aloe Vera dan Krim Seramid: Penelitian Awal Mustifah, Etty Farida; Dewi, Susanti Rosmala; Hastuti, Rini; Kariosentono, Harijono
Cermin Dunia Kedokteran Vol 45, No 8 (2018): Alopesia
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (879.926 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v45i8.621

Abstract

Latar Belakang: Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit peradangan kulit kronik, residif, ditandai rasa gatal dan berhubungan dengan riwayat atopi. Penggunaan pelembap teratur merupakan kunci utama tatalaksana DA. Tujuan: Membandingkan efektivitas krim seramid dan aloe vera sebagai barrier pada pasien DA dengan mengukur nilai TEWL baseline dan setelah 2 minggu pemberian. Hasil: Rerata TEWL terendah pada krim A (aloe vera) dan B (seramid) terjadi pada minggu ke-2 (7,39 + 3,17 vs 6,55 + 3,25). Skor TEWL turun dari sebelum diolesi krim (baseline), pada minggu ke-0, ke-1, ke-2, dan pada minggu ke-3 meningkat kembali setelah tidak menggunakan krim (p=0,005). Secara umum skor TEWL pada pengolesan krim B lebih rendah dari krim A, namun perbedaan tersebut tidak bermakna (p=0,512). Simpulan: Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna nilai TEWL setelah penggunaan krim aloe vera dan krim seramid, sehingga disimpulkan efektivitasnya sama.Background: Atopic dermatitis (DA) is a chronic skin inflammatory disease, residif, characterized by itching and associated with atopy history. Regular use of moisturizers is the key of DA management. Objective: Compare the effectiveness of seramid and aloe vera creams as a barrier in DA patients by measuring baseline TEWL values and after 2 weeks of using. Results: The lowest mean TEWL in cream A (aloe vera) and B (seramid) occurred at week 2 (7.39 + 3.17 vs 6.55 + 3.25). TEWL scores decrease from before smearing the cream (baseline), at week 0, 1, 2, and at week 3 increase again after no cream (p = 0.005). In general, the TEWL score on cream B treatment was lower than cream A, but the difference was not significant (p = 0,512). Conclusion: There is no significant difference in TEWL value after the use of aloe vera cream and ceramic cream, so it is concluded that the effectiveness is the same. 
Efektivitas Penambahan Krim Tretinoin 0.025% pada Krim Desoksimetason terhadap Repigmentasi Kulit Pasien Vitiligo Dhamayanti, Marsita Endy; Diana, Rina; Rahayu, Tutik; Wirawan, Eka Putra; Mulianto, Nurrachmat; Kariosentono, Harijono
Cermin Dunia Kedokteran Vol 47, No 7 (2020): Bedah
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (897.101 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v47i7.593

Abstract

Pendahuluan: Vitíligo adalah kelainan didapat yang ditandai dengan bercak depigmentasi berbatas tegas akibat hilangnya melanosit fungsional. Kortikosteroid topikal masih merupakan terapi andalan. Tretinoin diduga juga mempunyai efek repigmentasi pada pasien vitiligo. Tujuan: Untuk membuktikan efektivitas penambahan tretinoin 0.025% pada krim desoksimetason terhadap repigmentasi vitiligo. Metode: Uji klinis dengan kelompok kontrol pre dan post test, pada pasien vitiligo di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr. Moewardi Surakarta antara Januari dan April 2019. Kelompok kontrol menerima desoksimetason saja sedangkan kelompok perlakuan mendapat tretinoin 0.025% dikombinasi dengan desoksimetason. Setiap lesi difoto dengan menyertakan penggaris sebagai skala untuk memudahkan penghitungan dengan program komputer, diproses mengunakan program Adobe photoshop CS5 extended version 12.0 x32, 2010 dan Coreldraw x7 version 17.0.0.491 2014 Corel corporation. Analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney dan Wilcoxon, nilai p <0,05 dianggap signifikan. Hasil: Hasil analisis gambar menunjukkan penurunan luas lesi signifikan pada kelompok studi dibandingkan kelompok kontrol pada bulan ke 3 setelah terapi (p = 0,000).Simpulan: Kombinasi tretinoin 0.025% dan krim desoksimetason lebih efektif daripada terapi tunggal dalam mengobati vitiligo.Introduction : Various types of therapeutic modalities are used for repigmentation in vitiligo lesions and to stabilize the depigmentation process. Objective : To prove the efficacy of tretinoin 0.025% addition to desoximetasone cream in repigmentation process. Methods : Clinical trial with pre- and posttest control group design, conducted in vitiligo patients in Dermatovenereology Departement of Dr. MoewardiGeneral Hospital between January and April 2019. Control group received desoximethasone only and study group received tretinoin 0.025% combined with desoximethasone. Each lesion was photographed with a ruler scale to facilitate calculations with computer programs Adobe Photoshop CS5 extended version 12.0 x32, 2010 and Coreldraw x7 version 17.0.0.491 2014 Corel Corp. Statistical analysis used Mann Whitney and Wilcoxon test. Result : Image analysis revealed a significant decrease of lesion area in the study group (p=0.000). Conclusion: Combination of tretinoin and desoximetasone cream is more effective than single therapy in treating vitiligo.