Sunny Wangko
University of Sam Ratulangi Manado, Indonesia

Published : 56 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

MUKOSA OLFAKTORIA Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4347

Abstract

Kavum nasi merupakan sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum terdiri dari tulang rawan dan tulang. Ruangan-ruangan tersebut berbentuk memanjang dengan dasar melebar, terletak pada palatum durum dan palatum mole. Bagaian apeks menyempit ke arah fosa kranialis anterior. Rangka kavum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang terletak di bagian tengah tengkorak, kecuali sebagian kecil di sebelah anterior yaitu hidung bagian luar. Ruangan kavum nasi terdiri atas tiga regio: vestibulum nasi, regio respiratoria dan regio olfaktoria. Vestibulum nasi adalah bagian kavum nasi yang berdilatasi tepat di bagian dalam lubang hidung dan dilapisi oleh kulit. Regio respiratoria merupakan bagian terbesar kavum nasi (sekitar 2/3 bagian sebelah inferior) dan dilapisi oleh epitel respiratoria. Regio olfaktoria terletak di apeks (1/3 bagian atas) kavum nasi dan dilapisi oleh mukosa olfaktoria yang merupakan indra penghidu.
NON-CALLIPHORIDAE-NECROPHAGOUS-DIPTERA SUCCESSION ON PIG CARCASSES IN MANADO, INDONESIA Wangko, Sunny; Sembel, Dantje T; Pinontoan, Oddi R; Posangi, Jimmy; Huijbregts, Hans
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.1.2012.749

Abstract

Abstrak. Penelitian mengenai suksesi Diptera nekrofagus non-Calliphoridae dilakukan di Manado, Indonesia pada tahun 2012. Tiga ekor bangkai babi domestik (berat badan 21-23 kg) dimatikan dengan tiga cara yang berbeda (dosis letal potasium sianida per oral, pukulan benda tumpul pada area osipital, dan tikaman benda tajam). Penelitian dilakukan selama 15 hari. Suhu udara ambien dan kelembaban, serta data suhu dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kayuwatu. Babi yang dimatikan dengan potasium sianida memperlihatkan perlangsungan dekomposisi yang lebih panjang (10 hari) dibandingkan dengan lainnya (delapan hari). Simpulan: Terdapat empat famili dan dua spesies Diptera nekrofagus non-Calliphoridae yang mengunjungi bangkai hewan coba: Sarcophagidae, Piophilidae, Ophyra, Phoridae, Musca domestica, dan Hermetia illucens. Sarcophagidae dan Ophyra telah ditemukan sejak hari ke-1. Dari keenam jenis serangga non-Calliphoridae yang berkunjung, hanya empat jenis yang berkolonisasi pada bangkai hewan coba, yaitu: Ophyra, Phoridae, Musca domestica, and Hermetia illucens. Kata kunci: nekrofagus non-Calliphoridae, babi domestik, suksesi, kolonisasi Abstract. A study was conducted on Non-Calliphoridae-Necrophagous-Diptera succession on pig carcasses in Manado, Indonesia, in the year 2012. Three domestic pig carcasses (weighing 21-23 kg) were killed by using three different manners (a lethal oral dose of potassium cyanide, a blow with a blunt material, and a stabbing with a sharp material). This study was conducted for 15 days. Ambient air temperatures and humidity, and temperature data of the Climatology Station, Kayuwatu were recorded. The pig killed with potassium cyanide showed a longer decomposition duration (10 days) than the others (eight days). Conclusion: there were four families and two species of Non-Calliphoridae-Necrophagous Diptera visited the carcasses: Sarcophagidae, Piophilidae, Ophyra, Phoridae, Musca domestica, and Hermetia illucens. The first visitors (day 1) were Sarcophagidae and Ophyra. From the six visitors, there were only four that colonized on the carcasses: Ophyra, Phoridae, Musca domestica, and Hermetia illucens.Key words: Non-Calliphoridae-Necrophagous-Diptera, domestic pigs, succession, colo-nization
Ekek anti mikroba terapi larva Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 1 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.1.2016.12332

Abstract

Abstract: Chronic wound is still a world-wide problem that spends a very high cost related to its management and treatment. Although there are a lot of promising studies about wound healing process, the prevalence and incidence of chronic wound and its complications are still high. Conventionally, the management of chronic wound consists of surgical debridement, manual irrigation, dressing, and antimicrobial therapy (topical and/or systemic). It is accepted that microbial biofilm and its complexity play important roles in non-healing wounds. This biofilm consists of polymicrobial colonies embedded in exopolymeric matrix produced by the biofilm itself and has a high tolerance to host defence mechanisme, antibiotics, and antiseptics. Larval therapy has been approved by FDA to be used in chronic wound management. It has antimicrobial effects besides its other effects on wound healing inter alia mechanical debridement, anti-inflammation, angiogenesis, and destabilization of biofilm enzymes. Further studies are needed to explore the effects of larval therapy, especially its excretion/secretion components, so that it can be applicated more aesthetically.Keywords: chronic wound, wound healing process, biofilm, larval therapyAbstrak: Luka kronis merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang telah memboroskan biaya cukup tinggi. Walaupun telah terjadi kemajuan dan pemahaman mengenai penyembuhan luka, prevalensi dan insidensi luka kronis dan komplikasinya tetap meningkat pesat. Secara konvensional, perawatan luka kronis terdiri dari debrideman, irigasi manual, dressing untuk mempertahankan kelembaban, dan terapi antimikroba (topikal dan atau sistemik). Adanya biofilm mikroba serta kompleksitasnya pada luka kronis telah disepakati sebagai salah satu kunci gagalnya penyembuhan luka. Biofilm mikroba terdiri dari koloni-koloni mikroorganisme polimikrobial terkemas dalam matriks eksopolimerik yang diproduksi olehnya sendiri dan memiliki toleransi tinggi terhadap pertahanan pejamu (host), antibiotik, dan antiseptik. Terapi larva telah diterima oleh FDA dan telah terbukti berefek antimikroba disamping efek lainnya terhadap penyembuhan luka, antara lain: debrideman mekanis, anti-inflamasi, angiogenesis, dan destabilisasi enzim biofilm pada luka. Studi lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi efek terapi larva terutama komponen ekskresi/skresi larva terhadap penyembuhan luka agar dapat diaplikasikan secara lebih estetik.Kata kunci: luka kronis, penyembuhan luka, biofilm, terapi larva
PATOFISIOLOGI RIGOR MORTIS Kristanto, Erwin; Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6331

Abstract

Abstract: As one of the death signs, rigor mortis is usually found in death cases. Most of the rigor mortis phenomenon can be explained thoroughly in forensic science. Understanding of this phenomenon can help the medical practitioners in analyzing forensic cases during their internship as well as during their works as medical doctors in hospitals or other medical facilities. In rigor mortis analysis, we can not avoid any variable which is found in the crime scenes since it will cause bias in the result.Keywords: rigor mortis, myofilaments, ATPAbstract: Kekakuan pada mayat merupakan salah satu tanda kematian yang sering ditemukan pada kasus kematian. Sebagian besar fenomena rigor mortis telah dapat dijelaskan lewat ilmu kedokteran forensik. Pemahaman tentang kaku mayat ini akan membantu dokter dalam membuat analisis forensik kasus yang ditanganinya, baik saat internship maupun dalam praktik kedokteran yang dilakukannya di rumah sakit, maupun fasilitas kesehatan lainnya. Analisis kaku mayat tidak boleh menyingkirkan variabel yang ditemukan pada pemeriksaan, karena akan membawa bias pada hasil analisis.Kata kunci: rigor mortis, miofilamen, ATP
PERAN ESTROGEN PADA REMODELING TULANG Sihombing, Iknes; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J.R.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1210

Abstract

Abstract: Bone tissues experience continual regeneration of their extracellular components by overhauling the old components. This process is called bone remodeling, which involves several kinds of bone cells. The most important bone cells related to the bone remodeling are osteoblasts, osteocytes, and osteoclats. The bone remodeling is influenced by estrogen. This hormone inhibits bone resorption, resulting in slowing down the osteoporosis process. This antiresorptive effect can be provided also by the estrogen action on osteoblasts, which indirectly influences osteoclast activities. Estrogen has been proved to slow down the decrease of bone mass and fracture risks in women with osteoporosis. Hormone replacement therapy, aimed at replacing estrogen deficiency, consists of phytoestrogen and progesteron; besides that, calcium and vitamine D are needed, too. Keywords: estrogen, bone remodeling, osteoblast, osteocyte, osteoclast.     Abstrak: Tulang merupakan jaringan yang terus menerus melakukan regenerasi komponen-komponen ekstrasel dengan cara menghancurkan komponen tulang yang sudah tua dan menggantikannya dengan yang baru. Proses ini disebut remodeling tulang, yang melibatkan kerja sel-sel tulang tertentu. Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan resorpsi tulang ialah osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Remodeling tulang dipengaruhi oleh hormon estrogen. Hormon ini menekan resorpsi tulang sehingga dapat menghambat proses kerapuhan tulang. Efek antiresorptif tersebut dapat pula dihasilkan melalui kerjanya pada osteoblas, yang secara tidak langsung mempengaruhi aktivitas osteoklas. Estrogen terbukti dapat mengurangi laju penurunan massa tulang dan risiko fraktur pada wanita dengan osteoporosis. Terapi sulih hormon yang digunakan untuk mengganti defisisensi estrogen ialah fitoestrogen, progesteron, selain itu juga kalsium dan vitamin D. Kata kunci: estrogen, remodeling tulang, osteoblas, osteosit, osteoklas.
IDENTIFIKASI IRIS OPSI IDENTIFIKASI BIOMETRIK Kristanto, Erwin G.; Rompas, Elisa; Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4343

Abstract

Perkembangan teknologi dalam kehidupan sehari-hari membuat timbulnya kebutuhan untuk membuktikan pada mesin dan sistem bahwa seorang individu ialah pemilik identitas yang ditampilkan oleh mesin dan sistem tersebut. Aktivitas membuka pintu, absensi, membuka komputer, hingga membuat dokumen, membutuhkan verifikasi bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh orang yang tepat. Kebutuhan ini dijawab dengan suatu metode identifikasi yang disebut identifikasi biometrik. Penggunaan identifikasi biometrik membantu peningkatan keamanan sistem komputer dengan menggantikan penggunaan kata kunci (password) yang dapat diretas. Password yang terdiri dari 6 karakter tanpa karakter khusus walau memiliki 2,25 miliar kemungkinan kombinasi, ternyata dapat diretas dalam beberapa detik dengan menggunakan sebuah server komputer. Akun media sosial yang memiliki pengaman yang cukup baik, ternyata banyak yang diretas dan kemudian disalahgunakan. Identifikasi iris dianggap merupakan salah satu metode identifikasi biometrik yang ideal dan lebih stabil karena iris adalah organ internal yang terproteksi oleh kornea. Beberapa kekurangan metode ini ialah pada pengguna kacamata, lensa kontak, atau cadar, serta peminum alkohol.
PERAN MELANOSIT PADA PROSES UBAN Sinaga, Roslin; Wangko, Sunny; Kaseke, Marie
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1201

Abstract

Abstract: Hair is a long keratinous structure derived from invaginated epidermal epithelial cells. Hair varies in colour, diameter, and distribution, depending on race, age, gender, and regions of the body. Histologically, the structure of hair is formed by three strata, or inter alia: medulla, cortex, and cuticle. Melanocytes of hair follicles are specific cells that play some important roles in the production of hair pigment (melanin). Gray hair appears due to aging. In this case melanocyte activities in melanin production decrease gradually. There are other external factors that can influence the appearance of gray hair e.g smoking and hair dyes; both of them produce hydrogen peroxyde which inflict eumelanogenesis. Eumelanin is the dark-brown melanin, meanwhile feomelanin is the yellow one. An internal factor related to the early appearance of grey hair is a genetically induced one. Keywords: grey hair, melanocyte, hair.   Abstrak: Rambut merupakan struktur panjang berkeratin yang berasal dari invaginasi epitel epidermis. Warna, ukuran dan  penyebaran rambut bervariasi sesuai ras, umur, jenis kelamin, dan area tubuh. Rambut terdiri atas tiga lapis sepusat yaitu: medula, korteks, dan kutikula. Melanosit folikel rambut merupakan sel-sel khusus yang secara langsung mengendalikan produksi pigmen rambut, yaitu melanin. Munculnya rambut uban diakibatkan proses penuaan dimana aktivitas sel melanosit juga ikut menurun secara bertahap. Beberapa faktor eksternal yang dapat memicu rambut menjadi uban antara lain  merokok atau penggunaan cat rambut, yang merangsang pembentukan hidrogen peroksida sehingga sintesis eumelanin menjadi terganggu. Eumelanin ialah jenis melanin yang berwarna coklat-hitam, sedangkan feomelanin berwarna pirang. Faktor internal lain yang berkaitan dengan tumbuhnya uban lebih awal ialah genetik. Kata kunci: uban, melanosit, rambut.
GLUT4 JARINGAN ADIPOSA FUNGSI DAN DISFUNGI Kaunang, Henry C. P.; Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 3 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.3.2010.1192

Abstract

Abstract: Following the discovery of insulin nearly a century ago, it has become easier to comprehend the mechanism of this peptide hormone. Insulin activates the phosphorylation of tyrosine kinase and consequently triggers the intracellular signals that regulate most of the processes within the cells of our body. In order to maintain the glucose homeostasis, insulin reduces glucose production in the liver and increases glucose uptake into muscles and adipose tissues by escalating the glucose transporter 4 (GLUT4) translocation from within the cells to the outer part of the membranes. Many efforts have been put forth out of the curiosity of scientists to provide answers, but further exploration of insulin receptor signaling pathways and junctures in trafficking has made it clear that many questions are left unanswered. Interestingly, these questions are being more focused on; hence, the functional molecules, in particular those that were required for insulin signaling cascades and junctures of GLUT4 vesicle trafficking have become the interest for further research. The degenerative diseases with broad complications due to the impaired of glucose homeostasis preserved by insulin have become the main target in developing a therapy or even prevention. Many joint efforts of scientists using numerous research methods offer great expectations for better comprehension of regulating the GLUT4 vesicle trafficking. Keywords: insulin stimulation, adipose tissue, GLUT4 trafficking  Abstrak: Dengan ditemukannya insulin hampir seabad lalu, semakin banyak yang diketahui tentang mekanisme kerja hormon peptida ini. Insulin memfosforilasi tirosin kinase sekaligus juga mengaktifkannya sehingga memicu kaskade sinyal intrasel yang meregulasi sebagian besar proses di dalam sel. Untuk mempertahankan homeostasis glukosa, insulin menekan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan ambilan glukosa pada jaringan otot dan adiposa dengan meningkatkan translokasi transporter glukosa 4 (GLUT4) menuju permukaan membran plasma. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk menjawab keingin-tahuan para ilmuwan, namun semakin menggali ke dalam kompleksitas molekular lintasan sinyal reseptor insulin dan tahapan-tahapan proses trafficking, semakin banyak pertanyaan yang muncul ke permukaan. Hal ini menarik untuk dikembangkan karena spesifitas molekul fungsional yang dibutuhkan untuk kaskade sinyal insulin dan tahapan trafficking vesikel GLUT4 dapat menjadi titik tangkap untuk penelitian. Penyakit degeneratif dengan komplikasi yang luas akibat terganggunya homeostasis glukosa oleh insulin menjadi sasaran utama dalam pengembangan terapi penanganan atau bahkan pencegahan. Upaya para peneliti dengan penggunaan beragam metode penelitian sangat diharapkan mampu memberikan secercah cahaya dalam memahami regulasi insulin dalam trafficking vesikel GLUT4 Kata kunci: stimulasi insulin, jaringan adiposa, trafficking GLUT4
PERAN SEL STELATA HEPATIK PADA SIROSIS HEPATIS Pattabang, Iola; Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 1 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.1.1.2009.807

Abstract

Abstract: Hepatic stellate cell was firstly described by Carl von Kupffer in 1876 by using glod chloride staining. Stellate cells are found in spaces of Disse, that are located between hepatocytes and sinusoid endothelial cells. The main function of stellate cells is as vitamine A-storing cells. In liver cirrhosis, these stellate cells are activated and become proliferative, fibrogenic, and contractile myofibroblasts. Keywords: hepatic stellate cell, activated, cirrhosis  Abstrak: Sel stelata hepatik pertama kali dideskripsikan oleh Carl Von Kupffer pada tahun 1876 dengan menggunakan metode pewarnaan gold chloride. Sel stelata terletak dalam celah Disse, yaitu celah antara hepatosit dan sel endotel sinusoid. Fungsi utama dari sel stelata ialah menyimpan vitamin A. Pada sirosis hepatis sel stelata akan teraktivasi menjadi miofibroblas yang bersifat proliferatif, fibrogenik dan kontraktil. Kata kunci: sel stelata hepatik, teraktivasi, sirosis
GAMBARAN HISTOLOGIK HATI TIKUS WISTAR YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL DENGAN INDUKSI PARASETAMOL Manatar, Amelia F.; Wangko, Sunny; Kaseke, Marie M.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.1.2013.2608

Abstract

Abstract: Virgin Coconut Oil (VCO) is defined as a multifunction supplement of health. Previous research has proved that it can be used for anti-inflammation, anti-pyretic, anti-oxidant, and for metabolism repairments. This VCO will be biotransformed in the liver. Paracetamol is an analgetic and antipyretic medicine which is usually used for self-medication. Over dosage of paracetamol is potentially destructive for the liver, which is the major detoxification organ. This study aimed to find out the histological changes of wistar livers treated with VCO after being induced with paracetamol. This was an experimental study using the post-test-only control group design. This study was conducted for 12 days. As subjects, we used 22 male wistars divided into five groups: negative control group (KN); positive control group (KP) treated with toxic dosages of paracetamol (2.5 g/kg BW/day) from day 8 to 12; and three treatment groups (P1, P2, and P3) given VCO 1 ml, 5 ml, and 10 ml per kg BW/day consecutively for 12 days, added with the paracetamol 2.5 g/kg BW/day from day 8 to 12. Some wistars from each group were terminated on day 10 and the others on day 13. Their livers were examined for macroscopic and microscopic observations. The histological changes found were: lipid degeneration, hydrophic degeneration, and necrosis of hepatocytes in the KP, P1, P2, and P3. The P2 showed less liver destruction than KP, P1, and P3. Moreover, hepatocyte regeneration was found in P1 and P2. Conclusion: Paracetamol induction of toxic dosages 2.5 g/kg BW resulted in histological changes of the wistar livers (hydrophic degeneration, fatty degeneration, and hepatocyte necrosis). Treatment with VCO 1 ml and 5 ml/kg BW/day could diminish the changes and stimulate the regeneration of hepatocytes. However, with a maximal dosage of 10 ml/kg BW/day, VCO worsened the injured liver marked by diffuse fatty degeneration of the livers. Keywords: liver destruction, paracetamol, virgin coconut oil.    Abstrak: Virgin Coconut Oil (VCO) diyakini memiliki banyak fungsi yang berkaitan dengan kesehatan. VCO berkhasiat sebagai anti inflamasi, anti piretik, antioksidan, dan memperbaiki fungsi metabolisme tubuh. Parasetamol merupakan obat analgetik dan antipiretik yang banyak digunakan. Toksisitas akut dari obat ini berpotensi menimbulkan kerusakan hati. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran histologik hati tikus wistar yang diberi VCO disertai induksi parasetamol. Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan penelitian the post test only control group design. Subyek penelitian yaitu dua puluh dua ekor wistar jantan dibagi dalam lima kelompok, yaitu: kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP) yang diberi parasetamol dosis toksik 2,5 g/kg BB/hari pada hari ke 8-12, dan kelompok perlakuan 1, 2, dan 3 (P1, P2, dan P3) yang diberi VCO masing-masing kelompok perlakuan 1 ml, 5 ml. dan 10 ml per kg BB/hari selama 12 hari dengan pemberian parasetamol 2,5 g/kg BB/hari dimulai pada hari ke 8-12. Hasil penelitian menunjukkan perubahan gambaran struktur histologik hati berupa degenerasi lemak, degenerasi hidropik, dan nekrosis pada kelompok KP, P1, P2, dan P3. Kelompok P2 memperlihatkan lebih sedikit perubahan histologik hati dibandingkan kelompok KP, P1 dan P3. Aktivitas regenerasi hepatosit ditemukan pada kelompok P1 dan P2. Simpulan: Induksi parasetamol dosis toksik 2,5 g/kg BB mengakibatkan perubahan histologik hati berupa degenerasi hidropik, degenerasi lemak, dan nekrosis hepatosit. Pemberian VCO dosis 1 ml/kg BB dan 5 ml/kg BB dapat mengurangi terjadinya perubahan tersebut serta mampu merangsang regenerasi hepatosit secara cepat sedangkan pemberian VCO dosis maksimal 10 ml/kg BB memperparah cedera hati dengan terjadinya degenerasi lemak yang difus. Kata kunci: kerusakan hati, parasetamol, virgin coconut oil.