Articles
30 Documents
Search results for
, issue
"Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial"
:
30 Documents
clear
STRATEGI ADAPTASI PKL KOTA SEMARANG: KAJIAN TENTANG TINDAKAN SOSIAL
Irianto, Agus Maladi
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2938
Tulisan berikut merupakan penelitian kualitatif mengenai strategi adaptasi pedagang kaki lima (PKL) dalam menandai tindakan sosial manusia yang menandai dinamika kegiatan ekonomi di perkotaan (khususnya di Kota Semarang). Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersajikannya lukisan mendalam mengenai pola-pola usaha di sektor informal, serta penciptaan jaringan sosial di antara keluarga PKL dalam rangka mengisi lapangan pekerjaan di perkotaan. Sejumlah tindakan sosial manusia, khususnya yang dilakukan para PKL dalam penelitian ini, menyiratkan tentang tindakan sosial manusia yang kemudian mengkonstruksi konsep jaringan sosial dan strategi adaptasi PKL Kota Semarang.The following article is a qualitative research about the adaptation strategy of street vendors in marking the humanâs social action that marks the dynamic of economic activities in urban areas (especially in Semarang). The objectives of this study are presenting in-depth portrait of the business patterns in the informal sector, and the creation of social networks among street vendorsâ families in order to fill the job fields in urban area. Several humanâs social actions, especially conducting by the street vendors in this research, imply about human social action which then construct the concept of social networking and adaptation strategies of the street vendors in Semarang city.
RELASI KUASA ANTARA PERHUTANI DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI BANYUMAS: KEPENTINGAN BISNIS VS COMMUNITY EMPOWERMENT
Rosyadi, Slamet;
Sobandi, Khairu Roojiqien
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2939
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pandangan masyarakat dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam merespons orientasi Perhutani yang memprioritaskan pengembangan usaha (profits/bisnis) daripada pemberdayaan masyarakat desa hutan. Pendekatan studi menggunakan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LMDH tidak dilibatkan secara signifikan dalam perencanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Lebih dari 12 tahun, Perhutani masih menjadi aktor dominan dengan kekuasaan besar menentukan pemangku kepentingan mana yang dikehendaki untuk terlibat dalam perencanaan programnya. Akibatnya, LMDH (masyarakat) merasa Perhutani tidak lagi menganggap serius peran LMDH dalam proses pengelolaan program-program PHBM. Dengan kata lain, peran LMDH hanya ada diatas kertas tetapi realitasnya tidak banyak berperan. Perhutani lebih fokus mengejar target keuntungan untuk kepentingan perusahaan tetapi di pihak lain tidak meningkatkan pembagian peran dengan LMDH sebagai mitra sejajar dalam program PHBM. This paper explores the power relations between state and society, specifically, after 12 years of implementing the policy of community-based forest management (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, known as PHBM). It investigates how villagers and its local institutions (Lembaga Masyarakat Desa Hutan, LMDH), and street-level bureaucracy (SLB) responses toward the current development of State Forest Cooperation (Perum Perhutani, SFC) orientation in generating profit rather than the people and the planet/environment. The result shows that the villagers through LMDHs are, in fact, never closely engagein planning PHBM activities. Over 12 years, the SFC is still become the dominant actor who have dominant power in determining which stakeholders that they wanted to be involved in planning PHBM activities. Consequently, LMDH feels that SFC is reluctant in taking seriously the roles of LMDH in planning the PHBM activities. SFC is pursuing their target in generating benefits merely for their own benefits without taking LMDH in as their equal partner in PHBM activities.
HUBUNGAN MODAL SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN EKONOMI KELUARGA DI DAERAH PERDESAAN JAMBI
-, Suandi
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2940
Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Kabupaten Kerinci. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Kabupaten Kerinci dengan memilih dua kecamatan, yaitu: Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Batang Merangin. Waktu penelitian secara keseluruhan dilakukan dari bulan Juni sampai dengan bulan Nopember 2012. Sampel penelitian sebanyak 132 keluarga atau 10 persen dari populasi (1.316 keluarga) yang diambil secara berturut-turut dengan cara cluster, purposive, dan simple random sampling. Variabel penelitian: (1) kesejahteraan ekonomi keluarga (kesejahteraan objektif, dan kesejahteraan subjektif, dan (2) Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat). Analisis data menggunakan model Structural Equation Modelling (SEM) melalui program LISREL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) responden tergolong kuat. Mengacu kepada alokasi pengeluaran, tingkat ekonomi petani di daerah penelitian tergolong relatif kaya dengan distribusi keluarga yang tergolong pada kelompok sejahtera mencapai 78,8 persen, sedangkan kelompok miskin hanya 21,2 persen. Modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga. The objectives of this study is to analyze the effect of social capital on family economic well-being in rural areas of Kerinci regency. The research design is cross sectional and was carried out  in Batang Merangin and Keliling Danau districts from June to Nopember 2012. Variables used are social capital (local associations and community character), and family economic well-being  both objective and subjective economic well-being. 132 household samples are chosen using cluster, purposive and random sampling methods. Data were collected using survay, indepth interview, and Focus Group Discussion (FGD). Descriptive,  and  Structural Equation Modeling (SEM) models were used for data analyzed. The results show that social capital (local associations and community character) contained in the study area as strong. Referring to the allocation of family expenditure, the economic level of family in the study area are relatively wealthy families with distributions belonging to the prosperous group reached 78.8 percent, while only the poor families  as much as 21.2 percent. Social capital (local associations and community character) both directly and indirectly has a significant effect on family economic well-being.
POLITIK RELASI ETNIK: MATRILINEALITAS DAN ETNIK MINORITAS CINA DI PADANG, SUMATRA BARAT
Alfirdaus, Laila Kholid;
Hiariej, Eric;
Risakotta, Farsijana Adeney
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2941
Relasi etnik Minang dan etnik Cina di Padang, Sumatra Barat, menarik untuk dikaji. Melalui desk-study atas kajian Minang dan Cina, yang diperkuat dengan penelitian lapangan pada 2010 dan 2013 secara kualitatif dengan wawancara dan observasi, tulisan ini menemukan bahwa tidak cukup melihat relasi etnik Minang dan Cina dari perspektif ekonomi politik. Kita perlu memberikan perhatian terhadap faktor budaya dan budaya politik masyarakat Minang di Padang yang bercorak matrilineal. Jika literatur yang ada cenderung deterministik, menghasilkan dua pandangan yang secara ekstrem berbeda, yang dalam artikel ini disebut pandangan âmanisâ dan âsinisâ, tulisan ini berargumen sebaliknya. Relasi etnik Minang dan etnik Cina tidak bisa secara buru-buru disebut âmanisâ hanya karena etnik Cina telah menetap dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi Padang sejak zaman penjajahan, atau karena Padang relatif minim kerusuhan dibandingkan kota lainnya. Demikian juga, ia tidak bisa serta merta dilihat secara âsinisâ hanya karena segregasi sosial terlihat lebih kentara. Tulisan ini berargumen bahwa dua wajah yang secara bersamaan terjadi tidak lepas dari bentukan budaya Minang yang lekat dengan nilai-nilai matrilineal yang tertuang dalam ide feministik Bundo Kanduang Inter-etnic relations between Minang and Chinese in Padang, West Sumatra, that looks different compared to other societies in Indonesia is interesting to discuss. Through  a desk study about Minang and Chinese, being strengthened with fieldworks in 2010 and 2013 using qualitative methods in which in-depth interview and non-participatory observations, this article found that political economy perspective being used to explain Minang-Chinese relations is not enough. We need to pay attention on culture and political culture of Minangkabau society in Padang, that is matrilineal in the nature. While the existing lieratures tend to strictly classify the relations into âsweetâ and âcynicalâ (good and bad relations), this article argue the contrary. The relatively long encounter of Chinese with Minang in Padang as well as the less conflicts (mass violence) against Chinese compared to the other regions could not be simply categorized as âmanisâ (sweet relations). Similarly, we should not undermine the good relations between Minang and Chinese, existing in some ocassions merely as formalistic practices just because of segregation in Minang and Chineseâs residential areas. This article argues that the twocontrary  but inseparable faces of Minang-Chineseâs relations are inseparable from the Minangkabau culture that is matrilineal in the nature, as manifested in Bundo Kanduang containing the idea of femininity.
PASEDHULURAN AS A SOCIAL CAPITAL FOR LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT: EVIDENCE FROM POTTERY VILLAGE
Karmilah, Mila;
Nuryanti, Wiendu;
Soewarno, Nindyo;
Setiawan, Bakti
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2942
The increase in both industrialization and tourism in Kasongan village famous with its pottery being the tourism Village since 1988, radically altered the local economy and domestic life. Based on oral history, survey, and documentary sources, this paper examine the impact of economics globalization to the diversity of culture in Kasongan. Globalization has two faces. If it can be managed properly, globalization can certainly give sufficient benefit to the country. The result of study indicated that pasedhuluran kinship systems in pottery production chain as one of social capital in socio-economic development in Kasongan, play an important role. This can be seen in terms of hiring local labor, then the pottery associated with the ordering system, and the use of the showroom to promote their pottery. Based on this note that the negative impact of globalization, especially the pottery in Kasongan indsutry can be minimized by pasedhuluran system. Peningkatan industrialisasi dan pariwisata di Desa Kasongan yang terkenal dengan kerajinan gerabah yang telah berkembang sejak tahun 1972 dan menjadi desa wisata pada tahun 1988, secara radikal telah mengubah ekonomi lokal dan kehidupan masyarakat di desa tersebut. Berdasarkan wawancara terkait sejarah, survei, dan sumber-sumber dokumenter lainnya, maka tulisan ini akan mengkaji dampak globalisasi ekonomi terhadap keragaman budaya masyarakat setempat. Globalisasi memiliki dua sisi. Jika globalisasi dapat dikelola dengan baik, maka globalisasi dapat memberikan manfaat yang cukup baik bagi negara. Namun, jika suatu negara tidak dapat beradaptasi dan menentukan strategi yang perlu diterapkan dalam rangka menghadapi globalisasi, negara akan menjadi korban dari globalisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasedhuluran adalah sistem kekerabatan di rantai produksi kegiatan produksi gerabah. Pasedhuluran sebagai salah satu modal sosial dalam pembangunan sosial-ekonomi di Kasongan, memainkan peranan yang penting. Hal ini terlihat dalam sistem tenaga kerja, dimana sebagian besar merupakan keluarga.  Selain sistem tenaga kerja pasedhulran juga terlihat pada sistem pemesanan (order gerabah), dan menggunakan showroom sebagai tempat mempromosikan gerabah mereka. Berdasarkan studi ini diketahui bahwa dampak globalisasi dapat diminimalisir dengan adanya sistem kekerabatan (pasedhuluran).
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KOMUNITAS DESA: STUDI KASUS DI KAWASAN PESISIR UTARA PULAU AMBON
-, Subair;
Kolopaking, Lala M.;
Adiwibowo, Soeryo;
Pranowo, M. Bambang
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2943
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis strategi adaptasi komunitas nelayan terhadap dampak perubahan iklim. Lokasi penelitian di desa nelayan Asilulu, ditetapkan secara purposive mewakili karakteristik desa pesisir di kawasan pantai utara pulau Ambon Maluku. Metode yang digunakan adalah âmetode kasus historisâ sebuah metode studi sosiologi yang memadukan dua pendekatan yaitu sosiologi sejarah dan sejarah sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode hermeunetik dan dialektika dalam waktu kurang lebih 2 tahun (April 2010 â Juni 2012) menggunakan teknik pengamatan berperan serta, focus group discussion, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Penelitian menunjukkan hasil bahwa komunitas nelayan di desa Asilulu telah merasakan dampak dari perubahan iklim yang menekan sistem penghidupan mereka meliputi kenaikan permukaan laut, intensitas badai dan gelombang tinggi, perubahan fishing ground dan kekacauan musim tangkap. Kerentanan komunitas dikategorikan tingkat sedang dan karenanya masih dalam area coping range komunitas. Nelayan melakukan adaptasi proaktif dan reaktif dalam strategi adaptasi fisik, sosial-ekonomi, dan sumber daya manusia yang sejauh ini mampu meningkatkan lebar selang toleransi sehingga kerentanan dapat dikurangi dan resiliensi sistem meningkat. Kondisi ini membuat komunitas nelayan cukup resilien. The purpose of this study is to identify the adaptation strategies of a fishing community to respond the impact of climate change. Location of the study in the fishing village Asilulu, determined purposively to represent the characteristics of the coastal villages in the north coast of the island of Ambon Maluku. The method used is the âmethod of historical caseâ a sociological study method that combines two approaches, historical sociology and sociological history. Data collected between April 2010-June 2012, using the technique of participant observation, focus group discussions, in-depth interviews, and literature. Research shows that the fishing community in the village Asilulu have felt the impact of climate change which suppress their livelihood systems include sea level rise, storm intensity and high waves, changes in fishing grounds and fishing seasons chaos. Community vulnerability and therefore categorized as being still in the area of community coping range. Fishermen proactive adaptation and reactive adaptation strategies in physical, socio-economic, and human resources are so far able to increase the width of the tolerance interval so that vulnerabilities can be reduced and the resilience of the system increases.
PENGENTASAN KEMISKINAN PENDUDUK PERKOTAAN MELALUI PELATIHAN PENGOLAHAN SAMPAH
Banowati, Eva
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2944
Penelitian ini bertujuan membuat model pengentasan kemiskinan penduduk perkotaan melalui pelatihan mengolah sampah menjadi material fungsional baru. Penelitian tindakan (action reserach) dilakukan di Kota Semarang. Populasi penelitian adalah penduduk miskin, pengambilan sampel digunakan metode snowball. Data sekunder dari berbagai institusi terkait dan data primer diungkap menggunakan angket, wawancara, dan observasi. Data dianalisis secara keruangan berdasarkan Peta Sebaran Penduduk Miskin dan digunakan Tabel Silang.Pelatihan menggunakan Model Deduktif dan Induktif secara on the job karena penduduk miskin perkotaan belum berpengalaman mengolah sampah menjadi kompos. Analisis usaha membuat kompos didapatkan nilai B/C sebesar 1,098 yang bermakna usaha efisien dan menguntungkan. Pengolahan 1 container truck sampah volume bruto 3-5 ton didapatkan produk kompos sebagai material fungsional baru (MFB) sebesar 0,3 ton per daur.  Harga jual senilai Rp. 250.000,00 berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan Rp. 35.000 per hari mampu mengentaskan penduduk miskin ke posisi tidak miskin. Implikasi model pelatihan merupakan tindakan solutif yang edukatif dan mudah dijalankan karena penduduk diberi bekal keterampilan hidup yang berpeluang mengentaskan kemiskinan di perkotaan The purposes of this research to create a model of urban poverty population through waste treatment training to obtain new functional materials. This action research was conducted in Semarang. The research population was the poor residents, using snowball sampling technique. Secondary data was sourced from related institutions and the primary data was exposed by questionnaire, interview, and observation. The data was analyzed in spatial based on the Distribution Map of the Poor and used Crossing-Table. The training was using Deductive and Inductive Models are used on the job because the poor are inexperienced to process waste into compost. Analysis of effort to make compost obtained value of B/C of 1.098 which means efficient and profitable. One truck container 3-5 tons gross volume of product obtained new functional materials (NFM) of 0.3 tonnes worth selling. 250,000.00 affect the increase in revenue to Rp. 35,000 per day from the sale of compost is able to alleviate the poor to non-poor position. Implications of the model training is educational and solution-action easy to implement because residents was given the opportunity of life skills provision alleviate the poverty urban areas.
STUDENT POLITICS IN URBAN TERNATE, NORTH MALUKU
Amin, Basri
KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2946
This article examines student politics articulated by university students in contemporary Ternate, North Maluku. The involvement of students in the political arena in the region is mostly organized through regional (ethnic) organizations.The larger context of such political process is decentralisation, which make religional resource  resources dominated by the state. At the same time competition among local elites and ethnic groups flourish. This is the main background of a new formation of group interests in local level â-including local university students-- to gain group advantages. The case of Ternate, North Maluku, is an example of how groups of students organize their practical interests in the arena of politics by exploiting youth associations and ethnic organizations. Artikel ini mengkaji tentang politik yang diartikulasikan oleh kalangan mahasiswa dalam percaturan politik lokal di Ternate, Maluku Utara. Keterlibatan mahasiswa dalam arena kekuasaan di kawasan ini lebih banyak dilakukan melalui instrumen organisasi kedaerahan (etnis). Konteks besar yang menjadi landasan dari proses sosial ini adalah desentralisasi yang menempatkan sedemikian rupa sumberdaya pembangunan lebih banyak didominasi oleh negara, tapi pada saat yang sama perkembangan politik etnis terus menyertai persaingan kelompok dan elit lokal. Kasus Maluku Utara adalah sebuah contoh bagaimana kaum muda memainkan kepentingannya sendiri dalam percaturan kekuasaan dan dalam hal memanfaatkan kesempatan-kesempatan praktis untuk mereka.
WOMANâS POSITION IN UNDOCUMENTED MARRIAGES
Arsal, Thriwaty
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2947
The term of undocumented marriage is only known in Muslim community in Indonesia. Undocumented marriage is a legal type of marriage based on Islam as long as it is meets the marriageâs legal requirements; however, it is diverge from the state rules because it is not registered in the authorized institution for marriage. A woman who married with this type of marriage, based on law and administration, has no clear identity before the state. It will make her difficult to have her right as a wife. Undocumented marriage will give weak position for children by law. In addition, womenâs position in this type of marriage is the disadvantage object. Although undocumented marriage has negative impact especially on women and children; in Warurejo, however, this marriage is widely dispersed among the community. Research is conducted in Warurejo village, East Java using qualitative, quantitative and semantic approaches. Research result shows that the womenâs position in this undocumented marriage is having discrimination, subordination, no bargaining power in the family, and susceptible for cervix cancer. They do not have any option for the future because it is determined by family, norm and value system prevailed in the community. Istilah nikah siri hanya dikenal pada masyarakat muslim Indonesia. Nikah siri adalah bentuk pernikahan yang sah secara agama Islam sepanjang memenuhi syarat sahnya pernikahan tapi dianggap menyimpang dari peraturan negara karena tidak terdaftar pada lembaga yang berwenang mengurusi masalah perkawinan. Perempuan yang nikah siri, secara catatan hukum atau administrasi tidak memiliki identitas yang jelas di hadapan negara. Sulit untuk mendapatkan hak-haknya sebagai seorang istri. Pernikahan siri berdampak pula pada kelemahan posisi anak secara hukum. Selain itu, posisi perempuan dalam nikah siri juga lebih banyak menjadi objek yang dirugikan. Walaupun nikah siri mempunyai dampak negatif khususnya terhadap perempuan dan anak tapi di Warurejo nikah siri begitu berkembang dan meluas pada masyarakat. Lokasi penelitian dilakukan di desa Warurejo Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan kualitatif, kuantitatif dan semantik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam menikah siri mengalami diskriminasi, subordinasi, tidak memiliki posisi tawar dalam keluarga, rentan terhadap kanker serviks. Perempuan tidak memiliki pilihan untuk menentukan masa depannya karena masa depannya ditentukan oleh keluarga dan norma dan sistem nilai yang berlaku pada masyarakat tersebut
FORMALISASI SYARIâAT ISLAM DAN DOMINASI NEGARA TERHADAP ELITE AGAMA ISLAM TRADISIONAL DI ACEH
-, Nirzalin;
-, Fakhrurrazi
KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE Vol 6, No 1 (2014): Lokalitas, Relasi Kuasa dan Transformasi Sosial
Publisher : Universitas Negeri Semarang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2948
Berdasarkan studi kasus di Aceh Utara, tulisan ini hendak menunjukkan realitas kompleks tentang komodifikasi Syariâat Islam oleh elite yang sedang memerintah di Aceh. Realitasnya, birokratisasi Syariâat Islam telah menutup ruang bagi lahirnya wacana tandingan (counter discourse) dari masyarakat terhadap wacana yang dikembangkan oleh negara. Hal itu termanifestasi pada pelbagai Qanun yang telah disahkan. Qanun-qanun tersebut justeru memperlihatkan dominasi kepentingan elite yang sedang memerintah daripada aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat. Sementara itu, birokratisasi dayah (pondok pesantren salafi/tradisional) dan penciptaan ketergantungan ekonomi dayah pada negara melalui kegiatan yang mengatasnamakan âpembinaanâ dayah ternyata merupakan kedok bagi dominasi negara terhadap teungku dayah (elite agama Islam tradisional). Dominasi ini berhasil memposisikan teungku dayah sebagai jastifikator pelbagai kebijakan pemerintah. Akibatnya, peran teungku dayah di Aceh yang pada awalnya adalah aktor sosial yang secara vis a vis sanggup berhadapan dengan pemerintah dalam mengkritisi pelbagai kebijakan berdasarkan aspirasi yang berkembang di masyarakat menjadi pudar. Based on a case study in North Aceh district, this paper wants to demonstrate the complex reality of current commoditization of Syariâah committed by political elites in Aceh. In fact, the bureaucratization of Syariâah has closed democratic spaces which enable civil society including local religious elite to counter stateâs discourses and policies. Such bureaucratization was manifested in the enactment of several Qanuns which unveil the domination of ruling elitesâ interests over societyâs interests and aspiration. On the other hand, the bureaucratization of dayah (traditional or salafi pesantren) and the formation of its economic dependence on stateâs budgets through what called as âdayah guidance/direction programsâ became a powerful means for the state apparatus to co-opt teungku dayah as Islamic local religious elites. Such cooptation has successfully positioned teungku dayah to act as justificatory actor toward various government policies. As the result, the historical role of teungku dayah in Aceh as the main political actor, which able to criticize government policies based on people aspiration, is fading away in the aftermath of conflict in Aceh.