Articles
397 Documents
Tinjauan Ulang Hipotesis Higiene
Anang Endaryanto
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 3 (2018): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (646.148 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V30.3.2018.264-274
Latar Belakang: Hipotesis higiene mendalilkan bahwa infeksi memberikan perlindungan terhadap alergi. Hubungan terbalik antara infeksi dan alergi belum banyak dikonfirmasi secara langsung oleh studi epidemiologi. Belum ada review yang konsisten tentang hal ini. Tujuan: Tulisan ini memberikan informasi dan analisis mengenai berbagai hasil penelitian yang relevan dalam rangka memberi gambaran tentang peran Hipotesis higiene pada alergi. Telaah Kepustakaan: Ditemukan kesesuaian hipotesis higiene dengan fakta klinis dan epidemiologis masa kini; serta relevansi konsep keseimbangan respons imun Th1/Th2 dalam hubungan antara infeksi dengan penyakit alergi saat ini setelah adanya temuan baru tentang respons imun Treg, Th17, Th9, serta Th22. Simpulan: Hipotesis Higiene menjadi salah satu cara untuk menjelaskan perubahan global terbaru dalam prevalensi alergi, teori mengenai imunopatogenesis lebih lanjut yang konsisten dengan bukti epidemiologi masih diperlukan.
Perbandingan Nilai Transepidermal Water Loss Pada Lesi Makula Anestetika dan Nonanestetika Pada Pasien Kusta
Indah Sari LD;
Indropo Agusni;
Diah Mira I
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 3 (2018): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (452.852 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V30.3.2018.224-230
Latar belakang: Kusta adalah penyakit infeksi kronis, disebabkan oleh M. leprae, penyakit ini menyerang sistem saraf perifer, kulit, dan jaringan lain. Gangguan kusta pada saraf tepi menyerang juga saraf autonomik yang akan mengganggu kelenjar keringat yang dapat menyebabkan kondisi kulit kering. Transepidermal Water Loss (TEWL) adalah penilaian terhadap jumlah air yang menguap dari kulit. Semakin tinggi TEWL penguapan semakin besar, kemungkinan terdapat kerusakan pada barier kulit atau produksi keringat. Tujuan: Mengukur nilai TEWL pada lesi makula anestetika dan nonanestetika pada pasien kusta. Metode: Penelitian analitik observasional dengan populasi pasien kusta di Poli Kulit dan Kelamin RSUD. Dr. Soetomo Surabaya. Sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian dilakukan pemeriksaan TEWL pada pasien tersebut. Hasil: Dari 22 pasien kusta didapatkan perbedaan rerata yang signifikan antara TEWL makula anestetika dan nonanestetika (p= 0,0001). Distribusi nilai TEWL pada makula anestetika 0-<10 g/m2/h (59,1%), kisaran 10-<15 g/m2/h (27,3%), 15-<25 g/m2/h (13,6%). Simpulan: Terdapat perbedaan rerata yang signifikan antara TEWL makula anestetika dan nonanestetika.
Studi Retrospektif: Alopesia Areata
Agatha Anindhita Ayu Ardhaninggar;
Trisniartami Setyaningrum
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 30 No. 3 (2018): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (306.161 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V30.3.2018.255-263
Latar Belakang: Alopesia areata (AA) adalah penyakit yang ditandai dengan kerontokan rambut pada kulit kepala secara tiba-tiba. Penegakan diagnosis AA dengan pemeriksaan fisik dan dermoskopi cukup mudah, namun penatalaksanaan pasien AA cenderung sulit.Terapi hanya merangsang pertumbuhan rambut yang baru, tetapi tidak memengaruhi perjalanan penyakit. Tujuan: Mengevaluasi gambaran umum dan penatalaksanaan pasien AA. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dalam kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 2012-2016 di Divisi Kosmetik URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hasil: Jumlah pasien baru AA di Divisi Kosmetik Medik URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2012-2016 sebesar 0,6% dari 4875 pasien Divisi Kosmetik Medik. Sebesar 70% pasien baru AA adalah pria dan didominasi oleh kelompok usia 25-44 tahun (40%). Keluhan pasien AA terbanyak berupa kerontokan atau kebotakan rambut setempat pada 27 pasien (90%). Lama sakit terbanyak pasien baru AA adalah 0-6 bulan, yaitu sebanyak 20% pasien dengan riwayat tanpa pengobatan sebelumnya sebanyak 76,7%, kriteria diagnosis terbanyak adalah area kecil tidak berambut yang didapatkan pada 90% pasien. Subtipe AA yang paling banyak ditemukan adalah subtipe klasik sebanyak 90% pasien. Terapi AA yang banyak digunakan adalah pemberian topikal minoxidil (96,7%) dan suplemen kombinasi. Sebanyak 46,7% pasien melakukan kontrol ulang. Simpulan: AA banyak menyerang pria pada usia produktif. Terapi pertama yang diberikan adalah topikal minoxidil. Hasil terapi pada pasien yg melakukan kontrol ulang 50% menunjukkan perbaikan yaitu pertumbuhan rambut baru pada lesi AA.
Perbedaan Tipe Human Papilloma Virus antara Human Immunodeficiency Virus Positif dan Negatif pada Pasien Kondiloma Akuminata Anogenital
Silvia Wilvestra;
Qaira Anum;
Isramiarti Isramiarti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 2 (2019): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (406.535 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V31.2.2019.130-137
Latar belakang: Kondiloma akuminata anogenital adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa anogenital. Prevalensi kondiloma akuminata anogenital meningkat setiap tahunnya, terutama pada pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Hingga saat ini masih sedikit penelitian mengenai tipe HPV pada kondiloma akuminata anogenital di Indonesia. Tujuan: Mengevaluasi perbedaan tipe HPV antara HIV positif dan HIV negatif pada pasien kondiloma akuminata anogenital di RS Dr. M. Djamil, Padang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional cross sectional comperative study yang bersifat analitik. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Tipe HPV dideteksi menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Hasil: Terdapat 24 subjek penelitian pasien kondiloma akuminata anogenital dengan HIV positif dan HIV negatif. Kelompok usia terbanyak adalah ≥18 – 25 tahun. Jumlah pasangan seksual terutama multipel, dan 75% merupakan lelaki seks lelaki (LSL). HPV tipe 16 merupakan tipe terbanyak pada pasien kondiloma akuminata anogenital dengan HIV positif (100%) dan HPV tipe 6 pada pasien dengan HIV negatif (66,67%). Infeksi HPV multipel lebih banyak ditemukan pada pasien dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negatif. Simpulan: Terdapat perbedaan tipe HPV antara HIV positif dan HIV negatif pada pasien kondiloma akuminata anogenital.
Profil Pasien Urtikaria
Aulia Rafikasari;
Deasy Fetarayani;
Trisniartami Setyaningrum
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 3 (2019): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (363.607 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V31.3.2019.122-127
Latar Belakang: Sebanyak 15-20% manusia pernah mengalami episode urtikaria satu kali selama hidupnya. Urtikaria adalah erupsi pada kulit, berwarna merah, berbatas tegas, dan memutih bila ditekan. Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3%-11,3% tergantung besar populasi yang diteliti. Tujuan: Mengevaluasi profil dan gambaran umum pasien baru urtikaria. Metode: Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2015-2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif retrospektif dengan mengevaluasi rekam medis pasien berupa umur, jenis kelamin, klasifikasi International Classification of Diseases (ICD) urtikaria, durasi urtikaria, dan pengobatan. Hasil: Didapatkan 463 pasien urtikaria. Pasien didominasi oleh rentang umur antara 12-25 tahun. Diagnosis terbanyak adalah urtikaria alergi sebanyak 36% pada tahun 2015, 34% tahun 2016, dan meningkat menjadi 40% pada tahun 2017. Pengobatan yang paling sering dilakukan adalah golongan obat antihistamin H1 generasi kedua. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 juga masih banyak digunakan untuk terapi urtikaria. Simpulan: Pasien urtikaria di RSUD Dr. Soetomo tidak mengalami banyak perubahan bila dibandingkan dengan data profil urtikaria yang dilakukan tahun sebelumnya. Pengobatan urtikaria yang dilakukan kurang sesuai dengan guideline urtikaria terbaru tahun 2014.
Sensibility Test of Candida species against Nystatin, Ketoconazole, and Fluconazole on Oral Candidiasis with HIV/AIDS using Disc Diffusion Method
Cut Shelma Maharani;
Rahmadewi Rahmadewi;
Afif Nurul Hidayati;
Dwi Murtiastutik
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 3 (2020): DECEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20473/bikk.V32.3.2020.221-231
Background: Oral candidiasis is one of the most common infections in Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) patients. Some studies have reported an increased number of resistances of Candida sp. against several antifungal therapies. Purpose: To evaluate the pattern of Candida sp. causing oral candidiasis and the pattern of resistance among the Candida sp. against nystatin, ketoconazole, and fluconazole in oral candidiasis patients with HIV/AIDS infection. Methods: This was a descriptive observational study conducted at the Infectious Disease Intermediate Care Unit (UPIPI) Dr. Soetomo General Academic Teaching Hospital. Candida sp. was identified using conventional methods, while the sensibility test was done by using disc diffusion methods. Result: There were 26 subjects with 50 isolates of Candida sp. that had been cultured successfully. Non-albicans Candida sp. was the most common species, which was observed in 28 subjects (56%). The results of the sensibility test on Candida sp. against nystatin, ketoconazole, and fluconazole were 0 (0%), 3(6%), dan 23(46%) respectively. Conclusion: The increased resistance among Candida sp. against antifungal drugs, especially fluconazole, could raise awareness in drug prescription, especially for HIV/AIDS patients.
Pengaruh Vitamin D3 pada Dermatitis Atopik Anak di Indonesia
Yuli Wahyu Rahmawati;
Iskandar Zulkarnain;
M Yulianto Listiawan;
Trisniartami Setyaningrum;
Irmadita Citrashanty;
Lisa Aditama;
Christina Avanti
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 2 (2019): AGUSTUS
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (387.837 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V31.2.2019.123-129
Latar Belakang: Vitamin D berperan pada homeostasis dan metabolisme kalsium. Selain fungsi tersebut, vitamin D juga berperan penting pada sistem kekebalan tubuh. Peran vitamin D terhadap sistem kekebalan tubuh telah diteliti akhir–akhir ini dengan penemuan reseptor vitamin D (VDR) pada jenis sel yang berbeda. Reseptor vitamin D telah diidentifikasi pada hampir semua sel sistem kekebalan termasuk sel T, sel B, neutrofil, makrofag, dan dendritic cell (DC). Penelitian yang menghubungkan kekurangan vitamin D dengan peningkatan risiko keganasan (terutama kolorektal), dermatitis atopik (DA), autoimun, infeksi, dan kardiovaskular banyak dilakukan pada dekade terakhir ini. Di antara faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis DA, kekurangan vitamin D pada pasien DA menjadi topik yang penting saat ini. Tujuan: Mengetahui pengaruh vitamin D3 pada pasien DA anak. Metode: Penelitian cohort pada pasien DA anak yang memenuhi kriteria inklusi yang diberikan sirup vitamin D3 selama 28 hari, kemudian dilakukan pengukuran kolonisasi Staphylococcus aureus sebelum dan sesudah pemberian vitamin D3. Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan penurunan kolonisasi Staphylococcus aureus sebelum dan setelah pemberian vitamin D3 pada pasien DA anak, dengan nilai p=0,0001. Simpulan: Vitamin D3 dapat menurunkan kolonisasi Staphylococcus aureus pada pasien DA anak.
Studi Retrospektif: Sifilis Laten
Bernadya Yogatri Anjuwita Saputri;
Dwi Murtiastutik
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 1 (2019): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (465.942 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V31.1.2019.46-54
Latar Belakang: Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis namun menunujukkan hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Sifilis laten merupakan stadium yang asimtomatik dan tidak didapat adanya gejala-gejala sifilis primer ataupun sekunder. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil uji serologi treponemal dan non treponemall yang reaktif. Tujuan: Mengevaluasi angka kejadian dan penatalaksanaan pasien baru sifilis laten. Metode: Penelitian ini adalah studi deskriptif retrospektif. Data berasal dari rekam medis pasien baru sifilis laten di Divisi Infeksi Menular Seksual (IMS) Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2009-2017. Hasil: Selama tahun 2009-2017, didapatkan 37 pasien baru sifilis laten. Pasien terbanyak berusia 26-35 tahun, mayoritas adalah pria dan berstatus menikah. Berdasarkan anamnesis, sebesar 64,9% pasien sifilis laten datang berobat tanpa keluhan dengan membawa hasil laboratorium serologi sifilis yang reaktif. Hasil pemeriksaan penunjang, sebesar 32,4% pasien baru sifilis laten menunjukkan nilai titer VDRL 1:4 dan sebanyak 21,6% pasien baru sifilis laten menunjukkan hasil serologi treponemal TPHA 1:640. Sifilis laten lanjut merupakan diagnosis terbanyak sebesar 75,8%. Sekitar 62,2% pasien sifilis laten mendapat terapi dan 56,5 % pasien dari pasien tersebut mendapat terapi injeksi Benzatin Penisilin G. Simpulan: Penegakan diagnosis sifilis laten dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan serologi. Sifilis laten sebagian besar ditatalaksana dengan injeksi Benzatin Penisilin G sebagai terapi pilihan pertama dari berbagai rekomendasi. Evaluasi hasil serologi non treponemal setelah terapi didapatkan yang paling banyak adalah pasien melakukan kunjungan ulang pada bulan ke 3 sebanyak 9 orang dengan penurunan titer dari 1: 4 menjadi 1:2 sebanyak 4 pasien.
Peran Sinar Matahari terhadap Derajat Keparahan dan Progresivitas Penyakit Vitiligo
Tuntas Rayinda;
Prasta Bayu Putra;
Sunardi Radiono;
Yohanes Widodo Wirohadidjojo
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 3 (2019): DESEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (159.846 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V31.3.2019.116-121
Latar belakang: Peran sinar matahari dalam vitiligo belum sepenuhnya dipahami. Terapi ultraviolet merupakan salah satu terapi yang efektif untuk vitiligo. Akan tetapi, teori lain mengatakan bahwa peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang diinduksi oleh paparan sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan tirosinase dan sensitisasi sel T. Simple 1-week sun exposure recall (S1WSER) merupakan kuesioner yang telah digunakan untuk memprediksi sirkulasi 25-hidroksivitamin D pada ras Kaukasia dengan menghitung jumlah paparan sinar matahari harian. Tujuan: Mengevaluasi peran sinar matahari pada derajat keparahan dan progresivitas penyakit vitiligo. Metode: Sebanyak 22 pasien vitiligo yang menjalani narrow band ultraviolet-B (NBUVB) seluruh tubuh diminta untuk menilai jumlah paparan sinar matahari harian menggunakan S1WSER. Progresivitas penyakit didapatkan dari perbedaan antara nilai Self Assessed Vitiligo Area Severity Index (SAVASI) berdasar kondisi kulit sebelum memulai fototerapi dan kondisi lesi kulit saat ini (ΔSAVASI). Keparahan penyakit didapatkan dari skor Vitiligo Area Scoring Index (VASI) yang dinilai oleh dokter. Hasil: Jumlah area tubuh yang terpapar oleh sinar matahari atau Total Body Areas Exposed by Sunlight (TBAES) dan total skor S1WSER lebih tinggi pada kelompok pasien vitiligo, yang menunjukkan perbaikan setelah foterapi NBUVB dibandingkan kelompok yang tidak mengalami perbaikan (p<0.05). Korelasi negatif ditemukan antara TBAES dan ΔSAVASI (p<0,05, r=-0,457), meskipun demikian total skor S1WSER dan jumlah waktu terpapar sinar matahari Total Time Exposed by Sunlight (TTES) tidak berkorelasi dengan ΔSAVASI (p>0.05). Tidak didapatkan korelasi yang signifikan antara skor VASI dan skor total S1WSER, TBAES, atau TTES (p>0.05). Simpulan: Sinar matahari memperlambat progresifitas penyakit vitiligo. Derajat keparahan vitiligo tidak berkorelasi dengan jumlah dan waktu paparan sinar matahari.
Profil Pasien Dermatitis Kontak Alergi Akibat Kosmetik
Marissa Astari Rubianti;
Cita Rosita Sigit Prakoeswa
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 31 No. 1 (2019): APRIL
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (339.163 KB)
|
DOI: 10.20473/bikk.V31.1.2019.35-40
Latar Belakang: Kontak erat kosmetik dalam waktu yang lama dengan kulit, menginisiasi proses sensitisasi dari beberapa kandungan bahan kimia yang ada di dalamnya. Banyaknya kasus dermatitis kontak alergi (DKA) akibat kosmetik diakibatkan oleh beragamya produk kosmetik yang beredar di pasaran seperti sabun, shampoo, deodorant, pasta gigi, krim wajah, tabir surya, dan parfum. Tujuan: mengevaluasi profil pasien DKA akibat kosmetik dan pelayanan pasien DKA akibat kosmetik di Divisi Alergi Instalasi Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode 2014-2017. Metode: Studi retrospektif dari data sekunder rekam medik pasien baru DKA akibat kosmetik selama periode 4 tahun (2014-2017). Hasil: Pasien baru DKA akibat kosmetik terbanyak tahun 2017 sebanyak 8.6 % dari total kunjungan pasien dermatitis kontak di divisi alergi. Pasien perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan kelompok umur terbanyak pada usia 20-30 tahun (37,7%). Bahan penyebab terbanyak yang dilaporkan adalah krim pagi. Manifestasi klinis terbanyak bentuk makula eritematosa disertai dengan rasa gatal dengan eliminasi bahan penyebab sebagai penatalaksanaan utama pada DKA akibat kosmetik. Sebanyak 53 (18,3%) pasien dilakukan pemeriksaan uji tempel dan 20 (37,7%) pasien menunjukkan hasil yang positif dengan karakteristik hasil uji tempel 100% pasien menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan as-is dan 45% pada bahan reagen standar. Sebanyak 19,7% pasien memiliki riwayat atopi pada diri sendiri dan 6,5% pada keluarganya. Simpulan: Profil DKA akibat kosmetik dapat disebabkan karena bahan yang terkandung di dalam suatu produk kosmetik dan tidak berhubungan dengan riwayat atopi pada diri sendiri maupun keluarga pasien.