Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

HUBUNGAN MAKNA AKRONIM DAN KATA PEMBENTUKNYA PADA ACARA INDONESIA LAWAK KLUB (ILK) DI TRANS 7 Syamsul Rijal
Aksara Vol 27, No 1 (2015): Aksara, Edisi Juni 2015
Publisher : Balai Bahasa Provinsi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (743.877 KB) | DOI: 10.29255/aksara.v27i1.172.73-82

Abstract

Penelitian ini membahas tentang penggunaan akronim dalam acara Indonesia Lawak Klub (ILK) di Trans 7. Populasinya pun diambil dari semua akronim yang pernah digunakan dalam ILK dengan penarikan sampel secara purposif. Data-data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. Proses pembentukan akronim dalam acara ILK menggunakan tiga bentuk relasi makna dalam menciptakan konsep-konsep kata, frasa, dan klausa yang lucu dan kocak. Selain itu, ada pula akronim yang dibentuk tanpa memiliki hubungan makna dengan kata-kata pembentuknya. Akronim-akronim yang memiliki relasi makna tersebut terbentuk dengan tiga pola hubungan makna, yaitu prinsip inklusi/tercakup; prinsip bersinggungan; dan prinsip komplementer.
KOSAKATA BATU DALAM BAHASA-BAHASA DAERAH DI INDONESIA: ANALISIS LINGUISTIK BANDINGAN HISTORIS Syamsul Rijal
CaLLs: Journal of Culture, Arts, Literature, and Linguistics Vol 1, No 1 (2015): Juni 2015
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (638.145 KB) | DOI: 10.30872/calls.v1i1.707

Abstract

The phenomenon of gemstone or in Indonesia known as “batu akik” happened greatly in the early to the middle of 2015 and has become attention among the people in Indonesia. Although it cannot be identified precisely when the phenomenon of people massively wearing and collecting gemstones has begun, this study aims to present an early review of this phenomenon seeing from linguistics study. This study revealed three linguistics points regarding to this phenomenon.  First, from several vocabulary of “batu”, most of them have the same phonetic form, that is [batu]. Second, the variation of “batu” vocabulary experienced changes in bilabial sound from /b/ to become /w/; extra aspirated voice [Bh] in phoneme [b]; and bilabial phoneme /b/ becomes dorsa velar /k/. Third, this study reveals that people’s interest in wearing and collecting gemstone all over Indonesia happened as the result of cultural similarity which lies in vocabulary “batu” that exists almost in all tribes, regions, and cities in Indonesia.Keywords: gemstone, local language, linguistic comparison
Budaya Agraris Dalam Konsep Idiom Bahasa Indonesia: Kajian Antropolinguistik Syamsul Rijal
Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (156.054 KB) | DOI: 10.30872/diglosia.v1i1.8

Abstract

Language cannot be separated from culture. In fact, language is the cultural expression of a nation. An agrarian culture in Indonesian has undergone internalization, giving birth to new words and phrases. The results of this study show several words and phrases which are idioms in Indonesian with the process of internalization of agrarian culture. The words and phrases of the agrarian culture can be found in agricultural terms, for example lahan basah, membanting tulang, memeras keringat, panen, mencairkan, and others. These words and phrases have blended in people's minds and expressed everyday culture. Who knows who started and where it came from. However, the Indonesian language user community has accepted these terms as ancestral cultural heritage. Understanding idioms seems difficult if you only understand the meaning of conventions from Indonesian speakers. The semantic load contained in the concept of idioms is too long a derivative chain. Therefore, this paper bridges Indonesian language users to understand the concept of Indonesian idioms which is an internalization of the Indonesian agrarian culture itself.
PEMALI DALAM MASYARAKAT ETNIK BUGIS DI KOTA SAMARINDA:SUATU TINJAUAN SEMIOTIKA Novi Syahfitri; M. Bahri Arifin; Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 3, No 2 (2019): April 2019
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.454 KB) | DOI: 10.30872/jbssb.v3i2.1910

Abstract

Objek penelitian ini adalah kebudayaan tradisi lisan dalam bentuk pemali. Pemali merupakan pantangan yang disampaikan secara turun-temurun antar generasi. Pemali menjadi ekspresi budaya yang menunjukkan kearifan orang-orang terdahulu yang mampu memaknai kehidupan secara arif dan bijaksana di tengah minimnya akses informasi dan sarana teknologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna yang terkandung dalam pemali Bugis yang diketahui dan yang dilaksanakan masyarakat etnik Bugis di Kota Samarinda. Penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Analisis data menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemali dalam masyarakat etnik Bugis di Kota Samarinda berlaku (1) bagi gadis yang belum menikah, (2) wanita hamil, (3) laki-laki pada umumya, (4) anak kecil, dan (5) semua kalangan. Adapun makna yang terkandung dalam pemali mencakup nilai sosial yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, nilai budaya serta nilai moral dan etika. The object of this research is the culture of oral tradition in the form of a multiplier. Pemali is taboos that are passed down through generations. Pemali is a cultural expression that shows the wisdom of previous people who are able to interpret life wisely and wisely amid the lack of access to information and technological means. The purpose of this study was to describe the meaning contained in Bugis pemali known and carried out by Bugis ethnic communities in Samarinda City. This research was obtained using in-depth interview techniques. Data analysis using qualitative methods. The results of the study show that the pemali in Bugis ethnic communities in Samarinda City applies (1) to unmarried girls, (2) pregnant women, (3) men in general, (4) small children, and (5) all groups. The meanings contained in the pemali include social values that govern human relations with each other, cultural values and moral and ethical values.
KEUNIVERSALAN BUDAYA NUSANTARA DALAM PEMALI DILARANG DUDUK DI ATAS BANTAL: SEMIOTIKA ROLAND BARTHES Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 4, No 3 (2020): Juli 2020
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/jbssb.v4i3.4129

Abstract

Keanekaragaman budaya di Nusantara harus dikelola menjadi penguat budaya nasional. Salah satunya dengan intensitas penelitian budaya dan nilai-nilainya. Tulisan ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang mengumpulkan dan menganalisis salah satu kekayaan budaya di Indonesia, yakni budaya pemali. Pemali memang bertebaran pada setiap etnik di Indonesia. Olehnya itu, tulisan ini memilih satu pemali yang berlaku secara universal pada 21 etnik di Nusantara. Pemali tersebut adalah dilarang duduk di atas bantal, karena nanti bisulan. Pemali ini dianalisis dengan menggunakan kajian semiotika Roland Barthes, yakni pemaknaan dua lapis pada sebuah tanda. Pemaknaan tersebut adalah pemaknaan denotasi dan konotasi yang membentuk penanda dan petanda. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada tahap pertama, bisul bermakna sebagai satu penyakit jorok dan menjijikkan. Selanjutnya, pada tahap kedua, penyakit jorok menjadi penanda yang menghasilkan petanda bahwa orang yang mengalami penyakit bisulan adalah orang sering melanggar adat kepantasan, yakni sering menduduki bantal yang fungsinya hanya sebagai alas kepala. Konotasi ini menjadi mitos dalam masyarakat sehingga akhirnya diterima dan dipraktikkan lalu menjadi ideologi. Ideologi dalam hal ini adalah nilai-nilai kultural dan historis tentang bantal, bisul, dan kepala yang telah memasuki sistem budaya masyarakat di Nusantara.
ANALISIS STRATA NORMA PUISI MAHAKAM KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN Yusuf Maulana Hanafi; Endang Dwi Sulistyowati; Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 1, No 2 (2017): Edisi April 2017
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (214.017 KB) | DOI: 10.30872/jbssb.v1i2.683

Abstract

ABSTRACT The aim of this research is to describe the level of norms which is found in Mahakam poem by Korrie Layun Rampan. The method used in this research is qualitative research. The result of this reseach, in Mahakam poem the writer told the story of himself living far away from his family. In the title of the poem itself, it means he left mahakam, the name of the river wjere he was born. The meaning layer in Mahakam poem by Korrie Layun Rampan is euphony. All verses found in the poem use various euphony sounds, because the writer wanted to declare spirit and sensitivity in a delicate way about what the writer has experienced. The words chosen in this poem used indirect technique in a form of pictures with paintings or the voice of nature and indirect voice. The object layer in the Mahakam poem is the location setting and the time is in the beach in the morning and evening in 1874. The person in the Mahakam poem is the writer himself, because the writer is telling his longing feeling to the family when he was far away. The world described by the writer in Mahakam poem is the longing feeling to thw family when he was far away.Keywords: Mahakam poem, norms levelABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strata norma yang terdapat pada puisi Mahakam karta Korrie Layun Rampan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam puisi Mahakam penulis menceritakan dunia penulis itu sendiri dalam menjalani hidup di perantauan tanpa keluarga. Pada judul puisi ini sendiri mengartikan ia meninggalkan mahakam, yaitu nama sebuah sungai dimana si penyair itu dilahirkan. Lapis bunyi yang terdapat pada puisi Mahakam karya Korrie Layun Rampan adalah eufoni. Seluruh bait yang terdapat pada puisi tersebut menggunakan ragam buni eufoni, karena penyair sendiri ingin menyatakan semangat, dan keharuan dengan cara lembut tentang apa yang dialami penyair. Kata-kata yang dipilih dalam puisi ini menggunakan teknik tak langsung berupa gambaran dengan lukisan-lukisan atau cerita kiasan berupa keindahan alam dan juga suara-suara tidak langsung. Lapis objek pada puisi Mahakam ini antara lain latar tempat dan waktunya ialah pantai di pagi dan sore hari pada tahun 1974. Pelaku pada puisi Mahakam itu sendiri ialah penyair itu sendiri, dikarenakan si penyair menceritakan kerinduannya kepada keluar disaat ia sedang merantau. Dunia yang digambarkan pengarang dalam puisi Mahakam adalah kerinduan kepada keluarga disaat ia tinggal ke tanah perantauan. Kata kunci : puisi mahakam, strata norma
MAKNA SIMBOLIK MAPPASIKARAWA DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS DI SEBATIK NUNUKAN Seliana Seliana; Syaiful Arifin; Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 2, No 3 (2018): Edisi Juli 2018
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.72 KB) | DOI: 10.30872/jbssb.v2i3.1145

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan simbol-simbol dan makna dalam tradisi mappasikarawa pernikahan suku Bugis di Sebatik Nunukan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan pendekatan kualitatif. Data dan sumber data dalam penelitian ini adalah informan sebagai sumber memperoleh data. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, wawancara, dan rekaman. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis secara makna denotatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tradisi mappasikarawa terdapat beberapa makna simbolik, pertama simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi mappasikarawa yaitu, jempol/ibu jari, jabat tangan, pangkal lengan, hidung, leher, dada, telinga, perut, dan ubun-ubun. Kedua, makna melalui teori makna yaitu makna denotatif. Semua simbol tersebut memiliki makna yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan dan aktivitas sehari-hari masyarakat Bugis. Masyarakt Bugis yakin bahwa simbol dalam tradisi mappasikarawa tersebut merupakan makna yang sakral.Kata kunci: tradisi, mappasikarawa, makna  ABSTRACT This study aims to describe the symbols and meaning in the tradition of marriage mappasikarawa Bugis tribe in Sebatik Nunukan. The type of research used is field research and qualitative approach. Data and data sources in this study are informants as a source of data. Data collection techniques used were observation, interview, and recording techniques. Data analysis technique using analysis technique with denotative mean. The results showed that in mappasikarawa tradition there are some symbolic meanings, first the symbols contained in mappasikarawa tradition that is, thum, handshake, arm base, nose, neck, chest, ear, stomach, and crown. Second, meaning through the theory of meaning is denotative meaning. All of these symbols have meaning that is very closely related to the life and daily activities of Bugis society. The Bugis community is convinced that the symbol in the mappasikarawa tradition is a sacred meaning.Keywords: tradition, mappasikarawa, meaning
PEMALI DALAM MASYARAKAT ETNIK BANJAR DI KOTA SAMARINDA: SUATU TINJAUAN SEMIOTIKA Annisa Akhlak; M. Bahri Arifin; Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 3, No 2 (2019): April 2019
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (187.448 KB) | DOI: 10.30872/jbssb.v3i2.1780

Abstract

Penelitian ini membahas tentang makna pemali dalam masyarakat etnik Banjar yang berada di Kota Samarinda. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pemali apa saja yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh masyarakat etnik Banjar dan menentukan makna terkandung di dalam budaya pemali masyarakat etnik Banjar.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dan termasuk dalam jenis penelitian lapangan. Data penelitian ini berupa budaya pemali yang diperoleh dari observasi dengan informan yang mengetahui dan masih melaksanakan budaya pemali yang berada di kota Samarinda. Data dikumpulkan dengan metode wawancara, rekam dan catat. Data dianalisis dengan teknik reduksi data, transkrip data, dan penyajian data.Hasil dari penelitian ini berupa temuan makna pemali dengan menggunakan teori semiotika yang dilihat dari makna denotatif atau pemaknaan tingkat satu yaitu makna sebenarnya atau sesuai dengan kamus, konotatif atau pemaknaan tingkat dua yaitu merupakan bentuk akibat yang menjadi tanda, serta akan menjadi mitos yang sekaligus menjadi simbol budaya Banjar. Penelitian ini mengumpulkan lima puluh pemali yang terbagi menjadi dua yaitu, pemali yang tidak dilaksanakan dan pemali yang dilaksanakan. This study discussed the meanings of pamali in Banjar ethnic living in Samarinda City. It aimed to find out the types of pamali performed and not performed by the Banjar ethnic community and to determine the meanings contained in the pamali according to the culture of Banjar ethnic society. This study applied a qualitative approach with the descriptive method and it was categorized as a field study. The data of this research were in the forms of pamali culture obtained from the informants who understood and still performed the pamali culture existing in Samarinda City. The data were collected through interview, recording, and note-taking. The data were analyzed by using data reduction, data transcription, and data display. The findings of this study were in the forms of pamali with their meanings by using a semiotic theory which was seen from their denotative meanings or the first level of meaning analysis, namely the real meaning or the meaning according to the dictionary. Their connotative meaning of the second level of meaning analysis was the effects which were in the forms of signs, and they would become myths and symbols of Banjar culture. This study collected 50 pamali which were divided into two types, the pamali which were not performed and those which were performed.
BUDAYA PEMALI DALAM MASYARAKAT ETNIK TORAJA DI KOTA SAMARINDA: SUATU TINJAUAN SEMIOTIKA Risna Dwi Astuti; M. Bahri Arifin; Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 4, No 4 (2020): Oktober 2020
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/jbssb.v4i4.2850

Abstract

Pemali merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang digunakan sebagai bentuk larangan paling halus dan sopan. Salah satu masyarakat yang masih mengamalkan pemali adalah masyarakat etnik Toraja. Penelitian ini membahas tentang makna tanda semiotika pemali yang ada dalam masyarakat etnik Toraja. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pemali apa saja yang ada pada masyarakat etnik Toraja di Kota Samarinda; (2) mendeskripsikan makna yang terkandung pada pemali masyarakat etnik Toraja di Kota Samarinda. Penelitian ini termasuk penelitian lapangan menggunakan pendekatan kualitatif dengan model pemerian deskriptif. Data penelitian ini berupa teks pemali yang diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat etnik Toraja di Kota Samarinda, sedangkan sumber data dalam penelitian ini, yaitu informan dari masyarakat etnik Toraja yang menetap di Kota Samarinda. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, perekaman dan pencatatan. Kemudian, data dianalisis dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes yang melihat tanda dalam dua tingkat pemaknaan, yaitu pemaknaan tingkat satu (denotasi) dan pemaknaan tingkat dua (konotasi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makna tanda pada tingkat pemaknaan kedua menjelma menjadi mitos. Dari 47 rumusan pemali yang diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat etnik Toraja di Kota Samarinda terdapat 5 pemali yang berkaitan dengan kesehatan, 6 pemali yang berkaitan dengan dengan keselamatan, 3 pemali berkaitan dengan rezeki dan 1 pemali berkaitan dengan jodoh.
PEMALI DALAM MASYARAKAT ETNIK JAWA DI KOTA SAMARINDA: SUATU TINJAUAN SEMIOTIKA Chandika Aryzona; M. Bahri Arifin; Syamsul Rijal
Ilmu Budaya: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Vol 5, No 2 (2021): April 2021
Publisher : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/jbssb.v5i2.3379

Abstract

Penelitian ini membahas tentang interpretasi makna tanda pemali dalam masyarakat etnik Jawa yang berdomisili di Samarinda. Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pemali apa yang diketahui serta dilaksanakan oleh masyarakat etnik Jawa dan makna tanda yang tekandung dalam pemali yang dilaksankan oleh masyarakat etnik Jawa. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan serta menggunakan pendekatan kualitatif denga metode deskriptif. Data penelitian ini berupa pemali yang didapatkan melalui informan yang mengetahui tentang budaya pemali dan masih melaksanakannya. Selanjutnya, data dikumpulkan dengan metode wawancara, rekam, dan catat. Kemudian, dianalisis dengan teknik reduksi data, transkip data, dan penyajian data. Hasil dari penelitian ini ditemukan makna tanda pada setiap pemali dengan menggunakan teori semiotika teori kebohongan (The Theory Of Lie) milik Umberto Eco yang dapat dilihat dari dan makna konotatif /metafora (tanda mengelabui atau membohongi) adalah bentuk akibat yang akan menjadi tanda pemaknaan tingkat dua dan makna denotatif atau makna nyata (sebenarnya) yang sesuai kamus adalah pemaknaan tingkat satu, sehingga dari pemali tersebut akan diketahui tanda mana yang mengelabui (konotatif) serta makna sebenarnya (denotatif) pada pemali masyarakat etnik Jawa. Dalam penelitian ini didapatkan 103 pemali yang diketahui dan 30 pemali yang dilaksanakan.