Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

BUR TELEGE : ETNOGRAFI GERAKAN KOLEKTIF MASYARAKAT DALAM MEMBANGUN WISATA ISLAMI Kamil, Ade Ikhsan; Ilham, Iromi; Ikramatoun, Siti; Meliza, Richa; Sjaffruddin, Sjaffruddin
Aceh Anthropological Journal Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Department of Anthropology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/aaj.v5i2.5650

Abstract

Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 membuka peluang bagi desa untuk mandiri dan otonom. Keistimewaan tersebut salah satunya untuk berpartisipasi dalam peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan kawasan wisata islami. Berdasarkan hal tersebut, kebangkitan pariwisata Buttelege membuka asa baru dalam penelitian tentang desa. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengkaji 3 hal utama, pertama; bagaimana proses awal munculnya ide untuk membangun daerah Pariwisata Burtelege dengan memanfaatkan dana desa. Kedua; mellihat bagaimana dampak sosial, peruubahan dan perkembangan. Ketiga; mengkaji negosiasi yang dibangun oleh inisiator dalam menjawab tantangan hadirnya wacana wisata islami. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dinamika sosial-ekonomi terkait dengan pengembangan kawasan wisata Burtelege. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada faktor awal dari pembangunan dan pengembangan Burtelege sebagai kawasan wisata.tiga faktor tersebut adalah keinginan untuk mengubah stereotip kampung, mengembalikan keaktifan pemuda dan keinginan mengorganisasikan parkir di hari Minggu sebagai stimulan. Selain itu, partisipasi masyarakat berupa kegiatan swadaya telah menstimulus perkembangan Burtelege sebagai kawasan wisata islami.
Iron Cage Birokrasi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologis Siti Ikramatoun; Khairul Amin; Darwin Darwin; Halik Halik
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis Vol 6, No 1 (2021): Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis
Publisher : Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17977/um021v6i1p18-29

Abstract

This article aims to describe the education bureaucracy as a tool to achieve the objectives of education through a qualitative approach to the literature study model. The data in this paper is sourced from relevant literature and the author's experience while active in educational activities. The results of this study indicate that the bureaucracy in the form of educational administration has changed to an iron cage that shackles the educational activity itself. The delivery of education loses its orientation and turns into ceremonial routines to meet the demands of the bureaucracy. Various training, capacity building, and teacher competence have been done, but they have not significantly changed the face of education. Iron cage bureaucracy makes teachers "appear" to be developing their competence, but in fact, they are meeting the demands of the bureaucracy. Education must come out of the iron cage bureaucracy by reducing all administrative aspects that bind the noble activities of education. Bureaucracy is a human creation, so bureaucracy should be subject to humans and not humans who are subject to the will of the bureaucracy. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan birokrasi pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan melalui pendekatan kualitatif dengan model studi literatur. Data dalam tulisan ini bersumber dari literatur yang relevan dan pengalaman penulis selama aktif dalam aktivitas pendidikan. Hasil kajian menunjukkan bahwa birokrasi dalam bentuk administrasi pendidikan berubah menjadi “kerangkeng besi” yang membelenggu aktivitas pendidikan itu sendiri. Penyelenggaraan pendidikan kehilangan orientasinya dan berubah menjadi rutinitas seremonial demi memenuhi tuntutan birokrasi. Beragam pelatihan dan peningkatan kapasitas maupun kompetensi guru dalam dunia pendidikan telah dilakukan, namun belum mampu mengubah wajah pendidikan secara signifikan. Kontrol birokrasi membuat para guru “terlihat” sedang mengembangkan kompetensinya, padahal sejatinya sedang memenuhi tuntutan birokrasi. Untuk itu, pendidikan harus keluar dari “jerat birokrasi” dengan cara mereduksi semua aspek administratif yang membelenggu aktivitas mulia pendidikan. Birokrasi adalah hasil ciptaan manusia, maka seharusnya birokrasi tunduk pada manusia dan bukan manusia yang tunduk pada kehendak birokrasi.
MENJADI MISIONARIS: SOSIALISASI-KOMITMEN AGAMA ELDER DAN SISTER MORMON-GEREJA YESUS KRISTUS Harry Bawono; Panggio Restu Wilujeng; Siti Ikramatoun
Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : UNS Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini menggunakan sudut pandang Sosiologi agama untuk melihat sosialisasi agama membentuk komitmen religius pada anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (OSZA) sehingga memilih dan bertahan menjadi misionaris penuh waktu. Misionaris di gereja ini diplih karena mengalami peningkatan jumlah misionaris yang begitu besar selama dua tahun terakhir. Penelitian dilakukan di Gereja Yesus Kristus OSZA, Tebet, Jakarta Selatan pada bulan Nopember-Desember 2013. Penelitian kualitatif ini menggunakan paradigma sosiologi interpretif dengan teknik pengumpulan data memalui depth interview dan jenis penelitian studi kasus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa teori Sosiologi agama yaitu Doxa (Pierre Bordieu), Sosialisasi agama dan  Komitmen agama (Darren E.Sherkat). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip dasar dari kegiatan misionari dalam Gereja Yesus Kristus OSZA adalah setiap anggota memiliki tanggungjawab untuk menyebarkan Injil. Walaupun menjadi misionari harus meninggalkan kesenangan duniawi namun dorongan oleh orang tua dan patrner sesama misi selalu menguatkan sehingga membuat para misionaris tetap bertahan dan terus melakukan sosialisasi agama. Sosialisasi agama, melalui saluran-saluran yang diinstitusionalkan bagian dari kerangka pengajaran Gereja, menjadi instrumen untuk mentransfer nilai-nilai “menjadi misionaris”, sehingga membentuk komitmen “menjadi misionaris” kepada para anggota yang dirasa sudah memenuhi syarat sebagai misionaris penuh waktu. Sosialisasi yang dilakukan oleh misionari ini berupa penyebaran kabar baik supaya pihak lain mengenal Injil dan memberikan pengetahuan kepada para anggota tentang pekerjaan misi yang sangat terhormat.Kata Kunci: Misionaris, Sosialisasi, Komitmen
KEBIJAKAN PUBLIK PADA MASYARAKAT MULTIKULTURAL DI DESA RIAS, KEC. TOBOALI BANGKA SELATAN Khairul Amin; Siti Ikramatoun
Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : UNS Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (699.52 KB)

Abstract

Tulisan ini bermaksud mengkaji tentang kebijakan publik pada masyarakat multikultural. Dalam beberapa kasus, meskipun kebijakan publik sudah disusun sesuai dengan prosedur yang ada, namun dalam tataran implementasi masih sering ditemui adanya resistensi dari masyarakat, terlebih pada masyarakat yang multikultural. Seting sosial masyarakat dalam tulisan ini adalah masyarakat Desa Rias Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang multi etnis. Dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, di mana data diperoleh dari hasil observasi dan wawancara serta sumber-sumber sekunder pendukung lain yang terkait dengan tema tulisan ini. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa meskipun secara prosedural pemerintah telah melaksanan proses perumusan dengan baik namun informasi terkait hasil dari perumusan itu masih menjadi informasi yang “langka” bagi sebagian besar masyarakat. Sehingga hasil kesepakatan tersebut tidak mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat. Belum tersedia ruang ekspresi yang memadai, dalam hal politik dan kebijakan publik sehingga resistensi dalam implementasi kebijakan masih seiring muncul. Oleh karena itu, diperlukan transparasi, akses dan ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan umpan balik terhadap kebijakan publik, yaitu ruang yang bebas intervensi, kooptasi dan intimidasi. Dengan begitu, partisipasi masyarakat akan menguat.
Konstelasi Politik Aceh Pasca MoU Helsinki (2006-2015) Siti Ikramatoun; Khairul Amin
Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) Vol 12, No 1 (2018): Konstruksi dan Evolusi Sosial
Publisher : Sociology Department Of Syiah Kuala University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (448.533 KB)

Abstract

The tsunami disaster in December 2004 was the momentum of Aceh peace which resulted in the Helsinki MoU on August 15, 2005. After that, the political constellation and contestation in Aceh were not dominated by national parties but was influenced by the local dimension, namely the local party and former members of the movement who are involved in practical politics. Political stages as a new means of struggle to realize the ideals of post-peace produce satisfying results, former combatants and local parties succeed in winning Aceh political contestation. its means that the people of Aceh have high expectations to local parties to build Aceh. Thus, the decline of the national party since the 2009 election shows that public trust for the national party is very low. The victory of local parties in political contestation in Aceh would certainly be a signal for national parties to make changes to accommodate local interests and movement's actors in a composition of the party in Aceh.Keywords: Political Constellation, Local Party, Aceh
Peran Ulama dalam proses Rekonsiliasi Pasca Konflik di Aceh Muhammad Sahlan; Suci Fajarni; Siti Ikramatoun; Ade Ikhsan Kamil; Iromi Ilham
Society Vol 7 No 2 (2019): Society
Publisher : Laboratorium Rekayasa Sosial FISIP Universitas Bangka Belitung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (617.541 KB) | DOI: 10.33019/society.v7i2.106

Abstract

In the context of Aceh, the word “Ulama" refers to an Islamic scholar who own boarding school (In Aceh language known as Dayah) or a leader of an Islamic boarding school (known as Teungku Dayah). Ulama become "the backbone" of any social problem and play strategic and influential roles in Acehnese society. However, The Ulama roles have changed in the post-conflict era in Aceh. The assumption that Ulama are unable running their authorities in Acehnese society especially in the post-conflict era. Ideally, their roles are needed in the reconciliation regarding the agents of reconciliation who have authority like the Ulama and are trustworthy by Acehnese society. Therefore, this article aims to discuss the position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh. To investigate the problem, a descriptive qualitative method was used, where the method is to describe the nature of a temporary situation that occurs when the research is carried out in detail, and then the causes of the symptoms were examined. The data were literature studies, participatory observation, and in-depth interviews. The results of this research showed that during an important period of Aceh's history, the Ulama constantly become guardians that provide a religious ethical foundation for each socio-political change in Aceh, and subsequently they also act as the successor to the religious style that developed in the society. Even the formation and development of the socio-political and cultural system occurred partly on the contribution of the Ulama. The position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh can be found in four ways. Firstly, knowledge transmission. Secondly, as a legal decision-maker which refers to Sharia law, especially related to the reconciliation process. Thirdly, as a mediator. Fourthly, cultural roles in the form of ritual or ceremonial guides that are carried out when the parties of the conflict have met an agreement to reconcile.
Relevansi Pemikiran Paulo Freire terhadap Pendidikan di Aceh Khairul Amin; Siti Ikramatoun; Halik Halik; Darwin Darwin
SOCIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol 19, No 1 (2022): Socia: Jurnal Ilmi-ilmu Sosial
Publisher : Yogyakarta State University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21831/socia.v19i1.34640

Abstract

Saat ini pendidikan Aceh berada pada peringkat 27 secara nasional dan hanya berada satu tingkat di atas Papua yang berada pada posisi 28 dari 34 provinsi. Kondisi ini tentu menjadi realitas yang menghawatirkan dan sekaligus memberikan sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sebagai mana mestinya dalam praktik pendidikan di Aceh. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan kritik-kritik Freire terhadap praktik pendidikan yang kemudian dapat menjadi salah satu pemicu rendahnya kualitas pendidikan di Aceh. Harapannya, relevansi pemikiran Paulo Freire tentang praktik pendidikan dapat menjadi bahan refleksi dan pelajaran untuk menciptakan praktik pendidikan yang lebih baik sehingga kualitas pendidikan Aceh juga ikut membaik. Dalam menyelesaikan artikel ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan model studi literatur. Adapun data-data dalam artikel ini bersumber dari literatur-literatur yang relevan dan dari hasil observasi penulis selama terlibat aktif di dunia pendidikan. Artikel ini menyimpulkan bahwa dalam konteks pendidikan di Aceh, kritik Freire perlu dipertimbangkan terutama dalam proses pembelajaran dalam ruang-ruang kelas. Proses pendidikan harus mampu menyadarkan siswa atas kondisi yang dihadapinya dalam keseharian dan pembelajaran gaya bank harus ditinggalkan agar ruang kelas tidak menjadi dunia yang asing bagi siswa.
Durkheim's Social Solidarity and the Division of labour: An Overview Khairulyadi Khairulyadi; Siti Ikramatoun; Khairun Nisa
Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI) Vol 3 No 2 (2022)
Publisher : Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jsai.v3i2.1792

Abstract

This article aims to review Durkheim's concepts of division of labour and social solidarity, especially how social solidarity developed through the division of labour and how the interplay between the two gives rise to the functionality of the social system. This study, too, explains the relevance of such concepts to studying contemporary society. This study concludes that some underlying shortcomings need addressing without denying Durkheim's attempt to provide a sound methodological and theoretical foundation for sociology as a discipline. Durkheim's contention that the Division of labour forms social solidarity is deterministic and subscribes to the law of rigidity. Individuals' occupational function is seen as a determinant and therefore has nothing to do with human free will and individuals' subjectivity to meaning. It is a sort of reductionism because it eliminates the entire propensity of human nature. It reduces the conditions of society to that of the organism of a living being. As a result, it is tough to replicate Durkheim's solidarity model to explain the complex nature of current urban societies.
MAWLID CELEBRATION IN ACEH: Culture, Religious Expression, and Political Medium Sehat Ihsan Shadiqin; Siti Ikramatoun
MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman Vol 46, No 1 (2022)
Publisher : State Islamic University North Sumatra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30821/miqot.v46i1.919

Abstract

Abstract: This study is an ethnographic note about the Mawlid celebrations in Aceh. In contrast to most studies by previous scholars who saw Mawlid as a medium for normative theological discourse, this article aims to narrate the Mawlid phenomenon by focusing on how the Acehnese celebrated Mawlid, how the religious expression was, and how Mawlid became a political medium. This study showed that the Mawlid celebration in Aceh is not just a tradition or an expression of love for the Prophet but a cultural construction inherent to the Acehnese society, religious expression, and political media. Mawlid as a cultural construction is manifested in various forms of unique food dishes, as a religious expression manifested in typical Dhikr and Lectures Mawlid, and as a political medium seen from the invitations of Mawlid, Mawlid Pemda, and Mawlid at home. Abstrak: Kajian ini merupakan catatan etnografis tentang perayaan Maulid di Aceh. Berbeda dengan kebanyakan kajian sebelumnya yang melihat Maulid sebagai media wacana teologis normatif, artikel ini bertujuan untuk menceritakan fenomena Maulid dengan berfokus pada bagaimana masyarakat Aceh merayakan Maulid, bagaimana ekspresi keagamaannya, dan bagaimana Maulid menjadi media politik. Kajian ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid di Aceh bukan sekedar tradisi atau ungkapan cinta kepada Nabi, melainkan sebuah konstruksi budaya dan ekspresi keagamaan yang telah melekat pada masyarakat Aceh, serta media politik. Mawlid sebagai konstruksi budaya termanifestasi dalam beragam bentuk hidangan makanan yang unik, kemudian sebagai ekspresi keagamaan termanifestasi dalam bentuk Dzikir dan Ceramah Maulid yang khas, dan sebagai media politik terlihat dari ajakan Maulid, Maulid Pemda, dan Maulid di rumah.  Keywords: Acehnese; Mawlid Celebration; Culture; Social Identity; Religious Expression; Political Medium.
Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengelolaan Hutan Pinus di Kecamatan Linge Aceh Tengah Siti Ikramatoun; Khairulyadi Khairulyadi; Riduan Riduan
Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI) Vol 1 No 3 (2020)
Publisher : Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jsai.v1i3.804

Abstract

This article aims to describe community empowerment through the management of the pine forest owned by PT Tusam Hutan Lestari in Linge District, Central Aceh. How the relationship between the community and PT Tusam Hutan Lestari as the owner of a pine forest management permit in Linge District. The approach used in this article is a qualitative method with a descriptive model. The informant was selected using a purposive technique and data sourced from observations, interviews, and literature studies. The results of this study indicate that community empowerment through pine forest management in Linge District had a positive impact on the community. Utilization of the company's production forest by the community has encouraged the emergence of community economic empowerment because the granting of land management permits and tapping of pine sap by the community is accompanied by mentoring by the company and provision of training and the formation of company partners. It also means that there is an economic exchange relationship between the company and the community, and this relationship is a mutually beneficial relationship between the community and the company.