cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan" : 8 Documents clear
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PRANATA SURAT TUMBAGA HOLING PADA MASYARAKAT BATAK DI TAPANULI SELATAN Anwar Sadat Harahap; Hardi Mulyono; Nelvitia Purba; Taufik Siregar
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.230

Abstract

ABSTRAKBeberapa tahun terakhir ini marak sekali terjadi perusakan lingkungan hidup, seperti pembuangan sampah ke sungai, danau, laut, jalan umum. Indonesia memproduksi sampah hingga 65 juta ton pada 2016, meningkat menjadi 67 ton pada 2017 dan lainnya. Beberapa kejahatan lingkungan tersebut terjadi disebabkan oleh kurang tegas, adil dan manfaatnya materi hukum tentang perlindungan lingkungan hidup dan juga belum sepenuhnya dilibatkan masyarakat adat dalam melakukan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B dan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Penelitian menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan sosio-legal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat adat Batak telah melakukan perlindungan lingkungan berdasarkan pranata Surat Tumbaga Holing sebagaimana diatur melalui Patik, Filosofi Adat Dalihan na Tolu dan Marga. Jenis sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku perusakan lingkungan berupa: Dibondarkon, Sappal Dila, Dipaorot sian Huta, Dipaorot sian Marga, Diapaulak Salipi Natartar.Kata kunci: batak; lingkungan; surat tumbaga holing.ABSTRACTIn recent years there has been a lot of environmental destruction, such as dumping garbage into rivers, lakes, seas, public roads. Indonesia produced up to 65 million tons of waste in 2016. The above series of environmental crimes arise because apart from being less firm, fair and the benefits of existing legal regulation on environmental protection, they are also caused by the lack of empowerment of indigenous peoples' potential in environmental protection as mandated by the 1945 Constitution and Law Number 32 of 2009. The research uses empirical legal research methods with a normative juridical approach and a socio-legal approach. The results of the study indicate that the Batak indigenous people have carried out environmental protection through the Surat Tumbaga Holing which is regulated in Patik, Filosofi Adat Dalihan na Tolu and Marga. The types of sanctions are: Dibondarkon, Sappal Dila, Dipaorot sian Huta, Dipaorot sian Marga, Diapaulak Salipi Natartar.Keywords: batak; environmental; surat tumbaga holing.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENJUALAN DUGONG SATWA YANG DILINDUNGI (STUDI KASUS KAMPUNG KELAM PAGI) Heni Widiyani; Ayu Efritadewi; Kartina Pakpahan; Khairunnisa Khairunnisa
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.198

Abstract

ABSTRAKDugong merupakan hewan dilindungi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jika terjadi penangkapan dan pembunuhan dugong dengan sengaja maka akan mengacu pada sanksi pidana pada Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 21 ayat (2). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Mengkaji bahan hukum primer dan sekunder dan melakukan wawancara. Dengan pendekatan masalah peraturan Hukum dan Sosial Masyarakat. Kampung Kelam Pagi bukan merupakan habitat dari dugong sehingga tidak dijadikan daerah konservasi dugong. Dengan rumusan masalah Penegakan hukum Terhadap Masyarakat Kampung Kelam Pagi sudah tepat, karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang banyak terhadap dugong dan sanksi apa yang akan mereka terima jika melakukan tindakan penjualan dugong. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) sudah melakukan langkah tepat dengan melaporkan tindakan penjualan dugong yang dilakukan kepada polisi sehingga memberikan efek jera bagi masyarakat. Penanggulangan terjadinya pembunuhan satwa yang dilindungi di masa yang akan datang perlu dilakukan sosialisasi dan penyuluhan hukum dan pembuatan peraturan daerah tentang satwa yang dilindungi tentang jenis hewan yang dilindungi kepada masyarakat pesisir Kepulaun Riau sehingga tidak terjadi lagi tindak pidana penjualan hewan yang dilindungi. Kata kunci: dugong; penegakan hukum; tindak pidana.ABSTRACTThe dugong is a protected animal listed in government regulation Number 7 of 1999 concerning the Preservation of Plant and Animal Species. If there are an arrest and murder of a dugong on purpose, it will refer to the criminal sanction in Law Number 5 of 1990 concerning Biological Natural Resources and their ecosystem Article 21 paragraph 2. This research uses empirical juridical research methods. Review primary and secondary legal materials and conduct interviews. With the approach of legal and social regulatory issues. Kampung Kelam Pagi is not a habitat for dugongs so it is not used as a dugong conservation area. The people of Kelam Pagi Village do not have much knowledge about dugongs and what sanctions they will receive if they carry out the act of selling dugongs. The Coastal and Marine Resources Management Agency (BPSPL) and the Natural Resources Conservation Agency (BKSDA) have taken the right steps by reporting the sale of dugongs to the police, thereby providing a deterrent effect on the community. In the future, it is necessary to conduct socialization and legal counseling regarding protected animal species to the coastal communities of the Riau Islands so that there is no longer a criminal act of selling protected animals.Keywords: criminal; dugong; law enforcement.
PENGATURAN PEMBANGUNAN FOOD ESTATE PADA KAWASAN HUTAN UNTUK MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA An Nissa Ayu Mutia; Ida Nurlinda; Nadia Astriani
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.259

Abstract

ABSTRAKPandemi COVID-19 yang sedang melanda dunia saat ini memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai sektor, utamanya pada sektor pangan. Ancaman krisis pangan menjadi hal yang paling dikhawatirkan saat ini. Pembangunan food estate sebagai penyedia cadangan pangan nasional menjadi solusi yang ditawarkan. Keterbatasan lahan pertanian yang ada menjadi hambatan pemerintah dalam mengembangkan program ini. Kawasan hutan menjadi salah satu area yang dapat digunakan untuk program food estate, sebagaimana diatur dalam Permen Nomor 7 Tahun 2021 melalui skema kawasan hutan untuk ketahanan pangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji berbagai data sekunder mengenai program food estate dan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi menjadi dua kawasan yang dapat digunakan dalam skema kawasan hutan untuk ketahanan pangan. Namun, Pemerintah masih perlu untuk memberikan batasan yang jelas terkait penggunaan kawasan hutan lindung yang tidak berfungsi lindung pada skema kawasan hutan untuk ketahanan pangan ini, karena dikhawatirkan akan berdampak kepada kawasan hutan lindung yang masih berfungsi lindung, mengingat area yang dibutuhkan oleh food estate ini sangat luas. Pemerintah juga perlu untuk memperhatikan hak-hak pemanfaatan sebelumnya agar persengketaan antar pemilik hak dapat terhindarkan.Kata kunci: ketahanan pangan; pembangunan food estate; perlindungan kawasan hutanABSTRACTThe COVID-19 pandemic that is currently engulfing the world has a very significant impact on various sectors, especially in the food sector. The threat of a food crisis is the most worrying thing. The development of a food estate as a provider of national food reserves is the solution offered. The limited available agricultural land is an obstacle for the government in developing this program. The forest area is one of the areas that can be used for the food estate program, as regulated in Ministerial Regulation Number 7 of 2021 through the forest area scheme for food security. This study uses a normative juridical method by examining various secondary data regarding the food estate program and forest areas. Protected forest areas and/or production forest areas are two areas that can be used in the forest area scheme for food security. However, the Government still needs to provide clear boundaries regarding the use of protected forest areas that do not function in this forest area scheme for food security because it will have an impact on forest areas that are still working as protected areas, considering the area required by this food estate is very large. The government also needs to pay attention to previous utilization rights so that disputes between rights owners can be avoided.Keywords: food development; food security; forest area protection.
SATWA DALAM BENCANA: SIAPA YANG MENYELAMATKAN? Lusi Apriyani; Febrian Febrian; Fahmi Yoesmar
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.180

Abstract

ABSTRAKSecara nasional, pengaturan sistem penanggulangan bencana nasional terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Sistem penanggulangan bencana nasional dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi resiko bencana melalui tiga tahapan yang terdiri dari: tahapan pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Secara umum, penanggulangan bencana nasional diarahkan untuk melindungi kepentingan manusia sebagai individu yang terkena dampak bencana. Faktanya, dampak dari bencana tidak hanya berdampak pada manusia. Hewan (peliharaan) dan satwa adalah korban bencana yang tidak dapat dihindari. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) sebagai unsur pelaksana sistem penanggulangan bencana nasional tidak memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menyelamatkan satwa dalam bencana. Hal ini tentunya menimbulkan dampak terhadap jumlah satwa yang turut berkurang disebabkan bencana. Artikel ini membahas hukum positif penanggulangan bencana nasional dan internasional untuk mengetahui apakah sistem penanggulangan bencana nasional telah memberikan perlindungan kepada satwa dalam bencana. Dengan metode yuridis normatif, penelitian ini menemukan bahwa belum ada instrumen hukum nasional dan internasional yang mengatur mengenai upaya penyelamatan satwa dalam bencana.Kata kunci: korban; penanggulangan bencana; penyelamatan satwaABSTRACTThe national disaster management system is subject to Law Number 24 of 2007. The national disaster management system is intended to prevent and reduce disaster risk through three stages consisting of: pre-disaster, emergency response, and post-disaster stages. In general, national disaster management is aimed for protecting human interests as individuals affected by disasters. In fact, the impact of disasters does not only affect humans. Animals (pets) and wildlife are victims of disasters that cannot be avoided. The National Disaster Management Agency (BNPB) as the implementing element of the national disaster management system does not have the obligation and responsibility to save wildlife in disasters. This of course has an impact on the number of animals that have also decreased due to the disaster. This article discusses the national and international disaster management laws to find out whether the national disaster management system has provided protection to wildlife in disasters. Using the normative juridical method, this study found that there are no national and international legal instruments that regulate efforts to rescue wildlife in disasters.Keywords: victim; disaster management; wildlife rescue
SUMBER DAYA GENETIK LAUT DI LUAR WILAYAH YURISDIKSI NASIONAL: PERKEMBANGAN TERKINI DAN ARAH SELANJUTNYA Achmad Gusman Catur Siswandi
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.258

Abstract

ABSTRAKPerundingan untuk menyepakati instrumen hukum internasional tentang konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut di luar wilayah yurisdiksi nasional sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai krisis lingkungan laut. Salah satu bagian dari perundingan instrumen ini adalah pengelolaan sumber daya genetik laut yang memegang peranan penting dalam memastikan keberlanjutan sumber daya hayati laut. Walaupun demikian, hingga saat ini belum tersedia pengaturan yang memadai tentang sumber daya genetik laut di luar wilayah yurisdiksi nasional. Tulisan ini membahas pengertian, ruang lingkup, dan prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan sumber daya genetik laut; rancangan pengaturan pengelolaan sumber daya genetik laut di luar wilayah yurisdiksi nasional; dan kemungkinan arah perundingan selanjutnya. Kesimpulan dari tulisan ini adalah negara-negara peserta perundingan instrumen hukum internasional tentang konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati di luar wilayah yurisdiksi nasional kemungkinan akan lebih banyak menyepakati hal-hal yang telah memiliki landasan cukup kuat dalam instrumen lainnya yang telah ada saat ini, khususnya dalam aspek tujuan, pengaturan akses, dan pembagian keuntungan yang bersifat non-moneter.Kata kunci: konservasi; lingkungan laut; pemanfaatan berkelanjutan; sumber daya genetik lautABSTRACTThe current negotiation on an international legally binding instrument on the conservation and sustainable use of marine biological diversity of areas beyond national jurisdiction (ILBI-BBNJ) is crucial in facing marine environmental challenges. This negotiated instrument comprises the management of marine genetic resources which is pivotal in ensuring the sustainability of marine living resources. Nevertheless, the current international instruments have not yet provided a comprehensive regulation concerning marine genetic resources of areas beyond national jurisdiction. This article discusses the definition, scope, and basic principles on marine genetic resources of areas beyond national jurisdiction; the draft text on the management of genetic resources of areas beyond national jurisdiction under ILBI-BBNJ; and the way forward for the ILBI-BBNJ negotiations. This article finds that the negotiating states of ILBI-BBNJ would likely reach consensus on matters firmly supported by existing international instruments, especially on the objectives, access regulation, and non-monetary benefit-sharing.Keywords: conservation; marine environment; marine genetic resources; sustainable use.
TINJAUAN NORMATIF PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM PENGATURAN TATA KELOLA SAMPAH PLASTIK DI INDONESIA Maskun Maskun; Hasbi Assidiq; Siti Nurhaliza Bachril; Nurul Habaib Al Mukarramah
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.239

Abstract

ABSTRAKMeningkatnya konsumsi dan penggunaan plastik di era modern menyisakan berbagai permasalahan terhadap lingkungan. Sampah plastik yang sulit terurai, ditambah dengan pengelolaannya yang kurang terintegrasi, berimplikasi pada pencemaran lingkungan di darat dan di laut. Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini adalah produsen dari produk yang menyisakan sampah plastik. Artikel ini hendak meninjau secara normatif berbagai aturan terkait pengelolaan sampah khususnya sampah plastik di Indonesia, termasuk dan terutama mengenai tanggung jawab produsen di dalam pengelolaan tersebut. Tinjauan dan analisis dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif dengan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Temuan utama mengungkapkan, masih terdapat kekurangan dan tantangan implementasi pada aturan mengenai tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Lebih lanjut, artikel ini juga mencoba menguraikan skema tanggung jawab produsen yang dimungkinkan untuk mengupayakan tanggung jawab produsen dalam mengurangi timbulan sampah plastik dari produk yang mereka hasilkan.Kata kunci: pengelolaan sampah plastik; tanggung jawab produsen; peraturan perundang-undanganABSTRACTThe increasing number of consumption and use of plastic in the modern era leaves various environmental problems. Plastic waste that is difficult to decompose, added with less integrated management, has implications for environmental pollution on land and at sea. One of the parties that holds responsibility for this problem is the producer of products that generate plastic waste. This article aims to normatively review various regulations related to waste management, especially plastic waste in Indonesia, including and especially regarding the responsibility of producers in such management. The review and analysis are carried out using a normative legal research method by examining various relevant laws and regulations. The main findings reveal that there are shortcomings and challenges in implementing the rules regarding producer responsibility in waste management. Furthermore, this article also tries to outline a possible producer responsibility scheme to seek producer responsibility in reducing the generation of plastic waste from the products they produce.Keywords: plastic waste management; manufacturer's responsibility; laws and regulations.
KEGAGALAN KLAIM DANA RFC OLEH INDONESIA DALAM KASUS PENCEMARAN MINYAK KAPAL TANKER LINTAS BATAS NEGARA DI PANTAI NONGSA, BATAM Elly Kristiani Purwendah
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.260

Abstract

ABSTRAKPeta Kebijakan Kelautan Indonesia menuju Poros Maritim Dunia tertuang dalam 7 (tujuh) pilar kebijakan, salah satunya adalah Pengelolaan Ruang Laut dan Perlindungan Lingkungan Laut, yang dijabarkan lebih lanjut dalam 76 (tujuh puluh enam) Kebijakan Utama dimana pada kebijakan kelima terdapat 6 (enam) strategi Perlindungan Lingkungan Laut. Namun, sangat disayangkan dalam penerapannnya pada kasus pencemaran minyak yang terjadi di Pantai Nongsa Batam masih mengalami gagal klaim ganti rugi dana Revolving Fund Comitte (RFC) yang merupakan sebuah dana Bersama yang bersumber dari Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Singapura beserta The Malacca Straits Council (MSC) atas nama Asosiasi-asosiasi non Pemerintah Jepang yang ditanda tangani tanggal 11 Februari 1981 tentang koordinasi pembentukan Satuan Operation Procedure (SOP) pengelolaan dana Revolving Fund Committee (RFC) untuk pencegahan pencemaran minyak di lingkungan laut selat Malaka serta Singapura. Selain ketentuan tersebut, secara umum terdapat peraturan kalim ganti rugi pencemaran yang berupa ratifikasi konvensi pertanggungjawaban perdata atas kerugian akibat pencemaran minyak yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Civil Liabiality for Oil Pollution Damage 1969. Kesulitan pengujian pembuktian pencemaran menjadi penyebab gagal klaim ganti rugi terhadap negara bendera kapal. Hal ini membuktikan masih lemahnya struktur hukum dalam menerapkan ketentuan klaim ganti rugi pencemaran minyak untuk melindungi lngkungan laut Indonesia.Kata kunci: pencemaran minyak; kecelakaan kapal tanker; klaim ganti rugi; selat malaka; lintas batas negara.ABSTRACTIndonesia's Marine Policy Map towards the World Maritime Axis is the oldest in the 7 (seven) policy pillars, one of which is Marine Spatial Management and Marine Environmental Protection, of which seventy-six main policies are in which there are 6 (six) Marine Environmental Protection strategies. However, it is very important, in its application to the case of oil pollution that occurred at Nongsa Beach, Batam, it still failed to claim a claim for loss of funds from the Revolving Fund Committee (RFC) which was a joint source from the Memorandum of Understanding (MoU) between the Governments of Indonesia, Malaysia and Singapore and the Malacca Straits Council (MSC) on behalf of Japanese non-government associations signed on February 11, 1981 regarding the coordination of the establishment of an Operation Procedure Unit (SOP) for managing funds from the Revolving Fund Committee (RFC) for the prevention of oil pollution in the marine environment of the Malacca Strait and Singapore. As mentioned above, there is a compensation regulation in the form of ratification of a civil convention for losses due to oil pollution which was ratified through the Presidential Decree of the Republic of Indonesia Number 18 of 1978 International Civil Responsibility Authorization for Damage to Oil Pollution Concerning 1969. causes of failure to compensate the flag state boat. This proves the weakness of the legal structure in applying oil and gas compensation claims to protect Indonesia's marine environment.Keywords: compensation claim; oil pollution; tanker accidents; straits of malacca; multi-national cross-border.
TANTANGAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN SETELAH DISAHKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA Sila H Pulungan
Bina Hukum Lingkungan Vol 6, No 2 (2022): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v6i2.240

Abstract

ABSTRAKPermasalahan lingkungan di Indonesia dalam aspek hukum mulai dari kebijakan, pelaksanaan kebijakan hingga penegakan hukumnya yang berimbas pada berlarutnya permasalahan lingkungan. Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja penempatan hukum pidana sebagai ultimum remedium yang sebelumnya pada UUPPLH ditempatkan sebagai primum remedium. Kejaksaan RI dalam upaya penegakan hukum lingkungan hidup memiliki peranan penting terutama dalam menyediakan bukti sehingga cukup representatif dalam menggambarkan hubungan antara perbuatan dan akibat yang timbul. Perubahan fungsi hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan dengan memprioritaskan sanksi administratif menjadi sebuah pertanyaan besar terhadap keseriusan Indonesia dalam melindungi lingkungan dan masyarakat, atas perubahan fungsi hukum pidana tersebut Kejaksaan RI memiliki tantangan lebih dalam penegakan hukum lingkungan yang terletak pada representasi bukti yang dalam tugas ini seyogyanya dapat mengoptimalkan kolaborasi segitiga terpadu (triangle environmental criminal justice system). Kata kunci: lingkungan; kejaksaan; penegakan hukum lingkungan; uu cipta kerja.ABSTRACTEnvironmental problems in Indonesia in legal aspects range from policies implementation of policies to law enforcement, which impacts the protracted environmental problems. After the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation, criminal law as the ultimum remedium, which was previously placed in the UUPPLH as primum remedium. In the effort to enforce environmental law, the Attorney General's Office has an important role, especially in providing evidence so that it is pretty representative in describing the relationship between actions and the consequences that arise. By prioritizing administrative sanctions through The Job Creation Act, environmental law enforcement is a big question of Indonesia's seriousness in protecting the environment and society. As a result, the Indonesian Attorney General's Office has more challenges in environmental law enforcement, which lies in the representation of evidence which in this task should optimize the integrated triangular collaboration (triangle environmental criminal justice system).Keywords: environment; attorney; environmental law enforcement; job creation act.

Page 1 of 1 | Total Record : 8