cover
Contact Name
Amiruddin
Contact Email
almizan@iaialaziziyah.ac.id
Phone
+6285270075934
Journal Mail Official
almizan@iaialaziziyah.ac.id
Editorial Address
Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga Bireuen Aceh Jl. Mesjid Raya KM. 1,5 Desa Mideun Jok, Kec. Samalanga Kab. Bireuen, Aceh Telp./ Fax. (0644) 531755. e-mail: almizan@iaialaziziyah.ac.id
Location
Kab. bireuen,
Aceh
INDONESIA
Al-Mizan: Jurnal Hukum Islam dan Ekonomi Syariah
ISSN : 23546468     EISSN : 28077695     DOI : -
The Al-Mizan Journal focuses on the study of Journal of Islamic Law and Sharia Economics. The study of Journal of Islamic Law and Sharia Economics which focuses on universal and Islamic values by upholding diversity and humanity. Al-Mizan Journal studies are published based on research results both theoretically and practically, which include: ISLAMIC LAW specializes in Islamic Law in Modern State, especially related topics with Islamic law as positive law, Islamic law as a living law, and unification and harmonization of law. Family Law Islamic Family Law Family Study Islamic Criminal Law Customary Law History of Islamic Family Law and Islamic Law ECONOMICS SYARIA Islamic banking and finance Islamic insurance Islamic social funds (zakat, infaq, sadaqah, and waqaf) Islamic business ethics Islamic contemporary economics and business issues Islamic management and retail marketing Islamic economics education Public relations and retail communication Innovation and product development Economic practices in Islamic Communities
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 61 Documents
Pewarisan Muslim Dengan Non-Muslim: (Studi Analisis terhadap Metode Ijtihad Al-Qaraḍāwi) Hasamuddin
Al-Mizan Vol 4 No 1 (2017): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam fikih disebutkan ada tiga larangan mewarisi, salah satunya adalah perbedaan agama (ikhtilāf al-dayn). Jumhur fukaha berpendapat bahwa antara muslim dan non-muslim tidak saling mewarisi. Namun, ada fukaha yang membolehkan muslim mewarisi non-muslim, tetapi tidak sebaliknya. Al-Qaraḍāwi berpendapat sama dengan minoritas fukaha. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, dengan teknik data liblary research (penelitian kepustakaan). Dari hasil penelitian diketahui bahwa: (1) hadis larangan mewarisi antar agama adalah hadis ahad, dan hadis ahad itu merupakan ẓannī al-wurūd; (2) semua fukaha sepakat bahwa non-muslim tidak bisa mewarisi muslim. Terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum muslim mewarisi non-muslim, akibat adanya perbedaan metode ijtihad. Minoritas fukaha dan Al-Qaraḍāwi membolehkan muslim mewarisi non-muslim, namun ada perbedaan dalam metode ijtihad yang ditempuh. Minoritas fukaha yang diwakili Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim melakukan takṣīṣ, sedangkan Al-Qaraḍāwi melakukan takwil; (3) Al-Qaraḍāwi tidak konsisten dengan pandangannya yang menyebutkan bahwa maslahat dalam pewarisan adalah menguatkan ikatan keluarga. Karena secara logika lurus, larangan dzimmī sebagai hasil dari takwil lafaz kafir untuk menerima warisan dari muslim, hanya memandang maslahat secara sepihak, serta rawan terjadinya keretakan hubungan dalam keluarga; (4) kebolehan mewarisi antara muslim dengan non-Muslim, tidaklah bertentangan dengan prinsip umum Al-Quran yang universal.
Regulasi Teori Maslahat Dalam Kajian Fiqh Modern R. Fakhrurrazi
Al-Mizan Vol 4 No 1 (2017): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebagai sebuah teori istinbath hukum Islam, dari periode pertama Islam hingga kini, “maslahat” tidak pernah lekang dari produk hukum. Ia selalu mendapat lamaran hukun untuk dijadikan pertimbangan dalam istinbath hukum Islam. Maslahat merupakan nilai inti dari proses pewahyuan hukum Islam. Substansi al-Qur’an dan Hadits Nabi bisa disimpulkan dengan satu kata kunci ” maslahat”. Kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji, tidak akan diperintahkan kecuali karena akan mendatangkan kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Begitu juga, keharaman mencuri, korupsi, merampok, zina, minum khamr, dan adu domba tidak akan dilarang kecuali akan menjauhkan manusia dari kerusakan baik di dunia ataupun di akhirat. Namun demikian, maslahat yang dimaksud tidak berlaku mutlak dan bebas, akan tetapi ada ketentuan dan regulasi yang harus diperhatikan supaya tidak semena-mena di dalam menggunakan teori maslahat. Tidak dibenarkan memutuskan sebuah hukum berdasarkan maslahat jika belum mengkaji secara ilmiah tentang maslahat yang dimaksud. Karena ada yang berdalih maslahat di dalam istinbath hukum Islam untuk melegalkan keinginan individunya semata.
Hukuman Qishash Dalam Fiqh Jinayat Mira Maulidar
Al-Mizan Vol 4 No 1 (2017): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Qishash merupakan salah satu bentuk hukuman pokok dalam sistem hukum pidana Islam yang dianggap oleh sebagian kalangan sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, sehingga tidak diperlukan lagi eksistensinya dalam hukum pidana modern. Pada dasarnya, qishash memang diadobsi dari hukum bangsa Arab pra-Islam namun mengalami beberapa prosedur dalam pelaksanaan eksekusinya. Sehingga qishash ini tidak serta merta dapat dianggap sebagai hukum yang barbar. Beratnya hukuman qishash ini, di samping dijadikan sebagai tindakan represif terhadap pelaku pembunuhan, juga dapat dijadikan sebagai upaya preventif pemerintah untuk meminimalisir tindakan kriminal yang berhubungan dengan nyawa.
Eksistensi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Pada Proses Penyelesaian Perkara Menurut Pandangan Hukum Acara Perdata Dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah Faisal
Al-Mizan Vol 4 No 1 (2017): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perbedaan pandangan mengenai testimonium de auditu sampai sekarang masih terjadi di kalangan akademik dan kalangan praktisi antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti sehingga berakibat tidak ada standar hukum (law standart) dan tidak mempunyai kesamaan pola tindak, pola pikir atau dalam istilah Peradilan disebut unified legal frame work dan unified legal opinion. Bahkan dalam Fiqh Al-Syāfi’iyyah tidak ditemukan istilah testimonium de auditu tersebut, ini bukan berarti dalam Fiqh Al-Syāfi’iyyah tidak ada bahasan sama sekali, akan tetapi barangkali ada beberapa konsep Fiqh Al-Syāfi’iyyah yang dapat dikaitkan, sehingga timbul suatu persoalan bagaimana eksistensinya dalam sebuah yurisprudensi ketika menyelesaikan suatu perkara? Berangkat dari uraian di atas, maka tulisan ini akan membahas “Eksistensi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Pada Proses Penyelesaian Perkara Menurut Pandangan Hukum Acara Perdata dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah”. Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut. Fiqh Al-Syāfi’iyyah menyebutnya dengan istilah Khābar Istifādhah yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Eksistensi testimonium de auditu sebagai alat bukti pada proses penyelesaian suatu perkara ditinjau menurut Hukum Acara Perdata pada dasarnya masih terjadi perdebatan di kalangan akademisi maupun kalangan praktisi antara kelompok yang menolak dan yang memperbolehkannya, namun untuk mensikapinya adalah tidak serta merta harus menolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dalam keadaan tertentu dapat diterima sebagai alat bukti dengan dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangannya serta dapat dipertimbangkan dari segi kondisionalnya dengan tanpa melepaskan keadaan yang melekat dan mengitarinya, sebagaimana yang terdapat dalam yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Adapun tinjauan Fiqh Al-Syāfi’iyyah terhadap keberadaan testimonium de auditu sebagai alat bukti dapat diterima hanya dalam suatu perkara keperdataan saja seperti keturunan, perwaqafan, dan pernikahan. Hal ini berbeda dengan yurisprudensi Hukum Acara Perdata, tanpa mengkhususkan perkara-perkara tertentu saja.
Prosesi Talak Menurut Hukum Islam: (Analisis Fiqh Al-Syafi’iyyah dan KHI) Muhammad Basyir
Al-Mizan Vol 3 No 1 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Divorce is the legal deeds committed husband to sever the relationship of marriage. The implementation of the provisions of rule tied to divorce law in marriage, be it in the form of pillars as well as a requirement to be met in its implementation so that it allows a husband who feels the marriage bond can not be held its sustainability initiative so that the relationship with his wife. Writing this research describes the testament of divorce, with the formulation of the problem is where the difference in the views of Fiqh Al-Syafi’iyah and positive law of divorce testimony. In order to describe the suitability of pelaksananan talak according to Fiqh Al-Syafi’iyah and positive law. This research has the kind of qualitative approach, namely research not using numbers or statistical research with formulation are deskriptive comperative, i.e. research which aims to give an overview about the facts, properties and compares the data with each other to see the similarities and difference in taking a conclusion. The technique used is the data collection technique “Library Research”. The results on positive law is applied today. So get realistic results. Testament of talak according to Fiqh Al-Syafi’iyah explained in General, it is very different to the positive law stated that the testament of divorce is an absolute requirement of which is regulated in the compilation of Islamic law in sections 115 and 117. In its application required the existence of a testament of divorce, divorce, then declared invalid by court ruling Syar’iyah. In this case the author analyzes the development of positive law which applied in the practice of the Court of Syar’iyah the law of materilnya using a compilation of Islamic law, here seems to be to put forward the opinion of Shia imamiyah corresponding to pandapat (qawl qadim) Imam Al- Syãfi’i which requires the presence of two witnesses if someone would mentalak his wife.
Zakat Profesi Dalam Pandangan Islam H Helmi Imran
Al-Mizan Vol 3 No 1 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kata zakat sering kali kita jumpai dalam Al-Qur’an berdampingan dengan kata shalat. Para ulama menyakini zakat tidak kalah pentingnya daripada shalat. Sebahagian ulama dan cendikiawan Islam mengatakan peran zakat adalah untuk menggerakkan perekonomian umat agar mampu menjaga keimanan kepada Allah SWT. Oleh karena itu zakat termasuk salah satu dari rukun Islam. Secara umum, zakat terbagi dua bentuk, yaitu zakat harta (mal) dan zakat badan (fithrah). Perkembangan dunia dengan segala probematikanya menyebabkan semakin komplek pula permasalahan umat. Zakat profesi adalah salah satu zakat yang muncul kebelakangan dan membutuhkan jawaban hukum. Zakat profesi merupakan salah satu kasus baru dalam fiqh (hukum Islam). Al-Qur`an dan Sunnah tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga ulama mujtahid seperti Abu Hanifah, imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak pula memuat dalam kitab-kitab mereka secara tegas dan eksplisit mengenai zakat profesi ini. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada masa Nabi dan imam mujtahid. Tidak munculnya berbagai jenis pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal dalam Sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik. Oleh karena itu wajar apabila sekarang terjadi kontroversi dan perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama yang mewajibkannya, ada ulama yang tidak mewajibkannya, dan ada pula ulama yang menengahi silang pendapat tersebut. Dari berbagai data yang menjelaskan tentang zakat menunjukkan bahwa ada sebagian profesi yang dikenakan zakat dengan berbagai persyaratannya, dan ada pula profesi yang tidak dikenakan zakat.
Legalitas Hukum Kewarisan Anak di Luar Nikah Munawir
Al-Mizan Vol 9 No 2 (2022): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v9i2.428

Abstract

The order of inheritance to each heir is the will of God whose provisions have been set forth in the provisions of syara', the rules of the game and the completeness of each person with heirs may not be confused with the logic of life. Human law in achieving social change in the era of civilization of human development which is so advanced. Especially in the transfer of inheritance to children whose legality is not recognized in the provisions of the Shari'a to receive inheritance from the heir, in this article the author examines the legality of children out of wedlock. This article uses normative legal research methods (doctrinaire legal studies) or called library research, with data sources namely the Compilation of Islamic Law Article 186 on inheritance and secondary data, namely legal literature on the inheritance of children outside of marriage. The data analysis technique in the research that the author uses is qualitative analysis, namely data analysis by describing the data. The results of the author's research that the provisions of Islamic inheritance for children out of wedlock are not recognized in the syara' law, but this is in line with civil law as stipulated in article 186 concerning inheritance.
Perilaku Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) Dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadis Karimuddin
Al-Mizan Vol 3 No 2 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v3i2.436

Abstract

Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal. Seiring dengan perkembangan jaman dan perubahan pola hidup masyarakat terhadap kaum yang memiliki rasa tertarik dengan sejenis ini mulai terbuka dan mengakui akan hasrat seksual mereka yang mungkin berbeda dengan orang lain di sekitarnya. Keterbukaan mereka dewasa ini menjadi sebuah permasalahan baru dalam ranah hukum Islam karena perilaku mereka itu sudah menyimpang dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah berlainan jenis untuk saling membutuhkan dan melengkapi kekurangan-kekurangan dari lawan jenisnya. Untuk menyikapi realita semacam ini perlu adanya suatu kajian tentang hukuman atau sanksi menurut al-Quran dan hadits. Maka berdasarkan hasil kajian tersebut Al-Qur’an dan hadits mengharamkan perilaku LGBT karena menyimpang dari fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah. Al-Qur’an dan hadits juga mengharamkan zina, gay, lesbian dan jenis penyimpangan seks lainnya, dan Islam juga menjatuhkan sanksi bagi pelakunya. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sanksi atau hukuman bagi pelaku LGBT.
Keabsahan Nikah Misyār: (Studi Komparatif Fiqih Klasik Dan Fiqih Kontemporer) Faisal
Al-Mizan Vol 3 No 2 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v3i2.440

Abstract

Asumsi awal ketika seorang mengetahui apa sebenarnya nikah Misyār mungkin akan terlintas dalam pikirannya bahwa pernikahan ini adalah nama lain dari nikah Mut’ah atau nikah wisata yang banyak terjadi di daerah puncak Bogor. Karena kalau diperhatikan sekilas nikah Misyār ini seolah-olah merupakan perkawinan yang terbatas masanya, sebab ketika suami yang melakukan perjalanan dan melaksanakan pernikahan, kemudian ia kembali ke daerah asalnya, maka besar kemungkinan pernikahan ini tidak bisa dilanjutkan dan akan berakhir. Pernikahan Misyār ini menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer. Karena model nikah Misyār baru dikenal masa kini, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya. Sedangkan dalam Fiqh klasik khususnya Fiqh Syāfi’iyyah tidak ditemukan istilah pernikahan Misyār ini, akan tetapi dalam Fiqh Syāfi’iyyah mungkin saja dapat ditemukan beberapa konsep yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami isteri dalam menjalin rumah tangga. Barangkali konsep tersebut bisa dikaitkan dengan problema nikah Misyār. Berkaitan dengan realitas permasalahan tersebut, maka ada beberapa hal yang menganjal yang perlu dicarikan jawabannya, yaitu: Pertama, apakah nikah Misyār ini benar memiliki kesamaan dengan nikah Mut’ah atau nikah wisata yang dilarang dalam Islam ? Kedua,. Bagaimana perbedaan fatwa ulama kontemporer tentang hukum nikah Misyār ?. Ketiga, Bagaimana pandangan Fiqh klasik khususnya Fiqh Syāfi’iyyah tentang pernikahan Misyār ini bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban suami isteri dalam menjalin rumah tangga. Inilah beberapa pertanyaan yang ingin dielaborasi dalam tulisan ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, kemudian dianalisis secara komparatif dan menggunakan penalaran deduktif (istinbath).
Washal dan Waqaf Bacaan Surat Al-Fatihah dalam Shalat Fakrurradhi Marzuki
Al-Mizan Vol 3 No 2 (2016): Al-Mizan
Publisher : Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54621/jiam.v3i2.441

Abstract

al-Fatihah merupakan surah yang mulia terdiri dari tujuh ayat berdasarkan konsensus kaum muslimin. Ia dinamakan al-Fatihah (pembuka) karena kedudukannya sebagai pembuka semua surah yang terdapat dalam al-Quran. Ia diletakkan pada lembaran awal untuk menyesuaikan urutan surah dan bukan berdasarkan urutan turunnya. Walaupun ia hanya terdiri dari beberapa ayat dan sangat singkat namun ia telah menginterpretasikan makna dan kandungan al-Quran secara komprehensif. Namun dalam membaca surah al[1]fatihah ada beberapa pandangan ulama tentang cara membacanya diantara lain membaca secara washal dan secara waqaf disetiap ayat.