cover
Contact Name
Beniharmoni Harefa
Contact Email
beniharefa9@gmail.com
Phone
+6285228766665
Journal Mail Official
beniharefa9@gmail.com
Editorial Address
Fakultas Hukum Universitas Pakuan Jalan Pakuan No.1, Ciheuleut Kelurahan Tegallega Kecamatan Bogor Tenga Kota Bogor - 16129 Provinsi Jawa Barat PO Box 452/Kota Bogor » Tel / fax : +6285228766665 /
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi
ISSN : 27467651     EISSN : 27467643     DOI : https://doi.org/10.51370/jhpk.v1i1
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Pidana & Kriminologi (JHPK) hanya menerbitkan artikel yang telah sesuai dengan pedoman penulisan JHPK. Seluruh artikel yang masuk, akan direview secara double blind review. Jurnal ini memberikan kesempatan bagi para akademisi, peneliti dan praktisi untuk mempublikasikan karya ilmiah dalam bentuk artikel baik yang berbasis penelitian maupun konseptual. Artikel yang dikirim, merupakan artikel asli dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya dan mendeskripsikan novelty dari penelitiannya. Ruang lingkup (scope) Hukum Pidana Materil; Hukum Acara Pidana; Korupsi; Pencucian Uang; Terorisme; Narkotika; Pelanggaran Berat HAM; Pembaharuan Hukum Pidana; Sistem Peradilan Pidana; Kriminologi; Hukum Peradilan & Perlindungan Anak Dan berbagai isu hukum pidana dan kriminologi lainnya
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 37 Documents
ASAS TERITORIALITAS DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA: PENGERTIAN DAN PERKEMBANGANNYA Topo Santoso
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.095 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.1

Abstract

Artikel difokuskan pada asas teritorialitas yang diatur pada Pasal 2 dan Pasal 3 KitabUndang-Undang Hukum Pidana ("KUHP"). Asas teritorialitas merupakan asas pokok atau asasutama, sementara asas lainnya merupakan tambahannya. Artikel ini membahas tiga pertanyaan:pertama, bagaimana pengaturan asas teritorialitas di Indonesia; kedua, bagaimana perluasan asasteritorialitas di Indonesia; dan ketiga, apakah asas teritorialitas dan perluasannya juga diatur dinegara lain. Artikel ini menyimpulkan bahwa: 1. Rumusan asas teritorialitas diatur dalam Pasal 2KUHP inti nya adalah bahwa berlakunya hukum pidana Indonesia itu digantungkan kepada wilayahdimana tindak pidana itu dilakukan. Jika tindak pidana dilakukan di wilayah Indonesia, maka hukumpidana Indonesia berlaku atas tindak pidana tersebut. Perkembangan pengaturan asas ini dalamhukum pidana Indonesia di Pasal 4 RUU KUHP sudah mencakup apa yang saat ini diatur padaPasal 2 dan Pasal 3 KUHP serta perubahannya. Ketentuan ini juga mencakup perkembangan baruyakni tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dialamiatau terjadi di wilayah Indonesia. 2. Pasal 3 KUHP memperluas berlakunya asas teritorialitas denganmemandang kendaraan air Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana Indonesia(bukan memperluas wilayah Indonesia). Penambahan pesawat udara ke dalam Pasal 3 KUHPdilakukan dengan disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1976. Pasal 3 diperluas ruanglingkupnya sehingga pengertian jurisdiksi kriminil Republik Indonesia mencakup pesawat udaraIndonesia. 3. Semua negara menganut asas teritorialitas, sebagai contoh di Malaysia, Singapura,Thailand, Jerman dan Belanda.
PENERAPAN PRINSIP “ULTIMUM REMEDIUM” TERHADAP TINDAK PIDANA ADMINISTRASI Elwi Danil
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.508 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.2

Abstract

Karakteristik perkembangan hukum pidana Indonesia ditandai oleh semakin “massive”nya pertumbuhan undang-undang hukum administrasi yang mengandung sanksi pidana,sehingga melahirkan konsep “administrative criminal law”. Hukum administrasi dipertautkandengan hukum pidana disebabkan kurangnya “kepercayaan” kepada sanksi administratif untukmempertahankan norma hukum administrasi, sehingga perlu bantuan hukum pidana. Namunpertumbuhan yang demikian pesat menjadi beban tersendiri bagi hukum pidana yang memilikikemampuan terbatas, sehingga menimbulkan “overcriminalizatin”. Karenanya penggunaandoktrin “ultimum remedium” adalah solusi yang ditawarkan. Doktrin ultimum remedium telahmengalami perluasan makna yang tidak lagi hanya terbatas pada leval kebijakan legislatif;melainkan juga telah memasuki tataran implementasi dalam penegakan hukum. Di Indonesia,doktrin ultimum remedium telah digunakan secara sangat terbatas dalam undang-undang hukumpidana administrasi, seperti UU Lingkungan Hidup. Praktik penegakan hukum secara implisittelah menggunakan doktrin ini sebagaimana tergambar dalam beberapa putusan hakim.Mengingat demikian penting dan strategisnya posisi doktrin ultimum remedium, maka sudahsangat mendesak diterapkan terhadap pelanggaran hukum administrasi. Tidak saja untukmengatasi “overcriminalization”; melainkan juga untuk mengatasi “overcapasity” LembagaPemasyarakatan, sehingga secara ekonomis mengurangi beban negara dan masyarakat. Tapidoktrin ini tidak boleh digunakan secara general dan membabibuta untuk semua jenispelanggaran pidana administratif; melainkan hanya diterapkan secara kasuistis terhadap tindakpidana administrasi yang tingkat kesalahan pelakunya relatif ringan, dan perbuatan relatif tidakmenimbulkan bahaya atau keresahan masyarakat.
KRIMINOLOGI BUDAYA UNTUK KESEJAHTERAAN INDONESIA Muhammad Mustofa
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.619 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.3

Abstract

Suatu ilmu pengetahuan harus memberi manfaat tempat ilmu pengetahuan tersebut digali.Dalam konteks ini, kriminologi yang dipelajari dari masyarakat Indonesia harusmemberikan manfaat terhadap masyarakat Indonesia. Artikel ini merupakan tesis tentangkriminologi budaya yang bermanfaat bagi pengendalian kejahatan dan perwujudankesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Kriminologi budaya Indonesiamelandaskan diri pada konsep structural coupling, yaitu struktur penyesuaian diri atauadaptasi dan toleransi antar etnis dan golongan di Indonesia. Sementara kesejahteraansosial adalah tujuan yang harus diwujudkan dalam setiap program pembangunan.
ANGKA KEJAHATAN DAN REAKSI SISTEM PERADILAN PIDANA DI MASA PANDEMI COVID-19 Harkristuti Harkrisnowo
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (549.942 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.4

Abstract

Masa pandemi yang datang tiba-tiba telah menyebabkan disrupsi luar biasa pada kehidupan manusia di seluruh dunia. Tulisan ini mencoba membahas dampaknya pada kejahatan yang terjadi, baik dari angka maupun sebarannya. Dengan menggunakan data dari media dan laporan lembaga resmi, akan didiskusikan dampak pandemi pada jenis, frekuensi, durasi dan sebaran kejahatan. Analisis terhadap data kejahatan menunjukkan bahwa tidak dapat ditentukan adanya trend yang pasti tentang ada tidaknya terjadi kenaikan atau penurunan angka kejahatan secara konstan. Sejumlah variabel yang diduga memiliki korelasi dengan angka kejahatan adalah karakteristik wilayah, demografi, serta ketegasan dan konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan. Kondisi luar biasa ini dihadapi oleh sistem peradilan pidana yang juga tidak mungkin menjalankan fungsinya dengan business as usual. Terobosan-terobosan yang diambil oleh lembaga penanggung jawab sistem peradilan pidana untuk menghadapi permasalahan ini juga akan dibahas.
DUE PROCESS MODEL DAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA: SUATU TELAAH KONSEPTUAL Febby Mutiara Nelson
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.11 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.5

Abstract

Artikel ini membahas kaitan antara penyelesaian perkara pidana di luar sidang (khususnya model restorative justice) dan due process model. Masalah utamanya adalah apakah restorative justice itu bertentangan dengan due process atau tidak. Artikel ini membahas model-model sistem peradilan pidana dan konsep tentang penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, dalam konteks di sini dibatasi dengan restorative justice, termasuk mediasi penal. Selanjutnya, dibahas tentang bagaimana penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, yang telah dilaksanakan di Indonesia dan di Belanda, khususnya dari segi konsep dan regulasinya. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa secara konseptual, penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan restorative justice mendapat kritik karena ada potensi ketidaksesuaian dengan beberapa unsur dari due process of law, sehingga ada hal-hal yang harus dipertimbangkan serta diperkuat dari penyelesaian di luar sidang itu agar kompatibel dengan due process of law.
MEMAHAMI ’TRADING IN INFLUENCE’ DALAM KERANGKA UNCAC SEBAGAI INSTRUMEN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Eddy O.S Hiarie
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.741 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.6

Abstract

Trading in influence adalah salah satu perbuatan yang dikriminalisasikan menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi. Kejahatan trading in influence bersifat non mandatory. Artinya, pengaturan trading in influence pada hukum nasional masing-masing negara tidaklah bersifat imperatif. Sejumlah perbuatan yang dikriminalisasikan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi bersifat non mandatory menandakan bahwa tidak ada kesepakatan diantara negara-negara peserta konvesi untuk menyatakan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi. Akan tetapi, praktik trading in infleunce di Indonesia sudah ada sejak dulu sebagai salah satu modus operandi tindak pidana korupsi.
Legalitas Penyadapan Oleh Jaksa Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi: Legalitas Penyadapan Oleh Jaksa Benny Bryandono
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 3 No 1 (2022): Jurnal Mahupiki April 2022
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16978.307 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v3i1.7

Abstract

Legalitas penyadapan dalam penanganan tindak pidana korupsi secara hukum mendapat perhatian mengingat hal tersebut berkaitan dengan hak asasi manusia, mengingat fungsi hukum acara pidana adalah untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) Apakah penyadapan dalam mengungkap tindak pidana korupsi termasuk perbuatan melanggar hukum? 2) Bagaimana kewenangan yang dimiliki Jaksa dalam mengungkap tindak pidana korupsi melalui penyadapan? Dengan menggunakan metode penelitian dengan pendekatan normatif yuridis dan pendekatan preskriptif ditemukan bahwa 1) Penyadapan dalam mengungkap tindak pidana korupsi tidak melanggar hukum karena sesuai dengan pasal 28 J UUD 1945 dan pasal 73 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang membatasi hak privasi dan hak komunikasi 2) Kewenangan yang dimiliki Jaksa dalam mengungkap tindak pidana korupsi melalui penyadapan adalah terbatas dan melalui bantuan provider lain atas seijin pengadilan. Saran dalam penelitian ini adalah 1) Kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan seharusnya diatur dengan jelas dan tegas dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2) kewenangan Jaksa dalam melakukan penyadapan disamakan dengan kewenangan yang diberikan kepada KPK, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Asas Nullum Crimen Sine Poena Pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Deni SB Yuherawan; Subaidah Ratna Juita; Indah Sri Utari; Joice Soraya
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 2 No 1 (2021): Jurnal Mahupiki April 2021
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.527 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v2i1.8

Abstract

Artikel ini bertujuan merekonstruksi asas ’nullum crimen sine poena legali’ (tiada kejahatan tanpa pidana berdasarkan atau menurut undang-undang pidana), sering disebut sebagai Asas Legalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, untuk diharmonisasikan dengan asas ’nullum crimen sine poena’ (tiada kejahatan tanpa pidana). Makna asas ’nullum crimen sine poena legali’ adalah adanya keharusan pengaturan oleh undang-undang pidana. Keharusan pengaturan terhadap perbuatan dan pemidanaan merupakan kelemahan ontologis dalam asas ’nullum crimen sine poena legali, yaitu ketidakmungkinan penuntutan secara pidana terhadap suatu perbuatan, walaupun menimbulkan kerugian besar bagi korban, jika perbuatan tersebut tidak dilarang oleh undang-undang pidana (sebagai hukum tertulis). Makna asas ’nullum crimen sine poena’ bahwa setiap kejahatan harus dipidana, baik berdasarkan undang-undang pidana (hukum tertulis) maupun bukan berdasarkan undang-undang pidana (hukum tidak tertulis, seperti hukum yang hidup dalam masyarakat). Fokus persoalan ditujukan kepada ketiadaan perlindungan hukum terhadap korban dari perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang pidana, sebagai konsekuensi logis asas ’nullum crimen sine poena legali’ itu sendiri. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian teoritis, dengan menggunakan pendekatan konseptual. Kesimpulan dari pembahasan, sebagai berikut: (a) Tidak ada perlindungan hukum bagi korban dari ’crimina extra ordinaria’; (b) gagasan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) RUU-KUHP mencakup sumber hukum pidana, hukum pidana yang harus diberlakukan, penerapan hukum pidana, dan pola pikir aparat penegak hukum; serta (c) Dalam konteks Pasal 2 ayat (1) RUU-KUHP, gasasan hukum ’nullum crimen sine poena legali’, secara koherensi, merupakan bagian yang komprehensif dan konsisten dari asas ’nullum crimen sine poena’. Kata kunci: rekonstruksi, asas Legalitas, ’nullum crimen sine poena’
Komunikasi Instrumental Berbasis Trikotomi Relasi: Kewenangan Interpretasi Penyidik Dalam Menetapkan Seseorang Sebagai Tersangka Rocky Marbun
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 2 No 1 (2021): Jurnal Mahupiki April 2021
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.602 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v2i1.10

Abstract

Komunikasi instrumental salah satu bentuk komunikasi yang dikembangkan dalam ranah interogasi penyidikan. Model komunikasi instrumental memberikan kekuasaan absolut bagi penyidik untuk mendominasi dan menghegemoni terperiksa, termasuk kekuasaan untuk menetapkannya sebagai tersangka. Guna mencapai tujuannya Penyidik kerapkali memproduksi pengetahuan sebagai bentuk dari kegiatan interpretasi untuk mensituasikan keadaan terperiksa, dan mengabaikan fakta-fakta yang ada. Tindakan absolutisme Penyidik tersebut terlihat dengan jelas dalam proses pemeriksaan perkara pidana dalam Laporan Polisi Nomor: LP/5464/IX/IX/2019/PMJ/Disrekrimum tertanggal 1 September 2019 atas dugaan tindak pidana Pasal 263 KUHP dan Pasal 266 KUHP. Pengabaian fakta hukum tersebut berfungsi sebagai upaya mempertahankan grand narrative (makna tunggal) berbasis prasangka sehingga mereduksi pemaknaan terhadap bukti-bukti yang meringankan dan bersikap non-imparsial. Penelitian ini bertujuan mengkritisi tindakan hukum dari Penyidik yang menggunakan komunikasi instrumental sebagai basis melakukan interpretasi dan membuat keputusan yang bertentangan dengan KUHAP. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan dari paradigma kritis, khususnya melalui konsep trikotomi relasi melalui pengamatan dan observasi. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukan pola komunikasi instrumental melalui kegiatan trikotomi relasi yang memproduksi pengetahuan untuk kepentingan sepihak dan mereduksi makna kewenangan hukum melalui otoritas. Sehingga, memunculkan pelanggaran hak asasi manusia dari pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Praperadilan Dan Prosedur Penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Rifka Putri Kaifa
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 2 No 1 (2021): Jurnal Mahupiki April 2021
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.745 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v2i1.11

Abstract

ekuasaan penyidikan merupakan salah satu bagian dari subsitem peradilan pidana. Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam proses penyidikan ada pada tataran pembantu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kendali atas proses penyidikan tetap ada pada aparat kepolisian, mengingat kedudukan institusi Polri sebagai Kordinator Pengawas (Korwas). Permasalahan dalam skripsi ini mengenai bagaimana prosedur Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan sesuai dengan KUHAP dan aturan pelaksanaannya dan apakah pertimbangan hakim praperadilan pada Putusan Nomor 5/Pid/Prap/2018/PN.Srg terhadap peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan teori penegakan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan. Dari penulisan skripsi ini diperoleh hasil penelitian mengenai prosedur Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan berdasarkan KUHAP dan aturan pelaksanaannya dan pertimbangan hakim praperadilan dalam putusan Nomor 5/Pid.Prap/2018/PN.Srg telah keliru dalam berpendapat mengenai bentuk koordinasi yang dilakukan PPNS dengan Korwas.

Page 1 of 4 | Total Record : 37