Iwan Fuadi
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 76 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search
Journal : Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Sindroma Apert yang Dilakukan Suturektomi Iwan Abdul Rachman; Iwan Fuadi; Eri Surahman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.332 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.161

Abstract

Sindroma Apert adalah suatu gangguan genetik yang ditandai dengan penggabungan tulang yang terlalu dini (kraniosinostosis). Penggabungan dini tersebut menghambat pertumbuhan normal tulang dan mempengaruhi pertumbuhan bentuk kepala dan wajah. Penggabungan dini tulang kepala dapat mempengaruhi perkembangan otak bahkan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan pada sindroma Apert juga didapatkan penggabungan beberapa jari tangan dan kaki (sindaktili). Seorang anak berusia 2 tahun dengan sindroma Apert. Tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial belum didapatkan sehingga operasi dijadwalkan terencana dan pasien dirawat terlebih dahulu di ruangan. Kemungkinan kesulitan untuk intubasi dengan laringoskopi diantisipasi dengan persiapan intubasi menggunakan optik fiber dan trakeostomi. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,5 mg intravena pada saat pasien akan dibawa ke kamar operasi. Dilakukan anestesi umum, induksi menggunakan propofol 30 mg, fentanil 30 μg diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 2 mg, pemeliharaan anestesi dengan N2O/O2 dan Sevofluran. Vekuronium diberikan 1 mg /jam. Ventilasi kendali menggunakan ETT no. 5,0. Operasi berlangsung selama 6 jam dengan posisi pasien terlentang. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90-110 mmHg, tekanan darah diastolik 50-70 mmHg, laju nadi (HR) 87-110 x/mnt, SaO2 99-100 %. Setelah operasi berakhir pasien bernafas spontan adekuat dan dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Pasca operasi pasien di rawat di PICU hingga hari ke-4 pasien dipindahkan ke ruangan. Gangguan penggabungan tulang kepala yang terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bentuk kepala, otak dan gangguan pendengaran dan penglihatan. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Koreksi segera dengan melakukan suturektomi dan dekompresi dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan tersebut. Anaesthetic management of patient with Apert syndrome which undergo suturectomy Apert syndrome is a genetic disorder characterized by the premature fusion of certain skull bones (craniosynostosis). This early fusion prevents the skull from growing normally and affects the shape of the head and face. Early fusion of the skull bones also affects the development of the brain and even can increased the intracranial pressure. In apert syndrome there was also fusion of fingers and toes (syndactyly). A 2 years old child with Apert syndrome which undergo suturectomy and decompression. The clinical signs of raised intracranial pressure in this patient has not been obtained yet so the surgery was done as scheduled . Difficulties to perform intubation with direct laryngoscopy were anticipated through the use of fiber optic and preparation of tracheostomy. Patient has been given premedication using midazolam 0,5 mg given intravenously before his admission to the operating room. The surgery is performed with general anesthesia using propofol 30 mg then fentanyl 30mcg, 3 minutes before intubation. Vecuronium 2mg was given to facilitates intubation. Maintenance of anesthesia with Nitroons/O2 sevoflurane and Vecuronium 1mg/hour. Ventilation was controlled by using ETT no 5.0. Patient was in supine position, and it last for 6 hours. There was relatively stable hemodynamics, systolic blood pressure range 90-110 mmHg, diastolic blood pressure 50-70 mmHg, pulse rate 87-110x/minutes, SaO2 99-100%. After the operation, there was adequate spontaneous breathing so extubation was performed in the operating room, then he was referred to PICU. On day 4 patient was moved to the room. Premature fusion of skull bones will cause growth disorders of the head, brain, and hearing and vision impairment. It also can cause increased intracranial pressure. Immediate correction by suturectomy and decompression can prevent this possibility.
Efek Proteksi Otak Erythropoietin Iwan Fuadi; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2678.354 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i2.109

Abstract

Eritropoietin (EPO) adalah hormon ginjal yang berfungsi mempertahankan jumlah eritrosit. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa EPO adalah molekul multifungsi yang dihasilkan dan digunakan oleh berbagai jaringan. Selain eritropoiesis. EPO juga terlibat pada respon biologis kerusakan jaringan akut dan subakut. Eritropoietin tidak hanya berperan dalam eritropoiesis tetapi juga memiliki efek proteksi otak dengan merangsang protein of repair, mengurangi eksitotoksisitas neuron, mengurangi inflamasi, menghambat apoptosis neuron dan merangsang neurogenesis dan angiogenesis pada penelitian eksperimental cedera iskemia, hipoksia dan cedera toksik. EPO juga memperbaiki outcome neurologik dan fungsi mental. Ditemukannnya EPO dan reseptor EPO (EPOR) di organ-organ dan jaringan non eritroid menunjukkan EPO mempunyai fungsi yang lain. Produksi ekstrarenal dari EPO ditemukan pada binatang pengerat dewasa dan pada manusia dengan severely anemic anephric  masih ditemukan kadar EPO walau sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi sintesa ekstrarenal dari EPO. Berbagai jenis sel pada sistem saraf pusat memproduksi EPO dan mengkespresikan EPOR. Mekanisme kerja EPO dapat mempengaruhi berbagai langkah dalam kaskade kematian sel. EPO dapat mencegah kematian sel neuron eksitotoksik yang diakibatkan oleh berbagai reseptor glutamat agonis juga melindungi sel neuron dari toksisitas yang diakibatkan oleh kainate, NMDA dan AMPA. EPO dapat melawan efek sitotoksik dari glutamat, meningkatkan ekspresi enzim-enzim antioksidan, mengurangi pembentukan radikal bebas, memperbaiki aliran darah serebral, mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, dan meningkatkan angiogenesis. EPO tidak hanya berfungsi dalam proses eritropoiesis tetapi juga mempunyai efek protektor otak. Jalur proteksi otak dari EPO memang masih belum jelas tetapi penelitian-penelitian menunjukkan terdapat perbaikan dari otak baik secara klinis maupun laboratoris setelah pemberian EPO.Brain Protection Effect of ErythropoietinErythropoietin (EPO) has been viewed solely as a renal hormone with a specialized role in maintaining adequate numbers of erythrocytes. However, recent studies have revealed that EPO is a multifunctional molecule produced and utilized by many tissues. In addition to erythropoiesis, EPO’s other key roles involve the acute and sub acute biological responses to tissue damage. Studies showed that EPO stimulates proteins of repair, diminishes neuronal excitotoxicity, reduces inflammation, inhibit neuronal apoptosis and stimulates both neurogenesis and angiogenesis. EPO also improved neurological outcomes and mental function. The discovery of EPO and EPOR (erythropoietin receptor) in many non-erythroid organs and tissues suggested that EPO has other roles. Extrarenal production of EPO found in adult rodents and in humans. Different cell types in the nervous system produce EPO and express EPOR. EPO mechanism influence every step in cascade of neuronal cell death. EPO prevents excitotoxic neuronal cell death caused by glutamate receptor agonists that protect neuron from toxicity from kainate, NMDA and AMPA. EPO can resist cytotoxic effect of glutamate, increased antioxidant enzymes expression, reduce free radical formation, repair cerebral blood flow, influence release of neurotransmitter dan angiogenesis. EPO function not only in erythropoiesis but also in brain protection. The brain protection pathway of EPO remains unclear but clinical and laboratory studies showed that good result.
Penatalaksanaan Anestesia pada Pasien Cretin dengan Hipopituitarisme Sekunder Akibat Kraniofaringioma Theresia Monica Rahardjo; Iwan Fuadi; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.422 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.177

Abstract

Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat. Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalani craniotomy tumor removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH yang menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Teknik anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N2O/O2 dan isoflurane. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O2/udara. Pernapasan pasien dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah 5 hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning. Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai terapi penggantian hormonal diberikan sebelum operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan endotracheal tube dengan ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post operatif dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang sangat teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi, bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit ini.  Anesthesia Management In Cretin Patient With Hypopitutarism Secondary Of CraniopharyngiomaCraniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood brain tumors. Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache, vomiting and visual dysfunction. A significant endocrine dysfunction is an usual feature of craniopharyngioma due to the proximity of the tumor to hypothalamus and pituitary gland. Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and delayed puberty. A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache since 13 yrs ago accompanied by visual disturbance, started from his left eye, now he is totally blind. He also suffered from growth failure and delayed puberty, has a physic of a boy regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He has an elevated TSHs but normal T3 and fT4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a normal but low growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was general anesthesia. Induction was done with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium with a mixture of N2O/O2 and isoflurane. Anesthesia was maintained with isoflurane and a mixture of O2/air. Patient was in controlled breathing with an incremental dose of vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce intracranial pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient was referred back to his room at Kemuning. The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction and a possibility of airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction dose of anesthetic agents were adjusted and smaller laryngoscope blade and endotracheal tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low concentration of volatile agent and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the operation. Post operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control. Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine dysfunction and abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative, intraoperative to postoperative period. A good management and cooperation between anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the morbidity and mortality in this kind of disease.   
Tatakelola Ventilasi Mekanik pada Pengangkatan Tumor Metastasis Ekstradura Torakal dengan Teknik Anestesi Satu Paru dan Posisi Lateral Dekubitus Dini Handayani Putri; Dewi Yulianti Bisri; Iwan Fuadi; M Sofyan Harahap
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 9, No 1 (2020)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2675.83 KB) | DOI: 10.24244/jni.v9i1.254

Abstract

Spinal adalah lokasi yang paling umum untuk metastasis tulang. Metastasis spine dapat menyebabkan nyeri, ketidakstabilan tulang belakang dan cedera neurologis lainnya. Pada operasi tumor spinal metastasis pendekatan pembedahan menjadi hal penting baik bagi ahli bedah saraf maupun neuroanestesi. Pada kasus ini laki-laki 60 tahun dengan tumor ekstradura metastasis torakal akan menjalani operasi pengangkatan tumor dan stabilisasi dengan pendekatan posterolateralextracavity untuk mendapat akses yang optimal ke bagian ventral spinal bagian torakal atas. Pasien di induksi dengan fentanil 200 mcg dan propofol 100 mg, fasilitasi intubasi dengan rocuronium 50 mg dan pemasangan double lumen tube kiri, posisi lateral dekubitus. Ketika dilakukan ventilasi satu paru pasien mengalami kejadian desaturasi oksigen sampai 93%, dilakukan penyesuaian mode ventilator sebagai penanganannya. Pascaoperasi pasien tidak diekstubasi dan menjalani perawatan diruangan intensif selama dua hari dan dipulangkan pada hari ke 13. Tatakelola kasus ini difokuskan pada penilaian preoperatif, pengaruh posisi lateral dekubitus dan teknik anestesi satu paru terhadap fungsi respirasi dan kardiovaskular. Risiko hipoksemia akibat ketidaksesuaian ventilasi / perfusi yang menyebabkan gangguan oksigenisasi dan perfusi terhadap otak dan medulla spinalis, sehingga diperlukan tatakelola ventilasi mekanik, monitoring intraoperasi yang berhubungan dengan kaidah-kaidah neuroproteksi terhadap otak dan medulla spinalis. Management of Mechanical Ventilation in the Removal of Thoracal Extradura Metastatic Tumors with One Lung Anesthesia Technique in Decubitus Lateral PositionAbstractThe spine is the most common location for bone metastases. Spine metastases can cause pain, spinal instability and other neurological injuries. In spinal metastatic tumor surgery a surgical approach is important for both neurosurgeons and neuroanesthesiologists. In this case, a 60-year-old man with a thoracic metastatic extradura tumor would undergo tumor removal and stabilization with the posterolateralextracavity approach to obtain optimal access to the ventral spinal ventral region. Patients were induced with 200 mcg fentanyl and propofol 100 mg, facilitation of intubation with 50 mg rocuronium and installation of the left double lumen tube, lateral decubitus position. When one lung is ventilated, the patient experiences an oxygen desaturation event of up to 93%, adjusting the ventilator mode as a treatment. Postoperatively the patient was not extubated and underwent intensive care for two days and was discharged on day 13. The case management focused on preoperative assessment, the influence of lateral decubitus position and one-pulmonary anesthetic technique on respiration and cardiovascular function. The risk of hypoxemia due to ventilation / perfusion mismatches that cause oxygenisation and perfusion disorders of the brain and spinal cord, so that management of mechanical ventilation, intraoperative monitoring associated with neuroprotection rules of the brain and spinal cord. 
Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan Ferra Mayasari; Tubagus Yuli R; Iwan Fuadi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2337.469 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.133

Abstract

Manajemen anestesi untuk pasien hamil untuk operasi non-obstetrik jarang dilakukan, dan menimbulkan sejumlah tantangan bagi spesialis anestesiologi karena manajemen anestesi harus mempertimbangkan kehidupan ibu dan janin. Pertimbangan anestesi untuk wanita hamil dengan operasi non obstetri meliputi perubahan kardiovaskular dan hematologi, sistem respiratori, sistem gastrointestinal, dan sistem saraf pusat serta perifer serta pada kasus ini adalah posisi yang ekstrim. Seorang wanita berusia 26 tahun dengan sindroma kauda equina e.c. SOL ekstramedula intradural dengan G3P2A0 gravida 25‒26 minggu yang dilakukan tindakan laminektomi pengangkatan tumor dalam anestesi umum dengan posisi miring kekiri. Operasi dapat dilaksanakan tanpa adanya komplikasi, pascaoperasi baik ibu maupun janin dalam keadaan sehat. Keberhasilan manajemen anestesi pada operasi non-obstetrik selama kehamilan tergantung kepada kerjasama multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, perhatian terhadap fisiologi maternal dan fetus, serta perawatan suportif periode postoperatif. Mempertahankan stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan fetus. Anesthesia Management of Pregnant Patient with Cauda Equine Syndrome e.c. Extramedulary Intradural SOLAnesthesia management for non-obstetric surgery during pregnancy is relatively uncommon and challenges the anesthesiologist since anesthesia management must consider both mother and fetal safety. Anesthesia management for non-obstetric pregnant women is considered covering difference in cardiovascular and hematologic changes, respiratory system, gastrointestinal system, central nervous system and peripheral nervous system, and in this case extreme position for operation. For this case, a 26 year old woman with Cauda Equina Syndrome e.c. Extramedullary Intradural SOL with G3P2A0 25‒26 weeks pregnancy underwent Laminectomy for Tumor Removal under general anesthesia. The surgery was preceded without any complication, both mother and fetal recovered uneventfully. The successful of anesthesia management for non-obstetric surgery during pregnancy depends on multidisciplines coordination, comprehensive preoperative management, careful monitoring on maternal and fetal physiology, and supportive postoperative care. Maintaining maternal stability, determination of the optimal time for surgery, and selection of proper medication and anesthesia technique are the most important things to be considered for mother and fetal safety.
Korelasi antara Rentang Waktu Cedera Otak Traumatik dengan Dimulainya Terapi Pembedahan Kraniotomi terhadap Kejadian dan Beratnya Post Traumatic Headache (PTH) Radian Ahmad Halimi; Iwan Fuadi; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2211.563 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i3.143

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Keluhan nyeri kepala setelah terjadinya Cedera Otak Traumatik (COT) dikenal sebagai Post Traumatic Headache (PTH) yang dapat terjadi setelah cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tujuan penelitian ini adalah mencari apakah ada korelasi antara rentang waktu kejadian COT hingga dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi terhadap angka kejadian dan beratnya PTH. Subjek dan Metode: Penelitian observasional kohort prospektif pada 33 orang pasien COT derajat ringan atau sedang dengan pengambilan data secara consequetif sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu dari kejadian COT hingga dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi, angka kejadian PTH, derajat berat nyeri dengan menggunakan sistem penilaian Numeric Rating Scale (NRS). Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis korelasi Spearman. Hubungan korelasi bermakna bila koefisien korelasi (R) 0,4 dan nilai p0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara rentang waktu terhadap kejadian PTH (r = 0,75) dengan korelasi searah dan bermakna (p0,05). Terdapat korelasi yang kuat antara rentang waktu terhadap derajat beratnya PTH (r = 0,82) dengan korelasi searah dan bermakna (p0,05). Simpulan: semakin lama rentang waktu dari kejadian COT hingga dilakukannya terapi pembedahan kraniotomi maka akan semakin banyak angka kejadian dan semakin berat PTH. The Correlation between The Interval of Traumatic Brain Injury with Craniotomy Surgery Start on The Incidence and Severity of Post Traumatic Headache (PTH)Background and Objective: Complaints of headache in the aftermath of Traumatic Brain Injury (TBI) is known as Post Traumatic Headache (PTH), which can occur after mild, moderate, or severe head injury. The purpose of this study is to find a correlation between the time span from the TBI events until the craniotomy surgical therapy was performed with the incidence and severity of PTH.Subject and Method: Prospective observational cohort study in 33 patients with mild or moderate TBI with data retrieval consequetif sampling. The parameters recorded in this study including age, gender, weight, GCS, time interval between the events of TBI until the craniotomy surgical therapy was performed, the incidence of PTH, severity of pain using NRS score. Analysis of linear correlation of two variables calculated by Spearman correlation analysis. Significant correlation when the correlation coefficient (R) 0.4 and p 0.05.Result: The results showed a strong correlation between the interval of the incidence with the incidence of PTH (r = 0.75) with unidirectional and significant correlation (p 0.05). There is a strong correlation between the time span from TBI events until the craniotomy surgical therapy with the severity of PTH (r = 0.82) with unidirectional and significant correlation ( p 0.05).Conclusions: the longer of interval between the TBI events to craniotomy surgical treatment, the more of the incidence and severity of PTH.
Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS) Bona Akhmad Fithrah; Iwan Fuadi; Sri Rahardjo; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.638 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i2.46

Abstract

Otak adalah organ terpenting dalam tubuh manusia. Pada neuroanestesi otak ini dimanipulasi dengan berbagai obat hingga dapat dilakukan pembedahan pada otak itu sendiri. Saat ini berkembang berbagai prosedur bedah syaraf yang bersifat minimal invasif. Dengan hadirnya pembedahan minimal ini diharapkan keluaran bedah syaraf semakin baik dan komplikasi minimal.  Salah satu prosedur bedah minimal invasif adalah Deep Brain stimulation (DBS). Prosedur ini memiliki beberapa hal yang harus dipertimbangkan yang bila tidak diperhatikan maka akan menyulitkan operator dan anestesi sendiri. Hal terpenting dari prosedur ini adalah keakuratan untuk menempatkan electrode pada nuclei yang akan dilakukan stimulasi. Anestesi hadir untuk memfasilitasi prosedur minimal invasif ini. Target anestesi pada bedah syaraf minimal invasif  tetap sama yaitu perfusi otak yang adekuat. Dan untuk mencapai perfusi otak yang adekuat ini tetap memerlukan persiapan pasien yang baik. Teknik anestesi yang dilakukan berbeda dengan anestesi rutin bedah syaraf. Tekhnik yang umum dikerjakan saat ini adalah monitored anesthesia care dengan local anesthesia, conscious sedation dan anestesi umum. Setiap tekhnik ini memiliki keuntungan, kerugian, pemilihan obat anestesi dan dapat disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. DBS sendiri setelah ditanamkan memiliki standar keamanan tersendiri yang harus dipatuhi agar tetap bekerja dengan baik. DBS saat ini dapat ditawarkan sebagai terapi alternatif bagi pasien parkinson yang gagal dengan terapi medikamentosa.  Anesthesia for Minimally Invasive Surgery Deep Brain Stimulation (DBS)Brain is the important part from human body. In neuroanesthesia brain is manipulated so surgery can conduct in the brain itsef. Nowadays there are several minimally invasive neurosurgery procedure. What we expect from the minimally invasive surgery is the outcome will be better and or with minimal complication. One of the minimally invasive procedure is Deep Brain Stimulation (DBS). This procedure have some concern to considered if not would complicate the surgeon and the anesthesiologist. Anesthesia come to facilitate this minimally invasive neurosurgery. The goal of anesthesia attending this minimal invasive procedure still the same with routine neurosurgery. which is to make sure adequate cerebral perfusion pressure. Anesthesia procedure litle bit different with common neurosurgery. Anesthesia procedure that recommend nowadays are monitored anesthesia care with local anesthesia, conscious sedation and general anesthesia. All the procedure have advantages and disadvantages, anesthesia drug chosen and customizing with hospital condition. After implanted DBS has certain procedure to be followed if not would endanger or destroyed the DBS itself. Nowadays DBS can be offered as an alternative therapy for the patients which failed with medical therapy.
Angka Kejadian dan Outcome Cedera Otak di RS. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2008-2010 Nyiemas Moya Zamzami; Iwan Fuadi; A. Muthalib Nawawi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.136 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.167

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang dengan angka kematian yang tinggi pada dewasa muda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah angka kejadian COT dan karakteristiknya di RS. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.Subjek dan Metode: Penelitian deskriptif retrospektif dengan subyek pasien COT di Instalansi Gawat Darurat RSHS pada tahun 2008-2010. Pengambilan sampel dilakukan memakai data status pasien dan data elektronik catatan medis. Data dicatat dan dikelompokan sesuai dengan variabel karakteristik, outcome, serta dihitung CFR.Hasil: Angka kejadian COT selama 3 tahun di RSHS 3578 kasus, data yang berhasil dicatat sebanyak 2836 kasus, data yang tidak lengkap 483, dan data yang hilang 259, dengan CFR 3,5%. Kejadian COT ringan 1641 kasus, COT sedang 1086 kasus, COT berat 109 kasus. Kejadian pada laki-laki (79,8%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,2%) dan tertinggi pada 18-45 tahun. Kecelakaan kendaraan roda dua adalah penyebab utama COT pada pasien RSHS. Jumlah terbanyak yang dilakukan operasi adalah fraktur depres dan cedera otak sedang. Interval waktu kedatangan di IGD sampai dimulainya operasi lebih dari 6 jam sebanyak 410 kejadian (60%) dan 273 kejadian (40%) memerlukan waktu operasi kurang dari 6 jam. Outcome pada pasien COT ringan adalah baik yaitu sebesar 94,7%, sedangkan outcome buruk dijumpai pada COT sedang sebesar 5,3%.Simpulan: Insidensi dan mortalitas COT di RSHS masih sangat tinggi dan tertinggi pada laki-laki, terjadi pada kelompok usia remaja sampai dewasa muda. Penyebab utama COT karena kecelakaan kendaraan roda dua dan mayoritas outcome pascaoperasi baik. Incidence and Outcome of Head Injury at Hasan Sadikin Hospital Bandung 2008-2010 Background and Objective: Traumatic brain injury (TBI) is one of the health problems in the world, especially in developing countries with high mortality rates in young adults. The purpose of this study was to determine the amount of TBI incidence and characteristics at Hasan Sadikin Hospital (RSHS) BandungSubject and Method: This research method is descriptive retrospective subject all patients with TBI at the emergency room RSHS in 2008 to 2010. Sampling was conducted using patient status data and electronic data of medical records. Data were recorded and classified in accordance with variable characteristics, outcome and Case Fatality Rate was calculated.Results: The incidence of TBI in 3 years at the RSHS is 3578 cases. Completed data attained were 2836 cases, with incomplete data in 483 cases and missing data in 259 cases with CFR 3.5%. The incidence of mild head injury were 1641 cases, moderate head injury were 1086 cases and 109 cases of severe head injury and CFR 3.5%. Incidence of TBI occurred in men was 79.8% which was higher compared to female 20.2%, with the age group of 18-45 years old was the highest. Majority were motorcycle accidents as the leading cause of TBI, and the most frequent diagnosis was depressed fracture have surgery. The most cases that underwent surgery were patients with moderate TBI. The more than 6 hours interval from emergency admission to surgery were recorded in 419 cases (60%) and 6 hours interval in 273 cases (40%). Good outcome were recorded in the mild TBI 94.7%, but poor outcome were recorded in moderate TBI as many as 5.3%, 90 Jurnal Neuroanestesia IndonesiaConclusion: The incidence and mortality rate of TBI at RSHS was still very high. TBI occured mostly in men and in adolescent to young adult age group. The cause of head trauma was high due to motorcycle accidents, but most of the cases had a good outcome.
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi Fitri Sepviyanti Sumardi; Iwan Fuadi; Sri Rahardjo; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.902 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i2.43

Abstract

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik operasi bedah saraf ini berbanding lurus dengan kemajuan keilmuan anestesi. Tatalaksana anestesi sangat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan pasien pascabedah. Seorang laki-laki 58 tahun dengan diagnosis trigeminal neuralgia sinistra, berat badan 60 kg dan tinggi badan 165 cm. Pasien mengeluh nyeri wajah sebelah kiri yang terkadang disertai nyeri kepala. Riwayat hipertensi dan penyakit penyerta lain disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti carbamazepine disangkal. Dilakukan induksi anestesi umum dengan tehnik total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan teknik target controlled infuse (TCI): propofol, dexmetomidine, fentanyl dan rocuronium, sebagai alat pantau/monitoring digunakan index of consciousness (IoC), lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 30 menit. Pascabedah pasien dirawat di ICU selama 1 hari, lalu dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-6 perawatan. Mikrovaskular dekompresi merupakan operasi bedah otak yang minimal invasif menuntut para ahli anestesi untuk bertanggung jawab menyokong pascabedah yang lebih optimal, sehingga pasien cepat bangun dan penilaian neurokognitif dilakukan sedini mungkin. Penggunaan IoC sebagai alat pantau pasien/monitoring selama diberikan anestesi TIVA sangatlah berguna. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya pasien tetap sadar selama operasi berlangsung, dengan melihat kedalaman anestesi yang diberikan, agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan dosis obat-obatan anestesi yang diberikan.The role of index of consciousness (IoC) Total Intravenous Anesthesia Management for Microvascular Decompression SurgeryThe development of science and engineering neurosurgical operation is directly proportional to the scientific advancement of anesthesia. Management of anesthesia greatly affect quality of life and health of patients postoperatively. A man 58 years old with a diagnosis of the left trigeminal neuralgia, weighing 60 kg and height 165 cm. Patients complain of pain left face is sometimes accompanied by headache. A history of hypertension and other comorbidities denied. A history of consumption of drugs such as carbamazepine denied. Induction of general anesthesia with TIVA technique using TCI: propofol, dexmetomidine, fentanyl and rocuronium, as a means of monitoring / monitoring use IoC (index of consciousness), long operating time of 2 hours and anesthetized patients 2 hours 30 minutes. Postoperative patients admitted to the ICU for 1 day, and then transferred to the wards and go home on the 6th day of treatment. Microvascular decompression is a brain surgery less invasive and requires minimal bleeding anesthesiologists responsible for more optimal postoperative support, so patients quickly get up and neurocognitive assessment done as early as possible. The use IoC as a tool to monitor patients during anesthesia TIVA, it’s very useful. It aims to prevent the patient awareness during surgery, to see the depth of anesthesia is given, in order to avoid under- or overdosing anesthesia agents.
Korelasi antara Tipe Hematoma Intrakranial dengan Kejadian dan Beratnya Post Traumatic Headache (PTH) Radian Ahmad Halimi; Iwan Fuadi; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2553.274 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.100

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Keluhan sakit kepala setelah cedera otak traumatik (COT) disebut sebagai Post Traumatic Headache (PTH), yang dapat terjadi setelah cedera otak ringan, sedang atau berat. Tujuan penelitian ini untuk menemukan korelasi antara tipe hematoma intrakranial dengan kejadian dan beratnya PTH.Subjek dan Metode: Penelitian observasional cohort prospektif pada 31 pasien, umur13–59 tahun, laki-laki dan perempuan, yang mengalami COT ringan atau sedang. Pengambilan sampel secara consequetive sampling. Parameter yang dicatat adalah umur, jenis kelamin, berta badan, Glasgow Coma Scale (GCS), tipe hematoma intrakranial, kejadian PTH dan beratnya PTH dengan menggunakan skor numeric rating scale (NRS). Analisis korelasi linier dengan dua variable dengan analisis korelasi Spearman. Korelasi dianggap signifikan bila koefisien korelasi (R) 0,4 dan p0,05.Hasil: Seratus persen pasien subdural hematoma (SDH) dan Intracerebral Hematoma (ICH) mengalami post traumatic headache dan hanya 70,6% pada pasien EDH. Pasien dengan depressed fractur tanpa perdarahan intrakranial mengalami PTH sebanyak 33,3%.Simpulan: Perdarahan yang terjadi dibawah duramater menunjukkan kejadian PTH yang paling tinggi. The Correlation between Type of Intracranial Hematoma with The Incidence and Severity of Post Traumatic Headache (PTH)Background and Objective: Headache occurs after Traumatic Brain Injury (TBI) is known as Post Traumatic Headache (PTH), which could manifest after a mild, moderate, or severe head injury. The aim of this study is to evaluate the correlation between type of intracranial hematoma with the incidence and severity of PTH.Subject and Method: This prospective observational cohort study was performed in 31 patients aged from 13–59 years old with mild or moderate TBI usig a consequetive sampling retrieval. Parameters recorded in this study were age, gender, weight, GCS, type of hematoma intracranial, the incidence of PTH, and severity of pain of PTH using the numeric rating score (NRS) score. Linear correlation analysis of two variables was calculated using Spearman correlation analysis. The correlation is significant if the correlation coefficient (R) 0.4 and p 0.05.Result: One hundred percent of subdural hematoma (SDH) and intracerebral hematoma (ICH) patients were experienced PTH and only 70,6% in epidural hematoma (EDH) patients. PTH also found in 33.3% of patient with depressed fracture without intracranial bleeding.Conclusion: Hematoma under duramater causes the highest incidence of PTH
Co-Authors - Elvidiansyah - Elvidiansyah A Himendra Wargahadibrata A Himendra Wargahadibrata A. Hmendra Wargahadibrata A. Muthalib Nawawi A. Muthalib Nawawi A.A. Ketut Agung Cahyawan W Abdul Muthalib Nawawi Abdul Muthalib Nawawi Abdul Rahman Abdul Rahman Aisyah Ummu Fahma Andre Aditya Andy Hutariyus Ardhana Risworo Anom Yuswono Ardhana Risworo Anom Yuswono Ardi Zulfariansyah Ardi Zulfariansyah Ardi Zulfariansyah Ari Saptadi Ari Saptadi Ariestian, Erick Army Zaka Anwary Arna Fransisca Arsy Felisita Dausawati Arsy Felisita Dausawati Asyer Asyer Bisri, Tatang https://scholar.google.co.id/citations?u Bona Akhmad Fithrah Bramantyo Pamugar Defri Aryu Dinata Defri Aryu Dinata, Defri Aryu Dessy Sutoyo Dewi Ramadani Dewi Ramadani Dewi Yulianti Bisri Dian Novitasari Dian Novitasari Dimas Rahmatisa Dini Handayani Putri Dzulfikar D. L. Hakim Eka Damayanti Eri Surahman Eri Surahman Eri Surahman Erick Ariestian Erwin Pradian Erwin Pradian Eva Srigita Tari Ezra Oktaliansah Fahma, Aisyah Ummu Fardian Martinus Ferra Mayasari Firdaus, Riyadh Fithrah, Bona Akhmad Fitri Sepviyanti Sumardi Fitri Sepviyanti Sumardi Hamzah Hamzah Hansen Wangsa Herman Hidayat, Dede A Hunter D. Nainggolan Hunter D. Nainggolan Ike Sri Redjeki Ike Sri Redjeki Indra Wijaya Indriasari Indriasari Iwan Abdul Rachman Jimmy Setiadinata Jimmy Setiadinata, Jimmy Kartapraja, Roni D. Lukman Hidayat M Andy Prihartono M Sofyan Harahap M. Erias Erlangga Mariko Gunadi Mariko Gunadi Martinus, Fardian Maulana Muhammad Maulana Muhammad, Maulana Mayasari, Ferra MM Rudi Prihatno Monika Widiastuti Muhammad Adjie Pratama Nency Martaria Nurmala Dewi Maharani Nyiemas Moya Zamzami Pamugar, Bramantyo Pison, Osmond Muvtilof R, Tubagus Yuli Radian Ahmad Halimi Rahmadsyah, Teuku Rahordjo, Sri Richard Pahala Sitorus Rini Rustini Riyadh Firdaus Roni D. Kartapraja Rudi Kurniadi Kadarsah Ruli Herman Sitanggang S, Achmad Afif Saleh, Siti Chasnak Setiawan Setiawan Sitanggang, Ruli H. Siti Chasnak Saleh Sitorus, Richard Pahala Sri Rahardjo Sri Rahardjo Sri Rahardjo Sri Rahardjo Sudadi Sudadi Suryadi Suryadi Suryadi Suryadi Sutoyo, Dessy Tantarto, Tamara Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Theresia C. Sipahutar Theresia C. Sipahutar Theresia Monica Rahardjo Theresia Monica Rahardjo Thomas Thomas Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Tubagus Yuli R Wargahadibrata, A. Hmendra Wenny Oktivia Yunita Susanto Putri Yunita Susanto Putri Zamzami, Nyiemas Moya