Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : JURNAL SOSIAL HUMANIORA (JSH)

STRATEGI PRAGMATIK BAHASA HUMOR DALAM ACARA “MARIO TEGUH GOLDEN WAYS” DI METRO TV Enie Hendrajati
JURNAL SOSIAL HUMANIORA (JSH) Vol 10, No 1 (2017)
Publisher : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (902.799 KB) | DOI: 10.12962/j24433527.v10i1.2325

Abstract

Speech humor in MTGW program is assumed as a "good practice" of pragmatic strategy to entertain, inspire and motivate audience. The focus and objective of this study is to get a description of the pragmatic strategy of harmonizing word choice, sentence, and humorous language in MTGW program. How pragmatic strategies have implications for the use of words, sentences, and language styles so that the audience feel entertained and laughed.This research uses desciptive qualitative approach. Data in the form of humorous languages is collected by listening and recording. The method of analysis is padan and agih. The word data, sentence, and style of the humorous language are linked and compared to other words, sentences, and language styles in terms of humorous sense between sentences produced and comparator sentences. As a result, the pragmatic strategy MT uses in the MTGW program on Metro TV is to harmonize between lingual units of words, sentences, and language styles with humor and courtesy. MT uses a locusive and illocusive strategy with humorous tones and politeness in choosing, organizing and producing every word, sentence, and style of humor. Through the choice of words, sentences, and language style, the MT uses pragmatic strategies in conveying his message as a motivator and the perlocutionary effect is that the audience becomes interested or entertained.
MODE WACANA BAHASA KEKUASAAN Enie Hendrajati
JURNAL SOSIAL HUMANIORA (JSH) Vol 2, No 1 (2009)
Publisher : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (295.779 KB) | DOI: 10.12962/j24433527.v2i1.665

Abstract

Manusia dilahirkan tidak terlepas dari kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia bukan saja sebagai makhluk sosial, ekonomi, dan budaya, akan tetapi juga termasuk makhluk politik. Dengan dasar bahwa manusia adalah makhluk politik yang ekuivalen makhluk dengan naluri berkuasa maka perilaku sosial-politiknya akan terpancar dalam bahasa dan perilaku berbahasanya. Manusia dalam berkegiatan dengan siapa pun, tentang apa pun, kapan pun, dan dengan saluran apa pun cenderung tidak bisa netral dari hasrat dan naluri untuk mempengaruhi, menguasai, mempertahankan, dan  atau memperluas tindakan lainnya.Mode wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang  diharapkan oleh para pelibat dari bahasa yang digunakan, mode retoriknya, apa yang diharapkan pelibat dari gaya bahasa yang digunakan, apakah  gaya bahasa yang digunakan dapat digolongkan sebagai didaktik, membujuk, menjelaskan dan semacamnya.Bahasa kekuasaan yang merupakan keniscayaan atau naluri kemanusiaan tampaknya bergerak dalam lingkup derajat antara; berkisar antara. Manusia dalam berbahasa dengan naluri ”transaksi”, bahkan ”berduel” dapat dengan bebas bergerak antara yang sarkastis hingga yang eufemistis (substansinya tetap naluri menguasai, bertransaksi, bernegosiasi, dan duel) asalkan masih dalam standar deviasi tertentu, atau batas kenormalan dan kelaziman. Melebihi batas kenormalan berarti abnormal, tidak lazim, gila dan adu fisik.Bahasa dan kekuasaan adalah dwitunggal. Dalam komunikasi kebahasaan akan selalu ada nuansa-nuansa saling dominasi, kekuasaan, pengaruh, autoritas.Mode wacana yang menyertainya dapat bercorak retorik-persuasif, baik yang tampak rasional-persuasif maupun yang bercorak retorik emosional-persuasif, bahkan yang bercita rasa agresif-dogmatis.Kenyataan bahwa bahasa dengan mode retorik seperti itulah yang mengundang alternatif paradigma-teoritis sehingga kajian dan analisis bahasa dan wacana tidak sekedar dari paradigma empirisme-positivisme, tetapi juga dari paradigma fenomenologi, bahkan dengan paradigma discursive-practice.