Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Gambaran Histologi dan Histomorfometri Penis Kuda Gayo Juli Melia; Morteza Almuthahhar; Muslim Akmal; Al Azhar
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 9 No. 3 (2021): November 2021
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi.9.3.154-162

Abstract

Penis kuda adalah alat kopulasi utama pada kuda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histologi danhistomorfometri penis pada kuda gayo. Sampel penelitian menggunakan penis dari 3 ekor kuda gayo jantan berumur 5-10 tahun yang dipotong di Rumah Potong Hewan Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Prosesmikroteknik dilakukan terhadap sampel menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE). Pengamatan strukturhistologi menggunakan mikroskop dan dilakukan pengukuran ketebalan lapisan epitel uretra, ketebalan tunikaalbugenia di corpora cavernosa dan corpus spongiosum radix, corpus, dan glans penis menggunakan program aplikasitoupview. Hasilnya dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan gambaran histologi penis kuda gayo terdiriatas dua jaringan erektil yaitu corpora cavernosa dan corpus spongiosum serta satu uretra. Sinusoid cavernosal daricorpus cavernosum mengandung banyak trabekula yang terdiri atas jaringan ikat fibroelastis, serat otot polos danfibroblas. Corpus spongiosum memiliki trabekula yang lebih tipis dengan ruang kavernosa yang lebih besar. Corpuscavernosum dan corpus spongiosum ditutup oleh tunika albuginea. Uretra terdiri atas berbagai epitel, seperti epitelberlapis transisional, epitel kolumnar berlapis dan epitel skuamosa. Pengukuran histomorfometri menunjukkan bahwaketebalan tunika albugenia radix dan corpus penis kuda gayo berturut-turut adalah 2.181,10 ± 48,50 µm, dan 2.366,51 ±131,48 µm., sedangkan ketebalan lapisan epitel uretra adalah 50,02 ± 6,95 µm. Kesimpulannya adalah penis kuda gayoterdiri atas radix, corpus dan glans penis. Radix dan corpus penis kuda gayo terdiri atas jaringan ikat, otot polos dansinusoid cavernosal; glans penis terdapat sinus uretra.
Gambaran Ultrasonografi Corpus Luteum Sapi Aceh Penderita Endometritis setelah Terapi Lugol dan Prostaglandin F2 Alfa (PGF2α) secara Intra Uteri Juli Melia; Novi Masitah; Syafruddin Syafruddin; Nuzul Asmilia; Budianto Panjaitan
Jurnal Agripet Vol 22, No 1 (2022): Volume 22, No. 1, April 2022
Publisher : Agricultural Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17969/agripet.v22i1.20710

Abstract

ABSTRACT. Endometritis merupakan peradangan pada endometrium yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi ovarium. Biasanya sapi yang mengalami endometritis memiliki Corpus luteum (CL) di ovarium. Pemberian terapi yang sesuai dan efektif sangat penting dalam penanganan kasus endometritis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan diameter CL pada sapi Aceh penderita endometritis setelah terapi lugol 2% dan PGF2α secara intra uteri menggunakan teknik ultrasonografi. Enam ekor sapi Aceh betina (n=6) yang telah didiagnosa menderita endometritis dengan kisaran umur 5-10 tahun, dibagi dalam 2 kelompok perlakuan. Kelompok 1 (K1, n=3) diberi perlakuan dengan terapi larutan lugol 2% sebanyak 50 ml/ekor secara i.u. Kelompok 2 (K2, n=3) diberi perlakuan dengan terapi lugol 2% 50 ml ditambah PGF2α 12,5 mg/ekor secara i.u. Pemeriksaan dilakukan setelah terapi selama 24 hari. Hasil analisis statistik penurunan diameter CL tidak terdapat perbedaan nyata pada kedua kelompok perlakuan. Dapat disimpulkan bahwa terapi sapi-sapi Aceh endometritis menggunakan kombinasi lugol 2% dan PGF2α kurang efektif terhadap penyembuhan berdasarkan gambaran ultrasonografi CL pada ovarium sapi Aceh endometritis.  (Ultrasonography of corpus luteum endometritis Aceh cows after intra uterine therapy of lugol and PGF2α) ABSTRAK. Endometritis is an inflammation in the endometrium that can resulted from disturbance of normal ovarian function. Giving appropriate therapy and effective is very important in handling case endometritis. Usually cows that experience endometritis has Corpus luteum (CL) in the ovary. This research aim was to know the changes in diameter of CL at Aceh cows sufferer endometritis after therapy lugol 2% and PGF2α with intra-uterine infusion using ultrasound technique. Six Aceh cow females (n=6) who have been diagnosed suffer from endometritis with range age 5 to 10 years, divided in to 2 groups of treatment. Group 1 (K1, n=3) was given treatment with therapy solution lugol 2% as much as 50 ml/head in a manner i.u. Group 2 (K2, n=3) was given treatment with therapy lugol 2% 50 ml plus PGF2α 12,5 mg/head in a manner i.u. Examination done after therapy for 24 days. The results of the statistical analysis showed no significant differences in the two treatment groups. Could be concluded that treatment endometritis Aceh cows use combination lugol 2% and PGF2α is lacking effective to healing based on picture ultrasonography CL on ovary endometritis Aceh cows.
The Effectiveness of Lugol on the Increasing of Pregnancy Rate in Aceh Cow with Endometritis Amalia Sutriana; Arman Sayuti; Budianto Panjaitan; Teuku Armansyah TR; Aisyah Fadillah Tunnisa; Juli Melia; Tongku Nizwan Siregar; Hafizuddin Hafizuddin; Dwinna Aliza
Jurnal Agripet Vol 21, No 2 (2021): Volume 21, No. 2, Oktober 2021
Publisher : Agricultural Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17969/agripet.v21i2.18513

Abstract

ABSTRACT. The objective of this study was to determine the effect of lugol on the increasing the pregnancy rate in repeat breeding (RB) Aceh cows due to endometritis. This study used six endometritis’s cows, aged 5-7 years, weighed 150-250 kg which were divided into two groups (n=3), KI and KII. The cows in group 1 (K1) were injected with 5 ml PGF2α, while the cows in group 2 (KII) were treated with 50 ml of 2% lugol intra-uterine and continued with an injection of 5 ml PGF2α after healing. The detection of estrus was performed twice a day following by artificial insemination (AI) about 10-16 hours after the onset of estrus. Determination of pregnancy was performed by ultrasonography (USG) on the 25th day after AI. The data obtained were analyzed descriptively. The results showed that all endometritis ’cows in KI and KII present estrous signs (100%). However, only one cow was recovered in K2, whereas in K1 did not. After AI, one pregnant cow was observed in KII (33.3%), while none of the pregnant cows was found in K1 (0.0%). It is concluded that the lugol treatment for endometritis’s Aceh cows can improve the pregnancy rate. (Efektivitas larutan lugol untuk meningkatkan persentase kebuntingan pada sapi Aceh yang mengalami endometritis) ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian larutan lugol terhadap peningkatan persentase kebuntingan sapi Aceh yang mengalami RB. Dalam penelitian ini digunakan enam ekor sapi Aceh betina dewasa, umur 5-7 tahun, bobot badan 150-250 kg, sudah pernah beranak, dan didiagnosis mengalami endometritis. Seluruh sapi dibagi menjadi dua kelompok (n=3). Pada kelompok 1 (K1), sapi endometritis diterapi dengan 50 ml lugol 2% secara intra uteri dan setelah sembuh dilanjutkan dengan penyuntikan 5 ml PGF2α. Sapi pada kelompok 2 (K2) hanya diinjeksi dengan 5 ml PGF2α. Deteksi berahi dilakukan sebanyak dua kali per hari dan inseminasi buatan (IB) dilakukan sekitar 10-16 jam setelah awal berahi. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan ultrasonografi (USG) pada hari ke-25 setelah IB. Data dianalisis secara deskriptif. Dari masing-masing kelompok, hanya satu ekor sapi pada K2 yang dinyatakan sembuh yaitu sapi pada kelompok kedua. Persentase sapi yang menjadi estrus pada kedua kelompok masing-masing adalah 100%. Dari tiga ekor sapi yang diinseminasi pada masing-masing kelompok, hanya satu ekor sapi pada K2 (33,3%) yang menunjukkan hasil positif bunting sedangkan pada K1 tidak terdapat sapi yang menunjukkan hasil positif (0,0%). Disimpulkan bahwa pemberian larutan lugol pada sapi Aceh yang mengalami endometritis dapat meningkatkan persentase kebuntingan sapi Aceh.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI DI KABUPATEN ASAHAN, SUMATERA UTARA Tria Deviana Putri; Tongku Nizwan Siregar; Cut Nila Thasmi; Juli Melia; Mulyadi Adam
JURNAL ILMIAH PETERNAKAN TERPADU Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : DEPARTMENT OF ANIMAL HUSBANDRY, FACULTY OF AGRICULTURE, UNIVERSITY OF LAMPUNG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23960/jipt.v8i3.p111-119

Abstract

Inseminasi buatan dikenal oleh peternak sebagai teknologi reproduksi ternak yang efektif. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan inseminasi buatan pada sapi di Kabupaten Asahan yang dipelihara secara intensif. Metode penelitian ini adalah metode survey, menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara membagikan kuesioner dan wawancara langsung ke peternak sebagai tambahan informasi, sedangkan data sekunder didapat dari inseminator terkait tentang hasil inseminasi buatan di Kabupaten Asahan. Kuesioner yang digunakan mencakup pertanyaan tentang karakteristik sapi seperti: status kebuntingan sapi (konfirmasi dari petugas inseminator), jenis sapi, umur sapi, skor kondisi tubuh sapi, jumlah inseminasi buatan sampai bunting, tanda-tanda berahi, waktu pelaksanaan inseminasi buatan, bulan pelaksanaan inseminasi buatan, lama birahi pascapartus, jenis straw, jumlah dosis inseminasi, jarak waktu pelaporan berahi sampai dengan IB dilaksanakan, pakan sapi, ternak dikandangkan serta profil peternak dengan 75 responden peternak dari lima kecamatan. Data dianalisis menggunakan stepwise regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 ekor ternak sapi betina yang dilakukan IB, sebanyak 76,3% mengalami kebuntingan dan 23,7% tidak mengalami kebuntingan. Variabel independen yang mempunyai korelasi paling kuat adalah umur sapi (sig. 0,006), jarak waktu pelaporan sampai IB (sig. 0,001), serta pakan ternak sapi (sig. 0,004). Kesimpulan penelitian bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan inseminasi buatan pada sapi di Kabupaten Asahan adalah umur sapi, jarak waktu pelaporan sampai inseminasi buatan dilaksanakan, dan pakan.  Kata kunci: Faktor keberhasilan, Inseminasi buatan, Jenis pakan, Umur sapi
Pengaruh Dosis Sperma Yang Diinseminasikan Terhadap Fertilitas Dan Daya Tetas Telur Ayam Kampung (Gallus Domestica) Wira Asyudi; Dasrul Dasrul; Juli Melia; Ginta Riady; Rosmaidar Rosmaidar; Ismail Ismail
JURNAL ILMIAH MAHASISWA VETERINER Vol 6, No 4 (2022): AGUSTUS-OKTOBER
Publisher : JURNAL ILMIAH MAHASISWA VETERINER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/jim vet..v6i4.21408

Abstract

ABSTRAKSPeningkatan populasi ayam kampung salah satunya dapat dilakukan dengan penerapan metode inseminasi buatan (IB).Tujuan penelitian ini yaitu , untuk dapat mengetahui bagaimana pengaruh tingkat dosis dari spermatozoa yang diinsiminasikan terhadap tingkat fertilitas dan daya tetas telur ayam kampung. Tujuan dari Dosis IB ini, agar dapat mengetahui tingkat perbandingan ayam jantan dan ayam betina yang paling efisien dalam suatu pemeliharaan. Pada ayam jantan,dilakukan penampungan pada semennya, kemudian semen tersebut, dicampur dari 3 ekor ayam kampung jantan yang berumur sekitar 12-15 bulan. Konsentrasi spermatozoa semen yang telah diketahui, dibagi menjadi 3 bagian, lalu semen tersebut,kemudian dilakukan pengenceran masing masing semen dengan NaCl fisiologis hingga akhirnya diperoleh dosis akhir sebagai berikut, 50x106 /0,1 ml adalah perlakuan dosis 1, perlakuan 100x106 /0,1 ml adalah perlakuan dosis 2 , 200x106 /0,1 ml adalah perlakuan dosis 3. kemudian, terhadap 15 ekor ayam kampung betina, dilakukan inseminasi, agar dapat mengetahui bagaimana pengaruh dosis terhadap fertilitas dan daya tetas telur. Ayam betina yang digunakan untuk IB adalah ayam betina umur sekitar 12 – 18 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dosis spermatozoa berpengaruh pada fertilitas dan daya tetas telur ayam kampung. Masing-masing perlakuan dosis 1, 2, dan 3, fertilitas telurnya adalah 52,00 ± 10,95%; 72,00 ± 17,89 %; dan 80,00 ± 14,14 %,sedangkan daya tetas terluar, persentasenya adalah 44,00 ± 16,73 %; 60,00 ± 14,14 %; dan 72,00 ± 10,95%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dosis sperma berpengaruh pada fertilitas dan daya tetas telur ayam kampung.ABSTRACTOne the way to increase the population of native chickens is by applying the artificial insemination (IB) method.The purpose of this study was to determine the effect of the dose level of the infected spermatozoa on the level of fertility and hatchability of free – range chicken eggs. The purpose of this IB dose, in order to determine the level of comparison of the most efficient rooster and hen in a maintenance. For rooster, the semen is collected, then the cement is mixed from 3 male free – range chickens aged about 12 – 15 months. The known concentration of sperm spermatozoa is divided into 3 parts, then the semen is then diluted with physiological NaCl until the final dose is obtained as follows, 50 x 106/0,1 ml is treatment dose of 1, 100 x 106/0,1 ml is the treatment dose 2, 200 x 106/0,1 ml is the treatment dose 3. Then, 15 female free – range chickens were inseminated, in order to find out how the dose affects fertility and hatchability. The hens used for IB are hens aged 12 – 18 months. The results showed that the spermatozoa dose treatment had an effect on the fertility and hatchability of native chicken eggs. For each treatment dose 1, 2, dan 3, the egg fertility was 52 ± 10.95%; 72.00 ± 17.89%;and 80.00 ± 14.14%, while the outermost hatchability, the percentage was 44,00 ± 16.73%; 60.00 ± 14.14%; and 72.00 ± 10.95%. The conclusion of this study is that the dose of sperm has an effect on fertility and hatchability of native chicken eggs. 
Anatomi Komparatif Skeleton Axiale Kucing Hutan (Felis Chaus) Dan Kucing Domestik (Felis Domestica) Primaadhi Abimanyu Satrio Raharjo; Sri Wahyuni; Fadli. A. Gani; Juli Melia; Muhammad Jalaluddin; Hamny Sofyan; Lailia Dwi Kusuma Wardhani; Mulyadi Adam
JURNAL ILMIAH MAHASISWA VETERINER Vol 7, No 1 (2022): NOVEMBER-JANUARI
Publisher : JURNAL ILMIAH MAHASISWA VETERINER

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21157/jim vet..v7i1.15782

Abstract

ABSTRAKKucing hutan (Felis chaus) dan kucing domesik (Felis domesticus) termasuk famili Felidae, namun  secara kasat mata terdapat perbedaan morfologi tubuh antara kedua spesies tersebut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan membandingkan morfologi dan morfometri tulang-tulang pembentuk skeleton axiale kucing hutan dan domestik. Penelitian ini menggunakan preparat kucing hutan dan kucing domestik masing-masing 1 ekor dan berjenis kelamin jantan yang telah diawetkan dalam larutan formalin. Kucing hutan dan domestik dipreparir untuk mendapatkan tulang-tulang pembentuk skeleton axiale lalu diawetkan dalam larutan formalin 5 % dan dikeringkan pada suhu ruang (27°C). Selanjutnya dilakukan pengamatan morfologi dan morfometri setiap tulang. Hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara morfologi tulang-tulang pembentuk skeleton axiale kucing hutan dan domestik memiliki bentuk yang hampir sama, kecuali pada ala atlantis dari os atlas (os vertebrae cervicalis I) kucing hutan lebih sempit dibandingkan ala atlantis kucing domestik. Selain itu bentuk os axis (os vertebrae cervicalis II) kucing hutan lebih ramping dibandingkan kucing domestik. Perbedaan morfologi lainnya ditemukan pada ossa costales dan os sternum yang didukung dengan perbedaan morfometrinya. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan morfologi dan morfomteri tulang-tulang penyusun skeleton axiale antara kucing hutan dan domestik ditemukan pada os atlas, os axis, ossa costales, dan os sternum.    Kata kunci: skeleton axiale, morfologi, morfometri, kucing hutan, dan kucing domestikABSTRACTWild cat (Felis chaus) and domestic cat (felis domesticus) belong to the Felidae family, but morphologically there are differences in the posture of both species. This study aims to identify and compare the morphology and morphometry of bones forming the skeleton of wild and domestic cats. This study used the preparation of a male wild cat and a male domestic cat that have been preserved in formalin solution.  Furthermore, cats were prepared for obtaining skeleton-forming bones and then preserved in 5% formalin and dried at room temperature. After drying, morphology and morphometry were observed and data were analyzed descriptively. The results showed that morphologically, the skeleton-forming bones of wild cat and domestic cat axiale had almost the same in shape, except in ala atlantis of os atlas (os vertebrae cervicalis I), where in wild cat the size was narrower than in domestic cat. Additionally, the size of os axis (os vertebrae cervicalis II) in wild cat was slimmer than the bone size in domestic cat. Other morphological differences were found in ossa costales and os sternum which were supported by differences in morphometry. It can be concluded that specifically, the difference of axial skeleton-forming bones between wild and domestic cats were found in os atlas, os axis, ossa costales, and os sternum.  Keywords: skeleton axiale, morphology, morphometry, wild cat, and domestic cat
IDENTIFIKASI LEUKOSIT POLYMORPHONUCLEAR (PMN) DALAM DARAH SAPI ENDOMETRITIS YANG DITERAPI DENGAN GENTAMISIN, FLUMEQUIN, DAN ANALOG PGF2α Juli Melia; Amrozi a; Ligaya Ita Tumbelaka; Yudha Fahrimal
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 6, No 2 (2012): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.258 KB) | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v6i2.342

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui persentase leukosit polymorphonuclear (PMN) dalam preparat ulas darah sapi endometritis. Enam ekor sapi endometritis dibagi dalam dua kelompok perlakuan. Kelompok I (n=3) diterapi dengan 250 mg gentamisin/ekor, 250 mg flumequin/ekor, dan PGF2α sebanyak 12,5 mg/ekor secara intra uteri. Kelompok II (n=3) diterapi dengan menggunakan antibiotik dengan dosis dan cara pemberian yang sama seperti pada Kelompok I. Hasil penghitungan leukosit diferensial sebelum terapi menunjukkan persentase jumlah limfosit yang lebih tinggi dibandingkan bentuk leukosit lainnya pada Kelompok I dan II masing-masing adalah 62,50±1,17 dan 63,66±2,35, sedangkan persentase jumlah neutrofil pada Kelompok I dan II masing-masing adalah 29,33±0,94 dan 27,33±0,94. Setelah terapi, tidak ada perbedaan persentase (P0,05) bentuk leukosit antara kedua kelompok perlakuan. Terapi kombinasi antibiotik dan PGF2α pada sapi penderita endometritis tidak menghasilkan perubahan diferensial leukosit termasuk PMN.
ANATOMI DAN GAMBARAN ULTRASOUND ORGAN REPRODUKSI SELAMA SIKLUS ESTRUS PADA KUDA GAYO BETINA (Anatomy and Ultrasound Imaging of Reproductive Organs of Gayo Mares During Estrous Cycle) Juli Melia; Muhammad Agil; Iman Supriatna; Amrozi Amrozi
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 10, No 2 (2016): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (416.484 KB) | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v10i2.5026

Abstract

The present study examines anatomy of Gayo mare reproductive organs. This study used three sample of Gayo mare reproductive organs (n= 3) for observation of morphology and morphometric of the mare reproductive organs. The ovarium was fixed in 4% paraformaldehyde solution then followed by histological method and stained using hematoxylin and eosin (HE) and Masson’s trichome (MT). Three mares were observed for diameter and changes overview of uterus during estrous cycle in real time using ultrasound. The results showed that, in general, the anatomy of Gayo mare’s reproductive organs was similar to other mares, but smaller in morphometry. The total length of the Gayo mare’s reproductive tract from labia to apex cornua was 48.00±1.00 cm. Weight of Gayo mare’s left ovary was 19.07±7.70 g and the right was 24.43±0.83 g. Histologically, there was no difference between Gayo mare’s structure and other mares. In cortex uteri there were some follicles surrounded by capillary, various development stages of follicles, healthy follicles, atretic follicle, and corpus albican; while in medulla there were a lot of connective tissues. Ultrasound of the uterus showed the change in diameter during estrous cycle with the largest diameter of corpus uteri was 4.43±0.10 cm in horses with estrous cycle of 21 days and 6.30±0.93 cm in horses with 24 days estrous cycle. In conclusion, the morphometry of Gayo mare reproductive organs are smaller than the other horses and there are differences in diameter of the uterus during the estrous cycle due to the changes of endometrium thickness.
GAMBARAN KLINIS SAPI PIOMETRA SEBELUM DAN SETELAH TERAPI DENGAN ANTIBIOTIK DAN PROSTAGLANDIN SECARA INTRA UTERI Arman Sayuti; Juli Melia; Amrozi a; Syafruddin s; Roslizawaty r; Yudha Fahrimal
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 6, No 2 (2012): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (667.631 KB) | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v6i2.310

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran klinis sapi pyometra sebelum dan setelah diterapi dengan antibiotik dan prostaglandin. Dalam penelitian ini digunakan enam ekor sapi betina yang didiagnosis menderita piometra berdasarkan pemeriksaan secara klinis dan ultrasonografi pada organ reproduksi. Sapi tersebut dibagi ke dalam dua kelompok perlakuan, masing-masing 3 ekor sapi untuk tiap kelompok. Kelompok I diterapi dengan 5 ml antibiotik (gentamicine, flumequine) ditambah 15 ml NaCl fisiologis dan PGF2α (Luprostiol) 12,5 mg secara intra uteri, sedangkan kelompok II diterapi hanya dengan menggunakan antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan pada sapi yang didiagnosis piometra ditemukan adanya cairan yang penuh mengisi uterus (100%), korpus luteum persisten pada salah satu ovarium (100%), discharge di sekitar ekor, perineum, dan vulva yang berwarna kuning (50%), krem (33,3%), dan hijau keabu-abuan (16,6%). Sapi yang diterapi dengan antibiotik dan PGF2α menyebabkan pengeluaran leleran yang lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan sapi yang diterapi hanya dengan antibiotik.
PERBANDINGAN INTENSITAS BERAHI SAPI ACEH YANG DISINKRONISASI DENGAN PROSTAGLANDIN F2 ALFA DAN BERAHI ALAMI Hafizuddin Hafizuddin; Tongku Nizwan Siregar; Muslim Akmal; Juli Melia; Husnur rizal; Teuku Armansyah
Jurnal Kedokteran Hewan Vol 6, No 2 (2012): September
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (152.871 KB) | DOI: 10.21157/j.ked.hewan.v6i2.296

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan intensitas berahi sapi aceh antara yang disinkronisasi berahi dengan prostaglandin F2 alfa (PGF2α) dan berahi alami. Dalam penelitian ini digunakan 20 ekor sapi aceh betina yang dibagi atas dua kelompok. Kriteria sapi yang digunakan adalah umur 5-8 tahun, mempunyai bobot badan 150-250 kg, dan mempunyai minimal dua siklus reguler. Sapi yang digunakan mempunyai skor kondisi tubuh dengan kriteria baik, yaitu 3 atau 4 pada skala skor 5. Pada Kelompok I (KI) sapi disinkronisasi berahi mengunakan PGF2α sebanyak 5 mg/ml secara intramuskular. Pada kelompok II (KII) sapi dibiarkan memperlihatkan gejala berahi alami. Penilaian intensitas berahi dilakukan dengan memberi skor 1, 2, dan 3, berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Kune dan Solihati (2007). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan intensitas berahi sapi aceh baik yang disinkronisasi berahi dengan PGF2α dan sapi yang mengalami berahi alami dengan skor intensitas berahi masing-masing adalah 2,40±0,84 dan 2,70±0,48.