cover
Contact Name
Tri Imam Munandar
Contact Email
imamtri@unja.ac.id
Phone
+6285266101878
Journal Mail Official
pjc@unja.ac.id
Editorial Address
Jl. Lintas Jambi - Ma. Bulian KM. 15, Mendalo Darat, Jambi Luar Kota, Muaro Jambi, Jambi, Indonesia 36122
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
PAMPAS: Journal of Criminal Law
Published by Universitas Jambi
ISSN : 27217205     EISSN : 27218325     DOI : https://doi.org/10.22437/pampas.v3i1
Core Subject : Social,
PAMPAS: Journal of Criminal Law (ISSN Print 2721-7205 ISSN Online 2721-8325) is a periodical scientific publication in the field of Criminal Law. The word Pampas comes from the Malay language which means Compensation, Pampas is a traditional Jambi sanction as a law to injure people. This journal is published by the Faculty of Law, Jambi University as a medium for discussing Criminal Law. First published in February 2020, PAMPAS: Journal of Criminal Law is published three times a year, namely in February, June and October. In each of its publications, PAMPAS: Journal of Criminal Law publishes 8-10 articles on the results of research or research on criminal law. PAMPAS: Journal of Criminal Law publishes articles on the results of research or studies of criminal law, including: (1) criminal law (2) criminal procedural law (3) criminology (4) victimology (5) special crimes (6) criminal law enforcement (7) criminal law reform (8) penal policy (9) comparative criminal law (10) criminal law and punishment (11) international criminal law (12) criminal customary law (13) criminal justice system (14) Islamic Criminal Law (15) military crime and the study of Indonesian criminal law which is global in nature in accordance with the latest developments in the dynamics of criminal law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 1 No. 2 (2020)" : 10 Documents clear
Pembaharuan Hukum Pidana Tentang Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Jasa Prostitusi Di Indonesia Kania Mulia Utami; Ridwan Ridwan; Aan Asphianto
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9007

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk  untuk membahas tentang pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi dalam perspektir perbandingan Indonesia dan Swedia. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif. Hasil Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa menurut hukum positif di Indonesia tidak adanya pertanggungjawaban pidana yang  dapat menjerat pengguna jasa prostitusi secara jelas dan tegas sehingga belum efektif dan menyebabkan tidak maksimalnya dalam penanggulangan prostitusi itu sendiri. Apabila tidak ada aturan hukum di indonesia yang mengatur tentang pengguna jasa prostitusi, maka para pengguna jasa prostitusi akan merasa aman dan tetap leluasa  membeli jasa untuk kepuasan mereka semata. Berbeda dengan kebijakan hukum di Swedia yang sudah memiliki aturan yang dapat menjerat hukum terhadap pengguna jasa prostitusi. Pertanggungjawaban pidana dalam hal ini sangatlah diperlukan pengaturan yang jelas dan tegas, oleh karena itu diperlukan pembaharuan hukum pidana terkait pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna jasa prostitusi di Indonesia. ABSTRACT This article aims to discuss criminal liability on prostitution clients criminal liability in a comparative study between indonesia and swedish . This research is normative.  The result of this study lead to the conclusion that based on the positive law in Indonesia there is no criminal liability that can ensnare the users of prostitution service clearly and decisively so there is not effective and not too optimum of handling prostitution. If there is no legal rule in Indonesia that regulates the users of prostitution services, then the users of prostitution services will feel safe and remain free to buy services for their satisfaction. Unlike the legal policy in Sweden which already has rules that can ensnare the law against prostitution service users. Criminal liability in this case is clearly and strictly needed, therefore, criminal law reform is needed related to criminal liability for users of prostitution services in Indonesia.
Anak sebagai Penyalahguna Narkotika dalam Perspektif Viktimologi Dimas Pangestu; Hafrida Hafrida
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9077

Abstract

ABSTRAK Artikel ini menganalisis pelaku penyalah guna narkotika anak dalam perspektif victimologi sehingga tujuan artikel ini untuk mendapatkan kejelasan, mengkaji dan menganalisis mengenai kebijakan hukum pidana mengenai viktimisasi anak penyalah guna narkotika.Penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan secara kepustakaan dengan mendeskripsikan hukum positif, mensistematisasi, menginterprestasikan, menilai, dan menganalisis hukum positif tersebut.Hasil penelitian pelaku anak sebagai penyalah guna narkotika menunjukan pemidanan berupa pidana penjara masih dominan dibandingkan sanksi untuk direhabilitasi.Hal ini menunjukan bahwa anak sebagai penyalah guna narkotika dalam perspektif hukum pidana saat ini masih dipandang senagai kriminal atau pelaku tindak pidana.Hal inilah yang menarik untuk dikaji anak sebagai penyalah guna sebaiknya tidak dikatagorikan sebgai pelaku tindak pidana tetapi lebih dipandang sebagai korban dari tindak pidana narkotika dan sebagi korban ketidakmampuan negara dalam penangguangi tindak pidana narkotika di Indonesia. ABSTRACT This article analyzes child narcotics abusers from a victimology perspective so that the purpose of this article is to get clarity, study and analyze the criminal law policy regarding the victimization of child abusers of narcotics. This research is a normative study, namely research conducted in a literature describing positive law, systematizing, interpreting, assessing, and analyzing the positive law. The research results of child offenders as narcotics abusers show that imprisonment is still dominant compared to sanctions to be rehabilitated.This is what is interesting to examine as children as abusers should not be categorized as perpetrators of criminal acts but rather as victims of narcotics crimes and as victims. the inability of the state to tackle narcotics crime in Indonesia.
Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) dalam Perspektif Hukum Pidana Yuni Kartika; Andi Najemi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9114

Abstract

ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis pengaturan tentang perbuatan catcalling dalam perspektif hukum pidana serta menganalisis pengaturan perbuatan pelecehan seksual verbal menurut pembaharuan hukum pidana. Penelitian  ini merupakan penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini bahwa perbuatan (catcalling) berpotensi adanya tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana, perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan pelecehan seksual verbal dan dapat dikaji dari beberapa pasal di dalam KUHP, Undang-Undang tentang pornografi serta diperlukannya suatu kebijakan hukum terkait aturan khusus perbuatan catcalling untuk mencapai suatu kepastian hukum dan juga terpenuhinya suatu syarat-syarat kriminalisasi sehingga perbuatan catcalling bisa dibuat aturan secara khusus. Kesimpulannya yaitu perbuatan catcalling berpotensi suatu tindak pidana yang terjadi di ruang lingkup publik melalui unsur-unsur suatu tindak pidana, dampak perbuatan catcalling ini mengakibatkan terganggunya mental, psikologi, sampai pada tingkat kejiwaan dan untuk menentukan suatu kebijakan perlu memperhatikan moral, nilai dan asas yang terkadung di dalam masyarakat dan memperhatikan syarat-syarat kriminalisasi. Untuk mencapai suatu kepastian hukum perlunya kebijakan hukum mengenai aturan secara khusus terkait perbuatan catcalling serta adanya sanksi sosial bagi pelaku catcalling. ABSTRACT This article aims to understand and analyze the regulation of catcalling from the perspective of criminal law and to analyze the regulation of verbal sexual harassment according to the reform of the criminal law. This research is a normative legal research. The results of this study indicate that catcalling has the potential for a criminal act that has met the elements of a criminal act, this act is categorized as an act of verbal sexual harassment and can be reviewed from several articles in the Criminal Code, the Law on pornography and the need for a legal policy related to the special rules for catcalling acts to achieve legal certainty and also the fulfillment of a criminalization condition so that the catcalling act can be made specific rules. The conclusion is that catcalling is potentially a criminal act that occurs in the public sphere through the elements of a criminal act, the impact of this catcalling act causes mental and psychological disruption to the psychological level and to determine a policy it is necessary to pay attention to the morals, values and principles involved. in society and pay attention to the conditions for criminalization. To achieve legal certainty, it is necessary to have a legal policy regarding specific rules related to catcalling acts as well as the existence of social sanctions for catcallers.
Pidana Denda sebagai Alternatif Pemidanaan pada Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Ana Indah Cahyani; Yulia Monita; Elizabeth Siregar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9560

Abstract

ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan sanksi pidana dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berikut dan  implementasi pidana denda sebagai alternatif pemidanaan pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Dengan menggunakan metode yuridis empiris, penelitian menunjukkan bahwa pidana denda sebagai alternatif pemidanaan pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga belum terlaksana. Pidana denda sebagai alternatif pidana penjara pada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga perlu dikembangkan. Karena pidana denda mampu memberikan efek jera dan selaras dengan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, pidana denda lebih mengutamakan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera guna mengurangi kemungkinan perceraian. Maka dari itu pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak terlalu berat perlu diterapkan pidana denda sebagai alternatif dari pidana penjara agar terciptanya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan terutama bagi masyarakat, korban dan terpidana itu sendiri. ABSTRACT The objectives to be achieved in this study are: 1) to know and understand the regulation of criminal sanction in cases of domestic violence according to the Law Number 23 Year 2004 Elimination of Domestic Violence. 2) to find out the implementation of criminal fine as an alternative punishment in the crime of domestic violence. Using the empirical juridical method, the study has found that criminal fines as an alternative to criminal acts in domestic violence have not been implemented. Criminal fines as an alternative to imprisonment in domestic violence should be developed because it is able to provide a detterent effect and are aligned with the aim of eliminating domestic violence. Criminal fines prioritize the integrity of a harmonious and prosperous household in order to reduce the possibility of diorce. Therefore in cases of domestic violence that are not too severe it is necessary to apply criminal fines as an alternative to imprisonment in order to create justice, certainty and benefits especially for the community, victims and convicts themselves.
Praperadilan Terhadap Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Claudia Permata Dinda; Usman Usman; Tri Imam Munandar
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9568

Abstract

ABSTRAK Praperadilan yang diatur dalam KUHAP menjamin perlindungan HAM dan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya secara konsekwen. Lembaga praperadilan telah menciptakan mekanisme kontrol sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya guna tercipta proses peradilan pidana yang baik. Terkait dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang dengan wewenangnya untuk menetapkan status tersangka guna proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat dari perluasan objek praperadilan atas penetapan status tersangka terhadap KUHAP dan mengetahui akibat dari perluasan objek praperadilan terhadap penetapan status tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif melalui pendekatan konseptual, pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sebelumnya, sah atau tidaknya penetapan status tersangka oleh KPK bukan merupakan objek praperadilan, namun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 praperadilan telah berwenang memeriksa sah atau tidaknya penetapan status tersangka. Hal ini menjadi sebuah pembaharuan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. ABSTRACT Pretrial regulated in the Criminal Procedure Code guarantees the protection of human rights and law enforcement officers in carrying out their duties and authorities consistently. The pretrial institution has created a control mechanism as an institution authorized to supervise the performance of law enforcement officers in carrying out their duties in order to create a good criminal justice process.This study aims to determine the effects of the expansion of pretrial objects over the determination of the status of suspects against the Criminal Procedure Code and to determine the consequences of expanding pretrial objects to determine the status of suspected criminal acts of corruption by the KPK. The research method used in writing this thesis is a normative juridical research method through the conceptual approach, the statutory approach and the case approach. Previously, the KPK was not a pretrial object or not, but through the Constitutional Court Decision Number 21 / PUU-XII / 2014 the pretrial had the authority to examine whether or not the status of the suspect was determined. This has become a renewal in the Indonesian Criminal Procedure Code.
Pelaksanaan Pidana Pelatihan Kerja Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana M. Alvi Rizki ilahi; Elly Sudarti; Nys. Arfa
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9572

Abstract

ABSTRAK Tujuan dari penelitian untuk mengetahui pelaksanaan pidana pelatihan kerja terhadap anak pelaku tindak pidana di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Alyatama Jambi dan kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaan pidana pelatihan kerja tersebut. Dengan menggunakan metode yuridis empiris, penelitian menunjukkan bahwa: 1). Pelaksanan pidana pelatihan kerja di Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Alyatama Jambi dapat dikatakan belum terlaksana, Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Alyatama Jambi sebagai tempat pelaksanaan pelatihan kerja tersebut belum memberikan pelatihan kerja dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan pidana pelatihan kerja, sehingga Balai Rehabilitasi Sosial tersebut hanya memberikan Rehabilitasi berupa Terapi-terapi mulai dari terapi Psikososial hingga terapi mental dan spiritual 2). Kendala yang dihadapiyaitu dari Peraturan pelaksana yang belum ada, sarana dan prasaraan pendukung belum tersedia, serta belum adanya petugas yang secara khusus memberikan pelatihan kerja terhadap anak pelaku tindak pidana. ABSTRACT The purpose of this research is to determine the implementation of job training crimes against children who are criminal offenders at the Child Social Rehabilitation Center in Need of Special Protection, Alyatama Jambi and the obstacles faced in the process of implementing the job training criminal.. The research method used is empirical juridical legal research. The results of the study are: 1). It can be said that the implementation of job training crimes at the Child Social Rehabilitation Center Requires Special Protection Alyatama Jambi has not been implemented, the Child Social Rehabilitation Center Needs Special Protection Alyatama Jambi as a place for implementing job training has not provided job training because there is no Government Regulation regarding the implementation of job training penalties, so The Social Rehabilitation Center only provides Rehabilitation in the form of therapies ranging from psychosocial therapy to mental and spiritual therapy 2). The obstacles faced are from the missing implementing regulations, the supporting facilities and infrastructure are not yet available, and the absence of officers who specifically provide job training to child perpetrators of crime.
Cyber Crime dalam Bentuk Phising Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Ardi Saputra Gulo; Sahuri Lasmadi; Khabib Nawawi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9574

Abstract

ABSTRAK Artikel ini membahas cyber crime dalam bentuk phising berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan: 1) Pengaturan hukum terhadap cyber crime dalam bentuk phising berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak dapat dikenakan Pasal 35 jo Pasal 51 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (1) jo Pasal 45A Ayat (1). 2) Kebijakan hukum terhadap cyber crime dalam bentuk phising berdasarkan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang tentang ITE dengan merumuskan konsep phising dan merubah isi Pasal 35. ABSTRACT This article discusses cyber crime in the form of phishing based on the Law on Electronic Information and Transactions. The research used is normative legal research. The results of the research that have been conducted demonstrated that: 1) Legal regulations on cyber crime in the form of phishing based on the Law on Electronic Information and Transactions cannot be subject to Article 35 in conjunction with Article 51 Paragraph (1) and Article 28 Paragraph (1) in conjunction with Article 45A Paragraph ( 1). 2) the criminal law policy against cyber crime in the form of phishing based on the Law on Electronic Information and Transactions is the amendment of the Law on ITE by formulating the concept of phishing and amending the contents of Article 35.
Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) dalam Pembuktian di Persidangan Terhadap Tindak Pidana Narkotika Nadia Febriani; Haryadi Haryadi; Dessy Rakhmawaty
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9614

Abstract

ABSTRAK Tujuan artikel ini adalah untuk mengetahui penggunaan saksi mahkota (Kroongetuige) dalam pembuktian di persidangan dan Kekuatan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana narkotika.  Dengan menggunakan metode yuridis normative, Artikel ini menunjukkan penggunaan saksi mahkota (kroongetuige) dalam pembuktian di persidangan terhadap tindak pidana narkotika diterapkan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil dalam perkara penyertaan, dan berkas perkara telah dipisah, serta terdapat kekurangan alat bukti keterangan saksi yang mengetahui secara terperinci tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dan penggunaan saksi mahkota tergantung dari kebijakan hakim dan kekuatan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana narkotika mempunyai nilai kekuatan pembuktian apabila saksi mahkota dinyatakan sah sebagai alat bukti keterangan saksi dengan memberikan keterangan didepan persidangan dan telah disumpah terlebih dahulu serta keterangan yang diberikan bersesuaian dengan keterangan saksi lain maupun alat bukti lain serta ditambah dengan keyakinan hakim. ABSTRACT The purpose of this article is to study the Use of the Crown Witness (Kroongetuige) in Proof in Trials Against Narcotics Crimes. How to use the Crown Witness (Kroongetuige) in Proof in Trial Against Narcotics and How the Strength of the Crown Witness Uses Evidence in Proving Narcotics Crimes. The research method used is a normative juridical method with agreement, conceptual agreement and case access. This article discusses the use of crown witnesses (kroongetuige) in evidence in trials of narcotic crimes applied to search for and obtain material truth in inclusion cases, and forged cases posted, and also the reporting tools for complaints that are used together and the use of crowns depending the judge's policy and the power of the crown as evidence in proving narcotics crime has a value of proof power. Having fun with other statements besides evidence is also added to the judge's conviction.
Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum M. Jordan Pradana; Syofyan Nur; Erwin Erwin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9615

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara yuridis terhadap kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali berdasarkan Pasal 263 ayat (1) hanya dapat dilakukam oleh terpidana atau ahli waris terpidana, namun pada kenyataannya Jaksa Penuntut Umum pernah mengajukan permintaan Peninjauan Kembali dan diterima oleh Mahkamah Agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep logis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundang oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat kekosongan norma hukum mengenai kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan permintaan Peninjauan Kembali dan menyarankan dibentuknya aturan khusus mengenai kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan peninjauan kembali. Kesimpulan yaitu Sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali, karena yang berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana dan ahli warisnya dan peninjauan kembali tidak bisa dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan diperlukan aturan khusus mengenai peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga terwujudnya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. ABSTRACT This study aims to find out juridically about the position of the public prosecutor in filing legal remedies for judicial review to the Supreme Court. A review based on Article 263 paragraph (1) can only be carried out by the convict or the convict's heirs, but in reality the Public Prosecutor has submitted a request for reconsideration and was accepted by the Supreme Court. The method used in this research is normative research, which is an approach that uses a positivist logical concept which states that law is identical to written norms made and invited by authorized institutions or officials. The results of the study show that there is a vacuum in legal norms regarding the position of the Public Prosecutor in submitting a request for reconsideration and suggesting the formation of special rules regarding the position of the Public Prosecutor in filing a review. The conclusion is that in accordance with Article 263 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code, the Public Prosecutor has no right to file a review, because only the convict and his heirs are entitled to apply for a review and the review cannot be carried out against an acquittal or a decision to be released from all lawsuits and regulations are required. specifically regarding the review submitted by the Public Prosecutor, so that justice, legal certainty and legal benefits can be realized.
Problematika Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Politik Uang (Money Politic) dalam Pemilihan Umum Ramon Azmi Pratama; Dheny Wahyudi
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9616

Abstract

ABSTRAK Permasalahan politik uang dalam pesta demokrasi (Pemilu) merupakan tindakan yang kerap terjadi. Isu ataupun memang benar nyata terjadi, setidaknya mengharuskan ruang pikir bagaimana dengan aturan hukum yang ada, yang mengatur hal tersebut, serta bagaimana sebenarnya alur penyelesaian tindakan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penanganan perkara tindak pidana politik uang yang ditangani pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jambi pada Pemilu 2019 dan fakor penghambat penanganan tindak pidana tersebut. Adapun hasil penelitian, bahwa proses penanganan tindak pidana politik uang pada Pemilu 2019 melalui sembilan tahap yang setiap tahap dibatasi waktu yaitu, Tahap temuan dan laporan, pembahasan pertama di Sentra Gakkumdu, pembahasan kedua di Sentra Gakkumdu, rapat pleno, tahap penyidikan, pembahasan ketiga di Sentra Gakkumdu, tahap penuntutan, tahap pengadilan, dan pembahasan keempat di Sentra Gakkumdu. Faktor penghambat dalam penanganan tindak pidana politik uang, yaitu pengaturan alur penanganan yang panjang dengan waktu yang terbatas, sulitnya menemukan alat bukti karena waktu terlalu singkat. ABSTRACT The problem of money politics in democratic parties (elections) is an act that often occurs. The issue, or indeed it really happened, at least requires a space to think about how the existing legal rules, which regulate it, as well as how exactly the flow of completion of the action. This study aims to determine the process of handling cases of money politics criminal acts handled by the Election Supervisory Body (Bawaslu) of Jambi Province in the 2019 Election and the factors which hamper the handling of these criminal acts. As for the results of the study, that the process of handling money politics in 2019 Election through nine stages, each phase limited by time, namely, the stages of findings and reports, the first discussion at the Gakkumdu Center, the second discussion at the Gakkumdu Center, the plenary meeting, the investigation stage, the third discussion at Gakkumdu Center, the prosecution stage, the court stage, and the fourth discussion at the Gakkumdu Center. Inhibiting factors in handling money politics crime, namely setting a long flow of handling with limited time, difficulty in finding evidence because the time is too short.

Page 1 of 1 | Total Record : 10