Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search
Journal : Jurnal Kesehatan Andalas

Profil Sindrom Stevens Johnson pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 sampai Desember 2011 Amelia Rahayu; Rina Gustia; Rahmatini Rahmatini
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v3i2.42

Abstract

AbstrakSindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutaneus akut yang mengancam jiwa berupa nekrosis yang ekstensif dan lepasnya epidermis. Sindrom ini mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Meskipun kasusnya jarang terjadi, SSJ memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa aspek kasus SSJ pasien rawat inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2010 sampai Desember 2011. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan menganalisis data rekam medik seluruh pasien SSJ yang dirawat inap. Variabel yang diteliti meliputi jenis kelamin, umur, penyebab SSJ, gejala SSJ, lama rawatan, tingkat keparahan, angka kesembuhan, dan angka mortalitas. Data diolah, dihitung persentasenya, dan disajikan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 22 kasus SSJ (0,05%) dengan perbandingan insiden pada pria dan wanita adalah 3:1. SSJ banyak terjadi pada umur >19 tahun sampai ≤59 tahun (31,81%) dengan penyebab terbanyak adalah obat (81,82%) terutama obat golongan antikonvulsan (33,33%). Semua pasien mengalami gejala prodromal dan trias kelainan SSJ. Lama rawatan pasien SSJ ≤10 hari. Sebagian besar pasien memiliki tingkat keparahan SSJ yang ringan berdasarkan nilai SCORTEN, yaitu 3,2% dan hampir semua pasien sembuh (95,46%).Kata kunci: Sindrom Stevens Johnson, SCORTENAbstractStevens-JohnsonSyndrome (SJS) is acute life-threatening mucocutaneous reactions characterized by extensive necrosis and detachment of the epidermis. SSJ comes to the skin, mucous membrane, and the eyes with varies of general state from mild to severe. Although this case is rare, it has a significant public health impact because of high mortality and morbidity. The aim of this study is to know some aspects of SJS cases toward hospitalized patients in Dr. M. Djamil Padang Hospital during January 2010 until December 2011.This study is conducted a retrospective study by analyze the medical record of hospitalized patients with SJS. Variables that were evaluated covered gender, age, causes of SJS, clinical manifestation of SJS, treatment time, the severity, cure rate, and mortality rate. The data were processed, counted the percentage, and presented in tabular form.The result showed there were 22 SJS cases (0,05%) with incidence ratio between male and female was 3:1. SJS most happened in >19 and ≤59 years age group (31,81%) with the most causes was drugs (81,82%) especially anticonvulsant group of drugs (33,33%). All of the patients showed prodromal symptoms and triage abnormalities of SJS. Treatment time for the patients was ≤10 days. A total of 81,82% patients had mild severity based on SCORTEN values, i.e. 3,2% and almost all the patients recovered from SJS (95,46%).Keywords:Stevens-Johnson Syndrome, SCORTEN
Perbandingan Efektivitas Obat Kumur yang Mengandung Chlorhexidine dengan Povidone Iodine terhadap Streptococcus Jeanne Mervrayano; Rahmatini Rahmatini; Elizabeth Bahar
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i1.216

Abstract

AbstrakPenyakit gigi menempati urutan ke-6 dari keluhan masyarakat atau 5.21% dari 25.13% masyarakat yang mengeluh sakit gigi. Hasil Survei Kesehatan Nasional 1995, mendapatkan 90% rumah tangga memiliki sikat gigi sehingga dapat diasumsikan bahwa masyarakat sadar akan pentingnya kesehatan gigi, tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup dalam pemeliharaanya, sehingga perlu cara lain untuk mengontrol plak yaitu dengan obat kumur. Streptococcus mutans adalah bakteri yang banyak ditemukan dalam rongga mulut. Sifat anti bakteri obat kumur terutama ditentukan oleh bahan aktif yang terkandung di dalamnya seperti Chlorhexidine dan Povidone iodine. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efektivitas obat kumur Chlorhexidine dan Povidone iodine terhadap Streptococcus mutans. Penelitian ini berjenis eksperimental dengan rancangan penelitian true experiment dengan post test only with control group design dengan jumlah sampel 16 kali pengulangan. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran diameter zona hambat (halo) sekitar cakram. Hasil penelitian ini menunjukan rerata zona hambat sediaan chlorhexidine adalah 19,4 mm, dan povidone iodine adalah 7,6 mm. Dari hasil pengukuran zona hambat, sediaan yang membentuk zona hambat rata-rata paling besar adalah sediaan obat kumur yang mengandung clorhexidine.Kata kunci: chlorhexidine, povidone iodine, streptococcus mutansAbstractDental disease ranks 6th of public complaints or 5.21% from 25.13% of the people who complained of a toothache. National Health Survey, 1995, get 90% of households have a toothbrush so that it can be assumed that the public are aware of the importance of dental health, but not balanced with sufficient knowledge in caretaker, therefore it needs another way to control plaque mouthwash. Mouthwash is a solution or liquid used to help provide freshness in the oral cavity and clean the mouth of plaque and organisms that cause disease in the oral cavity. Streptococcus mutans is one of the microorganisms that are found in the oral cavity is a major cause of oral diseases. Antibacterial mouthwash is mainly determined by the active ingredients contained in them such as Chlorhexidine and Povidone iodine.The objective of this study was to compare the effectiveness of Chlorhexidine mouthwash and Povidone iodine against Streptococcus mutans. Experimental research of this type with the study design True Experiment with Posttest Only Control Group Design with a sample of 16 repetitions. Data collection is done by measuring the diameter of inhibition zone ( halo ) around the discs. The results of this study showed an average inhibition zone Chlorhexidine preparation is 19.4 mm, and povidone iodine was 7.6 mm. Judging from the results of inhibition zone measurement, stocks that make up the average zone of inhibition is greatest mouthwash preparations containing clorhexidine.Keywords:Chlorhexidine, Povidone iodine, Streptococcus mutans
Perbandingan Daya Hambat Larutan Antiseptik Povidone iodine dengan Ekstrak Daun Sirih terhadap Candida albicans secara In Vitro Septriana Putri; Aziz Djamal; Rahmatini Rahmatini; Cimi Ilmiawati
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i3.393

Abstract

Abstrak Candida albicansb (C. albicans) adalah salah satu mikroorganisme penyebab masalah kesehatan reproduksi wanita, yaitu keputihan (fluor albus). Penggunaan larutan povidone iodine dan bahan alam seperti ekstrak daun sirih menjadi pilihan masyarakat sebagai pembersih alat kewanitaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkandaya hambat larutan antiseptik povidone iodine dan ekstrak daun sirih terhadap jamur C. albicans secara in vitro. Penelitian dilakukan terhadap lima isolat jamur C. albicans dengan larutan kontrol akuades.Perlakuan terdiri dari povidone iodine, ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20%.Hasil penelitian menunjukkan bahwa povidone iodine memiliki daya hambat terhadap C. albicans. Ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 5% dan 10% tidak memiliki daya hambat terhadap C. albicans, namun ekstrak daun sirih konsentrasi 20% memiliki daya hambat terhadap C. albicans. Analisis statistik dengan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Post-hoc menunjukkan perbedaan bermakna antara daya hambat larutan povidone iodine dan ekstrak daun sirih 20% terhadap kontrol(p < 0.05).Larutan povidone iodine memiliki daya hambat dua kali lebih besar terhadap pertumbuhan C. albicans dibandingkan ekstrak daun sirih 20%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa larutan povidone iodine dan ekstrak daun sirih 20% dapat menghambat pertumbuhan jamur C. albicans secara in vitro. Kata kunci: povidone iodine, ekstrak daun sirih, Candida albicansAbstract Candida albicans (C. albicans) is one of the frequent causes of  reproductive health problems in women, namely vaginal discharge (fluor albus). The antiseptic solution, povidone iodine, is still an option to overcome vaginal discharge. The use of natural materials such as betel (Piper betle L.) leaves extract also become a popular choice as adouche for women. The objective of this study was to compare the inhibitory activity of povidone iodine solution and betel leaf extract against the growth of C. albicans in vitro. We used five different isolates of C. albicans with distilled water as control. Each isolate was treated with povidone iodine solution, betel leaf extract at concentration of 5%, 10%,and 20%. The results showed that povidone iodine had inhibitory effect on C. albicans. Betel leaf extract at concentration of 5% and 10% did not have inhibitory effectwhile betel leaf extract at concentration of 20% hadinhibitory effect on C. albicans. Analysis by ANOVA followed by Post-hoc tests showed a significant difference in inhibitory activity of povidone iodine and betel leaf extract at 20% concentration compared to control (p < 0,05). Povidone iodine solution showed twice as much as inhibitory effect on C. albicans compared to betel leaf extract (20% concentration). It is concluded that povidone iodine solution and betel leaf extract at 20% concentration can inhibit the growth of C. albicans in vitro.Keywords: povidone iodine, betel leaf extract, Candida albicans
Hubungan Derajat Nyeri Dismenorea terhadap Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Mutya Restu Ayu; Yustini Alioes; Rahmatini Rahmatini
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i2.298

Abstract

AbstrakDismenorea merupakan penyebab tersering masalah ginekologi pada wanita muda. Nyeri dismenorea membutuhkan penjabaran derajat nyeri yang cermat guna pemilihan terapi yang sesuai. Terapi yang paling banyak dipilih untuk mengatasi dismenorea adalah Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara derajat nyeri dismenorea dan penggunaan OAINS. Desain penelitian menggunakan cross-sectional study dengan populasi adalah mahasiswi preklinik pendidikan dokter Universitas Andalas angkatan 2010-2012 sejumlah 555 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling sehingga subjek merupakan seluruh populasi yang sudah memenuhi kriteria inklusi. Instrument dalam penelitian ini ialah kuisioner. Data dianalisis dengan uji korelasi spearman rank dengan r < 0,05 untuk signifikansi. Hasil analisis univariat menunjukkan derajat intensistas nyeri yaitu 84 responden (27,3%) nyeri ringan, 189 responden (61,4%) nyeri sedang dan 35 responden (11,4%) nyeri berat. 70 responden (22,7%) memilih terapi OAINS. Hasil analisis bivariat menunjukkan nilai korelasi spearman rank 0,280 yang berarti adanya korelasi yang cukup antara derajat nyeri dismenorea dengan penggunaan OAINS.Kata kunci: dismenorea, derajat nyeri dismenorea, OAINS. AbstractDysmenorrhea is the common cause of gynecological problems in young women. The pain caused by dysmenorrhea requires a careful elaboration of the pain intensity level in order to choose the appropriate therapy. The most chosen therapy is Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs). The objective of this study was to assess the correlation between the pain intensity level of dysmenorrhea with the use of NSAIDs. This was a cross-sectional study with the population of 555 preclinical medical students in Medical Faculty of Andalas University class 2010-2012. The sampling technique was total population sampling with fulfilled inclusion criteria. The instrument in this study was a questionnaire. Data were analyzed with Spearman rank correlation test with r < 0.05 for significance. The result of univariate analysis showed that the pain intensity level of dysmenorrhea was mild in 84 respondents (27.3%), moderate in 189 respondents (61.4%) and severe in 35 respondents (11.4%). 70 respondents (22.7%) chose NSAIDs as the therapy. The result of bivariate analysis showed that the value of spearman correlation was 0.280 meaning that there was a quite correlation between pain intensity level of dysmenorrhea and the use of NSAIDs.Keywords: dysmenorrhea, the pain intensity level of dysmenorrhea, NSAIDs
Gambaran Pemberian Regimen Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 Yuli Syafirah; Rahmatini Rahmatini; Elizabeth Bahar
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 9, No 1S (2020): Online January 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v9i1S.1169

Abstract

Terapi antiretroviral harus diberikan dengan kombinasi yang sesuai dan meminimalisir efek merugikan dari interaksi obat agar terapi optimal pasien HIV/AIDS tercapai. Ketidaksesuain pemberian antiretroviral dengan standar yang berlaku merupakan salah satu masalah terapi antiretroviral. Tujuan: Mengkaji gambaran pemberian regimen antiretroviral pada pasien HIV/AIDS. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan metode kuantitatif dan kualitatif melalui pengambilan data dari rekam medis 97 pasien HIV/AIDS yang berobat pada periode Januari - Desember 2017 di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Hasil: Mayoritas pasien adalah laki-laki (80,4%), usia 26-45 tahun (73,2%), dan belum menikah (55,7%). Faktor risiko penularan HIV paling banyak melalui hubungan seksual (61,9%) dan didominasi oleh lelaki seks dengan lelaki (40,3%). Infeksi oportunistik terbanyak yang dialami pasien adalah tuberkulosis (20,6%). Terapi antiretroviral yang paling banyak digunakan adalah tenofovir + lamivudin/emtrisitabin + efavirenz (50,5%) dengan kesesuaian obat, dosis, pasien dan indikasi dengan pedoman nasional adalah 100% serta terdapat 12,4% potensi interaksi antiretroviral dengan obat lain yang memiliki efek samping merugikan. Simpulan: Pemberian terapi antiretroviral terbanyak menggunakan kombinasi IV dengan kesesuaian obat, dosis, pasien, dan indikasi yang sesuai pedoman nasional. Terdapat sejumlah kecil pemberian kombinasi obat yang memiliki efek samping merugikan.
Hubungan Lama Terapi Antipsikotik dengan Kadar SGOT dan SGPT pada Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. H.B Sa’anin, Padang Tahun 2013 Cahyaningtyas Cahyaningtyas; Rahmatini Rahmatini; Kurniawan Sedjahtera
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v6i1.658

Abstract

Beberapa antipsikotik, diantaranya klorpromazin, haloperidol, dan risperidon, telah diselidiki dapat menyebabkan drugs-induced liver injury, berupa kolestasis dan kerusakan hepatoselular. Pemeriksaan SGOT/AST dan SGPT/ALT digunakan untuk skrining kerusakan hati. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lama terapi antipsikotik dengan kadar SGOT dan SGPT. Telah dilakukan penelitian secara potong-lintang terhadap pasien skizofrenia rawat inap dengan terapi kombinasi klorpromazin, haloperidol, dan risperidon di RSJ Prof. H.B Sa’anin Padang periode 18-24 Desember 2013. Subyek penelitian dikelompokkan menjadi dua, yaitu pasien skizofrenia yang menerima terapi antipsikotik jangka pendek (≤ 6 bulan) dan jangka panjang (> 6 bulan). Hasil pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT antara dua kelompok dianalisis dengan menggunakan uji-t tidak berpasangan. Hasil penelitian pada 40 subyek penelitian dari total 143 pasien skizofrenia rawat inap menunjukkan rerata kadar SGOT dan SGPT pada kelompok terapi jangka pendek 22,6±6,51 U/l dan 23,2±12,16 U/l, sedangkan kelompok terapi jangka panjang 20,5±6,19 U/l dan 28,1±14,02 U/l. Pada uji signifikansi didapatkan kesimpulan tidak ada hubungan bermakna antara kadar SGOT dan SGPT dengan lama terapi antipsikotik jangka pendek dan panjang (p > 0,05).