Claim Missing Document
Check
Articles

Merancang Peran Baru Humas dalam Pengembangan Otonomi Daerah Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 2, No 1 (2001): “Publish or Perish!”
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v2i1.693

Abstract

Humas pemerintah daerah, dalam upaya pengembangan otonomi daerah, seyogianya tidak lagi sekadar corong yang melulu menginformasikan kegiatan-kegiatan pemerintah kepada masyarakat, juga bukan hanya membela dan menyembunyikan cela pemerintah dari kritik yang dilontarkan publik. Lembaga humas harus berperan sebagai jembatan antara berbagai kepentingan pemerintah dan rakyat. Untuk itu, perlu dibuka dialog antara kedua pihak tersebut. Selain itu, pemerintah juga perlu lebih mengembangkan kemampuan mendengarkan rakyat, alih-alih berbicara terus dan hanya ingin didengarkan. Melalui keterbukaan, dialog, dan kepekaan mendengarkan suara berbagai pihak, iklim komunikasi kondusif dapat dikembangkan sebagai wahana bagi penyelesaian berbagai masalah di daerah.
Cross-Cultural Health Communication Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 5, No 2 (2004): Seorang Periset yang Baik Mesti Memiliki Sikap Enteng
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v5i2.1169

Abstract

Setiap kebudayaan memiliki pandangan yang beragam tentang kesehatan atau penyakit, kehidupan atau kematian. Ada masyarakat yang menganggap penyakit sebagai nasib yang harus diterima secara fatalistik. Ada pula masyarakat yang memandangnya sebagai cobaan dari Tuhan, dsb. Selain itu, terdapat juga perbedaan konsep untuk menamai jenis penyakit tertentu pada sejumlah pengguna bahasa yang berbeda. Nama suatu penyakit dalam suatu bahasa tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa lain. Dokter berkebangsaan Amerika, misalnya, akan kebingungan bila menangani pasien orang Indonesia yang berpenyakti “raja singa”, karena nama penyakit itu tak bisa diterjemahkan langsung menjadi “king lion”. Keragaman budaya ini berimplikasi pada para petugas kesehatan, perawat, dokter, untuk memahami budaya pasien, yang ditanganinya, yang berasal dari komunitas budaya berbeda. Kekeliruan memahami latar belakang budaya pasien dapat menimbulkan kesalahan dalam mendiagnosis penyakit, menangani pasien, atau menentukan resep obat.
Membangun TV Publik Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 2, No 2 (2001): 'Chaos' Komunikasi 'Nothing to Hide'
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v2i2.718

Abstract

Kehadiran televisi swasta tidak lebih sebagai penggembira yang melanggengkan budaya hedonistik lewat peran mereka sebagai agen-agen metropolis. Padahal, sudah saatnya Indonesia memiliki TV publik yang difungsikan menjadi wahana bagi masyarakat memperdebatkan urgensi permasalahan sehari-hari. Dalam perspektif multibudaya, urgensi kehadiran TV publik di Indonesia terasa semakin penting mengingat banyaknya masalah konflik antaretnis yang diakibatkan oleh prasangka-prasangka dan perbedaan kultural antaretnis yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Sementara menanti kehadiran TV publik, TV swasta yang sudah ada hendaknya mengintensifkan peran mereka sebagai pemersatu bangsa, sembari runtuhnya mitos-mitos sentralistik yang melekatkan peran penting bangsa ini hanya pada satu suku saja.
Memersiapkan Para Jurnalis Menyongsong Era Global Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 3, No 1 (2002): Atas Dasar Apa: Mediator Kali ini
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v3i1.743

Abstract

Desentralisasi pendidikan komunikasi mutlak diberlakukan di negara kita, karena staf akademik di perguruan tinggi yang bersangkutanlah yang secara persis mengetahui lapangan, bukan para birokrat yang duduk di belakang meja. Keterikatan kepada pemerintah pusat hanya akan menghambat pengembangan program pendidikan yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Jelas bahwa soal otonomi ini akan kian meningkatkan profesionalisme pengelolaan perguruan tinggi di samping kemandirian dapat dipertahankan.
Komunikasi Getok Tular Pengantar Popularitas Merek Rudy Harjanto; Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 9, No 2 (2008): Dari “Starbucks’ hingga Pembebasan Biaya Kesehatan Dasar
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v9i2.1131

Abstract

Komunikasi getok tular (Word of mouth-WOM) adalah komunikasi berantai yang beredar dengan sendirinya di suatu komunitas tertentu, merujuk pada penyampaian informasi yang pada umumnya dilakukan secara lisan, informal dari seseorang kepada orang lain secara pribadi, antara dua individu atau lebih. Perkembangan teknologi memungkinkan komunikasi getok tular juga berkembang melalui internet, situs web, maupun halaman-halaman profil online, posting dalam blog-blog pribadi maupun pertukaran informasi melalui e-mail. Mereka memperkaya isi percakapan dengan informasi pandangan, pengetahuan, dan sebagainya, secara terus-menerus. Komunikasi getok tular tumbuh subur dalam masyarakat kolektivis, seperti di Indonesia, karena dalam masyarakat kolektivis, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, sukubangsa, bangsa, dsb). Secara tradisional, komunikasi getok tular terjadi pada saat orang-orang sangat berminat pada topik yang diperbincangkan. Komunikasi getok tular dapat dikembangkan sebagai saluran referensi untuk mempopularkan merek (produk), karena khalayak sasaran lebih percaya pada pesan yang disampaikan oleh orang yang mereka kenal, dan mereka hargai.
Constructions of Cancer among Survivors in Bandung Society Amalia Djuwita; Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 12, No 2 (2019): (Accredited Sinta 3)
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v12i2.5219

Abstract

People assume that cancer is a deadly disease. The communication gap between physicians and their patients results in incomplete information obtained by people with cancer. This research was conducted using a qualitative approach in order to explore the meaning of cancer within Bandung Cancer Society. Theories used as references are phenomenology and symbolic interactionism. The results of the study of 10 informants indicated that cancer is a very frightening disease; cannot be cured and results in no hope of survival; cancer is caused by unhealthy life style; and yet cancer increases acts of worship. All informants as cancer survivors made efforts to survive by following the doctor’s advice. Another result of this study states that communication that takes place between cancer survivors and other people with cancer within the Bandung Cancer Society has managed to change the view of cancer, motivate and raise the spirit of life.
Bridging Islam and the West: Toward the Development of Intercultural Understanding Deddy Mulyana
MediaTor (Jurnal Komunikasi) Vol 4, No 2 (2003): Dari Politik, Media, sampai Lain-Lain
Publisher : Pusat Penerbitan Universitas (P2U) LPPM Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/mediator.v4i2.1028

Abstract

Tidak mudah bagi bangsa Indonesia, termasuk kaum Muslimnya, untuk menjalin hubungan yang selaras dan menguntungkan dengan bangsa-bangsa Barat. Usaha itu akan lebih mungkin terlaksanajika di Indonesia sendiri sudah terjalin hubungan yang harmonis antara berbagai kelompok (etnik, ras, agama). Sayangnya, sepanjang sejarahnya Indonesia penuh dengan berbagai konflik antarkelompok, khususnya dalam beberapa tahun belakangan ini. Problem nasional ini harus diselesaikan terlebih dulu sebelum kita menyelesaikan problem intemasional. Setidaknya ada duafaktor yang menghambat terbentuknya Indonesia yang rukun dan makmur: pertama, faktor struktural yang mencakup perbedaan kaya-miskin dan keterbelakangan pendidikan kebanyakan rakyat hidonesia; dan kedua, faktor kultural, yakni, terdapat begitu banyaknya kelompok suku dengan bahasa masing-masing yang masih saling berprasangka dengan sesamanya, baik secara terbuka ataupun secara Laten. Dalam hubungannya dengan Barat, secara psikologis hangsa Indonesia masih menderita penyakit rendah-diri akut yang ditandai dengan kekagwnan pada Barat serta peniruan atas nitai dan gaya hidup Barat yang berlebihan. Sebagai .wlasi untuk mengatasi masalah-masalah di atas, Indonesia perlu merumuskan kembali identitas nasional dan budayanya yang terdiri dari nilainilai positifdari sejarah. budaya (termasuk nilai-nilai agama universal), serta dari sumber budaya manapun sejauh aspek-aspek budaya tersebut meningkatkan martabat manusia Indonesia. Implisit dalamll usaha itu adalah reorientasi pendidikan nasional yang ditandai dengan terselenggaranya pendidikan multibudaya di segala tingkatan pendidikan serta melalui media massa, disertai dengan llsaha untuk mengatasi kendala struktural yang ada.
PERAN KOMUNIKASI DALAM PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN IPTEK DI INDONESIA Deddy Mulyana
Jurnal Sosioteknologi Vol. 7 No. 15 (2008)
Publisher : Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Communication is used to both spread and develop science and technology. Communication technology can be used as a means of political propaganda, to change a concept, and move resources and an individual from one location to another. Some important values that we have to construct in communication are, among others, honesty (mutual trust) in determining a value system, in researching the cultural system of a community, in modifying information, and in spreading information. The obstacles in implementing a communication in Indonesia are that the Indonesian people have not yet had a blue print of their own cultural values and self concept, and many of them are information illiterate as well as still categorized as low-class or "kroco jiwa" individuals. (2006)
Kajian Budaya Fotografi Potrait dalam Wacana Personalitas Andang Iskandar; Cece Sobarna; Deddy Mulyana; Yuyu Yohana Risagarniwa
PANGGUNG Vol 24, No 3 (2014): Identitas dalam Bingkai Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.023 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v24i3.127

Abstract

ABSTRACT Portrait Photography is a representation of similarity in the form of two-dimensional human fi- gure. Portrait photography gives a personal good indication of the owner’s portrait, portrait subjects and photographers. Personality photographic work representing one’s personal character. This study aims to explain the problems of cultural studies in the discourse on photography portrait personality. This research method using literature review of the literature both books, journal articles and research reports, especially portrait photography in cultural studies. The study provides an overview of cul- tural studies on four issues for portrait photography: first, photography as a representation. Portrait is where negotiations between the photographer with the subject of self-representation (model). Se- cond, diaspora photographers. Photographers Indonesian Chinese (Peranakan) as cultural brokers in the post-colonial period. The difference between the Peranakan culture and totok also distinguished in the profession of social groups in studio photography. Third, the identity of the portrait. Family’s photo album as a way structured ourselves, and cultural identities through ritual memory. Fourth, photography as a medium of cultural domination. Photography is a meaning synthesis of subject and object photos. Keywords: cultural studies, portrait photography, personality, discourse  ABSTRAK Fotografi potrait merupakan representasi kemiripan figur manusia dalam bentuk dwimatra. Fotografi potrait memberikan indikasi personal baik pada pemilik potrait, sub- jek potrait maupun fotografer. Personalitas karya fotografi yang mewakili pribadi bahkan karakter seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan permasalahan kajian buda- ya pada fotografi potrait dalam wacana personalitas. Metode penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dari berbagai literatur baik buku, artikel jurnal dan laporan pene- litian fotografi khususnya potrait dalam kajian budaya. Hasil penelitian ini memberikan gambaran empat permasalahan kajian budaya pada fotografi potrait yaitu pertama, foto- grafi sebagai representasi. Potrait merupakan tempat negosiasi antara fotografer dengan representasi-diri subjek (model). Kedua, diaspora fotografer. Fotografer China Indonesia (peranakan) sebagai broker budaya di masa poskolonial. Perbedaan budaya antara per- anakan dan totok dibedakan juga dalam kelompok sosial profesi dalam studio fotografi. Ketiga, identitas dalam potrait. Album foto keluarga sebagai sebuah cara untuk menstruk- turisasi diri, identitas dan budaya melalui ritual ingatan. Keempat, fotografi sebagai me- dia dominasi budaya. Fotografi adalah sintesis pemaknaan dua subjek yang-memotret dan yang-memandang. Kata kunci: kajian budaya, fotografi potrait, personalitas, wacana
CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS OF “TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION” ON DETIK.COM AND MALAYSIAKINI.COM NEWS PORTAL Ujang Asmara; Deddy Mulyana; Henny Srimulyani Rohayati
Profetik: Jurnal Komunikasi Vol 13, No 2 (2020)
Publisher : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/pjk.v13i2.1872

Abstract

This study aimed to determine the construction of cross-border smoke haze (Transboundary Haze Pollution) on detik.com and malaysiakini.com news portal. This study used qualitative method with critical discourse analysis (Critical Discourse Analysis/ CDA) from Teun A. van Dijk’s Model. The results of this study showed that both the reporters detik.com and malaysiakini.com thematically used certain language prominence in writing the news. That was done to attract the attention of the readers. From these two different news portals, it could be concluded that each media was influenced by the interest of each country. It was also very clear that each media did not want to blame the state itself and pro-government. Schematically, from the beginning, detik.com reporters directed that Malaysia corner Indonesia not only through the issue of fog but also touched on the issue of the invasion of pigs. Whereas in the news portal malaysiakini.com, the journalist had directed the reader to the protest letter posted by Malaysia to the Indonesian government. While, semantically, detik.com reporters saw that Malaysia truly blames Indonesia without looking at companies from their countries which involved in forest and land fires in the Indonesian territory. On the malaysiakini.com portal, they dismissed it by making a phrase wanting to help the Indonesian government in dealing with fires that occurred in Indonesian territory.