cover
Contact Name
Argyo Demartoto
Contact Email
jas@mail.uns.ac.id
Phone
+62271637277
Journal Mail Official
jas@mail.uns.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.uns.ac.id/jas/about/editorialTeam
Location
Kota surakarta,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Analisa Sosiologi
ISSN : 23387572     EISSN : 26150778     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Analisa Sosiologi (JAS) diterbitkan per semester pada bulan April dan Oktober oleh Program Studi Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan ISSN : 2338 - 7572 (Print) dan ISSN: 2615-0778 (Online). JAS berdasarkan kutipan dan keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor: 21/E/KPT/2018, tanggal 9 Juli 2018 tentang hasil akreditasi jurnal ilmiah periode 1 tahun 2018, telah terakreditasi Peringkat 4 yang berlaku 5 Tahun, yaitu Volume 5 Nomor 1 tahun 2016 sampai Volume 9 Nomor 2 Tahun 2020. JAS memfokuskan diri pada hasil penelitian terkait isu-isu sosial-kontemporer di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan perkembangan masyarakat dari berbagai aspek. Selain itu, JAS juga menerima artikel yang bersumber pada telaah pustaka terkait dengan upaya pengembangan teori-teori sosiologi. Informasi mengenai JAS juga bisa diperoleh melalui media sosial.
Articles 225 Documents
REALITAS FUNGSIONAL SAWERAN DALAM PESTA PERNIKAHAN Siska Elasta Putri
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.61737

Abstract

This article examines saweran activities performed in organ tunggal performances (organ tunggal is a musical performance that uses one type of musical instrument, namely the keyboard) at weddings. The activities performed by Saweran reap the advantages and disadvantages because they conflict with the values and norms in society. However, the community still performs organ tunggal performances accompanied by saweran activities. Therefore, this article will discuss the saweran's function in a wedding. This research is qualitative. The finding of this study is that the existence of saweran activities at weddings has a function for all parties involved. These functions are grouped into two, namely, manifest functions and latent functions. Its manifest function is to liven up the party, youth entertainment facilities, a means for an organ tunggal to increase its popularity, land for an artist to earn extra income. Meanwhile, the latent functions of saweran are protecting the reputation of wedding organizers, satisfying the desires of young people attending and participating in these activities, reducing the operational costs of an organ tunggal, and media to protect the identities of saweran artists who also work as prostitutes.Keywords: Functional Reality, Saweran, WeddingAbstrakStudi ini hendak mengeksplorasi realitas dan fungsi saweran pada pertunjukan organ tunggal dalam pesta pernikahan. Saweran yang dilaksanakan menuai pro dan kontra karena aktivitas yang dilakukan oleh penyanyi sawer dan penonton bertentangan dengan nilai dan norma di dalam masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tipe penelitian etnografi. Basis data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Temuan dari penelitian ini adalah realitas saweran dalam pesta pernikahan memiliki fungsi bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya yaitu penyelenggara pesta, pengelola organ tunggal, pemuda dan artis.  Fungsi tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes adalah untuk meramaikan pesta, sarana hiburan pemuda, sarana bagi organ tunggal dalam menaikkan popularitasnya, dan lahan bagi artis untuk mencari tambahan pendapatan. Sementara fungsi laten saweran adalah melindungi nama baik penyelenggara pesta, pemuas hasrat bagi pemuda yang hadir dan ikut dalam aktivitas tersebut, menekan biaya operasional organ tunggal, serta media untuk melindungi identitas artis sawer yang juga berprofesi sebagai wanita tuna susila.Keyword: Realitas Fungsional, Saweran, Pesta Pernikahan
KAPITALISME DAN RELIGI DALAM AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR SEMERU Ika Zulkafika Mahmudah; Evi Susanti; Ahmad Faiz Muhammad Noer; Toetik Koesbardiati; Christrijogo Soemartono Waloejo
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.63138

Abstract

Hot clouds falling also known as a pyroclastic cloud or Tephra in Semeru volcano have occurred on December 4th, 2021 causing fatalities, big material loss, and resulting in thousands of people fleeing. Community polemic mentions that level of severity is a capitalist practice sand miners and implementation of local wisdom tradition who has a purpose with expectations cold lava comes down so that the mining results are abundant. This paper aims to study public views about volcano eruption, the sand mining act, and digging up the growing local wisdom tradition. The research method is using technique qualitative descriptive through in-depth interviews of 15 informants who were taken with the technique of snowball sampling. The results show that the influence of capitalism in Semeru sand mining caused a low level of public awareness of disasters by taking the eruption phenomenon as normal. Local wisdom that is packaged in religious activities has a different meaning, namely the slaughter of buffalo is actually carried out to hope for the descent of cold lava and an abundance of sand material to fulfill the lust and greed of the perpetrators of capitalism. The impact of these activities contributes to the severity of the impact of the disaster due to the low awareness and preparedness of the community against disasters. Therefore, the awareness and preparedness of people living in disaster-prone areas need to be increased in an effort to disaster risk reduction.Keywords: Semeru Eruption, Sand Mine, Local Wisdom, Disaster Risk Reduction AbstrakAwan Panas Guguran (APG) Gunung Semeru yang terjadi pada Sabtu, 4 Desember 2021 menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang cukup besar hingga menyebabkan ribuan jiwa mengungsi. Polemik masyarakat menyebutkan bahwa tingkat keparahan dampak erupsi semeru salah satunya adalah praktik kapitalisme penambangan pasir dan pelaksanaan tradisi kearifan lokal yang bertujuan mengharapkan turunnya lahar dingin agar hasil tambang pasir melimpah. Penelitian ini bertujuan mengkaji pandangan masyarakat terhadap erupsi dan aktivitas tambang, serta menggali kearifan lokal yang berkembang. Metode penelitian ini menggunakan teknik deskriptif kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap 15 informan yang diambil dengan teknik snow ball sampling. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh kapitalisme dalam penambangan pasir semeru menyebabkan tingkat kewaspadaan masyarakan terhadap bencana yang rendah dengan menganggap biasa fenomena erupsi. Kearifan lokal yang dikemas dalam aktivitas religi memiliki makna yang berbeda, yakni kegiatan penyembelihan kerbau justru dilakukan untuk mengharap turunnya lahar dingin dan kelimpahan material pasir untuk memenuhi nafsu dan keserakahan pelaku kapitalisme. Dampak dari aktivitas tersebut memberikan kontribusi terhadap tingkat keparahan dampak bencana akibat rendahnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencan. Oleh sebab itu kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana perlu ditingkatkan sebagai upaya pengurangan risiko bencana.Kata Kunci: Erupsi Semeru, Tambang Pasir, Kearifan Lokal, Pengurangan Risiko Bencana
RESPON TERHADAP ISU KELOMPOK RENTAN DALAM UPAYA PEMBANGUNAN KELURAHAN Irsyad Ravi Ranindito; Akhmad Ramdhon Ramdhon
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.61855

Abstract

Development and civil society are two aspects that are integrated and affect each other to create a participatory development that strives for a collective benefit by involving the society itself in participating in the proses of development. To striving that kind of development, Komunitas Belajar Solo Madani (KOMBES) play a role as a representation of civil society to build the participatory development in Surakarta city on urban village level, especially for vulnerable groups contain Disability, Single Mother (PEKKA), and The “Miskin Kota” through a program called Kampung Madani. The Implementation of Kampung Madani by KOMBES that used as a response for vulnerable groups, located in kelurahan Mojosongo and Pajang. The purpose of this research is to know how the implementation of Musrenbangkel and DPK as well as the participation of KOMBES as a representation of civil society to strive the participatory development that used to response the vulnerable group's issues. The technique of this research is qualitative with an approach qualitative descriptive and used an interview, observation, and literature study to obtain the data resources. The theory that is used for this research is Social Capital by Francis Fukuyama and Right to the city by Henry Lefebvre. This research shows that the implementation of Musrenbangkel and DPK implemented following the rules that exist, but still, did not respond to vulnerable groups formally and comprehensively. Even so, the existence of KOMBES can be responding the vulnerable group's issues to create a participatory development in kelurahan Mojosongo and Pajang.  Keyword : Participatory Development, Civil Society, Vulnerable Groups, Social Capital, Right to the city Abstak :Pembangunan dan masyarakat sipil merupakan dua aspek yang terintegrasi satu sama lain, sehingga kedua konsep tersebut saling mempengaruhi dalam menciptakan pembangunan yang partisipatif yaitu pembangunan yang mengupayakan terciptanya kebermanfaatan secara kolektif dengan melibatkan masyarakat itu sendiri untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dalam mengupayakan pembangunan partisipatif tersebut, Komunitas Belajar Solo Madani (KOMBES) berperan sebagai representasi dari masyarakat sipil untuk menciptakan pembangunan partisipatif  di kampung-kota Surakarta pada tingkat kelurahan, khususnya terhadap kelompok rentan yaitu Difabel, Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), dan Kelompok Rentan Terdampak COVID (Miskin Kota) melalui Kampung Madani. Adapun pelaksanaan Kampung Madani oleh KOMBES sebagai respon dari isu kelompok rentan tersebut dilaksanakan pada kelurahan Mojosongo dan kelurahan Pajang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan (Musrenbangkel) beserta Dana Pembangunan Kelurahan (DPK) sebagai wujud dari pembangunan partisipatif pada kelurahan di kota Surakarta serta mengetahui partisipasi KOMBES sebagai representasi masyarakat sipil dalam mengupayakan pembangunan partisipatif dengan merespon isu kelompok rentan. Adapun jenis penelitian ini yaitu kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif dengan memperoleh sumber data dari wawancara dan observasi serta studi literatur. Dalam mengkaji penelitian ini secara teoritis, digunakan teori milik Francis Fukuyama yaitu Modal Sosial serta Hak Atas Kota milik Henry Lefebvre. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Musrenbangkel beserta DPK dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada, hanya saja secara formal belum dapat merespon isu kelompok rentan secara komprehensif. Meski begitu, eksistensi KOMBES dikatakan dapat merespon isu kelompok rentan tersebut untuk mewujudkan pembangunan yang partisipatif di kelurahan Mojosongo dan Pajang. Kata Kunci : Pembangunan Partispatif, Masyarakat Sipil, Kelompok Rentan, Modal Sosial, Hak Atas Kota.
STRATEGI BERTAHAN HIDUP MASYARAKAT KAMPUNG MERAK SITUBONDO DI ENCLAVE AREA Baiq Lily Handayani; Dwi Shavira Putri Hardjo WIcaksono; Maulana Surya K; Hary Yuswadi; Akhmad Ganefo; Nurul Hidayat
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.62363

Abstract

This study aims to narrate the life of the people of Kampung Merak Situbondo in the enclave area. Using a phenomenological approach to express meaning in experience, this study takes a social setting in Kampung Merak, because this village is very representative as an isolated village both in terms of road access, infrastructure, social access, economy, education and especially this village has a dispute with the National Park. Baluran (TNB) is related to the area. This study uses a qualitative paradigm with a phenomenological approach. The technique of determining informants uses purposive techniques, with data collection methods using observation, and in-depth interviews. The results showed that the people who lived in this village were formerly workers at PT. Gunung Gumitir, where apart from working they are also building a social system in that location. When the PT's HGU contract expired, the workers were not terminated, but simply left. The workers then continue to build social life, both settlements, agricultural land, livestock, religion and other supporting social systems. The existence of those who have been uprooted from their original place of residence prevents them from returning to their origin. The development of businesses both in the agricultural and livestock sectors has made them more attached to Kampung Merak. Although vehicle access to the village has been closed by TNB, it is difficult for them to send agricultural and livestock products. This includes regulations regarding the construction of houses which are limited by not being allowed to build permanent houses. This does not make them discouraged from continuing to build a life in Merak Village by implementing several survival strategies as farmers, rowdy cattle breeders, as fishermen and strategies to build networks.Keywords: Kampung Merak, Situbondo, Baluran National Park, Survival Strategy, Enclave AreaAbstrakPenelitian ini bertujuan menarasikan kehidupan masyarakat Kampung Merak Situbondo di enclave area. Menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mengungkapkan pemaknaan dalam penafsiran pengalaman, penelitian ini mengambil setting sosial di Kampung Merak, dikarenakan kampung ini sangat representatif sebagai kampung yang terisolir baik secara akses jalan, sarana prasarana, akses sosial, ekonomi, pendidikan dan terutama kampung ini masih bersengketa dengan pihak Taman Nasional Baluran (TNB) terkait dengan kawasan. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Teknik penentuan informan menggunakan teknik purposive, dengan metode pengumpulan data menggunakan observasi, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di kampung ini dahulunya adalah pekerja di PT. Gunung Gumitir, dimana selain bekerja mereka juga membangun sistem sosial di lokasi tersebut. Ketika kontrak HGU PT habis, pekerja tidak diputus kontrak, namun ditinggalkan begitu saja. Para pekerja kemudian tetap membangun kehidupan sosial baik pemukiman, lahan pertanian, peternakan, keagamaan dan sistem sosial pendukung lainnya. Keberadaan mereka yang telah tercerabut dari tempat tinggal asal membuat mereka tidak kembali ke asalnya. Berkembangnya usaha baik dalam sektor pertanian dan peternakan membuat mereka semakin terikat dengan Kampung Merak. Meskipun akses kendaraan ke kampung tersebut telah ditutup oleh pihak TNB, sehingga mereka kesulitan untuk mengirim hasil pertanian maupun peternakan. Termasuk juga adanya peraturan mengenai pembangunan rumah yang dibatasi dengan tidak diperbolehkan membangun rumah permanen. Hal itu, tidak membuat mereka patah arang untuk tetap membangun kehidupan di Kampung Merak dengan menerapkan beberapa strategi bertahan hidup sebagai petani, peternak sapi gaduhan, sebagai nelayan dan strategi membangun jaringan.Kata kunci: Kampung Merak, Situbondo, Taman Nasional Baluran, Strategi Bertahan Hidup, Enclave Area
RASIONALITAS JEMAAT GBI GILGAL DALAM MENGIKUTI IBADAH TATAP MUKA DI MASA ENDEMI COVID-19 Nathan Marcellino; Agus Machfud Fauzi
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.60354

Abstract

The Covid-19 pandemic continues to be a significant issue, as well as in Indonesia. Although the number of cases has scaled back, this virus continues to change and still poses potential threat to public health. Solely, the word endemic may be a phrase that has been emphasized to refer to a currently occurring phenomena. Where dread begins to subside in a society, attentiveness and acceptance with the threat of a pandemic overtake it. The majority of churches, for instance, have raised their doorways so that their communities may worship as usual. Apart from adhering to strict health protocols, this study will delve into the rationale for the flock's participation in GBI Gilgal on-site, or face-to-face, worship. The methodology adopted in this research is phenomenology, which is weighted correctly to develop a thorough understanding of the research subject.. Additionally, researchers collected data through observation and interviews. The findings of this study expose the researcher to two distinct types of rationality inherent in this action: instrumental and affective rationality. The data reveals that the congregation yearns for the routine of coming to church and experiencing worship in real-time; thus, when GBI Gilgal reintroduces the opportunity for its flock to worship at church, it is put to good use despite the dangers of a pandemic threatening the community.Keywords: Endemic, On-Site Worship, RationalityAbstrakPandemi Covid-19 masih menjadi sebuah permasalahan internasional, tidak terkecuali di bumi pertiwi–Indonesia. Walaupun angka penyebarannya sempat mengalami penurunan, virus ini senantiasa bermutasi secara kontinu dan tetap membahayakan kesehatan masyarakat. Secara spesifik, kata endemi mungkin menjadi sebuah frasa yang mulai ditegaskan untuk merujuk pada fenomena yang terjadi saat ini.  Di mana mulai meluruhnya ketakutan di tengah masyarakat, digantikan dengan kesiagaan dan keterbiasaan terhadap bahaya pandemi. Sebagian besar tempat ibadah, misalnya, sudah membuka kembali akses untuk jemaatnya datang dan beribadah secara langsung seperti sedia kala. Terlepas dari penerapan protokol kesehatan yang ketat, penelitian ini berupaya untuk meneliti secara mendalam sejumlah hal yang melatarbelakangi rasionalitas jemaat untuk ikut serta dalam ibadah on site, atau tatap muka, yang diselenggarakan oleh GBI Gilgal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi yang ditimbang tepat untuk memahami subjek penelitian secara mendalam. Metode observasi dan wawancara juga dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh data. Hasil penelitian ini menghadapkan peneliti kepada dua jenis rasionalitas yang terkandung pada aksi ini, yakni rasionalitas instrumental dan rasionalitas afektif. Temuan data menunjukan bahwa jemaat rindu terhadap rutinitas untuk datang ke gereja dan merasakan ibadah secara real-time, maka dari itu ketika GBI Gilgal membuka kesempatan untuk jemaatnya kembali datang beribadah ke gereja, hal tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya terlepas di tengah bahaya pandemi yang mengancam.Kata Kunci: Endemi, Ibadah Tatap Muka, Rasionalitas
SUPPORTING FACTORS FOR THE DEVELOPMENT OF COMMUNITY SOCIAL SOLIDARITY IN THE FACE OF THE FLOOD DISASTER IN SUNGAI LIMAU DISTRICT, PADANG PARIAMAN REGENCY, WEST SUMATERA. Indah Rahayu; Irwan Irwan; Ikhsan Muharma Putra
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.63832

Abstract

Natural disasters have become a part of Indonesian people's lives. One of the disasters that often occurs is flash floods. The area that often experiences pressure from banjir bandang disasters is Sungai Limau District, Padang Pariaman Regency, West Sumatra. Despite living in the midst of various difficulties and flash floods, the solidarity between communities seems to be stronger. The purpose of this study is to analyze the factors supporting the establishment of social solidarity in the face of banjir bandang disasters in Sungai Limau District, Padang Pariaman Regency. The theory used in this research is the theory of social solidarity on the emphasis of collective consciousness proposed by Emile Durkheim. The method used in this study is a qualitative method with a descriptive type of research. Data collection in this study started from non-participant observation, document study, and in-depth interviews. The results of this study indicate that the supporting factors of community social solidarity in dealing with banjir bandang disasters in Sungai Limau District, Padang Pariaman Regency, are economic factors, religious factors, and cultural factors. This economic factor shows that the people in Sungai Limau Subdistrict have the same job, namely farming. When people experience a flash flood disaster, it certainly causes losses, both material and non-material. The religious factor shows that people who have suffered losses due to banjir bandang disasters are convinced that their lives have been regulated by the Creator, thus encouraging people to increase social solidarity through religious activities. While the cultural factors taken are the Malamang and batagak Kudo-kudo cultural traditions. Updates in this study build awareness about development in disaster areas by EAB (Economy, Religion, and Culture).Keywords: Disaster, Social Solidarity, Society, Supporting Factors. AbstrakBencana alam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu bencana yang sering terjadi adalah banjir bandang. Daerah yang sering mengalami tekanan akibat bencana banjir bandang adalah Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Meski hidup di tengah berbagai kesulitan dan banjir bandang, solidaritas antar masyarakat tampaknya semakin kuat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor pendukung terbentuknya solidaritas sosial dalam menghadapi bencana banjir bandang di Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori solidaritas sosial pada penekanan kesadaran kolektif yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dari observasi non partisipan, studi dokumen, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pendukung solidaritas sosial masyarakat dalam menghadapi bencana banjir bandang di Kecamatan Sungai Limau Kabupaten Padang Pariaman adalah faktor ekonomi, faktor agama, dan faktor budaya. Faktor ekonomi ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Sungai Limau memiliki pekerjaan yang sama yaitu bertani. Ketika masyarakat mengalami bencana banjir bandang tentu menimbulkan kerugian, baik material maupun non material. Faktor religi menunjukkan bahwa masyarakat yang mengalami kerugian akibat bencana banjir bandang yakin bahwa kehidupannya telah diatur oleh Sang Pencipta, sehingga mendorong masyarakat untuk meningkatkan solidaritas sosial melalui kegiatan keagamaan. Sedangkan faktor budaya yang diambil adalah tradisi budaya malamang dan batagak kudo-kudo. Pembaruan dalam penelitian ini membangun kesadaran tentang pembangunan di daerah bencana oleh EAB (Ekonomi, Agama, dan Budaya). Kata Kunci : Bencana, Solidaritas Sosial, Masyarakat, Faktor Pendukung.
AJHEMO : APLIKASI KONSEP SEHAT PEREMPUAN MADURA Farida Nurul Rahmawati; Nikmah Suryandari
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 11, No 4 (2022)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v11i4.60876

Abstract

Ajhemo is an everyday term that means drinking herbal medicine for the Madurese people. For Madura women, ajhemo is a habit as an effort to maintain health, fitness and household harmony for those who have a family. Ajhemo habits    are carried out by Madura women since adolescence, as a consequence of the biological process of women when they first menstruate. Ajhemo habit for Madurese women continues when women experience phases of life as women, such as getting married, giving birth, after giving birth. In addition to health factors, ajhemo habits are also one way to meet the needs and demands of husbands in spousal relationships. Madurese women's habits are related to cultural factors that are inherent early on, so this causes most Madurese women to consume traditional herbs related to sexual and reproductive organs. Until now ajhemo becomes a healthy way of life that Madurese women continue to do as a body art that includes cleanliness, beauty and health. Ajhemo for women becomes a healthy way of life that lasts for generations. Ajhemo becomes a daily requirement that is believed to improve fitness arousing sexual desire and aesthetics Keywords: ajhemo, health, Madurese womenAbstrak (Bolt)Ajhemo adalah istilah sehari-hari yang berarti minum jamu bagi masyarakat Madura. Bagi perempuan Madura, ajhemo adalah kebiasaan sebagai upaya menjaga kesehatan, kebugaran dan keharmonisan rumah tangga bagi yang sudah berkeluarga. Kebiasaan ajhemo dilakukan perempuan Madura sejak masa remaja, sebagai konsekuensi dari proses biologis perempuan saat pertama kali mengalami menstruasi. Kebiasaan ajhemo bagi perempuan Madura ini dilanjut saat perempuan mengalami fase-fase kehidupan sebagai perempuan, seperti akan menikah, melahirkan, setelah melahirkan. Selain karena faktor kesehatan, kebiasaan ajhemo juga merupakan salah satu cara dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan suami dalam relasi suami istri. Kebiasaan perempuan Madura ini berkaitan dengan faktor budaya yang melekat sejak dini, sehingga hal ini menyebabkan sebagian besar perempuan Madura mengonsumsi ramuan tradisional yang berhubungan dengan organ seksual dan reproduksi. Hingga sekarang ajhemo menjadi cara hidup sehat yang terus dilakukan perempuan Madura sebagai seni olah tubuh yang mencakup kebersihan, keindahan dan kesehatan. Ajhemo bagi perempuan manjadi cara hidup sehat yang berlangsung turun temurun. Ajhemo menjadi keperluan harian yang dipercaya dapat meningkatkan kebugaran membangkitkan gairah seksual dan estetika. Kata Kunci:ajhemo, kesehatan, perempuan Madura 
POLA ADAPTASI FUNGSIONAL TRANSMIGRAN BALI DENGAN PENDUDUK LOKAL La Parasit
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 12, No 1 (2023)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v12i1.67555

Abstract

Maabulugo Village, Buton District, Kapontori District, Southeast Sulawesi Province, experienced a division of the village so a new village was formed, namely Wakalambe. The expansion attracted transmigrants from Bali to enter and settle in the Maabulugo Village area. The arrival of transmigrants certainly brings about several changes in society in an area, including sosial adaptation. Balinese transmigrants need to adapt to the character of the lokal population of Maabulugo, reconciling the idiosyncratic differences found in the lokal inhibitants and the transmigrants. The Balinese life pattern differs from that of the lokal population due to ethnic distinctions. For example, the Balinese usually take a shower without their clothes on (naked) and men and women are allowed to bathe together, while lokal residents do the opposite, bathing in clothes and not allowing women and men to bathe together. This study describes the pattern of sosial adaptation of Balinese transmigrants to the lokal residents of Maabulugo and explores the factors that influence this pattern of sosial adaptation. This study used a descriptive qualitative method with primary and secondary data as sources of data. The selection of informants was determined by the snowball sampling technique and data collection was carried out through observation, interviews, and documentation. The results of this study show that the two ethnic groups very much need the sosial adaptation pattern of Balinese transmigrants and the lokal Maabulugo population by prioritizing togetherness in supporting development in the village. Meanwhile, the factor that influences the pattern of sosial adaptation between Balinese transmigrants and lokal residents is a shared desire to live in peace with each other which is realized by mutual respect and mutual understanding of the idiosyncratic differences between the two parties. Keywords: Balinese Transmigrant, Sosial Adaptation Patterns, Lokal Residents. AbstrakWilayah Propinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Buton Kecamatan Kapontori Desa Maabulugo pemekaran desa Wakalambe sehingga dengan adanya pemekaran tersebut transmigran dari Bali masuk dan bermukim diwilayah Desa Maabulugo. Kedatangan transmigran tentunya mendatangkan beberapa perubahan dalam bermasyarakat di suatu wilayah, diantaranya adanya adaptasi fungsional yang tentunya membutuhkan sikap dan karakter transmigran Bali untuk menyesuaikan diri dengan karakter penduduk lokal Maabulugo baik kebiasaan kehidupan mereka dan kebiasaan hidup penduduk lokal. Pola kehidupan orang Bali pasti berbeda dengan pola kehidupan penduduk lokal karena perbedaan budaya kedua etnik, misalnya orang Bali jika mandi biasa melepas pakaian dibadan dan bisa mandi bergabung dengan laki-laki, sementara penduduk  lokal tidak demikian tetap mandi dengan pakaian dan tidak boleh gabung dengan lelaki. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pola adaptasi fungsional transmigran Bali dengan penduduk lokal Maabulugo serta mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pola adaptasi fungsional transmigran Bali dan penduduk lokal Maabulugo. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan sumber data berupa data primer dan data sekunder dengan penentuan informan ditentukan dengan teknik snowball sampling dan pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukan pola adaptasi fungsional transmigran Bali dengan penduduk lokal Maabulugo sangat dibutuhkan kedua etnis tersebut dengan mengedepankan kebersamaan dalam menopang pembangunan desa tersebut. Sedangkan faktor yang memengaruhi pola adaptasi fungsional antara transmigran Bali dan penduduk lokal merupakan keinginan bersama untuk hidup damai satu sama lain, dengan cara saling menghargai, saling menghormati, dan saling memakulmi perbedaan kebiasaan dengan demikian tercipta kehidupan bersama yang saling damai dan menguntungkan antara transmigran Bali dan penduduk lokal Kata Kunci: Pola Adaptasi Sosial, Transmigran Bali, Penduduk Lokal.
PENGEMBANGAN MODEL BARU STRATEGI PEMULIHAN PARIWISATA BALI BERBASIS WISATA BERKELANJUTAN I Wayan Gede Lamopia; P A. Andiena Nindya
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 12, No 1 (2023)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v12i1.65649

Abstract

The shock caused by the presence of Covid-19 caused the majority of tourist actors on the island of Bali to go out of business which had an impact on their socioeconomic life. For two years this tourism-based economic rotation has not moved, it is difficult to revive Bali back to what it used to be if there is no right strategy for tourism recovery. The purpose of this study is to explore new models as a form of tourism recovery strategy. This research uses qualitative research methods with a Rapid Rural Appraisal approach and data collection techniques in the form of Focus Group Discussions, interviews and documentation. Based on the hasl found in the field, the results of this study are that there are 5 new models that can be used as a strategy for restoring tourism in Bali, especially kintamani tourism areas including nature, eco tourism, wellness, adventure and integrated digitalization. Keywords: New Model, Tourism Recovery, Bali, Sustainable Tourism. AbstrakGoncangan akibat hadirnya Covid-19 menyebabkan mayoritas pelaku wisata di Pulau Bali berujung pada gulung tikar yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Selama dua tahun rotasi ekonomi berbasis wisata ini tidak bergerak, sulit untuk membangkitkan lagi Bali kembali seperti dulu apabila tidak ada strategi yang tepat terhadap pemulihan pariwisata. Tujuan penelitian ini adalah menggali model baru sebagai bentuk strategi pemulihan pariwisata. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Rapid Rural Appraisal dan teknik pengumpulan data berupa Focus Group Discussion, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil yang ditemukan dilapangan, terdapat 5 model baru yang bisa dijadikan strategi pemulihan pariwisata di Bali khususnya kawasan wisata kintamani diantaranya yaitu nature, eco tourism, wellness, adventure dan digitalisasi terintegrasi. Selain itu, pada proses pengembangan strategi telah didukung oleh modal kultural, simbolik dan juga sosial yang bisa menjadi penguatan dalam praktik menuju pariwisata berkelanjutan di Kawasan Wisata Kintamani. Kata Kunci: Model Baru, Pemulihan Pariwisata, Bali, Pariwisata Berkelanjutan.
LEGAL DUALISM CONCERNING AGRARIAN CONFLICT OF LAND IN BONGKORAN, WONGSOREJO, REGENCY OF BANYUWANGI Umar Sholahudin
Jurnal Analisa Sosiologi Vol 12, No 1 (2023)
Publisher : UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/jas.v12i1.65682

Abstract

This study aims to analyze the practice of legal dualism in agrarian conflicts of the Bongkoran land, Wongsorejo, Banyuwangi Regency. Agrarian conflicts are structural conflicts, one of which originates from legal conflicts; state law and people's law. There are different legal bases used by state/government, corporation, and society. Government and companies rely more on the legal-formal (de jure) aspect, that land ownership and control rights are based on formal laws and procedures, that is proof of concession permit (HGU or HGB). Meanwhile, the community relies more on the socio-historical aspect, that the community has lived in, controlled, and used the land communally and for generations (de facto). This research focuses on how the practice of legal dualism in agrarian conflicts in the land of Bongkoran Wongsorejo. This study uses a legal sociology approach with a participatory method. The results showed; Legal dualism in agrarian conflicts has contrasting characteristics and characters that are difficult to be compromised and resolved fairly. The strong domination and hegemony of state law over the people's law, making the conflict more sharpened, people's rights over land increasingly seized, and often lead to acts of violence. There needs to be equal dialogue and communication between the (law) of the state and the (law) of the people in an intense and deliberative manner to produce a more just consensus (legal product). Settlement of agrarian conflicts is not enough to use legalistic-positivistic state legal instruments, but it is need to pay attention to community law that has local wisdom and is more oriented towards justice aspect Key Words : Legal Dualism, Agrarian Conflict, Bongkoran Land, Banyuwangi Regency AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktik dualisme hukum dalam konflik agraria di tanah Bongkoran, Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi. Konflik agraria merupakan konflik struktural yang salah satunya bersumber dari konflik hukum; hukum negara dan hukum rakyat. Dasar hukum yang digunakan oleh negara/pemerintah, korporasi, dan masyarakat berbeda-beda. Pemerintah dan perusahaan lebih mengandalkan aspek legal-formal (de jure), bahwa hak penguasaan dan penguasaan tanah didasarkan pada hukum dan prosedur formal, yaitu bukti izin pengusahaan (HGU atau HGB). Sedangkan masyarakat lebih mengandalkan aspek sosio-historis, bahwa masyarakat telah mendiami, menguasai, dan menggunakan tanah secara komunal dan turun-temurun (de facto). Penelitian ini berfokus pada bagaimana praktik dualisme hukum dalam konflik agraria di tanah Bongkoran Wongsorejo. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum dengan metode partisipatif. Hasilnya menunjukkan; Dualisme hukum dalam konflik agraria memiliki sifat dan karakter yang bertolak belakang sehingga sulit untuk dikompromikan dan diselesaikan secara adil. Kuatnya dominasi dan hegemoni hukum negara atas hukum rakyat, membuat konflik semakin menajam, hak rakyat atas tanah semakin direbut, dan tak jarang berujung pada tindakan kekerasan. Perlu adanya dialog dan komunikasi yang setara antara (hukum) negara dan (hukum) rakyat secara intens dan musyawarah untuk menghasilkan konsensus (produk hukum) yang lebih berkeadilan. Penyelesaian konflik agraria tidak cukup menggunakan instrumen hukum negara legalistik-positivistik, tetapi perlu memperhatikan hukum masyarakat yang memiliki kearifan lokal dan lebih berorientasi pada aspek keadilan. Kata Kunci : Dualisme Hukum, Konflik Agraria, Tanah Bongkoran, Kabupaten Banyuwangi.