cover
Contact Name
Vida P.R. Kusmartono
Contact Email
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Editorial Address
Jalan Gotong Royong II, RT 03 RW 06, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Naditira Widya
ISSN : 14100932     EISSN : 25484125     DOI : https://doi.org/10.55981/nw
Naditira Widya aims to be a peer-reviewed platform and a reliable source of information. Scientific papers published consist of research, reviews, studies, and conceptual or theoretical thinking with regard to Indonesian and/or world archaeology and culture. All papers are double-blind reviewed by at least two peer reviewers. Naditira Widya is issued biannually and publishes articles on archaeology and cultural studies, including using anthropological, ethnographic, historical, language, geological, geographical, biological and other relevant approaches.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Arkeologi
Articles 153 Documents
IDENTIFIKASI DEWA-DEWI AGAMA HINDU-BUDDHA SEBAGAI DEWA PELINDUNG PELAYARAN Ashar Murdihastomo
Naditira Widya Vol. 13 No. 2 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 2 Oktober Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pelayaran merupakan salah satu aktivitas yang mendukung perdagangan antara India dengan Cina. Jalur laut ini dipilih pada masa lampau dan menjadi populer di kalangan para pedagang saat jalur perdagangan darat mengalami hambatan yang tidak kunjung reda. Perkembangan teknologi dan pengetahuan pelayaran makin membuat aktivitas pelayaran makin mudah dan ramai. Namun, aktivitas ini tentu juga tidak dapat terhindar dari beberapa hambatan seperti badai ataupun perompak laut. Beberapa hal telah dilakukan oleh para pedagang dalam menghindari hambatan tersebut. Salah satunya adalah melalui aktivitas pemujaan terhadap dewa-dewi panteon dalam panteon Hindu-Buddha. Penelitian ini dilakukan sebagai pengumpulan data panteon yang dipuja sebagai dewa pelindung pelayaran. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui agama yang dominan dalam pemujaan dewa-dewi tersebut. Dalam upaya mendukung kajian ini, digunakanlah data sekunder yang berasal dari kajian pustaka. Data sekunder tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kontekstual agar dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dewa-dewi yang dipuja sebagai pelindung pelayaran terdiri atas dewa-dewi lokal dan asing. Selain itu, dewa-dewi dalam agama Buddha memiliki peran dominan dalam pemujaan tersebut dibandingkan dengan dewa-dewi agama Hindu.Seafaring is one of the activities that support trade between India and China. The sea routes were chosen in the past and became popular among traders when the land trade lanes encounters obstacles that never stop. The development of seafaring technology and knowledge increasingly made shipping activities more easy and crowded. However, this activity certainly could not be protected from obstructions such as storms and sea pirates. Some things have been done by traders in avoiding such obstacles. One of them was through the worship of gods and goddesses in the Hindu-Buddhist pantheon. This research was carried out as a data collection of pantheons worshiped as patron deities of seafarings. In addition, this study also aimed to find out the dominant religion in the worship of the gods. In an effort to support this study, secondary data from the literature review were used. The secondary data was then analyzed using the contextual analysis method so that it could be used to answer the questions raised. Research results indicates that the gods worshiped as patron deities of seafarings consisted of local and foreign gods. Furthermore, Buddhist pantheons had dominant role of worship compared to those of Hindus.
PEMUKIMAN KUNO DI DESA HAMARUNG, KECAMATAN JUAI, KABUPATEN BALANGAN, KALIMANTAN SELATAN Sunarningsih
Naditira Widya Vol. 13 No. 2 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 2 Oktober Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemukiman kuno yang ditemukan di wilayah Kalimantan pada umumnya berada di tepian aliran sungai, baik sungai besar (utama), maupun sungai kecil (anak sungai). Demikian juga yang terlihat di situs Hamarung, berada di tepi Sungai Campan, di Kalimantan Selatan. Pemukiman kuno ini sekarang berada di areal kebun karet, masyarakat sekarang tidak lagi memanfaatkannya sebagai tempat tinggal. Pemukiman yang baru pindah ke tepi jalan darat yang dibangun kemudian. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan cara bermukim masyarakat Hamarung pada masa lalu dan kronologi pemukiman kuno Hamarung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan induktif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, survei, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukiman kuno Hamarung berada di dua sisi Sungai Ninian lama yang sudah mati. Pemukiman kuno Hamarung dilengkapi dengan sebuah bangunan masjid dan kuburan muslim. Secara kronologis pemukiman kuno Hamarung dihuni pada masa Islam sampai dengan abad ke-19 Masehi. Old settlements discovered in Kalimantan are generally located on riverbanks, both on the main rivers and their tributaries. Such is on the bank of Campan River, the site of Hamarung, in South Kalimantan. The old settlement is now in a rubber plantation and no longer used by the present day community. A new settlement moved to the edge of the road that was built later. This study aims to describe how the Hamarung community settled down in the past and the chronology of the old Hamarung settlement. The method used in this research was descriptive with an inductive approach. Data collection was carried out by observation, survey, interview, and literature study. Research results indicated that the old Hamarung settlement waslocated on both sides of the old dead Ninian River. The old Hamarung settlement was complemented by a mosque and moslem cemetery. Chronologically the old Hamarung settlement was inhabited during the Islamic period up to the 19th century.
PENTINGNYA MONUMEN DWIKORA DAN KESEJARAHANNYA Nugorho Nur Susanto
Naditira Widya Vol. 13 No. 2 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 2 Oktober Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada saat ini jiwa patriotisme dan sifat kepahlawanan cenderung memudar, sedangkan figur dan sosok teladan mulai langka. Dengan demikian perlu kehadiran sosok pengganti yang dapat memberi nuansa peristiwa perjuangan dan kepahlawanan. Sosok berupa aspek bendawi itu dapat berupa tugu peringatan atau monumen. Monumen ini walaupun dibuat lebih kemudian diharapkan dapat mewakili semangat dan keteladanan. Melalui metode induktif dengan mengkompilasikan sumber sejarah dan bukti-bukti arkeologi yang lain, diungkapkan peristiwa dan makna masa lalu tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk menggali nilai penting aspek ideologis dari tinggalan arkeologi berupa monumen Dwikora. Penelitian ini dapat membantu kita untuk mengungkapkan, menjelaskan, dan mendesain ulang peristiwa masa lalu. Di daerah perbatasan selain masalah ekonomi, ada persoalan yang tak kalah mendesak, yaitu nasionalisme. Monumen Dwikora di Nunukan, Kalimantan Utara, hampir musnah karena terdesak oleh perbedaan kepentingan, demikian pula kisah sejarahnya. Deskripsi kasus di Nunukan ini dihadirkan dalam upaya penanganan dan menakar nilai penting suatu cagar budaya.Today the soul of patriotism and the nature of heroism tends to fade, while figures and role models are becoming scarce. Thus, it is necessary to have a substitute figure that can give the nuances of the struggle and heroism. The figure in the form of material aspects can be a monument or monument. The monument although made later is expected to represent enthusiasm and example. Through the inductive method by compiling historical sources and other archeological evidence, the events and meanings of the past are revealed. This research was conducted to explore the importance of the ideological aspects of the archeological remains of the Dwikora monument. This research can help us to express, explain, and redesign past events. In border areas besides economic problems, there is a problem that is no less urgent, namely nationalism. The Dwikora monument in Nunukan, North Kalimantan, was almost destroyed because it was pressured by differences in interests, as did its historical story. A description of the case in Nunukan needs to be presented in an effort to handle and measure the importance of a cultural property.
AN ETHNOGRAPHY ON THE WEDGE SEA HARE IN MACTAN ISLAND, THE PHILIPPINES Takashi Tsuji
Naditira Widya Vol. 13 No. 2 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 2 Oktober Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The wedge sea hare (Dolabella auricularia) is a mollusk species found in tidal flats and is consumed as food around the Philippines. The practice of consuming its internal organs is probably found only on the Mactan Island. The Problem of this study is to clarify why people collect the internal organs of wedge sea hare. The objective is a gleaner who have special skills to identify the sea hare burrows. Participatory observation and measurement method were employed for this research. As a result, it found that the gleaners precisely identify occupied sea hare burrows using unique skills, and to remove the edible internal organs from the disposable body. Local people regard the internal organs as a nutrition. As a conclusion, this practice must be an adaptation to an environment where vegetable protein is scarce due to a limestone-based soil unsuitable for agriculture. Thus, the role of the wedge sea hare in a unique culture was also developed. Kelinci laut (Dolabella auricularia) adalah spesies moluska yang ditemukan di dataran pasang surut dan dikonsumsi sebagai makanan di sekitar Filipina. Praktik mengkonsumsi organ internalnya mungkin hanya ditemukan di Pulau Mactan. Masalah penelitian ini adalah untuk menjelaskan mengapa orang mengumpulkan organ internal kelinci laut. Tujuannya adalah seorang pengumpul yang memiliki keterampilan khusus untuk mengidentifikasi lubang kelinci laut. Metode pengamatan dan pengukuran partisipatif digunakan untuk penelitian ini. Sebagai hasilnya, ditemukan bahwa para pengumpul secara tepat mengidentifikasi lubang yang didiami kelinci laut dengan menggunakan keterampilan unik, dan mengeluarkan organ internal yang dapat dimakan dari tubuh yang bisa dibuang. Masyarakat lokal menganggap organ dalam sebagai nutrisi. Sebagai kesimpulan, praktik ini harus merupakan adaptasi terhadap lingkungan di mana protein nabati langka karena tanah berbahan dasar batugamping yang tidak cocok untuk pertanian. Dengan demikian, peran kelinci laut dalam budaya unik juga dikembangkan.
ANALISIS STRUKTURAL PADA MUKHALINGGA DI NANGA SEPAUK, KABUPATEN SINTANG, KALIMANTAN BARAT Imam Hindarto
Naditira Widya Vol. 13 No. 1 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 1 April Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara mewariskan artefak-artefak arkeologi yang tersebar di seluruh pelosokkepulauan ini. Salah satu artefak tersebut berupa mukhalingga yang ditemukan di Nanga Sepauk, Kalimantan Barat.Mukhalingga mengandung simbol religi agama Hindu. Simbol tersebut dilatarbelakangi oleh struktur budaya masyarakatyang menciptakan artefak tersebut. Selama ini penelitian arkeologi terhadap mukhalingga membahas hanya kronologibudaya tanpa meneliti aspek struktur budayanya. Penelitian kali ini berupaya mengungkap struktur budaya yangmelatarbelakangi pendirian mukhalingga. Tujuan penelitian ini adalah memahami sejarah budaya masyarakat masa lalu diNanga Sepauk. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis struktural. Analisis dilakukan denganmenguraikan aspek asosiatif dan paradigmatif mukhalingga. Hasil analisis struktural menunjukkan bahwa mukhalinggamerupakan wujud dari tiga aspek, yaitu kekuatan Siwa, siklus kehidupan, dan dualisme gagasan. Pada konteks sejarahbudaya di Nanga Sepauk keberadaan mukhalingga menunjukkan adanya Siwaisme, kultus dewarâja, dan keberadaanmandala. The Hindu-Buddhist culture in Nusantara bequeaths archaeological artefacts scattered throughout the archipelago.One of such artefacts is the mukhalingga found in Nanga Sepauk, West Kalimantan. A mukhalingga contains religioussymbols of Hinduism which is formed by the cultural structure of a community who created the artefact. Until today,archaeological studies of mukhalingga discuss only its cultural chronology without examining the structural aspects of theculture. This research attempts to disclose the cultural structure underlying the establishment of a mukhalingga. Theobjective of this study is to understand the cultural history of the past in Nanga Sepauk. The research method used isqualitative with structural analysis. The analysis is carried out by breaking down the associative and paradigmative aspectsof a mukhalingga. The results of structural analysis suggest that a mukhalingga is a manifestation three aspects, i.e. thepower of Siwa, life cycle, and dualism of ideas. Regarding the context of cultural history in Nanga Sepauk the existence ofmukhalingga suggests the presence of Siwaisme, dewarâja cult, and the mandalas.
TAMAN SÎMA PADA PRÂSÂDA DI GUNUNG HYANG (JAWA ABAD IX MASEHI) Mimi Savitri
Naditira Widya Vol. 13 No. 1 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 1 April Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian tentang taman dari masa Hindu-Buddha pada abad IX Masehi selama ini belum banyak dilakukan. Hal ini karena jarang ditemukannya tinggalan arkeologis berupa taman dari masa tersebut. Namun, prasasti Jurungan berangka tahun 798 Saka (876 Masehi) membuktikan bahwa ada taman dari abad IX Masehi dengan status sîma bagi prâsâda diGunung Hyang. Penelitian ini penting dilakukan untuk memahami karakterisktik taman di Jawa pada abad IX Masehi danhubungan taman sîma dengan prâsâda. Selain itu, tujuan penelitian ini adalah melengkapi pengetahuan mengenai lanskaptaman pada wilayah Mataram Hindu abad IX Masehi dan merekonstruksi budaya masyarakat Jawa pada masa itu. Penelitianini menggunakan pendekatan sejarah, dan dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dari buku-buku,laporan penelitian, artikel ilmiah, dan naskah kesastraan. Pembacaan prasasti Jurungan dilakukan secara langsung danterhadap hasil alih aksara prasasti. Analisis prasasti didukung pula oleh pengamatan relief pada Candi Borobudur danPrambanan, serta pengamatan lanskap taman Keraton Boko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa taman sîma pada prasasti Jurungan memiliki unsur penting berupa tanaman dan air yang mendukung kelangsungan prâsâda sebagai bangunan sucidi Gunung Hyang. Lebih lanjut, disebutkan pula tentang pemenuhan kebutuhan akan buah atau bunga persembahan untukprâsâda ataupun kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar yang mengelola prâsâda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa taman sîma, prâsâda, dan Gunung Hyang secara konseptual merupakan lanskap sakral yang dibentuk menjadi satu kesatuan sebagai perwujudan konsep kosmologi masyarakat Hindu di Jawa pada abad IX Masehi. Little researches on gardens from the ninth century Hindu-Buddhist period are conducted due to the few discoveries of archaeological remains that indicate gardens. However, the Jurungan inscription dated 798 Saka (876 CE)proves the existence of a garden from the ninth century with a status of sîma for a prâsâda on Gunung Hyang. Thesignificance of this research is to understand the characteristics of a garden in Java during the ninth century and therelationship between a sîma garden and prâsâda. Additionally, the objective of this study is to obtain a comprehensiveknowledge of a garden landscape in the ninth century Hindu Mataram region and reconstruct the culture of the Javanesesociety then. This study uses a historical approach, and data collection is carried out by literature studies from books,research reports, scientific articles, and literary texts. Reading the Jurungan inscription was conducted both from the script and its transliteration. The inscription analysis was also supported by a study of the reliefs on the temples Borobudur andPrambanan, as well as landscape observations of the Boko palace garden. Research results suggest that the sîma garden mentioned in the Jurungan inscription has important elements of plants and water that support the continuity of a prâsâdaas a sacred structure on Gunung Hyang. Further, the inscription also mentioned about fulfilling the needs for fruit or flowerofferings for the prâsâda or the economic demands of the surrounding communities who maintained the prâsâda. Conclusively,the research suggests the sîma garden, prâsâda, and Gunung Hyang are conceptually sacred landscapes that are formed into a single entity as a manifestation of the cosmological concept of Hindu society in Java during the ninth century.
AN ECO-MATERIAL CULTURAL STUDY ON BIRD TRAPS AMONG THE PALAWAN OF THE PHILIPPINES Takashi Tsuji
Naditira Widya Vol. 13 No. 1 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 1 April Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study clarifies how eco-material culture is exemplified in bird traps and the use in the environment in terms of:1) the ecological aspects and material culture of bird traps; 2) the practicality of trapping techniques; and 3) the relationshipsamong bird traps, birds, and people from an ethno-archaeological viewpoint. The research target is the Palawan, anindigenous people of Palawan Island, the Philippines. The research methods are interviews and participant observation. Theresearch suggests that current bird traps are made of plant materials with nylon for convenience, but plant materials remainfundamental. Further, since Palawan bird-trapping technology is unrefined, and as traps are sometimes unsuccessful,trapping is likely done for enjoyment and as a challenge. Thus, bird traps connect humans to nature, as reflected in thePalawan’s eco-material culture. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan perangkap burung yang menggunakan bahan-bahan dari tanamandan penggunaannya di lingkungan, serta membahas tentang: 1) aspek budaya ekologi dan material dari perangkapburung; 2) teknologi perangkap burung; dan 3) hubungan antara burung, perangkap burung, dan manusia dari sudutpandang etnoarkeologi. Metode penelitian ini adalah wawancara dan observasi partisipan. Target penelitian adalah penduduk asli Pulau Palawan di Filipina. Penulis memastikan bahwa perangkap burung yang biasa digunakan pada masa kini dibuat dari bahan tanaman dan plastik nilon untuk kemudahan. Sementara itu, masyarakat Palawan masih menggunakan bahan-bahan tanaman sebagai bahan utama dalam membuat perangkap burung, dan teknologi yang digunakan merupakanperkembangan dari metode perangkap tradisional. Tujuan masyarakat Palawan menggunakan perangkap bukan semata-mata untuk menangkap burung, tetapi untuk menakut-nakutinya juga agar penduduk dapat hidup berdampingan dengan burung di lingkungannya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perangkap burung merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk hidup berdampingan dengan burung dan merefleksikan prinsip hidup masyarakat alami yang hidup berpusat pada budaya ekosistem dan material.
MANTRA PENGOBATAN DALAM NASKAH BANJAR Dede Hidayatullah
Naditira Widya Vol. 13 No. 1 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 1 April Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sedikitnya studi naskah pengobatan ini karena keberadaan naskah pengobatan sulit ditemukan. Naskah pengobatanadalah naskah rahasia yang disembunyikan dari orang lain karena bacaannya bersifat magis, dan tidak semua orang dapatmembacanya. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi penelitian lain yang membahas tentang mantra pengobatan yang bersumber dari naskah lama. Selain itu, penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan manuskrip lama yang memuat informasi tentang kehidupan dan budaya masa lampau, melestarikan tradisi lisan mantra dan pengobatantradisional Banjar yang mulai punah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menerapkan kodikologidan menganalisis isi teks mantra pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah mantra pengobatan ditulisdengan bahasa Banjar berbentuk prosa dan beraksara Arab Melayu. Naskah ini memuat keterangan tentang kumpulanobat-obatan herbal, termasuk bacaan, mantra, wafak, isim, dan azimat. Lebih lanjut, bacaan dalam naskah ini diklasifikasikan dalam empat bentuk, yaitu doa, ayat Alquran, selawat, dan syahadat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Banjar sejak zaman dulu sudah menggunakan berbagai media dalam melakukan pengobatan. The lack of study on healing manuscripts is due to the difficulties in finding such texts. A healing manuscript is a secret text that is kept hidden from others because it contains magic script, and not everyone is able to read it. This research is proposed as basis for other studies on healing mantra originating from old manuscripts. Further, this research isconducted as an effort to preserve old manuscripts that contain information concerning life and culture of the past, preserve the oral traditions of mantra, and traditional Banjarese healings that are becoming extinct. The research method used was descriptive by applying codicology and analyzing the contents of healing mantra. Results of this research indicate that thetexts of healing mantra was written as proses in Banjarese using Arabic-Malay letters. The text contains information of a collection of herbal concoctions, including scripts, incantations, wafak, isim, and amulets. Furthermore, the literatures in thismanuscript are classified into four structures, i.e. prayer, verses of the Koran, selawat, and shahada. Results of this study indicate that the Banjar community has used various media to conduct healing treatment since ancient times.
POTENSI TINGGALAN ARKEOLOGI DAN PARIWISATA DI KEPULAUAN SANGIHE, PROVINSI SULAWESI UTARA Dwi K. Sandy; Natasha D. Dhanwani; Alem P. Arma; Sandy M. Yusuf; Fuad Anshori; Sultan K. A. Bagagasyah; Muhammad Destrianto; Sheila A. Rachmadiena; Mahardika Budiansyah; Muslim D. Khoir; Fairus Aziz; Nurdin N.Gusfa; Arsyananda Rabbani
Naditira Widya Vol. 13 No. 1 (2019): Naditira Widya Volume 13 Nomor 1 April Tahun 2019
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sebagai daerah terdepan negara Indonesia, Sangihe menyajikan sumber daya arkeologi yang belum banyak diketahui masyarakat. Hal ini wajar karena para peneliti yang fokus pada kebudayaan jarang memperhatikan tinggalantinggalanarkeologis yang ditemukan di kawasan perbatasan. Tulisan ini memaparkan potensi tinggalan arkeologis diKabupaten Kepulauan Sangihe yang berada di kawasan utara Pulau Sulawesi yang berbatasan dengan kawasan selatannegara Filipina. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan arkeologis dengan mengkaji tinggalan-tinggalan bendawiseperti kapal karam, rumah kuno, makam, dan keramik kuno, serta didukung pendekatan etnohistoris yang menekankanpada data etnografi dan arsip sejarah. Penelitian ini bersifat eksploratif dan pengumpulan data dilakukan dengan penyelaman di perairan Sangihe. Hasil penelitian adalah identifikasi dan deskripsi tinggalan arkeologis di kawasan kepulauan Sangiheyang menunjukkan kawasan tersebut adalah pintu gerbang utara dalam konteks penyebaran kebudayaan ke kepulauanNusantara, serta pemanfaatan potensi tinggalan arkeologis untuk pariwisata. Selanjutnya, diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian. As the frontier region of Indonesia, Sangihe presents archaeological resources that have not yet known by the public. Such circumstance is understandable since researchers who focus on culture rarely pay attention on archaeological remains discovered in the border regions. This paper describes the potential of archaeological remains in Kabupaten Kepulauan Sangihe on the northern region of Island Sulawesi that borders with the southern region of the Philippines. Thisresearch was conducted using an archaeological approach by examining material remains such as shipwrecks, ancient houses, tombs, and ancient ceramics, and supported by an ethnistorical approach emphasising on the study of ethnographyand historical archives. This is an explorative research and data collection is carried out by diving in Sangihe waters. Theresults of this investigation are identifications and descriptions of archaeological remains in the Sangihe archipelago that suggest the region as the northern gate in the context of culture distribution into Nusantara, as well as the use of potential archaeological remains for tourism. Further, this present study is expected to be a reference for future projections.
BELIUNG PERSEGI: SEBARAN DAN FUNGSINYA DI KALIMANTAN Bambang Sugiyanto
Naditira Widya Vol. 12 No. 2 (2018): Naditira Widya Volume 12 Nomor 2 Oktober Tahun 2018
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Beliung persegi adalah artefak prasejarah yang menandai periode neolitik ketika manusia mulai hidup menetap danmengembangkan teknologi yang mendukung kelangsungan hidup manusia. Temuan beliung persegi dari Kalimantanmenunjukkan keragaman penggunaan dan distribusinya di Kalimantan, yang menjadi fokus penelitian ini. Penelitian inibersifat deskriptif yang menggunakan metode induktif. Penelitian lapangan dilakukan dengan menganalisis beliung persegi dari Kalimantan. Ternyata, beliung persegi Kalimantan lebih banyak digunakan sebagai sosiofak daripada teknofak. A stone adze is a prehistoric artefact that characterized the Neolithic period when human start to live more sedentary and developed technology to support human’s survival. The stone adzes recovered from Kalimantan show a variability of use and distribution in Kalimantan, which was the focus of this research. This is a descriptive research that employed an inductive method. Field research was carried out by analyzing the stone adzes from Kalimantan. Apparently,the Kalimantan stone adzes were used more as sociofacts instead of technofacts.

Page 6 of 16 | Total Record : 153