cover
Contact Name
Vida P.R. Kusmartono
Contact Email
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Editorial Address
Jalan Gotong Royong II, RT 03 RW 06, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Naditira Widya
ISSN : 14100932     EISSN : 25484125     DOI : https://doi.org/10.55981/nw
Naditira Widya aims to be a peer-reviewed platform and a reliable source of information. Scientific papers published consist of research, reviews, studies, and conceptual or theoretical thinking with regard to Indonesian and/or world archaeology and culture. All papers are double-blind reviewed by at least two peer reviewers. Naditira Widya is issued biannually and publishes articles on archaeology and cultural studies, including using anthropological, ethnographic, historical, language, geological, geographical, biological and other relevant approaches.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Arkeologi
Articles 153 Documents
GUA PANNINGE DI MALLAWA, MAROS, SULAWESI SELATAN: KAJIAN TENTANG GUA HUNIAN BERDASARKAN ARTEFAK BATU DAN SISA FAUNA Hasanuddin
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situs Panninge terletak di Desa Batu Pute, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros. Nilai penting situs ini adalah dapat memberi penjelasan tentang gua hunian yang terletak di wilayah pedalaman Sulawesi Selatan. Panninge merupakan situs hunian prasejarah yang ditandai dengan temuan artefak batu dan sisa tulang binatang. Sejumlah temuan tersebutdiperoleh dari penelitian sebelumnya oleh Balai Arkeologi Sulawesi Selatan tahun 2015. Selanjutnya, pada tahun 2016 tim Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas temuan artefak batu dan asosiasinya dengan sisa fauna yang terdepositkan, sehingga dapat diperoleh pemahaman mengenai gua hunian. Metodeyang digunakan adalah survei dan ekskavasi, dilakukan analisis morfologi dan kontekstual terhadap artefak yang ditemukan, serta perbandingan lapisan budaya yang telah diperoleh tahun sebelumnya. Hasil perbandingan menunjukkan bahwalapisan budaya antara kotak S8 T6 dan S30 T9 yang telah diekskavasi tahun 2015 pada bagian pelataran dengan kotak S30 T9 pada bagian dalam gua yang diekskavasi tahun 2016 mempunyai dua lapisan budaya. Lapisan budaya pertama ditemukan mikrolit dan bilah berpunggung. Lapisan kedua adalah lapisan budaya yang tidak ditemukan di bagian pelataran gua. Lapisan ini memiliki temuan serpih dan alat-alat penyerut berukuran besar. Aktivitas manusia dengan adaptasinyadiperoleh dari kesesuaian bahan artefak batu dengan sumber bahan yang tersedia di sekitarnya. Bahan batuan untukmembuat artefak batu terdiri dari batuan gamping, chert, dan vulkanik. Keseluruhan bahan batuan tersebut cukup tersediaterutama di sekitar sungai yang letaknya tidak jauh dari gua. Manusia penghuni Gua Panninge melakukan perburuan hewanterutama binatang yang dapat dikonsumsi seperti babi dan anoa. Panninge site is located at Batu Pute Village, Mallawa District, Maros Regency. The significant value of this site is providing an explanation of occupied caves located in inland area of South Sulawesi. This site is a prehistoric cave that marked by the findings of stone artIfacts and the remains of animal bones. A number of findings were obtained from previous research by Center Archaeology of South Sulawesi in 2015. Furthermore, Archaeology Office of South Sulawesi in 2016 conducted a study that aimed to obtain the variability of stone artifact and its association due to the deposit of fauna remains,so the understanding of occupied caves can be revealed. The methods that used are survey and excavation, morphological and contextual analysis of artifacts found, and comparison of cultural layer that has been obtained in previous year. The comparative results showed that S8 T6 and S30 T9 (excavated in 2015) at the cave terrace, and S30 T9 at inside the cave (excavated in 2016) have two different cultural layers. Microliths and backed blades were found at the first layer, while flakes and big sized of scraper tools were found at the second layer. Human activities due to their adaption derived from the suitability of the stone artifacts with the material source in their environment. The material of stone artifacts are limestones, cherts, and volcanic rocks. The whole material can be found at the river near the caves. The human dwelled at Panningecave had animal hunted activity especially to the animals that can be consumed such as pigs and anoa.
CANDI PLANGGATAN DI KABUPATEN KARANGANYAR, JAWA TENGAH: BANGUNAN SUCI MILIK KAUM RSI Heri Purwanto; Coleta Palupi Titasari
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian terhadap Candi Planggatan belum banyak dilakukan oleh para ahli, maka dari itu dengan hadirnya tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih mengenai sejarah maupun aktivitas manusia masa lalu di Candi Planggatan. Secara administratif Candi Planggatan terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Candi ini tersusun atas tiga teras menghadap ke arah barat. Penelitian ini bertujuan mengungkap unsur apa saja yang menjadi penanda bahwa Candi Planggatan merupakan bangunan suci milik kaum rsi. Guna menjawab permasalahan tersebut metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui dua tahap, yaitu metode pengumpulan dan analisis data. Pengumpulan data meliputi observasi dan kajian pustaka. Analisis yang digunakan ialah kualitatif dengan menggunakan teori simbol. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Candi Planggatan merupakan tempat suci bagi kaumrsi atau pertapa (karsyan) berbentuk mandala kedewaguruan. Rsi yang sangat mungkin sebagai tokoh agama di mandala Planggatan adalah Rama Balanggadawang dan Hyang Pununduh. Lebih lanjut kaumrsi dan pertapa yang tinggal dimandalaPlanggatan rupanya melakukan pemujaan terhadap Siwa dan Ganesa. The research of Planggatan temple is still limited, therefore this paper is expected to contribute the history and activites of the human past in the temple. The temple is located in Berjo Village, Ngargoyoso District, Karanganyar Regency. The temple has three terraces. There two steps of methods are conducted in the study, data collection and analysis. Collecting data are obtain by observation and literature review, and for analyzing is using qualitative with symbol theory. It can be concluded that the Planggatan is a sacred place for the rsi or ascetic (karsyan), in the form of goddess mandala. Rsi who are very likely as the religious figures at the mandala of Planggatan are Rama Balanggadawang and Hyang Pununduh. Theremore, rsi and hermit who lived at the mandala of Planggatan apparently whorshiped to Siwa and Ganesa.
TANDA VISUAL SURYA MAJAPAHIT DALAM RELIEF MASJID SEBAGAI KONSEP KOMUNIKASI VISUAL (Studi Kasus Relief Masjid Mantingan, Jepara, Jawa Tengah) Agus Setiawan; Puri Sulistiyawati; Henry Bastian
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Islam di Nusantara telah mewujud menjadi kesatuan dan kekuatan tersendiri, ketika dihadapkan pada budaya rupa yang secara khas dan unik memiliki kedudukan pengucapan berkesenian. Hal menarik dalam konsep komunikasi visual adalah melihat dari bingkai budaya rupa, yaitu tanda visual Surya Majapahit. Realitas budaya rupa yang terjadi di Jawa walisongo menggunakan budaya rupa sebagai media dakwah. Budaya rupa tersebut dapat dilihat dari perwujudan relief, ornamen, wayang, dan masjid. Seiring perkembangan zaman, kini banyak penambahan ornamen pada bentuk arsitektur masjid, meskipun masih banyak juga yang tetap mempertahankan bentuk ornamen yang merupakan perpaduan antara gaya Islam dan Jawa. Wujud budaya rupa, yaitu lambang Surya Majapahit sebagai lambang Majapahit yang beragama Hindu, dapat dilihat pada Masjid Mantingan, Demak, Kudus, Cirebon, dan Sendangdhuwur Lamongan. Simbol SuryaMajapahit pada Masjid Mantingan menampakan wujud Surya Majapahit dengan bentuk diagram kosmologi dengan delapan sudut sinar matahari yang khas, tetapi simbol tersebut sering juga digambarkan seara abstrak, dan dipadukan dengan berbagai ornamen-ornamen didalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan wujud dan nilai-nilai tradisi dalam lambang Surya Majapahit sebagai tanda visual; dan 2) Mengetahui tanda visual Surya Majapahit dalam relief masjid. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, sehingga penelitian ini menghasilkan data deskriptif berkaitan dengan bentuk budaya rupa yang digunakan sebagai tanda visual dan sarana media dakwah di Nusantara hasil penelitian menunjukkan bahwa relief Masjid Mantingan menggambarkan adanya tanda visual Surya Majapahit dalam bentukmotif utama atau motif yang dianggap penting dikelilingi motif-motif pendukung mengarah pada delapan sudut sinar pancaran. Islam in the Indonesian Archipelago has become a unity and strength of its own when faced with a visual culture that are typical and unique to the position of artistic pronunciation. Interestingly, the concept of visual communication is seeing from visual cultural frame, i.e. visual sign of Surya Majapahit. The reality of the visual occurred in Java, Walisongo used it as a media of da’wah. The visual culture can be seen from the embodiment of relief, ornament, wayang, and mosque. Presently, there are a lot of additional ornaments on the architectural form of mosque, although there are many of it still maintained the form of ornament which is a blend of Islamic style and Java. The form of visual culture, Surya Majapahit as the symbol of Majapahit Kingdom of Hindu, can be seen in some mosques, such as Mantingan, Demak, Kudus, Cirebon, and Sendangdhuwur Lamongan. Surya Majapahit at Mantingan Mosque shows the shape of a cosmological diagram witheight distinct sunlight angles, but the symbol is often also depicted abstractly, and combined with various ornaments in it. This research aims to describe the form and values of tradition in the symbol of Surya Majapahit as a visual sign; and to revealthe visual sign of Surya Majapahit in mosque relief. The method used in this research is a qualitative method, so thisresearch produces descriptive data related to the form of visual culture which is used as visual sign and medium of da’wahin Indonesia. The result shows that the relief at Mantingan mosque describes the visual presence of Surya Majapahit in theform of main motif or important motif that surrounded by supporting motifs lead to eight angles of radiance.
STUDI PERBANDINGAN MOTIF HIAS PRASEJARAH DI PULAU SERAM MALUKU TENGAH, INDONESIA Lucas Wattimena
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini memberikan gambaran tentang perbandingan motif hias prasejarah yang terdapat pada arsitektur di wilayah Pulau Seram Maluku Tengah. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana bentuk dan keletakan motif-motif hias tersebut pada rumah di wilayah Seram bagian Selatan dan Seram Bagian Utara. Kawasan Maluku Tengah dipilih dalam pembahasan ini, karena memiliki dua alasan penting, yaitu secara geografis Pulau Seram (Maluku Tengah) merupakan salah satu Pulau Besar yang membentang secara horizontal di garis wallacea; dan lokasi penelitian yang dibahas tidak mengenal atau memiliki tradisi megalitik. Tujuan penelitian kiranya dapat memberikan informasi penting bagi penelitian arkeologi di Maluku. Metode penelitian menggunakan pendekatan etnoarkeologi, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan motif hias arsitektur di Seram Utara lebih banyak ditemukan pada tiang-tiang kayu penyangga rumah panggung dan anak tangga, sedangkan pada arsitektur diSeram Selatan lebih banyak ditemukan motif hias pada dinding, pintu, ruang tamu, tiang, dan digantung. Motif-motif hiasarsitektur tersebut pun variatif seperti, motif binatang, geometris, antropormorfik, dan manusia. Jenis-jenis motif hias tersebutuntuk wilayah Seram Utara lebih didominasi oleh motif geometris dan antropormorfik, sedangkan Seram Selatan lebih didominasi oleh motif binatang, geometris, dan antropormorfik. This paper provides an overview of the comparison of prehistoric ornamental motifs found on architecture in thearea of Seram Island in Central Moluccas. The problems in this paper is how the shape and llocation of decorative motifsat traditional houses in the Island of South Seram and North Seram. The Central Moluccas region is chosen because of twoimportant reasons. Firstly, Seram Island (Central Moluccas) is the big island that stretches horizontally in the Wallacea line.Secondly, the sites did not recognize or have megalithic traditions. The study aims to provide important information ofarchaeology in Moluccas. Research method is using ethnoarchaeology approach, data are collected by observation technique and literature study. The results show that the comparison of decorative motifs of architecture in North Seram is more commonly found on the supporting wooden poles and stair of houses, while in South Seram, ornamental motifs aremore found on walls, doors, living room, pole, and some of ornament are hung. Architectural motifs are also varied, such asanimal motifs, geometric, anthropormorphic, and human. The type of decorative motifs for the North Seram region is dominated by geometric and anthropormorphic, while South Seram is more dominated by animal motifs, geometric, and anthropormorphic.
SARKOFAGUS DAN RITUAL SEDEKA ORONG DI SITUS AI RENUNG, SUMBAWA Retno Handini
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situs Ai Renung merupakan situs kompleks megalitik di Desa Batu Tering, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang terbagi menjadi lima situs, yakni Ai Renung 1, 2 3, 4, dan 5, dengan temuan utama berupa sarkofagus. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bentuk dan ornamen sarkofagus di situs Ai Renung serta ritual yang dilakukan masyarakat Batu Tering yang memanfaatkan keberadaan sarkofagus tersebut. Permasalahan dalam penelitianini adalah bagaimana sarkofagus dari masa lalu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar situs Ai Renung sebagaimedia ritual pemujaan leluhur. Metode yang digunakan adalah observasi atau pengamatan langsung dan wawancaramendalam dengan informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa situs Ai Renung merupakan wilayah yang dianggapsakral, terutama di situs Ai Renung 2 sebagai lokasi ritual sedeka orong. Sarkofagus Ai Renung memiliki kekhasan dari segi bentuk dan teknologi pahatan, yaitu berupa manusia kangkang dan buaya yang dipahatkan hampir di seluruh permukaan batuan. Ai Renung is a megalithic complex site at Batu Tering Village, Moyo Hulu District, Sumbawa regency, West Nusa Tenggara, which is divided into five sites, namely Ai Renung 1, 2, 3, 4, and 5, whith the main findings are sarcophagi. The research is aimed to reveal shapes and ornaments of sarcophagi at Ai Renung 2, as well as a ritual performed by the Batu Tering inhabitants that involves the sarcophagi. The problem in this research is how sarchopagi of the past have beenexploitating by the society aound the site as a ritual medium of ancestor worship. The methods here are direct observationand in-depth interviews with some informants. The result shows that Ai Renung site is a sacred place, particularly Ai Renung 2, where sedeka orong rituals are performed. The Ai Renung sarcophagi have unique of shape and carving technology in the form of human figures with wide-opened legs and crocodile-shaped which are carved all over the sarcophagi's stone surface.
SUNGAI BARITO DALAM PERSEBARAN SUKU DAYAK DI KALIMANTAN BAGIAN TENGGARA Hartatik
Naditira Widya Vol. 11 No. 2 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 2 Oktober Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sungai Barito merupakan sungai besar yang berhulu di Pegunungan Schwaner Muller di bagian utara Kalimantan Tengah dan bermuara di Banjarmasin menuju Laut Jawa. Sebagai sungai terlebar di Indonesia, Barito terkenal sejak ratusan tahun silam hingga kini. Berbagai mitos dan legenda tercipta di sekitar aliran sungai ini. Situs-situs kuno tersebar dari hilir hingga hulu sungai, seperti situs Kerajaan Banjar di Banjarmasin, situs Patih Muhur di Batola, dan permukiman suku Dayak di bagian tengah hingga hulu Sungai Barito. Artikel ini akan membahas tentang keberadaan Sungai Barito (dan anak sungainya) kaitannya dengan persebaran suku Dayak di Kalimantan bagian tenggara. Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui persebaran suku Dayak berdasar persebaran data arkeologi, sejarah, dan tradisi di sepanjang Sungai Barito dan anak-anak sungainya di bagian tenggara Kalimantan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan penalaran induktif. Data diperoleh dari berbagai sumber terutama hasil penelitian Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dan studi pustaka. Keberadaan sungai berpengaruh pada konsep religi dan bentuk pola hunian. Dalam konsep religi, Sungai Barito sering disebut dalam mantrabalian sebagai tempat tinggal pidara. Dari hasil analisis pemanfaatan ruang dan persebaran hunian diketahui pola hunian yang cenderung mengelompok tidak jauh dari sungai, meskipun ada juga yang memanjang di tepi sungai. Persebaran suku Dayak di Kalimantan bagian tenggara dimungkinkan melalui Sungai Barito dan anak-anak sungainya, seperti Sungai Negara dan Martapura. Barito River is a large river which disembogues at Schwaner Muller Mountains in the northern part of Central Kalimantan, and empties in Banjarmasin towards Java Sea. As the widest river in Indonesia, Barito is famous since hundreds of years ago to the present. Various myths and legends had been created around this river. The ancient sitesscattered from downstream to upstream, such as Banjar Kingdom in Banjarmasin, Patih Muhur in Batola, and settlement of Dayak tribe along the middle to upper Barito River. This article discusses about the existence of Barito River (and its tributaries) and its connection with the Dayak dispersal in southeastern part of Kalimantan. The purpose of this paper is to determine the distribution of the Dayak based on archaeological data distribution, historical data, and tradition along the Barito River and its tributaries in the southeastern part of Kalimantan. The method used is descriptive with inductive reasoning. Data obtained from various sources specially from Balai Arkeologi Kalimantan Selatan research reports, and literature study. The river existence has affected of religion concept and occupancy patterns. In the religion concept, the Barito River often called in the balian spell as a residence of pidara. The results of spatial analysis and settlement spread is that patterns of occupancy is near the river as a cluster, although there is also linear pattern along the riverbank. Thedispersal of Dayak in the southeastern part of Kalimantan is possible through of the Barito River and its tributaries, such as the Negara River and Martapura River.
SISTEM SETTING OKUPASI MANUSIA KALA PLEISTOSEN - AWAL HOLOSEN DI KAWASAN GUNUNGKIDUL Indah Asikin Nurani
Naditira Widya Vol. 11 No. 1 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 1 April Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kawasan Gunung Sewu tidak diragukan lagi menyimpan tinggalan budaya yang berkesinambungan utamanya masa prasejarah. Beberapa arkeolog menyebut kawasan Gunung Sewu sebagai metropolitan prasejarah. Hal tersebut didasarkan pada budaya sejak paleolitik sampai dengan neolitik – megalitik tersebar luas tanpa putus di kawasan ini. Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten yang termasuk dalam kawasan Gunung Sewu juga menunjukkan potensi arkeologis yang tinggi dan berkesinambungan. Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana setting okupasi yang berlangsung di Gunungkidul? Tulisan ini bertujuan untuk menjabarkan potensi arkeologis secara ruang dan waktu dalam sistem setting yang berlangsung khususnya kala Pleistosen ke awal Holosen. Penelitian ini juga mengidentifikasi daerah yang dimanfaatkan sebagai pusat aktivitas dan sebagai sumber bahan baku, pergeseran ruang dalam kurun waktu berikutnya, dan faktor yang menyebabkan terjadinya setting okupasi. Diharapkan tulisan ini akan memberikan kontribusi dalam pelestarian setting okupasi budaya kala Pleistosen-awal Holosen kawasan Gunungkidul. Metode yang digunakan adalah deskriptifanalitik, sehingga akan terjabarkan setting okupasi secara ruang dan secara holistik. Hasil penelusuran Sungai Oyo dan gua hunian di Gunungkidul memberikan informasi perkembangan budaya dari aspek ruang dan waktu. It is widely known that Gunung Sewu area has a high potential of cultural continuity during the prehistoric times. Based on its cultural remains that spread from the Palaeolithic to the Neolithic-Megalithic, Gunung Sewu, by some archaeologists, is called as the prehistoric metropolitan area. As a part of Gunung Sewu, Gunungkidul district shares the same traits regarding their potential and continuous culture from Palaeolithic to Neolithic. The holistic background of the human occupation in Gunungkidul during those periods, however, has not thoroughly researched yet. Therefore, theresearch problem for this study is to answer the following question: what is the setting system of human occupation in Gunungkidul? This study attempts to describe the archaeological potentcy by using the frame of space and time in thesetting system that took place during Pleistocene to Early Holocene. This study also identifies which area was used as center of activities or as sources of raw materials, to determine if there was a shift of function over time, and to describe the factorsbehind the setting system of human occupation. Moreover, this study is expected to give a good contribution to the preservation of Pleistocene - Early Holocene sites in Gunungkidul. The method for this study is descriptive analysis for givinga thorough explanation about the human occupation. In Gunungkidul, survey on the Oyo River and caves have revealed valuable information of cultural development in both, space and time frames.
ARTEFAK EMAS CANDI BUDDHA SINTONG: HUBUNGAN FUNGSI DAN KELETAKANNYA Eka Asih Putrina Taim
Naditira Widya Vol. 11 No. 1 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 1 April Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Candi Sintong adalah candi yang terletak di wilayah muara Sungai Rokan, yang secara administratif termasuk wilayah Desa Sintong, Kecamatan Tanah putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Penelitian bersama antara Bidang Sejarah dan Purbakala Pemda TK I Provinsi Riau dan Pusat Arkeologi Nasional, melalui ekskavasi pada tahun 2007 dan 2010 menemukan seperangkat artefak berbahan emas. Temuan tersebut menarik, baik dari segi bentuk maupun keletakannya. Tulisan ini membahas temuan emas tersebut dari segi bentuk dan keletakannya, untuk mengetahui fungsi dan peranan temuan dalam kesejarahan situs Candi Sintong. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan analisis arkeologi ruang, baik dalam skala mikro maupun semi makro. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara keletakan temuan emas dengan fungsi, dan kedudukannya berdasarkan konsep ritual Buddha, seperti yang disebutkan dalam kitab suci agama Buddha. Sintong temple is located in the Rokan River estuary which is administratively included in Sintong Village, Tanah Putih Subdistrict, Rokan Hilir Regency, Riau Province. Joint research between History and Antiquities Affairs of Riau province and the National Archaeological Center has found a set of gold findings as results of excavations in 2007 and 2010. Gold is quite interesting in terms of both, form and position. This paper discusses the gold findings in order to recognize itsfunction and role in the history of Sintong temple.The method used is qualitatif with spatial archaeological analysis, in bothmicro and semi macro scales. The result shows correlation between location and function of the artifacts in ritual concepts,as it is said in the Buddhist holy book.
PENEMPATAN BANGUNAN CANDI TINGKIP, LESUNG BATU, DAN BINGIN JUNGUT PADA BENTANG LAHAN FLUVIAL MUSI RAWAS PROVINSI SUMATRA SELATAN Sondang M. Siregar; M. Edi Armanto; L.R. Retno Susanti
Naditira Widya Vol. 11 No. 1 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 1 April Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keberadaan bangunan Candi Tingkip, Lesung Batu, dan Bingin Jungut menunjukkan adanya sisa peradabanHindu-Buddha di Daerah Musi Rawas. Daerah Musi Rawas memiliki bentang lahan fluvial dari hulu Sungai Musi sampaidengan hulu Sungai Rawas. Pada wilayah tersebut manusia berusaha berinteraksi dengan alam tidak hanya untuk bertahanhidup tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ritualnya. Masyarakat pada masa lalu telah beradaptasi dengan lingkungan dengan mempertimbangkan lingkungan fisik dalam mendirikan bangunan candi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk adaptasi manusia pendukung bangunan candi, yaitu keletakan bangunan Candi Tingkip, Lesung Batu, dan Bingin Jungut pada bentang lahannya dan mengetahui hubungan penempatan bangunan candi dengan tanah dan batuan. Metode yang dipakai adalah metode kualitatif dengan analisis ruang sebaran bangunan candi dengan lingkungan fisiknya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa bentuk adaptasi manusia pendukung Candi Tingkip, Lesung Batu, dan Bingin Jungut adalah menempatkan bangunan candi pada lahan yang berdekatan dengan sumber air, mendirikan bangunan candi di atas tanahlempung dan memilih lokasi candi yang menyediakan material bangunan candi. The existence of Tingkip, Lesung Batu and Bingin Jungut temples show the remain of the Hinduism-Buddhism civilization in Musi Rawas region. The region has fluvial landscape from downstream to upstream Rawas River. Local people in the past had interacted with nature not only to survived but also perfomed religious activity. They had adapted how to build temples by considering the physical environment. This research purposes to know the form adaptation in the past, which arerelated to the landscape of temples location and the placement of temple building with soil and rock. The method used is qualitative with spatial analysis of physical environment of temples. The results show that adaptation form the past people in Tingkip, Lesung Batu and Bingin Jungut had placed the temples building on the land that near the water source on the clay soil, and choosed the locations that provided the materials.
PRASASTI RAJA SORITAON DAN LATAR BELAKANG PENULISANNYA Churmatin Nasoichah
Naditira Widya Vol. 11 No. 1 (2017): Naditira Widya Volume 11 Nomor 1 April Tahun 2017
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Banyak prasasti di Indonesia, masih harus diteliti dengan seksama karena sekalipun sudah dibaca dan diterbitkan, tetapi masih dalam bentuk alih aksara dan alih bahasa, seperti Prasasti Raja Soritaon. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui Prasasti Raja Soritaon dan latar belakang penulisannya. Penelitian ini menggunakan penalaran induktif, dengan mengumpulkan fakta yang dianalisis dengan pendekatan kritik teks, hasilnya digunakan untuk membantu membuat interpretasidan kesimpulan. Prasasti Raja Soritaon berbahan batu, dibuat dengan cara dipahat, dan bentuknya pipih persegi. Prasasti ini dituliskan menggunakan aksara dan bahasa Batak Angkola. Inskripsi berada di makam Batak kuno, makam pendiri huta/kampung yang bernama Raja Soritaon, dan prasasti tersebut berfungsi sebagai penanda kubur. Isi prasasti menggambarkan Raja Soritaon sebagai sosok orang kaya, pendiri kampung Padang Bujur, orang yang dituakan dan dihormati, serta orang yang dapat memutuskan segala permasalahan tanpa bisa diganggu gugat. Many of inscriptions in Indonesia still need to be carefully examined, though many of it have been read and published, but still in the form of transcription and translation, such as Raja Soritaon inscription. This paper purposes todescribe Raja Soritaon inscription and its writing background. The study was done through inductive reasoning by fact collecting, then the data are analyzed by text-critical approach to sum up interpretation and conclusion. The inscription is from stone, made by chiseled, and has flat square shape. This inscription is written using Angkola Batak script and language, at the Bataknese ancient tomb of huta (village) founder, namely Raja Soritaon, and the inscription was served as a tomb marker. The inscription portrayed Raja Soritaon as a rich man, the founder of Padang Bujur village, respected elder person, and one who can decide all the problems without inviolable.

Page 8 of 16 | Total Record : 153