Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Mekanisme Perubahan Apbk Kota Subulussalam Tahun 2018 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Rispalman Rispalman; Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.809 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v5i1.7267

Abstract

Sebagai Negara yang berdaulat Indonesia adalah Negara kesatuan yang dimana pemerintah pusat menyerahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. Aceh sebagai daerah istimewa melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 42 Ayat (1) Butir D tertulis “menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada DPRA dan APBK kepada DPRK untuk dibahas, disetujui, dan ditetapkan bersama” hal ini menjadi suatu permasalahan di kota subulussalam karena pengimplementasian Pasal 42 Ayat (1) Butir D tersebut tidak ada dilaksanakan di kota subulussalam. Terkait dengan kasus yang terjadi dalam tahun anggaran 2018 yaitu Perubahan APBK yang terjadi tiga kali dalam satu tahun. Penelitian ini di format untuk menjawab permasalahan sebagai tujuan penelitiannya yaitu bagaimana perubahan APBK kota subulussalam yang dilaksanakan oleh Walikota. Bagaimana perubahan APBK kota subulussalam di tinjau dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan metode Normatif Yuridis. Dari hasil penelitian yang penulis teliti bahwa proses Penganggaran APBK kota Subulussalam sudah sesuai dengan proses penganggaran dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merujuk kepada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun setelah sidang paripurna bersama DPRK, tiba-tiba Walikota kembali mengeluarkan perubahan APBK tampa sepengetahuan dan persetujuan DPRK. hal tersebut tentu menyalahi aturan, sehingga mengakibatkan keputusan perubahan APBK tersebut tidak sah.
Penyelesaian Tindak Pidana Pencurian Melalui Lembaga Kenoe Bo Adat di Gampong Kampung Paya Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan Rispalman Rispalman; Iklima Rita
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.322 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v4i1.5962

Abstract

Keberadaan lembaga kenoe bo adat di dalam masyarakat adat Gampong Kampung Paya tidak bisa di pisahkan lagi dan sudah mendarah daging dalam diri masyarakat Gampong kampung Paya, dalam halnya menyelesaikan dan memutuskan perkara. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana proses penyelesaian perkara pencurian melalui lembaga kenoe bo adat di Gampong kampung Paya, serta bagaimana pandangan hukum Islam terhadap proses penyelesaian pencurian melalui lembaga kenoe bo adat. Skripsi ini mengunakan metode deskriptif analisis yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk menguraikan apa yang sedang terjadi, kemudian di analisis untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan yang ada. Jenis penelitian yang digunakan adalah lapangan (fiel research), dengan mengumpulkan data-data yang ada dilapangan berdasarkan wawancara penulis melalui informasi, selanjutnya mengunakan penelitian pustaka (library research). Kesimpulan yang dapat diambil adalah lembaga kenoe bo adat dalam menyelesaikan perkara tindak pidana pencurian yaitu penyelesaiannya menggunakan alat bukti berupa sumpah sedangkan dalam hukum Islam penyelesaiannya memerlukan alat bukti yang khusus membuktikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan pencurian tersebut, adapun alat buktinya yaitu sumpah, petunjuk, saksi dan pengakuan. Jadi, perbedaannya terletak pada proses penyelesaian pembuktiannya  yang mana lembaga kenoe bo adat cukup dengan sumpah sedangkan hukum Islam memerlukan alat bukti lainnya. Namum persamaan antara keduannya memiliki tujuan yang sama yaitu ingin membuat pelaku jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain sebagai pencegahan, serta terwujudnya keamanan, kedamaian, ketentraman dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Persepsi Masyarakat Kecamatan Terangun Kab. Gayo Lues Terhadap Tanggung Jawab Nafkah Bagi Pasangan Pisah Rumah Ali Abubakar; Rispalman Rispalman; Nurbaiti Baiti
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 1 (2021): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i1.8565

Abstract

Nafkah merupakan salah satu bagian pondasi tegaknya hubungan rumah tangga yang baik. Kewajiban nafkah ini dibebankan kepada suami terhadap isteri. Suami dalam keadaan bagaimanapun wajib memenuhi hak nafkah isterinya. Kewajiban nafkah tersebut akan putus ketika hubungan keduanya benar-benar putus. Dalam beberapa kasus, ditemukan suami yang tidak menunaikan kewajibannya terhadap isteri karena pisah rumah, hal ini seperti terjadi di Kecamatan Terangun Kab Gayo Lues. Untuk itu, yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana persepsi masyarakat terhadap tanggung jawab nafkah pasangan pisah rumah di Kecamatan Terangun Kabupaten Gayo Lues, dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tanggung jawab nafkah pasangan pisah rumah pada masyarakat Kecamatan Terangun Kabupaten Gayo Lues. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, adapun jenis penelitian ini adalah analisis-deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap tanggung jawab nafkah bagi pasangan pisah rumah di Kecamatan Terangun ialah suami masih tetap bertanggung jawab atas nafkah isteri. Sejauh pernikahan mereka belum putus, sejauh itu pula suami wajib di dalam memenuhi nafkah isteri. Kasus pasangan pisah rumah di Kecamatan terangun Kabupaten Gayo Lues dipengaruhi oleh faktor suami berpoligami, tidak mendapatkan restu dari istri, suami melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), keuangan atau faktor ekonomi keluarga, nikah muda, atau selingkuh, pertengkaran dan suami kasar, poligami, dan juga pasangan muda. Kasus-kasus pasangan pisah rumah di Kecamatan Terangun Kabupaten Gayo Lues menunjukkan bukan karena kesalahan isteri, namun kesalahan suami. Kondisi tersebut tidak merubah kedudukan suami sebagai pihak yang masih bertanggung jawab penuh terhadap nafkah isterinya. Oleh sebab itu, suami yang tidak menunaikan tanggung jawab nafkah sebagaimana terjadi di dalam masyarakat Kecamatan Terangun cenderung tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hukum Islam.
Pengabaian Nafkah dalam Proses Perceraian di Kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah Jamhuri Ungel; Rispalman Rispalman; Taufiq Hidayat
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 3, No 2 (2020): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v3i2.7678

Abstract

Penelitian ini dilatar belakangi oleh sebuah permasalahan rumah tangga dimana suami tidak menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada istri selama proses perceraian berlangsung hingga istri terhalang untuk mendapatkan hak yang semestinya diterimanya. Seharusnya, nafkah harus terus diberikan oleh suami kepada istrinya hingga resmi putusnya perceraian di depan Pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan pokok, yaitu apa saja yang menjadi faktor pengabaian nafkah dalam proses perceraian dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pengabaian nafkah dalam proeses perceraian. Untuk memperoleh jawaban dari persoalan tersebut, Peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research), dengan pendekatan kualitatif dan dianalisis menggunakan analisis deskriftif. Berdasarkan kajian dan penelaahan yang peneliti lakukan, setidaknya ada 5 faktor yang menjadi penyebab terjadinya pengabaian nafkah dalam proses perceraian, diantaranya adalah faktor kurangnnya pemahaman agama, faktor kurangnya tanggung jawab suami terhadap istri, faktor ekonomi, faktor tidak ada keserasian antara suami istri dan faktor kejenuhan antara suami istri. Hukum Islam memandang bahwa semua faktor yang menjadi alasan pengabaian nafkah dalam proses perceraian tidaklah dibenarkan. Perihal ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah karena faktor ekonomi menjadi sebuah pengecualian karena tidak dibebankan kepada seseorang sebuah kewajiban melainkan atas kesanggupannya. Suami yang tidak memberikan nafkah selama masa perceraian dapat menjadi hutang baginya dan harus dibayarkan. Namun apabila istri merelakan hutang tersebut tidak dibayarkan oleh suaminya, maka suaminya terbebas dari hutang.
Kedudukan Wali Nanggroe di Pemerintahan Aceh Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Lembaga Wali Nanggroe Aulia Rahma; Jamhuri Ungel; Rispalman Rispalman
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v7i2.15607

Abstract

AbstrackLembaga Wali Nanggroe was formed with its function as a unifying forum for Aceh people. Undang-undang Pemerintah Aceh No 11 Tahun 2006 explains the existence to acknowledge this institution. Lembaga Wali Nanggroe is a non-governmental institution which means it is neither an executive nor a legislative body. The authority stated in Undang Undang No 10 Tahun 2019 also includes executive and legislative branches so that the position of Lembaga Wali Nanggroe in the Aceh government is questionable. This study uses legal research methods. The position of the Wali Nanggroe in Indonesian government is limited to a costumary issues, Lembaga Wali Nanggroe is not allowed to take care of non customary issues such as politics. The authority of the Wali Nanggroe in the Aceh governance system is a customary institution that takes care of all Acehnese customary and specific interests, including providing input to the Aceh government because state life ini Aceh is inseparable from customary issues, including land, mining, accelerating development and related matters with the community that included in adat so Lembaga Wali Nanggroe takes care of the problem as parts of its authority.Keywords : Position, Lembaga Wali Nanggroe, Authority AbstrakLembaga Wali Nanggroe dibentuk dengan fungsinya sebagai wadah pemersatu masyarakat Aceh. Untuk mengakui keberadaan lembaga wali nanggore ini maka Undang- undang Pemerintah Aceh No 11 Tahun 2006 menjelaskan keberadaan lembaga ini. Lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga non pemerintahan yang berarti bukan lembaga eksekutif maupun legislatif. Tapi kewenangannya yang disebutkan dalam UU No.10 Tahun 2019 juga mencakup kewenangan pihak eksekutif dan legislatif, sehingga sehingga yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana kedudukan lembaga wali nanggroe di pemerintahan Aceh? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative. Kedudukan Wali Nanggroe dalam pemerintahan Indonesia hanya sebatas lembaga adat yang mengurus permasalahan adat istiadat sehingga lembaga wali nanggroe tidak dibenarkan mengurus selain yang bukan masalah adat seperti politik. Kewenangan Wali Nanggroe dalam sistem pemerintahan Aceh adalah lembaga adat yang mengurus segala kepentingan adat dan kekhususan Aceh, termasuk memberi masukan kepada pemerintah Aceh karena kehidupan bernegara di Aceh tidak terlepas dari permasalahan adat, termasuk pertanahan, pertambangan, dan percepatan pembangunan dan hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, itu dimasukkan dalam adat sehingga lembaga wali nanggroe mengurus permasalahan itu sebagai suatu kewenangannya.Kata kunci: Kedudukan, Lembaga Wali Nanggoe, Kewenangan.
Faktor Penyebab Isteri Tidak Memenuhi Kewajiban Terhadap Suami Dalam Rumah Tangga EMK Alidar; Rispalman Rispalman; Riska Maisarah
El-Hadhanah : Indonesian Journal Of Family Law And Islamic Law Vol 2 No 2 (2022): El-Hadhanah: Indonesian Journal of Family Law and Islamic Law
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.774 KB) | DOI: 10.22373/hadhanah.v2i2.1697

Abstract

All couples expect a harmonious family or sakinah mawadah warahmah. Ideally to create a household that is sakinah mawadah and warohmah needed a uniform understanding of the rights and obligations between husband and wife. Husband and wife must always carry out their respective obligations in the household. But differently what happened in Syiah Kuala Subdistrict is that the wife did not fulfill her obligations to her husband in the household. In Islamic law, wives should carry out their obligations to serve their husbands, but what happens in Syiah Kuala Subdistrict is that many wives neglect their obligations. This kind of wife is called nusyuz. The problem that wants to be examined in this study is the first, whether the factors that cause the wife not to fulfill the obligation to the husband in the household in Syiah Kuala Subdistrict, the second, how is the impact and legal consequences for wives who do not fulfill their obligations to husbands in the household in Syiah Kuala Subdistrict. This research uses a case approach (Case Approach) which is to examine cases related to issues in the field. The results in this study do not meanthat the factors that cause the wife not to fulfill her obligations to the husband in Syiah Kuala subdistrict are economic pressure factors, career factors, harmony factors of spousal relationships, and domestic violence factors. As for the impact that occurs in the field for wives who nusyuz ini is, there is commotion or domestic violence (Domestic Violence), Infidelity, Hated and not dipeayaihusband, and divorce. Then in Islam the legal consequences for the wife who does not fulfill the obligations to her husband ialah become a wife who disobeys or nusyuz towards the husband. In addition, wives like this also do not deserve aliving from the husband.
PRAKTIK PENYALURAN ZAKAT SECARA LANGSUNG Erni Yusfa; Armidi Armidi; Rispalman Rispalman
Al-Iqtishadiah: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Vol 1 No 2 (2020): Jurnal Al-Iqtishadiah
Publisher : Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.195 KB) | DOI: 10.22373/iqtishadiah.v1i2.1403

Abstract

Upaya Pemerintah Kota Banda Aceh dalam Melindungi Anak Penyandang Disabilitas (Banda Aceh City Government's Efforts to Protect Children with Disabilities) Rispalman Rispalman; Iman Islami
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (312.473 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v3i2.4940

Abstract

Children with disabilities are vulnerable to poor treatment and the growth will be very difficult in a community environment. Therefore, it must be a child with a disability given the attention of the local government to provide protection for the child's disability. This research is categorized as field research Research) and Library Research, is a type of qualitative research. The results of this research show, based on data obtained from the social service city of Banda Aceh, currently the city of Banda Aceh there are 467 children with disabilities with the category of 7 types of disabilities, of the 7 types of disability that most of the levels are Tuna Runggu and Tuna. In the management of children with disabilities, the Government of Banda Aceh carried out several activities in terms of social assistance fund Rp. 4 million (four million rupiahs) per year, the establishment of a disabled child Family Communication Forum (FKKADK) and the provision of disability aids for children with disabilities according to their degree of disability. The efforts of the activities undertaken by the Government of Banda Aceh are in accordance with the provisions of article 8 of the Candy PPPA number 4 year 2017 about special protection for children with disabilities who said that the implementation of special protection for children with disabilities in the form of activities to be a reference for the area in drafting the action plan is adjusted to the condition, the situation, needs, and capabilities of the area and with the appropriate implementation on the article with article 90 of law number 8 year 2016 social rehabilitation, social protection, social empowerment, and social security. In the implementation of child protection with disabilities in Banda Aceh in accordance with the provisions of Islamic law relating to maqasid sharia.
PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BANDA ACEH NOMOR : 33/G/2019/PTUN-BNA GUGATAN TERHADAP BUPATI ACEH BARAT DAYA DITINJAU DARI UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA Yasir Arafat Yun; Rispalman; Nahara Eriyanti
As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara Vol 1 No 1 (2022): September As-Siyadah : Jurnal Politik dan Hukum Tata Negara
Publisher : Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (560.74 KB)

Abstract

Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu negara hukum itu terdapat aturan-aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam hukum tata negara. Pada perkara Nomor 33/G/2019/PTUN.BNA, antara Darwis. B, Spd melawan Bupati Aceh Barat Daya terhadap kasus pemberhentian jabatan sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS). Dalam perkara ini majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya. Dari uraian permasalahan tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti ”Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Banda Aceh Nomor : 33/G/2019/PTUN.BNA gugatan terhadap Bupati Aceh Bara Daya ditinjau dari Undang Undang Nomor 5 tahun 2014 dalam bentuk Skripsi”. Rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana mekanisme pelaksanaan putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum tetap dan putusan pengadilan tata usaha negara ditinjau dari pertimbangan hakim dan undang undang nomor 5 tahun 2014?”. Penelitian ini mengunakan pendekatan yuridis normatif metode penelitian kualitatif, yaitu jenis suatu penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Ditinjau dari Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dimana hakim telah membuat putusan yang sesuai dengan Undang undang dengan berbagai pertimbangan sehingga aparatur sipil negara yang dapat diberhentikan dengan tidak hormat berdasarkan ketentuan pasal 87 ayat (4) UU Nomor 5 Tahun 2014 dan ketentuan pasal 250 huruf b PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang menajemen Pegawai Negeri Sipil yaitu hanya ASN yang menduduki jabatan berdasarkan ketentuan pasal 13 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatul Sipil Negara.
Polygamy in the Perspective of Tafsīr Al-Aḥkām and Islamic Law: An Examination of the Gayo Luwes Community in Aceh, Indonesia Nasaiy Aziz; Rispalman Rispalman; Tika Anggraini
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 7, No 3 (2023)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v7i3.20021

Abstract

The law on marriage, adheres to the principle of monogamy, but in other parts, it is stated that under certain circumstances polygamy is justified. The main problem studied was the practice of polygamy without the permission of wives in Gayo Lues Regency, Aceh. This study employs empirical legal methodologies and applies theoretical frameworks grounded on Islamic law, specifically utilizing the approach of tafsīr al-aḥkām. The collection of data was conducted through the utilization of in-depth interviews and a comprehensive review of relevant literature. The findings of the study revealed significant variations in the occurrence of non-consensual polygamy in Pantan Weather subdistrict, Gayo Regency. Polygamy entails both bad and positive consequences, with the former outweighing the latter in terms of quantity. The adverse consequences encompass spousal inequity, the disregard for the rights of women and children, the proliferation of animosity among spouses, and the erosion of familial bonds. In contrast, the potential benefits of engaging in polygamy primarily revolve around the avoidance of immoral behavior, specifically adultery, and the facilitation of subsequent marriages. By entering into multiple marriages without the explicit consent of one's spouse, an individual may perceive certain advantages, such as the acquisition of desirable outcomes. Conversely, the fear of experiencing negative consequences, such as infidelity, may serve as a motivating factor for individuals to pursue polygamous relationships. Moreover, as posited by scholars of interpretation, both ancient and contemporary, the fundamental principle of marriage in Islamic jurisprudence is monogamy. However, if an individual engages in polygamy, it is imperative to uphold principles of justice, responsibility, and the preservation of familial harmony and tranquility. This study contributes to the understanding that polygamy may be considered as a viable option in exceptional circumstances, but only under the condition that it is practiced with fairness and equity by specific individuals.