Claim Missing Document
Check
Articles

Penatalaksanaan Trauma Tembus Leher Akibat Luka Sayat Rahman, Sukri; ., Novialdi
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine Andalas University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pendahuluan :Trauma tembus leher merupakan keadaan gawat darurat yang bersifat mengancam nyawa karena dapat menyebabkan cedera terhadap struktur-struktur vital di leher seperti jalan nafas, pembuluh darah besar, esofagus dan saraf.Sebagian besar penyebab luka tembus leher adalah luka tembak diikuti luka tusuk/ sayat. Trauma ini memerlukan penanganan yang segera. Keberhasilan penatalaksanaan trauma tembus leher bergantung pada waktu mulai mendapat pertolongan, ketepatan diagnosis dan ketepatan penanganan. Tujuan : Laporan kasus ini diajukan untuk memberikan gambaran penatalaksanaan pada kasus trauma tembus leher akibat luka sayat. Kasus :Dilaporkan satu kasus luka tembus leher pada seorang laki-laki umur 15 tahun akibat luka sayat (digorok). Penatalaksanaan : Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan keadaan gawat darurat dan eksplorasi segera terhadap luka.Kesimpulan:Keberhasilan penatalaksanaan trauma tembus leher bergantung pada waktu mulai mendapat pertolongan, ketepatan diagnosis dan ketepatan penatalaksanaan. Kata kunci: trauma tembus leher, penatalaksanaan, luka sayat leher (gorok) Abstract Introduction: Penetrating neck trauma is life threatening emergency because of the potential injury to vital structures of the neck such as the air passages, major vascular vessels, esophagus and neurological structures. The majority of penetrating neck trauma is presenting as result from gunshot followed by stab wound.Penetrating neck traumas require emergency treatment. Successful management of penetrating neck trauma depends on prompt recognition of injury, appropriate diagnosis and proper treatment.Purpose :This case reportpresentedto give an overviewon themanagement ofpenetratingnecktraumadue tocuts. Case :A case of 15 years old man with penetratingneck trauma due to cut throat is presented. Case Management :This case was managed with emergency resuscitation and immediate neck exploration. Conclusion :Successful management of penetrating neck trauma depends on prompt recognition of injury, appropriate diagnosis and proper management. Keywords:penetrating neck trauma, management ,cut throat
Ekstraksi benda asing gigi palsu di esofagus dengan esofagotomi servikal Cahyono, Arie; Hermani, Bambang; Hadjat, Fachri; Rahman, Sukri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 42, No 1 (2012): Volume 42, No. 1 January - June 2012
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (340.986 KB) | DOI: 10.32637/orli.v42i1.36

Abstract

Background: Foreign body in the esophagus should be removed as soon as possible under optimal conditions to prevent complications. Esophagoscopy is a safe and effective procedure for foreign bodies removal in most cases, but in some cases esophagoscopy could not be performed or failed to extract the foreign body, necessitating surgery such as esophagotomy. Objective: To illustrate the cervical esophagotomy technique as a management of esophageal foreign bodies. Case: A 53-years old woman with a foreign body (dentures) in the esophagus that failed to be removed by esophagoscopy and need cervical esophagotomy. Management: Cervical esophagotomy was performed after esophagoscopy failed to remove the foreign body. Conclusion: Cervical esophagotomy is needed in cases of esophageal foreign body in which of esophagoscopy could not be performed or failed to remove the foreign body. Keywords : foreign body, denture, esophagus, cervical esophagotomy  Abstrak :  Latar Belakang: Benda asing di esofagus harus sesegera mungkin dikeluarkan dalam kondisi yang optimal untuk mencegah terjadinya komplikasi. Esofagoskopi adalah cara yang aman dan efektif untuk ekstraksi benda asing pada sebagian besar kasus, namun pada beberapa kasus tindakan esofagoskopi tidak dapat dilakukan atau gagal mengeluarkan benda asing, sehingga diperlukan tindakan bedah berupa esofagotomi. Tujuan: Kasus ini diajukan untuk mengilustrasikan teknik esofagotomi servikal sebagai penatalaksanaan benda asing esofagus. Kasus: Dilaporkan satu kasus wanita 53 tahun dengan benda  asing gigi palsu di esofagus yang gagal dikeluarkan dengan esofagoskopi sehingga diperlukan tindakan  esofagotomi servikal untuk mengambilnya. Penatalaksanaan: Dilakukan esofagotomi servikal setelah esofagoskopi gagal mengeluarkan benda asing. Kesimpulan: Esofagotomi servikal dilakukan untuk mengeluarkan benda asing di esofagus apabila tindakan esofagoskopi tidak dapat dilakukan atau gagal mengeluarkan benda asing. Kata kunci : benda asing, gigi palsu, esofagus, esofagotomi servikal.
Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor dan Peningkatan Microvessel Density pada Karsinoma Nasofaring Tidak Berkeratin Muina Muina; Salmiah Agus; Sukri Rahman
Majalah Patologi Indonesia Vol 27 No 3 (2018): MPI
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia (IAPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (362.179 KB)

Abstract

Latar belakangKarsinoma nasofaring (KNF) tidak berkeratin mempunyai prognosis yang buruk. Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan biomolekuler penanda progresivitas pada KNF sehingga ekspresi VEGF ini digunakan sebagai marker biologis terapi target. VEGF berperan penting pada angiogenesis yang terlihat dengan peningkatan microvessel density (MVD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi VEGF dan MVD pada KNF tidak berkeratin.MetodePenelitian analitik dengan menggunakan desain potong lintang komparatif pada 44 sampel blok parafin penderita KNF tidak berkeratin, didapatkan masing-masing 22 blok parafin subtipe tidak berkeratin berdiferensiasi dan yang tidakberdiferensiasi. Masing-masing sampel dilakukan pemeriksaan ekspresi VEGF dan CD31 dengan metode pewarnaan imunohistokimia Labeled Streptavidin Biotin Complex dilakukan dengan prosedur manual. Antibodi primer yang digunakan adalah VEGF dan CD31 dari Dako, Glostrup, Denmark. Data dianalisis dengan uji statistik chi-square.HasilEkspresi VEGF ditemukan sebesar 68,2%. Pada KNF yang tidak berkeratin menunjukkan ekspresi VEGF didapatkan MVD tumor yang tinggi (66,7%). Secara statistik terdapat hubungan bermakna antara ekspresi VEGF dan MVD (p=0,001).KesimpulanEkspresi VEGF pada KNF tidak berkeratin menunjukkan peningkatan MVD
Hubungan Tingkat Stres dengan Gejala Vaginitis pada Mahasiswi Program Studi Kedokteran FK UNAND 2019 Melsi Megawati; Syahredi Syaiful Adnani; Sukri Rahman
Andalas Obstetrics And Gynecology Journal Vol 4, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/aoj.4.1.62-69.2020

Abstract

Objective: determine the relationship between stress levels with symptoms of vaginitis in medical students at the Faculty of Medicine, Andalas University batch 2019.Method: was observational analytic with cross-sectional approach. Sampling was conducted by non-probability sampling. The sample was 140 by conducting a guided interview on 140 female students of the Medical Education Faculty of Andalas University batch 2019. The stress level of the female students was measured by a stress questionnaire from the Depression Anxiety Stress Scale (DASS 42) and vaginitis symptoms questionnaire. Data analysis used Chi-Square test.Result: more than half of respondents which is 71 respondents (50,6%) has stress. Then, moderate stress levels is the largest percentage, that is 31 respondents (43,6%). Most respondents, 121 respondents (86.4%) have experienced symptoms of vaginitis. The statistical test results obtained p-value = 0.943.Conclusion: more than half of repondents has stress and most respondents have experienced symptoms of vaginitis. The p-value showed that there is no significant relationship between stress levels and symptoms of vaginitis.Keywords: Stress, vaginitis, adolescent
Neuropati Auditori Sukri Rahman; Rossy Rosalinda
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v1i1.6

Abstract

Abstrak Latar belakang: Neuropati auditori merupakan suatu gangguan pendengaran yang jarang terjadi dengan prevalensi yang belum diketahui secara pasti dan membutuhkan identifikasi dan diagnosis secara dini. Tujuan: Untuk menjelaskan gambaran audiologi dan elektrofisiologi neuropati auditori sehingga dapat menentukan terapi dan intervensi yang efektif. Tinjauan Pustaka: Neuropati auditori merupakan bagian dari tuli sensorineural, dimana suara dapat masuk hingga telinga dalam, tetapi transmisi sinyal dari telinga dalam ke otak terganggu pada jaras tertentu. Kelainan ini dapat mengenai semua umur mulai dari bayi hingga dewasa. Pasien dengan neuropati auditori dapat memiliki derajat pendengaran yang normal atau mengalami penurunan dari ringan hingga tuli sangat berat, tetapi selalu memiliki kemampuan persepsi bicara yang buruk. Neuropati auditori ditandai dengan hasil abnormal pada brainstem evoked response audiometry (BERA), tetapi otoacoustic emission (OAE) yang normal. Kelainan ini membutuhkan pendekatan manajemen yang berbeda untuk masalah pendengaran dan komunikasi dibandingkan tuli perifer lainnya. Kesimpulan: Evaluasi klinis dan audiologi yang akurat dibutuhkan pada neuropati auditori, dan pada akhirnya, diagnosis yang tepat memberikan strategi terapi dan rehabilitasi yang lebih baik. Kata kunci: Neuropati auditori, BERA, OAE, persepsi bicara Abstract Background: Auditory neuropathy is a rare hearing disorder which is the prevalence not well established and need an early identification and diagnosis. Purpose: To describe the audiological and electrophysiological features of auditory neuropathy in order to determine the effective treatment and intervention. Literature Review: Auditory neuropathy is a kind of sensorineural hearing loss, in which sounds enter the inner ear normally, but the signal transmission from the inner ear to the brain is impaired in some ways. It can affect people of all ages from infant to adult. Patients with auditory neuropathy may have normal hearing or hearing loss ranging from mild to profound hearing loss, but they always have poor speech perception abilities. Auditory neuropathy is characterized by the abnormal result of the auditory brainstem response (BERA), but in the presence of preserved otoacoustic emissions (OAE). It requires a different management approach to the auditory and communication problems that used for usual peripheral hearing losses. Conclusion: An accurate clinical and audiological evaluation are needed in auditory neuropathy, and finally, a correct diagnosis allow better treatment and rehabilitative strategies. Keywords: Auditory neuropathy, BERA, OAE, speech perception
Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan Intrakranial dan Metastasis ke Paru Sukri Rahman; M. Abduh Firdaus
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v1i3.246

Abstract

Abstrak Keganasan hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang jarang ditemukan, hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas di tubuh dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher. Diagnosis secara dini dan pengobatan sampai saat ini masih merupakan tantangan. Pasien dengan tumor sinonasal biasanya datang pada stadium yang sudah lanjut, dan umumnya sudah meluas ke jaringan sekitarnya. Tidak jarang keluhan utama pasien justru akibat perluasan tumor seperti keluhan mata dan kepala dan bahkan gejala akibat metastsis jauh. Prognosis keganasan ini umumnya buruk. Hal ini karena anatomi sinus yang merupakan rongga yang tersembunyi dalam tulang, yang tidak akan dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisik biasa dan sering asimptomatik pada stadium dini serta lokasinya yang berhubungan erat dengan struktur vital. Dilaporkan satu kasus tumor sinus paranasal pada seorang lali-laki berusia 52 tahun yang telah mengalami perluasan ke intrakranial dan metastasis ke paru. Kata kunci: tumor sinonasal, perluasan intrakranial, metastasis paru. Abstract Malignancies of the nasal cavity and paranasal sinuses (sinonasal) are rare, comprising only 1 % of all human malignancies and only 3 % of those arising in the head and neck. Early diagnosis and treatment are still a challenge. A patient with sinonasal tumors usually comes at the advanced stage, and generally has spread to surrounding tissue. Not infrequently the patient's main complaint due to the expansion of the tumors such as eye or head complaints and sometimes even result of distant metastases. It has been associated with a poor prognosis. This is because the anatomy of the sinuses, which is a hidden cavity in the bone, which can not be detected by regular physical examination, tend to be asymptomatic at early stages, and located close anatomic proximity to vital structures. A case of paranasal sinus tumors in a 52-year-old man who has experienced intracranial expansion and pulmonary metastases is reported. Keywords: sinonasal tumor, intracranial expansion, pulmonary metastases.
Labioplasti dengan Teknik Millard dan Tennison Randall Dolly Irfandy; Al Hafiz; Dolly Irfandy; Sukri Rahman; Rahmadona Rahmadona
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v6i2.723

Abstract

Labioskisis merupakan cacat bawaan yang umum di seluruh dunia. Dibedakan atas celah inkomplit dan komplit serta celah unilateral dan bilateral. Labioskisis ditatalaksana dengan melakukan labioplasti, antara lain dengan teknik Millard dan Tennison Randall. Dilaporkan dua kasus labioskisis, pada anak laki-laki umur 6 bulan yang dilakukan labioplasti menggunakan teknik Millard dan anak perempuan umur 4 bulan dengan teknik Tennison Randall. Masing- masing teknik labioplasti memiliki keunggulan dan kekurangan. Pemilihan teknik operasi labioplasti pada pasien labioskisis tergantung kepada kondisi pasien, keahlian dan pengalaman operator terhadap teknik tersebut.
Fungsi Tiroid Pasca Radioterapi Tumor Ganas Kepala- Leher Ade Chandra; Sukri Rahman
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v5i3.611

Abstract

Abstrak                 Latar Belakang : Radioterapi merupakan salah satu pilihan modalitas pada penatalaksanaan tumor ganas kepala dan leher selain pembedahan dan kemoterapi. Radioterapi pada tumor ganas kepala dan leher dapat mempengaruhi kelenjar tiroid dan merangsang kelainan. Diantara efek samping akibat radioterapi pada kelenjar tiroid tersebut, hipotiroid merupakan kelainan yang paling sering ditemukan. Hipotiroid akibat radioterapi ini bersifat irreversibel dan mempengaruhi kualitas hidup pasien.  Tujuan : Untuk mengetahui fungsi tiroid setelah dilakukan radioterapi pada pasien tumor ganas kepala dan leher. Tinjauan Pustaka : Hipotiroid merupakan efek samping yang paling sering ditemukan pasca radioterapi tumor ganas kepala dan leher. Kelainan pada tiroid pasca radioterapi dihubungkan dengan kerusakan sel dan pembuluh darah kecil kelenjar tiroid serta fibrosis kapsul kelenjar tiroid yang selanjutnya menyebabkan kelenjar tiroid mengecil. Kesimpulan : Radioterapi pada pasien tumor ganas kepala dan leher dapat menimbulkan efek samping berupa hipotiroid yang dibuktikan dengan peningkatan nilai TSH dan penurunan nilai T4  pada pemeriksaan fungsi tiroid.Kata kunci: Radioterapi, tumor ganas kepala dan leher, hipotiroid AbstractBackground: Radiotherapy is one option of modality in the management of head and neck cancer beside surgery and chemotherapy. Radiotherapy in the head and neck cancer can affect the thyroid gland and stimulates the gland disorders. Among the side-effects of radiotherapy on the thyroid gland, hypothyroidism is a disorder most commonly found. Hypothyroidism due to radiotherapy is irreversible and affect quality of life of patients Objective: To determine the function of the thyroid after radiotherapy in patients with the head and neck cancer. Literature Review: Hypothyroidism is the most common side effects found after radiotherapy of the head and neck cancer. Abnormalities of the thyroid after radiotherapy is associated with damage cells and small blood vessels of the thyroid gland and capsule fibrosis of the thyroid gland which in turn causes the thyroid gland to shrink. Conclusion: Radiotherapy in patients with the head and neck cancer can cause side effects such as hypothyroidism as evidenced by the increase in the value of TSH and T4 in the impairment of thyroid function tests. Keywords:  Radiotherapy, head and neck cancer, hypothyroid
Faktor Risiko Non Viral Pada Karsinoma Nasofaring Sukri Rahman; Bestari Jaka Budiman; Histawara Subroto
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i3.400

Abstract

Abstrak           Latar belakang: Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas epitel nasofaring yang sampai saat ini penyebabnya belum diketahui, infeksi virus Epstein Barr dilaporkan sebagai faktor dominan terjadinya karsinoma nasofaring tetapi faktor non viral juga berperan untuk timbulnya keganasan nasofaring. Tujuan: Untuk mengetahui faktor non viral  yang dapat meningkatkan kejadian karsinoma nasofaring sehingga dapat mencegah dan menghindari faktor-faktor non viral tersebut. Tinjauan Pustaka: Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas epitel nasofaring yang penyebabnya berhubungan dengan faktor viral dan non viral diantaranya asap rokok, ikan asin, formaldehid, genetik, asap kayu bakar , debu kayu, infeksi kronik telinga hidung tenggorok, alkohol dan obat tradisional. Kesimpulan: Pembuktian secara klinis dan ilmiah terhadap faktor non viral sebagai penyebab timbulnya karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan secara pasti. Faktor non viral merupakan salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian timbulnya keganasan nasofaring Kata kunci: karsinoma nasofaring, faktor risiko, non viral AbstractBackground: Nasopharyngeal carcinoma is a malignant epithelial nasopharyngeal tumor that until now the cause still unknown, Epstein barr virus infection had reported as predominant occurance of nasopharyngeal carcinoma but non viral factors may also contribute to the onset of the incidence of nasopharyngeal malignancy. Purpose: To find non viral factors that may increase the incidence of nasopharyngel carcinoma in order to prevent and avoid non-viral factors Literature: Nasopharyngeal carcinoma is a malignant tumor that causes nasopharyngeal epithelium associated with viral and non-viral factors such as cigarette smoke, salt fish, formaldehyde, genetic, wood smoke ,wood dust, ear nose throat chronic infections, alcohol, and traditional medicine. Conclusion: Clinically and scientifically proving the non-viral factors as the cause of nasopharyngeal carcinoma can not be explained with certainty. Non-viral factors only as one risk factor that can increase the incidence of the onset of nasopharyngeal carcinoma. Keywords:  nasopharyngeal carcinoma, risk factor, non viral
Hubungan Sepsis Neonatorum dengan Berat Badan Lahir pada Bayi di RSUP Dr. M. Djamil Padang Putri Rahmawati; Mayetti Mayetti; Sukri Rahman
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i3.894

Abstract

Sepsis neonatorum merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah utama pada neonatus saat ini, karena banyaknya faktor risiko yang belum dapat dicegah.Salah satu faktor risiko tersebut adalah berat badan lahir rendah atau lebih. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan sepsis neonatorum dengan berat badan lahir pada bayi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jenis penelitian ini adalah analitik retrospektif dengan metode case control study. Populasi adalah seluruh neonatus yang mengalami sepsis neonatorum (kasus) dan yang tidak mengalami sepsis neonatorum (kontrol) yang diambil dari data rekam medik RSUP.Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2014 sampai Juli 2016. Subjek penelitian adalah populasi dengan data rekam medik yang lengkap. Hasil penelitian diolah dengan uji Chi-square. Jumlah subjek penelitian adalah 162 orang yang terdiri dari 81 kasus dan 81 kontrol. Dari 81 neonatus yang mengalami sepsis neonatorum, 43 diantaranya mengalami sepsis dengan late onset sepsis, 38 dengan early onset sepsis, 25 dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan 56 tidak BBLR. Setelah dilakukan uji hubungan antara sepsis neonatorum dengan berat badan lahir menggunakan uji Chi-square didapatkan nilai p=0,601, OR=1,276, CI= 0,643-2,530. Simpulan studi ini ialah tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sepsis neonatorum dengan berat badan lahir bayi. BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami sepsis daripada yang tidak BBLR.