ANALISIS FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN
HUTAN MANGROVE PANTAI PASURUAN
Chatarina Muryani *)
ABSTRACT : The aim of this research is to know the differences of environmental factors toward the thickness of mangrove forest. Samples chosen were the mangrove forest which had various thickness. Semare Village was chosen to represent west part of research area, Bugul Kidul District was chosen to represent middle part of research area, Penunggul Village and Kedawang Village at Nguling District were chosen to represent east part of the research area. For each thickness of mangrove forest, there were made 3 line transects from the mangrove forest land edge to the mangrove forest sea edge, upright the shore line. There were determined 3 plot samples to represent “less thick” mangrove forest, 6 plot samples to represent “middle thick” mangrove forest, and 9 plot samples to represent “high thick” mangrove forest.The results of this research showed that there were differences environment factors especially in organic matter of water and soils, soil texture, on the thickness mangrove forest. Based on MANOVA analysis (simultaneous) there were differences on the environment factors on the thickness of mangrove forest.
Key words : mangrove forest , environment factors
PENDAHULUAN
Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Disebut hutan pantai karena hutan mangrove hanya dapat ditemui di kawasan pantai; disebut hutan pasang surut karena pertumbuhan vegetasi mangrove sangat tergantung pada pasang surut air laut dan disebut dengan hutan payau karena pada umumnya hutan mangrove tumbuh dan berkembang pada sekitar muara sungai dengan karakteristik khas air payau. Bakau sendiri merupakan nama lokal dari salah satu tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizopora sp., dan hutan mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest. Dari definisi di atas sudah menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh pada keberadaan dan pertumbuhan hutan mangrove.
Kathiresan (2000) menyatakan bahwa lingkungan hutan mangrove mempunyai sifat fisik dan kimia khusus baik salinitas, arus pasang surut, angin, temperatur tinggi dan tanah berlumpur. Menurut Bengen (2000) secara umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut
Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir,
Daerahnya tergenangi air laut secara berkala baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensei genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove
Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, air bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (38 ‰).
Menurut English, et. al (1993) beberapa faktor lingkungan mempengaruhi diversitas dan produktifitas ekosistem hutan mangrove, yaitu iklim, geomorfologi, besarnya pasang surut, input air tawar dan karakteristik tanah.
Menurut Aksornkoae (1993), baik struktur maupun fungsi dari ekosistem hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebagai berikut : (a) Fisiografi pantai, (b) Curah hujan, (c) Pasang Surut, (d) Ombak dan gelombang (e) Salinitas, (f) Oksigen terlarut, (g) tanah, (h) Nutrien.
Input penting dalam produktivitas hutan mangrove adalah air (terutama keseim-bangan antara air tawar dan air asin), substrat dan nutrien (baik yang ada di substrat maupun di dalam air. Salah satu sumber nutrien di ekosistem hutan mangrove berasal dari sedimen yang terperangkap oleh vegetasi mangrove tersebut. Sedimen yang berasal dari darat dan mengandung banyak nutrien dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh arus pasang surut sedimen tersebut dibawa kembali ke pantai dan ditangkap kemudian diendapkan di dasar vegetasi mangrove (Kamaruzzaman et al., 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor lingkungan di sekitar hutan mangrove Pantai Pasuruan dan mengkaitkan-nya dengan struktur hutan mangrove pada daerah yang bersangkutan.
METODE PENELITIAN
Penelitian di lakukan di sepanjang Pantai Pasuruan, dengan alasan di daerah ini banyak dijumpai muara sungai sebagai habitat hutan mangrove dan hutan mangrove di daerah ini mempunyai ketebalan yang bervariasi.
Lokasi sampel ditentukan berdasarkan kriteria:
- mewakili daerah bagian barat, bagian tengah dan bagian timur daerah penelitian
- mempunyai ketebalan , kerapatan dan diversitas hutan mangrove yang bervariasi
- mempunyai kondisi geografis yang hampir sama
Pengambilan sampel dalam ekosistem hutan mangrove menggunakan metode plot garis transek (Transect Line Plots). Pada setiap lokasi dibuat transek memanjang dari tepi laut ke arah darat. Metode yang dipakai untuk pengambilan sampel adalah metode kuadrat dengan penentuan stand secara sistematik reguler. Plot kuadrat untuk pohon 10 x 10 m, untuk anak pohon 5 x 5 m dan untuk herba 1 x 1 m (Oosting, 1956).
Penentuan lokasi transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :
- untuk masing-masing kriteria ketebalan hutan mangrove ditentukan 3 (tiga) buah garis transek,
- penentuan jumlah plot sampel adalah sebagai berikut :
Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tipis” masing-masing garis transek ditentukan satu plot sampel
Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “sedang” masing-masing garis transek ditentukan dua plot sampel
Untuk ketebalan hutan mangrove kategori “tebal” masing-masing garis transek ditentukan tiga plot sampel
Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan secara acak.
Gambaran penentuan garis transek dan plot sampel adalah sebagai berikut :
Mangrove Tipis Mangrove Sedang Mangrove Tebal
Keterangan :
: garis transek : plot sampel
Plot sampel terletak di kanan atau kiri garis transek yang lokasinya ditentukan secara acak.
Alat-alat yang diperlukan untuk penelitian di lapangan adalah :
Global Positioning System (GPS) Receiver dan Kompas , digunakan untuk penentuan posisi dan arah suatu tempat di lapangan
pH meter untuk mengukur tingkat keasaman tanah dan air
Termometer untuk mengukur suhu air
Refractometer untuk penentuan kadar garam substrat dan air laut
Botol sampel, untuk mengambil sampel air
Oxymeter untuk mengukur oksigen terlarut (DO) air laut
Meteran dan tali untuk pembuatan transek
Faktor-faktor lingkungan yang diamati meliputi kondisi pantai, kualitas air dan kualitas tanah yang diduga berpengaruh terhadap ekosistem hutan mangrove.
Jenis data yang dikumpulkan dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
HASIL PENELITIAN
Letak dan Luas
Daerah penelitian termasuk pada dua wilayah administrasi, yaitu Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan. Daerah penelitian membujur dari barat ke timur, di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Porong yang merupakan batas antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Sidoarjo; sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh sungai Laweyan yang merupakan batas antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo.
Kabupaten Pasuruan terletak antara 112o30’ – 113o30’ BT dan 7o30’ – 8o30’ LS (Peta Rupa Bumi Indonesia Th 2000 skala 1 : 25.000), luasnya adalah 1474 km2 atau 147401,5 hektar, terdiri atas 24 Kecamatan, 341 Desa dan 24 Kelurahan. Kecamatan-
Tabel 1. : Parameter penelitian dan metode / alat yang digunakan
No
Parameter
Metode/Alat
Satuan
Pelaksanaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Iklim
Topografi pantai
Kedalaman sedimen
Tekstur tanah/sedimen
Total C Organik
Suhu Air
Salinitas air + tanah
pH air + tanah
DO air
BO air (TOM)
Data sekunder
Clinometer
Tiang pengukur
Feeling meth + Lab
Pembakaran
Termometer
Hand Refractometer
pH stick
Oxymeter
Titrasi
-
%
cm
%
%
oC
‰
-
mg/l
mg/l
Di lapangan
Di lapangan
Di lapangan
Di Lap + Lab
Di laboratorium Di lapangan
Di lapangan
Di lapangan
Di lapangan
Di Laboratorium
kecamatan di Kabupaten Pasuruan yang mempunyai pantai (berbatasan dengan Selat Madura) adalah Kecamatan Bangil (4460 Ha), Kecamatan Kraton (5075 Ha), Kecamatan Rejoso (3700 Ha), Kecamatan Lekok (4657 Ha) dan Kecamatan Nguling (4260 Ha).
Kota Pasuruan secara astronomis terletak antara 112o40’ – 112o50’ Bujur Timur dan 7o35’ – 7o45’ Lintang Selatan (Peta RBI tahun 2000 skala 1 : 25.000 lembar Pasuruan), terdiri atas 3 Kecamatan dan memiliki 34 Kelurahan. Kelurahan-kelurahan di Kota Pasuruan yang mempunyai pantai (berbatasan dengan Selat Madura) adalah Desa Blandongan, Desa Kepel, Kelurahan Mandaranrejo, Kelurahan Panggungrejo (Kec. Bugul Kidul), Desa Ngemplakrejo (Kecamatan Purworejo), Desa Tambaan dan Desa Gadingrejo (Kecamatan Gadingrejo).
Bentuk Pantai
Secara umum pantai Pasuruan merupakan pantai datar dengan ketinggian sekitar 0 – 5 meter di atas permukaan air laut. Ombak di sepanjang pantai kecil dan ditambah dengan banyaknya sungai yang bermuara di daerah ini serta keberadaan hutan mangrove di daerah pantai, menjadikan bentuk pantai merupakan pantai sedimentasi (bukan pantai abrasi). Keseluruhan wilayah Kota Pasuruan sendiri merupakan dataran rendah dengan kemiringan kurang dari 3 % dan ketinggian tempat antara 0 – 10 meter dari muka air laut.
Alih fungsi lahan pesisir misalnya penebangan hutan mangrove menjadi tambak, daerah permukiman, lokasi wisata dan sebagainya dapat mengubah bentuk pantai dari pantai sedimentasi menjadi pantai abrasi. Di Kecamatan Nguling bagian barat (Watuprapat) dan Kecamatan Lekok bagian timur (Wates dan Semedusari) bentuk pantai agak terjal. Jika tidak dikelola, abrasi pantai di daerah ini dapat menyebabkan lahan pantai menjadi semakin mundur. Sebaliknya upaya rehabilitasi hutan mangrove ternyata dapat mengubah pantai abrasi menjadi pantai sedimentasi. Di Desa Penunggul Kecamatan Nguling misalnya, lahan bertambah ke arah pantai cukup luas akibat penanaman hutan mangrove.
Berdasarkan ...
Berdasarkan hasil analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) dari tumpang susun antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1981, tahun 1994 dan tahun 2008 terdapat perubahan bentuk pantai yang cukup nyata di sepanjang pantai Pasuruan selama kurun waktu tahun 1981 sampai tahun 2008.
Tumpang susun (overlay) antara Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1981 dan tahun 1994 menunjukkan terjadinya perubahan garis pantai yang cukup nyata. Di Beberapa tempat terjadi penambahan pantai (garis pantai maju) cukup besar antara lain di Desa Gerongan dan Desa Pulokerto Kecamatan Kraton, Desa Blandongan (Kota Pasuruan), Desa Patuguran (Kecamatan Rejoso), Desa Jatirejo (Kecamatan Lekok), Desa Watuprapat dan Kedawang (Kecamatan Nguling). Sedangkan di beberapa tempat terjadi pengurangan pantai (garis pantai mundur) cukup nyata antara lain terjadi di Desa Semare dan Desa Kalirejo (Kecamatan Kraton), Kelurahan Tambaan (Kecamatan Gadingrejo Kota Pasuruan, Kelurahan Panggungrejo dan Mandaranrejo (Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan), Desa Wates (Kecamatan Lekok). Penambahan pantai (garis pantai maju) menunjukkan terjadinya sedimentasi sedangkan pengurangan pantai (garis pantai mundur) menunjukkan terjadinya abrasi. Kemungkinan hal ini berkaitan erat dengan pengurangan dan penambahan luas hutan mangrove pada suatu wilayah. Lihat Peta 1 : Peta Bentuk Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan Tahun 1981 – 1994.
Tumpang susun (overlay) Peta Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1994 dan tahun 2008 menunjukkan terjadi penambahan pantai (garis pantai maju) di sepanjang pantai utara Kabupaten dan Kota Pasuruan selama kurun waktu 14 tahun terakhir. Penambahan pantai yang nyata (cukup besar) terjadi di daerah-daerah Desa Raci (Kecamatan Bangil), Desa Pulokerto dan Desa Semare (Kecamatan Kraton), Desa Blandongan (Kota Pasuruan), Desa Patuguran (Kecamatan Rejoso), dan Desa Penunggul (Kecamatan Nguling). Lihat Peta 2 : Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan tahun 1994 – tahun 2008.
Dari Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan th 1981 – th 1994 dan Peta Perubahan Bentuk Pantai Kabupaten dan Kota Pasuruan th 1994 – th 2008 dapat diidentifikasi bahwa penambahan pantai (garis pantai maju) terutama terjadi di muara-muara sungai besar di sepanjang pantai. Hal ini menunjukkan sedimentasi yang besar dari material-material yang dibawa oleh arus sungai-sungai tersebut. Fenomena ini juga menunjukkan adanya peningkatan erosi di daerah hulu yang mungkin disebabkan adanya pembalakan hutan, pertambangan atau usaha pertanian yang kurang memperhatikan konservasi lingkungan.
Iklim
Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai hutan mangrove luas dengan keanekaragaman vegetasi yang tinggi di dunia. Salah satu faktor adalah iklim Indonesia yang mendukung untuk pertumbuhan vegetasi mangrove. Sebagian besar pantai-pantai di Indonesia mempunyai iklim tropika basah dengan ciri-ciri temperatur tinggi, curah hujan tahunan tinggi, kelembaban udara tinggi. Suhu dan curah hujan merupakan faktor iklim yang paling dominan yang berpengaruh terhadap berbagai kehidupan wilayah pantai.
Jumlah, lama dan distribusi curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan dan distribusi vegetasi mangrove. Hutan mangrove di Indonesia berkembang dengan tipe curah hujan A, B, C, dan D dengan nilai Q yang bervariasi mulai 0 sampai 73,7% menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Sedangkan menurut Aksornkoae et.al., (1984) vegetasi mangrove umumnya tumbuh baik di daerah dengan curah hujan rata-rata 1.500 – 3.000 mm per tahun.
Berdasarkan data iklim Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan dapat disimpulkan bahwa suhu rata-rata tahunan 24oC – 32oC , besarnya rata-rata curah hujan di daerah penelitian adalah antara 1300 – 1800 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara 80 – 100 hari per tahun. Analisis iklim Schmidt dan Ferguson berdasarkan tipe hujan menunjukkan bahwa daerah penelitian termasuk tipe C.
Pasang Surut Air Laut
Dalam hubungannya dengan pasang surut, komunitas pada ekosistem hutan mangrove banyak dipengaruhi oleh lama penggenangan air laut. Berdasarkan pola penggenangan hutan mangrove di Cilacap, de Haan (1931) dalam SEAMEO BIOTROP (1989) mengklasifikasikan ada 4 tipe penggenangan di ekosistem hutan mangrove, yaitu :
Klas 1 : tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau setidaknya tergenang 20 hari dalam satu bulan
Klas 2 : tergenang 10 – 19 kali dalam sebulan,
Klas 3 : tergenang 9 kali atau kurang dalam sebulan,
Klas 4 : tergenang hanya beberapa hari dalam sebulan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pasang surut di Pantai Pasuruan antara 1 – 2 m dan kebanyakan hutan mangrove di daerah ini termasuk dalam klas 1, yaitu tergenang satu atau dua kali dalam sehari atau setidaknya tergenang 20 hari dalam satu bulan
Salinitas air laut
Dari banyak faktor lingkungan, salinitas mempunyai pengaruh besar pada perkembangan hutan mangrove. Pada umumnya salinitas air di sepanjang pantai di Indonesia berkisar antara 31 ‰ sampai 33 ‰. Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan organisme yang berada dan berkembang biak di daerah tersebut. Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5 – 30 ‰) biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar (Supriharyono, 2003)
Hasil pengukuran salinitas air laut di ketiga stasiun yaitu Semare, Kota Pasuruan dan Nguling untuk ketiga kategori yaitu ”tipis”, ”sedang” dan ”tebal” tidak menunjukkan variasi yang berarti, yaitu sekitar 37 ‰ atau 37,5 ‰. Hal ini menunjukkan bahwa salinitas air di ekosistem mangrove hampir sama untuk ketiga stasiun yang disebabkan daerah penelitian merupakan suatu hamparan pantai yang kondisi geografisnya hampir sama, pola pasang surutnya juga hampir sama, sehingga kualitas air laut hampir sama untuk masing-masing daerah.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan makrozoobentos dan organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1983). Pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Biasanya spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen terlarut biasanya penyebaranya lebih luas dibanding yang kisaran toleransinya sempit.
Pengukuran Oksigen terlarut di perairan hutan mangrove daerah penelitian digunakan Oxymeter; contoh air diambil di lapangan, pengukuran DO dilakukan di base camp. Hasil pengukuran DO rata-rata untuk masing-masing lokasi hutan mangrove dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 1.
Tabel 2. Hasil pengukuran Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove
No
Kategori’
Oksigen terlarut (mg/l)
Semare
Kota
Nguling
1
Tipis
5,46
5,15
4,4
2
Sedang
5,26
5,19
4,65
3
Tebal
4,85
5,16
4,77
Gambar 1. Histogram Oksigen Terlarut (DO) di perairan hutan mangrove Semare, Kota Pasuruan dan Nguling
Dari gambar 1 terlihat bahwa meskipun nilai kadar oksigen terlarut hampir sama untuk ketiga stasiun, namun Oksigen terlarut di hutan mangrove Kota Pasuruan dengan struktur paling bagus dilihat dari kerapatan, diversitas juga nilai INPnya menunjukkan konsisten tinggi, sedangkan DO di stasiun Nguling menunjukkan nilai yang paling rendah. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada hutan mangrove dengan kerapatan sedang, diversitas besar dan nilai INP seimbang mempunyai kandungan DO tertinggi dibandingkan dengan yang lain.
Kandungan Bahan Organik (BO) air laut
Kehadiran suatu organisme di suatu perairan didukung oleh kandungan bahan organik perairan tersebut, namun belum tentu kandungan bahan organik yang tinggi menjamin kelimpahan organisme, karena faktor lingkungan satu dengan yang lain saling berkaitan. Hasil pengukuran kandungan bahan organik perairan di ekosistem hutan mangrove daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 2.
Tabel 3 : Kandungan Bahan Organik (BO) air Hutan Mangrove
Hutan mangrove
Kandungan BO air (mg/l)
Semare
Kota
Nguling
Tipis
25,9
25,5
34,9
Sedang
31,8
27,8
37,9
Tebal
32,6
29,3
42,6
Gambar 2: Perbandingan kandungan BO air pada masing-masing ketebalan hutan mangrove
Data tersebut menunjukkan bahwa untuk masing-masing stasiun sampel, semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan organik air lautnya. Disamping itu pada ekosistem hutan mangrove Nguling menunjukkan rata-rata kandungan bahan organik lebih tinggi dibanding Semare dan kota Pasuruan .
Kondisi Tanah
Kedalaman Sedimen
Kedalaman sedimen dilakukan pada waktu air surut menggunakan tiang pancang. Untuk akurasi data pengukuran masing-masing plot sampel diulang tiga kali. Hasil pengukuran kedalaman sedimen adalah :
Hutan mangrove Semare
Substrat berlumpur dalam, meskipun kondisi air surut kandungan air dalam substrat masih tinggi
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, merupakan lahan rawa dengan kedalaman lumpur sekitar 80 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur rata-rata 40 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur rata-rata 30 cm
- Pada hutan mangrove tebal kedalaman sedimen rata-rata 20 cm
Hutan mangrove Kota Pasuruan
Substrat berlumpur dangkal, bahkan di bagian-bagian tertentu yang kerapatan vegetasinya tinggi substratnya tidak berlumpur.
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya, kedalaman lumpur sekitar 20 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman lumpur sekitar 15 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman lumpur sekitar 10 cm
- Pada hutan mangrove tebal kedalaman lumpur sekitar 5 cm
Hutan mangrove Nguling
Substrat tanah di hutan mangrove Nguling dibagi menjadi dua, yang di Desa Penunggul substrat tidak berlumpur, sedang di Desa Kedawang substratnya berlumpur.
- Pada daerah yang tidak ada vegetasinya di Desa Penunggul kedalaman sedimen sekitar 15 cm
- Pada hutan mangrove tipis kedalaman sedimen sekitar 10 cm
- Pada hutan mangrove sedang kedalaman sedimen sekitar 5 cm
- Pada hutan mangrove tebal di Desa Kedawang kedalaman sedimen sekitar 50 cm.
Pengukuran kedalaman sedimen semacam ini tidak mencerminkan ketebalan sedimen yang sesungguhnya, karena pengukuran ketebalan sedimen harus dengan pembuatan profil tanah. Oleh sebab itu parameter kedalaman sedimen tidak dikut sertakan dalam perhitungan statistik.
Tekstur Tanah
Tanah mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen sehingga karakteristiknya berbeda-beda tergantung darimana sedimen tersebut berasal. Disamping berpengaruh terhadap komunitas vegetasi mangrove , tekstur substrat juga mempengaruhi komunitas fauna yang tinggal di ekosistem tersebut. Bentos yang hidup pada substrat berlumpur tergolong pada ”suspended feeder”, yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea, juga bakteri. Pada substrat berpasir biasanya miskin organisme dan bentos pada substrat berpasir umumnya mengubur diri dalam substrat.
Hasil pengukuran tekstur tanah di bawah tegakan hutan mangrove daerah penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4.: Hasil pengukuran tekstur tanah di ekosistem hutan mangrove
No
Lokasi
% Pasir
% Debu
% Liat
Kelas Tekstur
1
Semare
Tipis
30,6
49,8
19,6
Silty Clay
Sedang
34,1
39,7
26,2
Clay Loam
Tebal
34,7
40,2
25,2
Clay
2
Kota Pasuruan
Tipis
32,2
48,5
19,4
Silty Clay
Sedang
34,1
39,7
26,2
Clay Loam
Tebal
35,0
36,7
30,3
Clay Loam
3
Nguling
Tipis
45,5
40,1
14,4
Silty Clay
Sedang
36,0
47,8
16,2
Silty Clay
Tebal
33,0
37,7
29,3
Clay Loam
Sumber : data primer
Bahan Organik (C) Tanah
Kandungan bahan organik tanah terutama berasal dari dekomposisi serasah baik dari daun, ranting, bunga , buah, maupun akar vegetasi mangrove. Hasil pengukuran C organik tanah di daerah penelitian dapat di lihat pada tabel 5 dan gambar 3.
Tabel 5: Kandungan C organik tanah di ekosistem hutan mangrove Pasuruan
Ketebalan mangrove
C organik tanah (%)
Semare
Kota
Nguling
Tipis
12,57
14,89
13,90
Sedang
16,31
13,98
14,225
Tebal
19,73
15,42
16,07
Sumber : Analisis data primer
Gambar 3. Perbandingan C organik tanah pada ketebalan Hutan mangrove
Di lapangan, bahan organik tanah ditemui pada tingkatan dekomposisi yang bervariasi, ada yang masih berupa luruhan daun, ada yang setengah terdekomposisi dan ada yang sudah bercampur dengan substrat membentuk tanah. Dari tabel 5 di atas terlihat bahwa untuk masing-masing lokasi hutan mangrove, semakin tebal hutan mangrove semakin tinggi kandungan bahan organiknya. Kadar C organik tanah di Semare relatif lebih tinggi dibanding dengan yang lain, hal ini kemungkinan karena lokasinya lebih dekat ke muara, ada penambahan bahan organik yang terangkut oleh sungai.
Salinitas Substrat
Salinitas substrat tanah dikukur berdasarkan EC tanah dengan satuan milimos. Hasil pengukuran EC tanah pada masing-masing lokasi hutan mangrove dan pada variasi ketebalan dapat dilihat pada tabel 6 dan gambar 4.
Tabe 6 : Perbandingan EC tanah di hutan mangrove Pantai Pasuruan
Ketebalan
mangrove
EC tanah (mmos)
Semare
Kota
Nguling
Tipis
3,05
5,26
3,9
Sedang
3,61
4,61
4,62
Tebal
2,99
3,83
5,12
Sumber : analisis data primer
Dari tabel 6 di atas dapat disimpulkan bahwa untuk parameter EC tanah variasi nilainya tidak begitu besar dan tidak menunjukkan pola tertentu baik pada perbedaan lokasi mangrove maupun pada perbedaan ketebalan hutan mangrove
Gambar 4. Perbandingan EC tanah pada variasi ketebalan hutan mangrove
PEMBAHASAN
Untuk penelaahan perbedaan faktor-faktor lingkungan pada ketebalan hutan mangrove daerah penelitian dipakai uji statistik. Parameter faktor-faktor lingkungan yang dipakai dalam uji statistik adalah Oksigen terlarut (DO) air, kandungan bahan organik (BO) air, salinitas (EC) substrat, kandungan C Organik tanah, tekstur tanah. Faktor-faktor lingkungan ini yang diduga berperanan dalam penentuan karakteristik ekosistem hutan mangrove baik terhadap struktur komunitas hutan mangrove maupun terhadap komunitas fauna yang tinggal di ekosistem hutan mangrove tersebut.
Uji Normalitas
Uji normalitas data untuk faktor-faktor lingkungan menggunakan metode Kolmo-gorov Smirnov. Hasil uji normalitas data di atas semua nilai signifikansi dari enam variabel faktor lingkungan ternyata lebih besar daripada 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data-data menyebar secara normal, oleh karenanya dapat dilakukan analisis statistik parametrik berikutnya.
Uji Beda
Uji MANOVA
Uji beda secara simultan (bersama-sama) untuk mencari perbedaan faktor-faktor lingkungan terhadap parameter ketebalan hutan mangrove menggunakan metode Multivariate Analysis of Variance (MANOVA) dengan menggunakan kaidah : jika nilai signifikansi Wilks Lambda < 0,10 (atau 10 %) terdapat perbedaan, sedangkan jika nilai signifikansi Wilks Lambda > 0,10 (atau 10 %) maka tidak terdapat perbedaan.
Hasil uji beda dengan metode MANOVA menghasilkan nilai signifikansi Wilks Lambda Karena nilai signifikansi Wilks Lambda sebesar 0,000 < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa secara multivariate (bersama-sama keenam variabel parameter lingkungan) maka pada setiap tingkat ketebalan hutan mangrove memiliki faktor-faktor lingkungan yang berbeda-beda atau terdapat perbedaan faktor lingkungan pada variasi ketebalan hutan mangrove
Uji ANOVA
Pada pengujian secara parsial, yaitu pengujian secara sendiri-sendiri keenam variabel faktor lingkungan, maka metode yang digunakan adalah Analysis of Variance (ANOVA). Kaidah pengambilan keputusan: jika signifikansi F < 0,10 (atau 10%) maka terdapat perbedaan, sebaliknya jika nilai signifikansi F > 0,10 (atau 10%) maka tidak terdapat perbedaan. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Untuk variabel DO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,10 = 0,10 maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki DO Air yang berbeda, atau terdapat perbedaan nilai DO air pada variasi ketebalan hutan mangrove
b. Untuk variabel BO Air, nilai signifikansi F sebesar 0,000 < 0,10 maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki BO Air yang berbeda atau terdapat perbedaan nilai BO air pada variasi ketebalan hutan mangrove.
c. Untuk variabel EC, nilai signifikansi F sebesar 0,526 > 0,10 maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki EC yang sama atau tidak ada perbedaan nilai EC tanah pada variasi ketebalan hutan mangrove
d. Untuk variabel C Organik Tanah, nilai signifikansi F sebesar 0,745 > 0,10 maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki C Organik Tanah yang sama atau tidak ada perbedaan nilai C organik tanah pada variasi ketebalan hutan mangrove.
e. Untuk variabel % Pasir, nilai signifikansi F sebesar 0,280 > 0,10 maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Pasir yang sama atau tidak ada perbedaan nilai % pasir pada variasi ketebalan hutan mangrove.
f. Untuk variabel % Liat , nilai signifikansi F sebesar 0,019 < 0,10 maka dapat disimpulkan bahwa pada setiap tingkat ketebalan memiliki % Liat yang berbeda atau terdapat perbedaan nilai % liat pada variasi ketebalan hutan mangrove.
KESIMPULAN
Hasil pengukuran parameter lingkungan menunjukkan perbedaan yang tipis antara kualitas lingkungan hutan mangrove di beberapa lokasi dan beberapa kategori. Namun demikian untuk suatu lokasi ada kecenderungan semakin ke arah darat kandungan bahan organik tanah dan air mengalami peningkatan, sedangkan semakin ke arah timur menunjukkan % liat (clay) yang semakin keci (tanah semakin kasar)
Hasil kajian statistik menunjukkan bahwa secara bersama-sama terdapat perbedaan nilai parameter lingkungan pada ketebalan, kerapatan, dan diversitas hutan mangrove yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN. Bangkok : IUCN
Bengen, DG. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangove. Bogor : PKSPL – IPB
Bunt, JS and WT. Williams. 1981. Vegetation Relationships in The Mangrove Forest of Tropical Australia. Marine Ecology – Progress Series. 4 : 349 – 359.
Chapman, VJ. 1977 . Wet Coastal Ecosystem. Amsterdam : Elsevier Scientific Publishing Company.
Dahuri, R, J. Rais, SP Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Jakarta : Pradnya Paramita.
English, S , C. Wilkinson and V Baker . 1993. Survey Manual for Tropical Marine Resources . ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal Resources. Bangkok.
Garcia, P.R. , J.L Blanco. , and D Ocaffa. 1997. Mangrove Vegetation Assessment in The Santiago River Mouth Mexico, by Means of Supervised Classification Using landsat TM imagery . Elsevier : Forest Ecology and Management (105) : 217 – 229
Hardjowigeno, S. 1988. Mangrove Soil in Indonesia. BIOTROP Speciall Publication, 37 : 257 -264
Kamaruzzaman, B.Y. , Mohd-Lokman H. , Sulong I., and Razanudin I. 2001. Sedimentation Rates on the Mangrove Forests of Pulau Che Wan Dagang, Kemaman Terengganu . The Malaysian Forester 64 (1) : 6 – 13
Mann, K.H . 1982. Ecology of Coastal Water, A. Syatem Approach . Oxford : Black Well Scientific Publication .
Mustafa, M . 1982. Hasil Penelitian Sifat Fisik dan Kimia Tanah Di Bawah Tegakan Mangrove. Lingkungan dan Pembangunan. 97 - 118
Oosting, HJ. 1956. The Study of Plant Communities, An Introduction to Plant Ecology. Second Edition, San Fransisco : WH Freeman and Co .
Pariwono, JI. 1985. Tides and Tidal Phenomena in Asean Region . Australian Cooperative Programmes in Marine Sciences . Prelim. Rep . FIAM, South Australia.
Pirzan Marsanbuana, Suharyanto, Rohama Daud dan Burhanuddin. 2002. Pengaruh Keberadaan Mangrove terhadap Kesuburan Tanah di Tambak Sekitarnya . Jurnal Penelitian Perikanan . Vol 8 No 4 Th 2002.
Saenger, P . 1999. Sustainable Management of Mangroves. Proc. Of International Symposium Integrated Coastal and Marine Resource Management. National Institute of Technology (ITN) Malang in Association with BAKOSURTANALand Proyek Pesisir.
Samingan , MT . 1980. Notes on Vegetation of The Tidal Area of South Sumatera Indonesia with Special Reference of Karang Agung. International Social Tropical Ecology. Kuala Lumpur , 1107 – 1112
Sasekumar, A , VC Chong, MU Leh , and RD D’Cruz. 1992 . Mangroves as a Habitat For Fish and Prawns . Hydrobiologia : 247 : 195 – 207
Soemarno. 2004. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya , Malang
Soemodihardjo, S and I. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in Indonesia. dalam Mangrove Management : Its Ecological and Economic Consideration . BIOTROP Special Publication . No 37
Sugiharto,A and N. Polunin. 1982. The Marine Environment of Indonesia. Dept. Zoology University of Cambridge . 257 p.
Suprayogo D, Sri Sudaryanti, Edy Dwi Chahyono dan Sudarmanto. 1996. Pembangunan dan Konservasi Hutan Mangrove di Kabupaten Bangkalan, Madura . Jurn. Univ. Brawijaya . 8 (2) : 77 – 92.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 246 hal.
Tam NFX and Wong YS . 1998 . Variation of Soil Nutrient and Organic Matter Content In Subtropical Mangrove Ecosystem . Water, Air and Soil Polution . (103) : 245 – 261.