Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

Dari Spiritualitas Kepada Moralitas: Pelajaran Kepemimpinan Dari Kehidupan Yusuf Fredy Simanjuntak; Irfan Feriando Simanjuntak; Fransiskus Irwan Widjaja; Yudhy Sanjaya; Johannes Tarigan
EDULEAD: Journal of Christian Education and Leadership Vol 2, No 2 (2021): Pendidikan Agama Kristen dan Kepemimpinan Kristen
Publisher : Sekolah Agama Kristen Terpadu Pesat Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47530/edulead.v2i2.79

Abstract

In the History of Ancient leadership, the Old Testament is a collection of books containing narratives with the largest collection of leadership case studies ever written. The author observes the significance of biblical leadership found throughout scripture because it is rooted in the way God chose to work with mankind. However, the role of leadership is undeniably determining the welfare and glory of those they lead. In this study, the author tries to specifically examine Yusuf's leadership. A leadership pattern that is widely discussed because it is full of spiritual and moral dimensions. The purpose of this study is to provide a historical analysis of (1) Spirituality and morality in Yusuf's leadership. (2) Application of Joseph's Leadership Experience to the Church Today? The method used is descriptive analysis in the book of Genesis 37-50. The result of this research is that Yusuf's leadership can be a model as a good lesson not only for individuals in leadership positions but for all those who want to improve their character.AbstrakDalam Sejarah kepemimpinan Kuno, kitab Perjanjian Lama merupakan kumpulan kitab yang berisi narasi dengan berbagai kumpulan studi kasus kepemimpinan terbesar yang pernah ditulis. Penulis mengamati signifikansi kepemimpinan alkitabiah ditemukan di seluruh kitab suci karena berakar pada cara Allah memilih untuk bekerja dengan umat manusia. Bagaimanapun peranan kepemimpinan tidak terbantahkan menentukan perihal kesejahteraan maupun kejayaan mereka yang dipimpin. Dalam Penelitian ini penulis mencoba untuk mengkaji secara khusus kepemimpinan Yusuf. Suatu pola kepemimpinan yang banyak dibicarakan karena sarat akan dimensi spiritual dan moralnya. Tujuan penelitian ini untuk memberikan analisis historis mengenai (1) Spiritualitas dan moralitas dalam kepemimpinan Yusuf. (2) Aplikasi dari Pengalaman Kepemimpinan Yusuf Bagi Gereja Di Masa Kini. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif pada kitab Kejadian 37-50. Hasil penelitian ini adalah kepemimpinan Yusuf menjadi model berharga sebagai pelajaran yang baik bukan hanya bagi individu dalam posisi kepemimpinan tetapi semua orang yang ingin meningkatkan karakter mereka.
Orisinalitas Pneumatologi John Calvin sebagai “Teolog Roh Kudus” Herman Herman; Ceria Ceria; Fredy Simanjuntak
DIEGESIS: Jurnal Teologi Kharismatika Vol 5, No 1: Juni 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53547/diegesis.v5i1.180

Abstract

John Calvin is one of the foremost theologians among reformed theologians. His works are a major contribution to the history of Protestant development even to the present day. But along the way, the development of Protestant theology has produced two views on the sustainability of the gifts of the Spirit. One of the views is to see that the gifts of the Holy Spirit no longer occur after the Biblical canonization (cessationism). This view is dominated by most Calvinist theologians and eventually creates the stigma that Calvin theology does not emphasize the Holy Spirit in its doctrines, even though in his day Calvin was given the nickname "The Theologian of the Holy Spirit”. This fact goes against the built stigma. To answer this question, the writer uses the descriptive-qualitative research method by reviewing the theology of the Holy Spirit written by Calvin in his masterpiece Institutes of The Christians, and the context at that time. In the end, this research finds that the main points of the Calvin’s Holy Spirit theology that are not indicated to the built stigma about Calvin’s Holy Spirit theology are the basis of cessationist or rationalist, but on the contrary, in accordance to the nickname given to him as the theologian of the Holy Spirit who integrated the theology of the Holy Spirit in all of his doctrines and ministries based on the Bible. AbstrakJohn Calvin merupakan salah satu teolog terkemuka dari kalangan teolog-teolog reformasi. Karya-karyanya memberikan kontribusi besar dalam sejarah perkembangan Protestan hingga saat kini. Namun dalam perjalanan perkembangan teologi Protestan telah menghasilkan dua pandangan mengenai keberlangsungan karunia-karunia Roh. Salah satunya melihat bahwa karunia-karunia Roh Kudus tidak lagi berlangsung setelah pengkanonan Alkitab (cessasionism), pandangan ini didominasi oleh sebagian besar teolog Calvinis dan akhirnya menimbulkan stigma bahwa teologi Calvin tidak menekankan Roh Kudus dalam doktrin-doktrinnya. Padahal pada zamannya Calvin diberi julukan “Teolog Roh Kudus”. Kenyataan ini menimbulkan kontradiksi dengan stigma yang terbangun. Untuk menjawab pertanyaan ini maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan meninjau kembali teologi Roh Kudus Calvin yang tertulis dalam maha karyanya yaitu Intitutes of The Christian dan konteks pada masa itu. Pada akhirnya penelitian ini menemukan pokok-pokok teologi Roh Kudus Calvin yang tidak terindikasi kepada stigma yang terbangun mengenai teologi Roh Kudus Calvin adalah dasar cessasionist atau rasionalis tetapi justru sebaliknya seperti julukan yang diberikan kepadanya sebagai teolog Roh Kudus yang mengintegrasi teologi Roh Kudus dalam semua doktrin dan pelayanannya dengan dasar Alkitab.
Kajian Teologis terhadap Ajaran Hyper-Grace Joseph Prince Fredy Simanjuntak
DIEGESIS: Jurnal Teologi Kharismatika Vol 2, No 1 (2019): Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (716.192 KB) | DOI: 10.53547/diegesis.v2i1.48

Abstract

Lately the topic of "grace" has also become a discussion and debate which is being discussed in the church environment. The term is also commonly called "modern grace" or "grace reform". The term is used by a number of teachers or characters in explaining their theological understanding of grace which they consider to be a new revelation of grace. The teaching of the gospel of grace does not refer to a particular church, but rather to theological teaching or understanding that is spreading very quickly to various churches throughout the world. There are some figures who write a number of books in their books describing the gospel teaching of grace, some of which are well-known and influential are Paul Ellis, Joseph Prince, Steve McVey, Clark Whitten and other gospel instructors of grace. Joseph Prince cannot be denied as one of these "grace" teachers who also influences the views of Christians in Singapore, America and Indonesia. AbstrakBelakangan ini topik mengenai “anugerah” (grace) juga menjadi diskusi dan perdebatan yang marak dibicarakan di lingkungan gereja. Istilahnya biasa juga disebut “kasih karunia modern” atau “Reformasi kasih karunia”. Istilah tersebut digunakan oleh sejumlah pengajar atau tokoh dalam menjelaskan pemahaman teologi mereka mengenai kasih karunia yang mereka anggap sebagai pewahyuan baru mengenai kasih karunia. Pengajaran tentang injil kasih karunia bukan merujuk kepada suatu gereja tertentu, tetapi lebih kepada pengajaran atau pemahaman teologi yang sedang merebak dengan sangat cepat ke berbagai gereja di seluruh dunia. Ada beberapa tokoh yang menulis sejumlah buku yang di dalam buku mereka menjelaskan pengajaran injil kasih karunia, beberapa diantaranya yang terkenal dan berpengaruh adalah Paul Ellis, Joseph Prince, Steve McVey, Clark Whitten dan pengajar injil kasih karunia lainnya. Tidak dapat disangkal Joseph Prince sebagai salah satu pengajar “anugerah” ini yang juga mempengaruhi pandangan orang-orang Kristen di Singapura, Amerika dan Indonesia.
Praksis Yesus Menafsir Ulang Torah Fredy Simanjuntak; Eko Prasetyo; Rita Evimalinda
DIEGESIS: Jurnal Teologi Kharismatika Vol 2, No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (509.76 KB) | DOI: 10.53547/diegesis.v2i2.52

Abstract

The Practical Jesus Interpreted the ToraThe central position of the Torah in the Gospels needs to be understood from the way Jesus taught the Torah and the results for establishing the purpose of the Torah. Starting from the response of the scribes or Pharisees interpreted the existence of contradictions in Jesus' ministry regarding the violation of the Torah. Without knowing the context, we cannot know the current debate between Jesus and the scribes and Pharisees. This paper aims to analyze and describe Jesus' actions not as violations but rather than reinterpreting the true Torah.AbstrakPosisi sentral Torah dalam Injil perlu dipahami dari cara Yesus mengajarkan Taurat dan hasil untuk menetapkan maksud Taurat. Bertolak dari tanggapan para ahli taurat atau orang farisi memaknai adanya kontradiksi dalam pelayanan Yesus mengenai pelanggaran Torah. Tanpa mengetahui konteksnya, kita tidak bisa mengetahui perdebatan yang terjadi pada saat itu antara Yesus dengan para ahli taurat dan orang farisi. Tulisan ini Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dan menggambarkan aksi Yesus bukan sebagai pelanggaran tetapi lebih dari kepada menafsir ulang Torah secara utuh.
Larut tapi Tidak Hanyut: Sebuah Refleksi Spiritualitas Gereja dalam Pusaran Teknologi di Masa Pandemi Covid-19 Fredy Simanjuntak
DIEGESIS: Jurnal Teologi Kharismatika Vol 4, No 2: Desember 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (597.904 KB) | DOI: 10.53547/diegesis.v4i2.93

Abstract

The Covid-19 pandemic has challenged churches to migrate to virtual spaces. This certainly affects the spirituality of the Church in double space. Through this article, we will examine 1) How can the church connect spirituality with technology without getting lost in the vortex of the void of the modern technology itself, 2) How can the church navigate this new landscape without losing focus on its God-given mission? This research is descriptive research, using a qualitative approach. This paper aims to frame a new paradigm for a balanced church in interpreting church spirituality in the vortex of technological progress. The results of this study indicate that the theological system in Christianity is a transformational conceptual framework that is always fresh, flexible, and balanced from various dimensions of life and context. A changing situation requires transformative perspectives and practices so that the church does not lose its spirituality and God's mission in the context of society, nation, and state. Keywords: church; reflection; spirituality; technology; the Covid-19 pandemic AbstrakPandemi Covid-19 telah menantang gereja untuk bermigrasi ke ruang virtual. Hal ini tentu mempengaruhi spiritualitas Gereja dalam ruang ganda. Melalui artikel ini akan dikaji 1) Bagaimana gereja dapat menghubungkan spiritualitas dengan teknologi tanpa tersesat dalam pusaran kehampaan teknologi modern itu sendiri, 2) Bagaimana gereja dapat menavigasi lanskap baru ini tanpa kehi-langan fokus pada misi yang diberikan Tuhan? Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tulisan ini bertujuan untuk membingkai paradigma baru bagi gereja yang seimbang dalam memaknai spiritualitas gereja dalam pusaran kemajuan teknologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem teologi dalam agama Kristen merupakan kerangka konseptual transformasional yang selalu segar, fleksibel dan seimbang dari berbagai di-mensi kehidupan dan konteks. Situasi yang berubah membutuhkan perspektif dan praktik trans-formatif agar gereja tidak kehilangan spiritualitas dan misi Tuhan dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kata kunci: gereja; pandemi Covid-19; refleksi; spiritualitas; teknolog
Tinjauan Etis Teologis Tentang Peneguhan Nikah Pasangan Hamil di Luar Nikah Di Gereja Penyebaran Injil Aprianus Simanungkalit; Fredy Simanjuntak; David Martinus Gulo; Juan Ananta Tan
RERUM: Journal of Biblical Practice Vol. 2 No. 2 (2023): RERUM: The Journal of Biblical Practice
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Moriah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (569.805 KB) | DOI: 10.55076/rerum.v2i2.16

Abstract

This research is based on differences in understanding of pastoral care in the context of the Gereja Penyebaran Injil (GPI). The issue that is often disputed is the distinction between blessing and confirmation of marriage. In fact, certain churches have the opinion that the marriage blessing intended for them is considered sacred, in the sense that the bride and groom in the observation of the pastor and the congregation have not had sexual intercourse. While the term confirmation of marriage is intended for those whose two brides have had sex outside of marriage so that they become pregnant. For the church/person who distinguishes between the blessing and confirmation of marriage, the place is also different. If the blessing is done in the church, while the confirmation is done outside the church building, for example houses, public buildings and so on. The purpose of the research in this scientific work is to explain the ethical review of the Church under the auspices of the Evangelical Spreading Church on the blessing of pregnant couples out of wedlock. The research method is through library research, interviews, and several people who are participants in this research. The results of this study are the church is God's partner to bless not to impose sanctions, GPI needs to reformulate the concept of marriage blessing by considering ethical theological decisions in pastoral care for pregnant couples out of wedlock.   Penelitian ini didasari oleh perbedaan pemahaman pelayanan pastoral dalam konteks Gereja Penyebaran Injil (GPI). Isu yang sering dipermasalahkan adalah pembedaan pemberkatan dan peneguhan nikah. Faktanya, beberapa gereja tertentu mempunyai pendapat bahwa pemberkatan nikah diperuntukan bagi mereka dianggap suci, dalam pengertian kedua pengantin dalam pengamatan pendeta dan jemaat belum melakukan hubungan seksual. Sementara istilah peneguhan nikah diperuntukan bagi mereka yang kedua pengantin telah berhubungan seks di luar nikah sehingga hamil. Bagi gereja/orang yang membedakan antara pemberkatan dan peneguhan nikah, tempat pun juga dibedakan. Jika pemberkatan dilakukan di gereja, sedangkan peneguhan dilakukan di luar gedung gereja, misalnya rumah, gedung umum dan lain sebagainya. Tujuan penelitian dalam karya ilmiah ini ialah Menjelaskan tinjauan etis Gereja di Bawah naungan Gereja Penyebaran Injil terhadap pemberkatan pasangan hamil di luar nikah. Metode penelitian melalui studi kepustakaan, wawancara, dan beberapa orang yang menjadi partisipan dalam penelitian ini.  Hasil penelitian ini adalah gereja merupakan mitra Allah untuk memberkati bukan untuk menjatuhkan sanksi, GPI perlu menformulasikan kembali konsep pemberkatan nikah dengan mempertimbangkan keputusan yang etis teologis dalam pelayanan pastoral pasangan hamil di luar nikah.
Dari padang gurun hingga ke belantara posmodernisme: Refleksi perjalanan spiritualitas gereja Simanjuntak, Fredy; Baito, Linus; Marpaung, Welko Henro
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 8, No 1: April 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v8i1.481

Abstract

In the Old Testament, the metaphor of the "desert" is quite central in the spiritual image of God's people. In the ancient world, the reality of the wilderness was a pivotal point in Israel's encounter with God. Associated with the life of the church today, the reality of postmodernism becomes a new challenge that causes distortion and fragmentation between orthodoxy, orthopathy, and orthopraxy in church life. This essay aims to examine how desert spirituality can be integrated into the contemporary Christian life. This study uses a qualitative approach with socio-theological analysis. The results of this study are expected to develop a critical awareness of the church about the complex social meaning of desert spirituality practices that can be integrated into postmodern social reality as a transformational practice of personal life, service, and society. AbstrakDalam Perjanjian Lama metafora “padang Gurun” cukup sentral dalam imajinasi spiritualitas umat Allah. Di dunia kuno realitas padang gurun merupakan titik penting perjumpaan Israel dengan Allah. Dikaitkan dengan kehidupan gereja di masa kini, realitas postmodernisme menjadi tantangan baru yang menimbulkan distorsi dan fragmentasi antara ortodoksi, ortopati dan ortopraksis dalam kehidupan menggereja. Esai ini bertujuan mengkaji bagaimana spiritualitas padang gurun dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan kekristenan kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis sosio-teologis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kesadaran kritis gereja tentang makna sosial yang kompleks dari praktik spiritualitas padang gurun yang dapat diintegrasikan dalam realitas sosial postmodern sebagai praktik transformasional kehidupan pribadi, pelayanan dan masyarakat.
Refleksi konseptual misi Yesus melalui keramahan gereja di Indonesia Simanjuntak, Fredy; Papay, Alexander Djuang; Lahagu, Ardianto; Evimalinda, Rita; Ferry, Yusak Hentrias
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 7, No 2: Teologi Menstimulasi Nilai-nilai Kemanusiaan dan Kehidupan Bersama dalam Bingkai Kebang
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v7i2.329

Abstract

Jesus, reflecting on the context of the mission in the Gospels, often touches on various dimensions, both physical, emotional, intellectual, social, and spiritual for each person and his environment. Many Gospel narratives show the face of friendliness as well as the social responsibility of Jesus in public spaces. Jesus didn't just stop at the gracious nature of God in His mission of ministry but also inspired his listeners to bring out the same kind of hospitality that Jesus did. This needs to reflect the portrait of church life in Indonesian society, which in general tends to focus on religious formalism. This paper aims to explore the concept of Jesus' mission and to realize it practically in the context of Indonesian society today. The method used is descriptive analysis and a hermeneutic approach to the narratives in the Gospels. This study seeks to offer a contextual concept and model of Jesus' ministry to the community served not only as an object of God's hospitality but also as a subject who actively participates in presenting hospitality in public spaces. In conclusion, the mission that Jesus intended to be carried forward by the church was God's mission which Jesus himself had accomplished during his earthly ministry, namely manifesting God's hospitality for humans through the preaching of the gospel and social care.AbstrakYesus, dalam konteks misi di Injil, kerap menyentuh berbagai dimensi, baik secara fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual, setiap orang dengan lingkungannya. Narasi Injil banyak menunjukkan wajah keramahan sekaligus tanggung jawab sosial Yesus di ruang publik. Yesus tidak hanya berhenti pada sifat keramahan Allah dalam misi pelayanan-Nya, namun juga menginspirasi para pendengarnya untuk menghadirkan keramahan yang sama, seperti yang Yesus lakukan. Hal ini perlu menjadi refleksi potret kehidupan bergereja pada masyarakat Indonesia, yang umumnya cenderung terfokus kepada formalisme agawami. Artikel ini bertujuan untuk menggali konsep misi Yesus serta merealisasikan secara praktis dalam konteks masyarakat Indonesia di masa ini. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif serta pendekatan yang hermeneutis pada narasi kitab-kitab Injil. Penelitian ini berupaya menawarkan konsep dan model pelayanan Yesus yang kontekstual kepada komunitas yang dilayani, bukan hanya sebagai objek keramahan Allah, namun sekaligus sebagai subjek yang aktif berpartisipasi menghadirkan keramahan pada ruang publik. Kesimpulannya, jelas terlihat bahwa misi yang dimaksudkan Yesus untuk diteruskan oleh gereja adalah misi Allah yang telah dikerjakan Yesus sendiri selama pelayanan-Nya di dunia, yaitu memanifestasikan keramahan Allah bagi manusia melalui pemberitaan Injil dan kepedulian sosial.
Profleksi Liturgi Misional Pentakostal: Revitalisasi Liturgi Pentakostal dalam Ibadah Minggu Fredy Simanjuntak
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 7, No 2 (2023): April 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v7i2.813

Abstract

Abstract. The phenomenon of the Pentecostal liturgical movement has been shown to significantly change the face of Christianity globally. The most effective particularity for this movement is its liturgical style which is relevant and connected to contemporary culture. Pentecostal creative liturgy has proven to be a contributing factor in the development of this movement. However, along with the development and growth of the Pentecostal movement, implied a shift in focus from missionary goals to individual goals in the liturgy of worship. This is certainly a challenge for the Pentecostal Church in revitalizing its liturgy. This study used qualitative research methods by utilizing various data from literature studies. This paper aimed to construct the concept of proflexion which was initiated by Joas Adiprasetya in revitalizing the Pentecostal liturgy. The results showed that the concept of proflection is in line with the vitality of the Pentecostal liturgical movement at this time.Abstrak. Fenomena gerakan liturgi kelompok Pentakostal telah terbukti secara signifikan mengubah wajah kekristenan secara global. Adapun partikularitas yang paling efektif bagi gerakan ini adalah corak liturginya yang relevan terkoneksi dengan budaya kontemporer. Liturgi kreatif Pentakostal telah terbukti menjadi faktor pendukung dalam perkembangan aliran ini. Namun seiring dengan pekembangan dan pertumbuhan gerakan Pentakostal tersebut, tersirat pergeseran fokus dari tujuan misional ke tujuan individual dalam liturginya ibadahnya. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi Gereja Pentakostal dalam merevitalisasi liturginya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan memanfaatkan berbagai data dari studi literatur. Penulis mengajukankonstruksi konsep profleksi yang digagas oleh Joas Adiprasetya dalam merevitalisasi liturgi Pentakostal.Hasil penelitian menunjukkan konsep profleksi sejalan dengan vitalitas gerakan liturgi Pentakostal pada masa kini yang berlandaskan karya Roh Kudus.
Musik Sebagai Media Terapi Penyembuhan: Sebuah Penelusuran Historis dalam Alkitab Fredy Simanjuntak
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 8, No 2: Juni 2022
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v8i2.66

Abstract

Music has evolved in such a way, including within the church itself, but there is a part of music that is often overlooked in the church, namely the power of music in healing. In particular, the researcher takes the setting of the use of music in pentecostal-charismatic churches. This paper is a historical search in the Bible regarding the use of music in worship as a healing medium. The researcher as one of the music activists in the church gives an assessment that the sound produced by musical instruments in a series of praise and worship in worship affects the welfare of the congregation. The type of research used is descriptive research, using a qualitative approach. Researchers conclude that musical healing is real and far from speculation. Relying on the biblical basis of music as a therapeutic medium, the researchers revealed that music has the potential to have a therapeutic function in worship.  AbstrakMusik telah berkembang sedemikian rupa termasuk di dalam gereja sendiri, namun ada bagian dari musik yang sering terabaikan dalam gereja, yaitu kekuatan musik dalam kesembuhan. Secara khusus peneliti mengambil setting penggunaan musik pada gereja-gereja bercorak pentakosta-kharismatik. Tulisan ini merupakan sebuah penelusuran historis dalam Alkitab mengenai penggunaan musik dalam ibadah sebagai media penyembuhan. Peneliti sebagai salah seorang penggiat musik dalam gereja memberikan penilaian bahwa suara yang dihasilkan oleh alat musik dalam rangkaian pujian maupun penyembahan dalam ibadah mempengaruhi kesejahteraan jemaat. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menyimpulkan bahwa penyembuhan musik adalah nyata dan jauh dari spekulasi. Mengandalkan dasar alkitabiah musik sebagai media terapi, peneliti mengungkapkan bahwa musik berpotensi terhadap fungsi terapi dalam ibadah.  
Co-Authors Adenia Hotmayesi Sinaga Adis Klara Yunita Agustinus Sihombing Alfons R. Tampenawas Alfredo Manurung Aprianus Simanungkalit Baito, Linus Benteng M. M. Purba Boiliu, Noh Ibrahim Budin Nurung Ceria Ceria Ceria Ceria Christina M. Samosir Clarins Claristha H.D. Simatupang1 David Martinus Gulo David Martinus Gulo Debora Agustina Ratu Delfi Delfi Dewi Lidya Sidabutar Dian Kristina Sijabat Ditakristi, Agiana Her Visnhu Eko Prasetyo Elda Br. Situmorang Eliyscha Janetta Lumbansiantar Erwin B. Joya Ester Debora Br Siburian Ester Erlita Silaban Ester Novia Padidi Evimalinda, Rita Fereddy Siagian Ferry, Yusak Hentrias Foera-era ndruru Francois P Tomasoa George Samaran Gultom, Joni Manumpak Parulian Harefa, Desetina Harefa, Otieli Herman Herman Herman Hutagalung, Sabar Manahan Johannes Tarigan Josanti Josanti Juan Ananta Tan Lahagu, Ardianto Lidya Dewi S Lydia Caesera Saragi Marisi, Candra Gunawan Messy Causa Primay Noyita, Efvi Oferianus Bulolo Papay, Alexander Djuang Purba, Benteng Martua Mahuraja Rame Ima Irda Rini Sumanti Sapalakkai Rita Evimalinda Roy Martin Simanjuntak Sanjaya, Yudhy Selvi Agustina Sianipar, Ronald Sihombing, Aeron Frior Simanjuntak, Irfan Feriando Situmorang, Ester Lina Sophia, Selvyen Soraya Sara Kawai Stefanus Meo Nekin Susanto, Susilo Tafonao, Talizaro Takaliuang, Jammes Juneidy Togatorop, T. Mangiring Tua Waruwu, Septerianus Widjaja, Fransiskus Irwan Ya aman Gulo Ya aman Gulo2 Yefta Arisma Yoeli Zai Yosepin Koreanti Hutabarat Yusak Hentrias Ferry Zakaria Lumban Gaol