Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Hubungan antara Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) dengan Derajat Histopatologik dan Invasi Perineural pada Adenokarsinoma Prostat Ria Oktavia; R. Zuryati Nizar; Yenita; Tofrizal
Majalah Patologi Indonesia Vol 30 No 1 (2021): MPI
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia (IAPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55816/mpi.v30i1.458

Abstract

ABSTRAKLatar belakangEpidermal Growth Factor Receptor (EGFR) berperan penting pada karsinogenesis beberapa karsinoma termasuk karsinoma prostat.Overekspresi EGFR pada adenokarsinoma menyebabkan sel tumor menjadi resisten terhadap terapi hormonal. Tujuan penelitian iniuntuk mengetahui hubungan antara ekspresi EGFR dengan derajat histopatologik dan invasi perineural pada adenokarsinomaprostat.MetodePenelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional dengan sampel penelitian sebanyak 60 kasusadenokarsinoma prostat yang telah didiagnosis di 5 Laboratorium Patologi Anatomik di Sumatera Barat periode Januari 2015 sampaiDesember 2017. Sampel diperoleh dari blok parafin yang berasal dari jaringan hasil operasi transuretral resection of prostat (TURP)dan prostatektomi kemudian dilakukan reevaluasi terhadap derajat histopatologik dan invasi perineural. Ekspresi EGFR pada seltumor dilihat dengan pewarnaan imunohistokimia. Analisis statistik menggunakan uji Chi-Square.HasilEkspresi EGFR positif ditemukan pada 38 kasus (63,33%) dan kasus terbanyak dengan EGFR positif adalah poorly differentiated(57,9%). Kasus adenokarsinoma prostat dengan invasi perineural paling banyak ditemukan dengan ekspresi EGFR positif (42,1%).Analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara ekspresi EGFR dengan derajat histopatologik (p=0,003) dan tidakterdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi EGFR dengan invasi perineural (p=0,129).KesimpulanTerdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi EGFR dengan derajat histopatologik pada adenokarsinoma prostat dan tidakterdapat hubungan antara ekspresi EGFR dengan invasi perineural.
HUBUNGAN EKSPRESI TOPO2A DAN HER-2 DENGAN FAKTOR PROGNOSTIK HISTOPATOLOGIK KARSINOMA PAYUDARA INVASIF TIDAK SPESIFIK Yessy Setiawati; Salmiah Agus; Aswiyanti Asri; Tofrizal Tofrizal
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 2S (2019): Suplemen 2
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i2S.961

Abstract

Resistensi pengobatan yang ditandai dengan kekambuhan lokal-regional serta timbulnya efek samping sistemik yang hebat terhadap terapi non-bedah salah satu penyebab tingginya angka kematian pada penderita karsinoma payudara. Kemoterapi berbasis anthracycline diketahui lebih efektif mencegah kekambuhan lokal-regional namun berisiko terhadap kegagalan jantung sehingga dibutuhkan penanda spesifik untuk pemberian kemoterapi ini. TOPO2A merupakan molekul target direk anthracycline. Ekspresi protein dan kelainan gen TOPO2A diduga dapat dijadikan indikator pemberian anthracycline akan tetapi hasil penelitian saat ini masih ditemukan kontroversi. Kelainan gen TOPO2A selalu dikaitkan dengan amplifikasi gen HER-2 karena keduanya terletak pada kromosom yang sama dan diduga berhubungan dengan sensitifitas terhadap kemoterapi berbasis anthracycline. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 50 kasus karsinoma payudara invasif tidak spesifik yang dilakukan re-evaluasi terhadap jumlah mitosis dan derajat histopatologik. Ekspresi TOPO2A dan HER-2 dinilai secara imunohistokimia masing-masing pada inti dan membran sel, kemudian dinilai hubungannya dengan jumlah mitosis dan derajat histopatologik dengan menggunakan T-test, Oneway Anova dan Chi square test. Uji statistik bermakna jika nilai p<0,05. Overekspresi TOPO2A dan HER-2 masing-masing ditemukan pada 18 kasus (36%) dan 10 kasus (20%). Analisis statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara ekspresi TOPO2A dengan jumlah mitosis (p=0.004) dan derajat histopatologik (p=0.006), tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi HER-2 dengan jumlah mitosis (p=0.72) dan derajat histopatologik (p=1,000). Ekspresi protein TOPO2A secara konsisten berhubungan dengan karsinoma payudara yang agresif dibandingkan dengan ekspresi HER-2 dan dapat digunakan sebagai penanda prognostik terhadap pemberian kemoterapi berbasis anthracycline.
A Rare Case of Arteriovenous Hemangioma Clinically Mimicking Pigmented Nevus Sri Lestari; Tofrizal Tofrizal; Yenny Raflis
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v4i2.313

Abstract

Abstrak   Arteriovenous hemangioma (AH) adalah lesi jinak pembuluh darah kulit yang jarang, biasanya muncul pada kulit wajah berupa lesi tunggal, meninggi, papul merah, atau keunguan; kadang-kadang papul coklat. Dilaporkan satu kasus AH dengan gambaran klinis menyerupai nevus pada pasien perempuan yang berusia 19 tahun. Ini adalahkasus pertama di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. Dr. M. Djamil Padang. Pasien datang dengan keluhan bintik hitam di lengan kanan bawah sejak satu bulan lalu. Pada pemeriksaan fisik, terdapat papul hitam soliter, dengan ukuran 0,3 x 0, 4 mm, bentuk bulat, skuama halus,  berbatas tegas, pinggir reguler dengan permukaan tidak rata.Berdasarkan pemeriksaan histopatologi, lesi terdiri dari pembuluh darah yang berdinding tebal dan berdinding tipis yang sangat melebar, penuh dengan eritrosit dan dilapisi oleh selapis endotel yang sesuai untuk AH. Arteriovenous hemangioma adalah tumor yang dijumpai pada usia pertengahan hingga dewasa lanjut dengan puncak insiden pada dekade keempat dan kelima kehidupan. Pada kasus ini, umur pasien tergolong dewasa muda dengan gambaran klinis lesi menyerupai nevus pigmentosus. Kata kunci: arteriovenous hemangioma, kasus jarang, nevus pigmentosus Abstract Arteriovenous hemangioma (AH) is a rare benign vascular skin lesion, which typically appears in the skin of the face and extremities and  most commonly occurring on the head and neck region with appearances as single, raised, red, or violaceous papules; sometime tan papule. A case of AH clinically mimicking pigmented nevus in 19year-old womanwas reported. This is the first case in Dermatology Department of Dr.M. Djamil Padang Hospital. She complained about a black pimple on the right lower arm since one month. Physical examination: there is a solitare black papule, with 0,3x0,4 mm, round shape, fine scales, well defined, regular border with irreguler surface.Histopathology findings: the lesions consist of thicked-walled and very dilated thin-walled vessels that full-filled with erythrocytes and are lined by an endothelial layer that suitable for AH. Arteriovenous hemangioma is a tumor of middle-age to elderly adults with a peak incidence in the fourth and fifth decades of life. In this case, the patient was young adult and clinically the lesion mimicking pigmented nevus.Keywords:  arteriovenous hemangioma, rare case, pigmented nevus
Pengaruh Pemberian Valsartan Dan Kurkumin Terhadap Pembentukan Fibrosis Di Tubulus Proksimal Ginjal Akibat Obstruksi Ureter Unilateral pada Tikus Wistar. Lubis M; Alvarino Alvarino; Tofrizal Tofrizal; Erkadius Erkadius
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v2i1.53

Abstract

AbstrakPendahuluan: Obstruksi ureter adalah kondisi terhalangnya aliran urin dari ginjal ke buli-buli, adanya obstruksi pada ureter memperlambat laju filtrasi glomerulus dan dapat menyebabkan kerusakan parenkim ginjal. Fibrosis pada ginjal yang obstruksi timbul melalui dua mediator yaitu tumor nekrotik factor (TNF-α) dan angiotensin II. Penghambatan kedua mediator ini akan menurunkan tingkat fibrosis di tubulus proksimal ginjal akibat obstruksi. Zat yang bisa menghambat TNF-α salah satunya adalah kurkumin sedangkan Angitensin II dapat dihambat dengan valsatran. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, tikus wistar dibagi dalam dua kelompok dengan jumlah tiap kelompok adalah 15 ekor. Proksimal ureter kanan diikat dan kelompok perlakuan 1 sebagai kontrol diberi valsatran, kelompok perlakuan2 diberi valsartan dan kurkumin. Pemberian oral, dimana obat dilakukan pengenceran. Hari ke lima belas dilakukan pengambilan ginjal tikus wistar, diperiksa histologi. Pembentukan fibrosis di tubulus proksimal dianalisa dengan uji statistik chisquare dengan koreksi Yates dan t test, sedang terbentuknya degenerasi hidrofik dan terbentuknya atrofi pada tubulus proksimal dianalisa dengan uji statistik t test. Hasil: Adanya perbedaan bermakna perubahan pembentukan fibrosis di tubulus proksimal ginjal antara kelompok perlakuan dan kontrol ( Chi Squqre didapat nilai p ≤ 0,001 dan dengan t test didapat nilai p ≤ 0,000). Terbentuknya degenerasi hidrofilik di tubulus proksimal ginjal terdapat perbedaan bermakna terbentuknya degenerasi hidrofilik kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ( t test didapatkan nilai p ≤ 0,000). Terbentuknya atrofi di tubulus proksimal terdapatt perbedaan bermakna terbentuknya atrofi di tubulus proksimal ginjal kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ( t test didapat nilai p ≤ 0,000). Kesimpulan: Ada perbedaan pengaruh pemberian valsartan dan valsartan + kurkumin terhadap pembentukan fibrosis di tubulus proksimal ginjal. Perbedaan bermakna terbentuKata kunci: Obstruksi ureter, Valsartan, Kurkumin, Fibrosis, Degenerasi hidrofilik, AtrofiAbstractIntroduction: ureter obstruction is a condition where is an obstacle for urine flow from renal to blast (vesica urinaria). The obstruction in ureter will decrease glomerulus filtration flow and it destroys renal parenchym. Fibroses in obstructed renal present through two mediators, there are necrotizing tumor factors-α (TNF-α) and angiotension-II. Obstruction of this two mediators will decrease fibroses grading in proximal tubules of renal caused by obtruction. One of TNF-α inhibitors is curcumene and angiotension-II will be obstructed by valsartan. Methods: this experiment is kind of experimental type using animal experiment (Wistar Mice). Wistar Mice are divided into two groups, each group consist of 15 mice, so the total are 30 mice. This animals tighted with at proximal ureter The first group is control one, given valsartan. The second group is given valsartan and curcumene. Oral route and dilution before given. Medicine is given use 1 cc spuit. Giving action in 14 days. The fifteenth day, we take renal of Wistar and do histology examination. Significant difference between fibroses forming in proximal tubulus analyzed by Chi Square Statistic Test with correction of Yates and T-Test, beside that, hydofic degeneration and atrophy in proximal tubulus analyzed by T-Test Statistic Test. Result: there is significant difference in forming of fibroses in proximal tubules of renal between action group and controlled group (Chi Square with p ≤ 0.0001 and T-Test with p ≤ 0.000). In hydrophilic degeneration forming in proximal tubules gotten significant difference between two groups ( T-Test with p ≤ 0.000). In atrophy forming in proximal tubules, there is important difference between two groups (T-Test with p ≤ 0.000).Concultion. There is an effect in giving valsartan and curcumene to fibroses forming in proximal tubules of renal. There is significant difference in hydrophilic degeneration in proximal tubules of renal. And also there is important difference in atrophy forming in proximal tubules between two groups.Keywords:ureter obstruction, valsartan, curcumene, fibroses, hydrophilic degeneration, atrophy.
Akurasi Fine Needle Aspiration Biopsy sebagai Prosedur Diagnostik Nodul Tiroid di Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umun Pusat DR M Djamil Padang Suci Rahmadhani; Aswiyanti Asri; Tofrizal Tofrizal
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i3.895

Abstract

Nodul tiroid dapat disebabkan oleh suatu neoplasma ataupun bukan neoplasma/non neoplasma. Salah satu pemeriksaan awal dalam mendiagnosis nodul tiroid adalah Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB). Teknik FNAB aman, murah, dan risiko komplikasi kecil. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi FNAB sebagai prosedur diagnostik nodul tiroid di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr M Djamil Padang. Penelitian ini adalah studi analitik dengan metode uji diagnostik menggunakan data sekunder pasien dengan nodul tiroid di RSUP Dr M Djamil Padang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 45 kasus pasien nodul tiroid dengan pemeriksaan FNAB dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi hasil operasi. Dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas, menunjukkan bahwa akurasi FNAB adalah sebesar 62,2% dengan sensitifitas 61,2%, spesifisitas 62,5 %, nilai prediksi positif 75 %, nilai prediksi negatif 47,6 %. Pada pemeriksaan FNAB didapatkan akurasi yang rendah, maka diperlukan pemeriksaan histopatologi dalam menegakkan diagnosa nodultiroid secara akurat. Simpulan penelitian ini adalah FNAB dapat digunakan sebagai sarana diagnostik preoperatif nodul tiroid, tetapi bukan sebagai pengganti diagnosis histopatologi yang masih menjadi diagnosa pasti untuk nodul tiroid.
Hubungan Ekspresi Survivin dengan Subtipe Molekuler Karsinoma Mammae Invasif Shinta Ayu Intan; Yenita Yenita; Tofrizal Tofrizal; RZ Nizar
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 3 (2019): Online September 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i3.1036

Abstract

Karsinoma mammae merupakan salah satu penyebab utama kematian pada perempuan di seluruh dunia. Karsinoma ini memiliki prognosis, respon pengobatan serta perilaku klinis yang berbeda yang disebabkan oleh karakteristik molekuler yang berbeda. Berbagai faktor prognostik telah menjadi dasar dalam pemberian terapi adjuvan (dan kelangsungan hidup). Salah satu molekul yang memiliki peran sebagai faktor prognostik adalah survivin. Tujuan penelitian adalah menentukan hubungan ekspresi survivin dengan subtipe molekuler karsinoma mammae invasif. Penelitian ini menggunakan metode analitik potong lintang. Sampel adalah 40 kasus dari sediaan blok parafin karsinoma mammae invasif yang didiagnosis histopatologi di Sentra Diagnostik Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatera Barat periode Januari 2014-Desember 2017 serta reevaluasi subtipe molekuler yang telah diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung berdasarkan pemeriksaan imunohistokimia ER, PR, Her-2 dan Ki-67. Ekspresi survivin dinilai secara imunohistokimia ditandai dengan warna coklat pada inti dan sitoplasma sel tumor. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Chi-square. Ekspresi survivin positif ditemukan pada 27 kasus dengan 9 sampel (33,3%) subtipe luminal, 8 sampel (29,6%) subtipe Her-2, dan 10 sampel (37%) subtipe Triple-negative. Karsinoma mammae invasif paling banyak ditemukan pada kelompok usia 50-59 tahun serta subtipe molekuler terbanyak adalah subtipe Triple-negative. Kesimpulan penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna antara ekspresi survivin dengan subtipe molekuler karsinoma mammae invasif (p=0,770).
HUBUNGAN EKSPRESI NEGATIF MLH-1 DENGAN GAMBARAN KLINIKOPATOLOGIK KARSINOMA KOLOREKTAL Selly Alinta Syukri; Tofrizal Tofrizal; Aswiyanti Asri; Salmiah Agus
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 1S (2019): Suplemen 1
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i1S.915

Abstract

Kejadian karsinoma kolorektal (KKR) meningkat dari tahun ke tahun, menduduki peringkat ketiga pada laki-laki, kedua pada perempuan serta keempat dari seluruh kematian akibat kanker. Kelangsungan hidup KKR menurun terutama di negara berkembang. Instabilitas mikrosatelit (IM) merupakan jalur karsinogenesis KKR, ditandai dengan delesi atau insersi nukleotida karena defek pada gen perbaikan ketidak cocokan DNA. Karsinoma kolorektal yang terjadi melalui jalur IM memberikan prognosis lebih baik dan respon adjuvan kemoterapi berbeda dari KKR jalur lain. Permasalahan pada gen MLH-1 seringkali terkait dengan parameter klinikopatologik (usia, jenis kelamin, lokasi tumor dan subtipe histopatologik). Gambaranklinikopatologik dengan ekspresi MLH-1 meningkatkan ketepatan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi negatif MLH-1 dengan gambaran klinikopatologik KKR.Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan melibatkan 50 kasus KKR yang didiagnosis di 4 laboratorium Patologi Anatomik Sumatera Barat. Sampel diambil dari blok paraffin jaringan pembedahan, diklasifikasikan berdasarkanusia, jenis kelamin, lokasi tumor dan subtipe histopatologik. Antibodi MLH-1diproduksioleh D Bio System (DBS). Pewarnaan dilakukan untuk menentukan ada/ tidaknya ekpresi MLH-1 pada inti sel tumor. Analisis statistik bivariat menggunakanuji Chi-Square, T-Testdan One Way Annova dengan nilai p< 0,05 dianggap signifikan. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi negatif MLH-1 ditemukan pada 17 kasus (34%). Analisis statistik menunjukkan hubungan tidak bermakna antara ekspresi negatif MLH-1 dengan usia, jenis kelamin, lokasi tumor (nilai p berturut-turut 0,277, 0,557 dan 0,093) dan hubungan bermakna dengan subtipe histopatologik (p=0,002). Kesimpulan adalah ekspresi negatif MLH-1 meningkat pada pasien KKR berusia >40 tahun, jenis kelamin laki-laki, lokasi tumor di proksimal dan subtipe histopatologik karsinoma musinosa.
Gambaran Sitologi Eksfoliatif Pada Apusan Mukosa Mulut Murid SD Negeri 13 Sungai Buluh Batang Anai Padang Pariaman Athika Rahmawati; Tofrizal Tofrizal; Yenita Yenita; Siti Nurhajjah
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i2.809

Abstract

Sitologi eksfoliatif bertujuan untuk melihat keadaan sel terdeskuamasi. Secara fisiologis, sel-sel permukaan terus menerus terdeskuamasi karena jaringan tubuh terus mengalami pembaruan. Sitologi eksfoliatif dapat dilakukan di jaringan lunak rongga mulut seperti mukosa bukal, gingiva, labial dan lidah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran sitologi eksfoliatif pada apusan mukosa mulut murid Sekolah Dasar. Studi deskriptif ini dilakukan dengan metode cross sectional di SD Negeri 13 Sungai Buluh Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dari bulan Oktober 2017-Mei 2018. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dengan jumlah 38 orang. Hasil penelitian mendapatkan jenis leukosit pada apusan mukosa mulut adalah netrofil segmen (69,4%), limfosit (13,3%), netrofil batang (10%), dan dalam jumlah kecil monosit, dan eosinofil. Didapatkan variasi dari kepadatan leukosit pada sampel mulai dari 2 sel per lapang pandang hingga 194 sel per lapang pandang, dengan jumlah rerata seluruh sampel dalam 5 lapang pandang sebanyak 25 sel. Jenis sel epitel pada apusan mukosa mulut adalah sel intermediet (58,9%), superfisial (37,2%), dan dalam jumlah kecil parabasal, dan basal. Simpulan studi ini ialah jenis leukosit yang paling dominan adalah netrofil segmen dengan kepadatan leukosit bervariasi dan sel epitel yang paling dominan adalah sel intermediet.
Glutamine Supplementation Effects on Reducing Inflammation in The Ileum of Acute and Chronic Diarrhea Rats Induced by Enteropathogenic Escherichia coli Deddy Satriya Putra; Fadil Oenzil; Eryati Darwin; Hafni Bachtiar; Tofrizal Tofrizal
The Indonesian Biomedical Journal Vol 12, No 3 (2020)
Publisher : The Prodia Education and Research Institute (PERI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18585/inabj.v12i3.1124

Abstract

BACKGROUND: Glutamine, a non-essential amino acid, is the main fuel in the gastrointestinal mucosa. It is thought to protect the intestinal mucosa against local or systemic injury from diarrhea. This study aimed to determine the relationship between glutamine supplementation and ileum histopathology in acute and chronic diarrhea rats induced by enteropathogenic Escherichia coli (EPEC).METHODS: A randomized post-test only control group design was conducted. Thirty Rattus norvegicus Wistar strain were divided into 5 groups: one negative control group, two acute, and two chronic diarrhea groups. All four diarrhea groups were induced by EPEC at a dose of 108 CFU/mL. One acute and one chronic groups were supplemented with glutamine at a dose of 810 mg/200 g body weight for 14 days. While the other two diarrhea groups were not treated. The intestinal histopathology of each group was assessed and the level of inflammation was classified.RESULTS: Significant differences in inflammation levels were found among the groups (p<0.05). The highest inflammation level was observed in the acute diarrhea group without glutamine supplementation. Inflammation levels of both acute and chronic diarrhea with glutamine supplementation groups were significantly lower than the inflammation levels of acute and chronic diarrhea without glutamine supplementation groups.CONCLUSION: Supplementation of glutamine reduces the level of inflammation and leads to the histopathological improvement of the rat’s ileum.KEYWORDS: enteropathogenic Escherichia coli, glutamine, gastrointestinal tract, histopathology, ileum
The Correlation between Human papillomavirus and Increased Expression of p53 in Seborrheic Keratosis Fesdia Sari; Sri Lestari; Rina Gustia; Ennesta Asri; Tofrizal Tofrizal
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 32 No. 3 (2020): DECEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikk.V32.3.2020.195-199

Abstract

Background: Seborrheic keratosis is a benign epidermal skin tumor caused by sun exposure, virus, and genetic factor. Human papillomavirus (HPV) infection presumed to have an important role in seborrheic keratosis. Protein p53 is a protein produced by tumor suppressor gene. There has been no research that correlates of HPV with p53 increase in seborrheic keratosis. Purpose: To prove the correlation between HPV and increased p53 expression in seborrheic keratosis. Methods: This study is an analytic cross-sectional comparative study. Samples were taken using a consecutive sampling method. There were 22 seborrheic keratosis patients recruited as the research sample. HPV were detected using the polymerase chain reaction (PCR), and p53 expression were detected using the immunohistochemistry examination. Result: The mean age of seborrheic keratosis patients in this study was 54.36±10.09 years, and they were predominantly males (54.5%). HPV were found in 86.4% of the seborrheic keratosis patients. The P53 expression (+) were 77.3%, (++) were 13.6%, and (+++) were 9.1%. All of the seborrheic keratosis with increased  p53 expression had positive HPV results, but with no significant results (p=0.600). Conclusion: There were no correlation between HPV with increased  p53 expression in seborrheic keratosis patients.