Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

URGENSITAS KOMPETENSI TENAGA PENDIDIK BAHASA INGGRIS DALAM KONTEKS PERSAINGAN GLOBAL Yuniarti, Yuniarti
Jurnal Mentari Vol 15, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang Seperti kita ketahui, pendidikan adalah proses membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik.  Suatu negara yang tidak melihat pendidikan akan mengalami ketertinggalan dari negara lain dan masyarakatnya sendiri tidak mampu bersaing dengan dunia luar.  Menilik dari pengalaman Negara lain, Jepang dan Korea menjadi negara maju dan mereka dihargai di dunia karena kekreatifitasan, keinofatifan dan kemajuan di bidang pengetahuan.  Kedua negara tersebut ternyata berkomitmen terhadap penguasaan ilmu dan bahasa Inggris sebagai suatu keharusan. Hingga saat ini, kedua negara tersebut dapat bersaing di berbagai sektor. Penguasaan ilmu dan bahasa Inggris adalah kunci utama.   Mengapa bahasa Inggris? Berbicara tentang bahasa Inggris, sejarah telah membuktikan bahasa Inggris lebih dominan sebagai bahasa yang didalamnya terdapat banyak ilmu dan peradaban.  Dominasi bahasa Inggris terjadi ketika kolonialisme barat berhasil melakukan perluasaan politik, ekonomi, ilmu & teknologi, dan budaya. Itulah sebabnya mengapa bahasa Inggris diakui dan digunakan sebagai alat dalam mengembangkan pengetahuan, bernegosiasi bisnis, dan berkomunikasi dengan dunia luar.  Seperti yang diungkapkan oleh Naisbitt berikut ini: “There are, in the world today, more than one billion English speakers-people who speak English as a mother tongue, as a second language, or as a foreign language.  60 per cent of the radio broadcasts are in English. 70 per cent of the world’s mail is addressed in English.  80 per cent of all international telephone conversations are in English. 80 per cent of all data in the several 100 million computers in the world is in English”.[1] Saat ini, di dunia ada lebih dari satu milyar orang yang berbicara dalam bahasa Inggris sebagai bahasa ibu, sebagai bahasa kedua atau sebagai bahasa asing.  60% penyiaran radio menggunakan Bahasa Inggris. 70% surat-menyurat di dunia menggunakan Bahasa Inggris.  80% percakapan telepon internasional menggunakan Bahasa Inggris.  80% semua data dalam 100 juta computer di dunia menggunakan Bahasa Inggris. Hal serupa diungkapkan Ferguson berdasarkan penelitian ilmiah bahwa sumber ilmu pengetahuan dan korporasi multinasional, terkenal dan ikonik menggunakan bahasa Inggris[2]. Singkatnya, tingkat penguasaan bahasa Inggris begitu penting karena era globalisasi tidak dapat dihindari dan dunia mengalami perubahan cepat dalam dimensi hubungan internasional tanpa sekat melalui web, internet, perjanjian, transaksi, ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, dan kesempatan. Menurut Indrawati, sebuah penelitian indeks pengembangan  sumber daya manusia (HDI) yang dilakukan UNDP telah mengeluarkan hasil bahwa dari 174 negara yang disurvei, sumberdaya manusia Indonesia berada di level 102.  Sumber daya manusia Indonesia tertinggal 50 tahun dari Singapore dan Malaysia. Kita masih tertinggal jauh khususnya dalam penguasaan bahasa Inggris.[3] Hasballah mengungkapkan hanya beberapa orang Aceh yang memiliki posisi strategis dalam pekerjaan pada saat sesudah tsunami di Rehabilitasi-Rekonsialiasi Aceh-BRR dan internationals organizations (NGOs).  Itupun lebih dikarenakan faktor politik dan sosial-ekonomi bukan karena keahliannya atau kompeten dalam bekerja.  Posisi yang strategis tersebut banyak diduduki orang luar yang lebih kompeten dalam pengetahuan dan penguasaan bahasa Inggris.[4] Berdasarkan fakta tersebut yang diungkap Hasballah, maka perlu kiranya para lulusan pada masa mendatang dipersiapkan untuk dapat bersaing dan mendapatkan pekerjaan yang ‘oriented-overseas job’ seperti di Timur Tengah, di negara-negara asia yang maju seperti Malaysia, Singapore, Japan, Korea atau Australia. Kesempatan kerja harus lebih mengarah pada pekerjaan yang bersifat keahlian atau ‘expert’ seperti ahli telekomunikasi, pedagang berbasis teknologi, dan di badan-badan internasional.[5] Lemahnya sumber daya Indonesia sangat bergantung dari para pendidik yang berkompeten dalam menghasilkan lulusan yang unggul. Yang ingin penulis diskusikan di sini adalah sejauh mana kompetensi pendidik bahasa Inggris secara profesi dan akademik? Tujuan artikel ini adalah untuk mengupas indikator ketidakunggulan kompetensi pendidik Bahasa Inggris dan mencari solusi meningkatkan kompetensi para pendidik Bahasa Inggris. Dalam kamus Webster New Collegiate (1981), profesi (profession) adalah panggilan dalam memperoleh spesialisasi pengetahuan melalui persiapan panjang dan intensif pada institusi.  Ketika seseorang sudah memiliki spesialisasi pengetahuan dan bekerja dengan ilmu tersebut maka seseorang tersebut di sebut ‘profesional’.[6]   Ketidakunggulan Pendidik Bahasa Inggris secara Profesi Dalam dunia pendidikan, profesi pendidik yaitu memiliki spesialisasi berbagai macam pengetahuan metode pembelajaran, memiliki kompetensi literasi jurnal, makalah, buku, linguistik terapan dan sebagainya. Untuk mengukur kompetensi para pendidik, pemerintah menetapkan kebijakan melalui sertifikasi sehingga para pendidik yang sudah mendapatkan sertifikasi secara formal mendapatkan ‘izin mengajar’ dan sudah dapat dikatakan ‘profesional’. Namun, kenyataannya, masih banyak kendala yang terjadi pada saat sertifikasi.  Sertifikasi para pendidik didasarkan asesmen portofolio yang dibuktikan dengan dokumen atas reprensentasi pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Seorang pendidik yang sudah bersertifikat pendidik profesional berhak memperoleh tunjangan profesi. Namun,  permasalahan yang kerap muncul adalah pada saat proses melengkapi portofolio itu sendiri. Selain motivasi utama para pendidik untuk mendapatkan tunjangan profesi tetapi keterbatasan kemampuan atau ‘skill’ dan waktu yang singkat dalam menyelesaikan portofolio menjadi kecemasan tersendiri bagi mereka sehingga faktor kejujuran dan objektifitas patut dipertanyakan! Penjelasan tersebut didukung oleh Kartadinata bahwa sulit untuk menilai apakah ada korelasi antara portofolio dengan tingkat penguasaan pengetahuan (metode mengajar dan aplikasi mengajar) atau tidak karena asesmen portofolio tidak disertai pengamatan lapangan sehingga objektifitasdan kejujuran dari para pendidik dalam menyiapkan portofolio merupakan kunci validasi asesmen. Jika terjadi ketidakjujuran dalam menyajikan portofolio, portofolio tidak akan merepresentasikan kompetensi dan kinerja para pendidik dan keputusan yang diambil menjadi tidak valid. Perlu kecermatan tinggi dalam asesmen portofolio dan (mungkin) perlu dilakukan review menyeluruh atas sistem portofolio.[7] Tidak mengherankan sebanyak 1.082 pendidik menggunakan dokumen palsu di Riau dan seorang profesor dari perguruan tinggi ternama di Bandung mempertaruhkan martabatnya dengan memanipulasi jurnal Carl Ungerer[8].  Oleh karena itu, profesional tidak dapat diukur dengan proses yang instan, maka bagi pendidik yang tidak terbiasa menulis akan mengalami hambatan dan kekhawatiran sehingga melakukan plagiat atau mengkopi hasil karya tulisan orang lain.  Jika demikian adanya, secara profesi para pendidik kita tidak profesional. Dampaknya akan mempengaruhi pada terdidik yang menuntut ilmu ketika lulus menjadi tidak terampil ‘unskilled’ untuk bersaing di dunia kerja karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai.   Ketidakunggulan Pendidik Bahasa Inggris secara Akademik Saad menekankan bahwa paradigma pengajaran seharusnya diubah atau diganti agar menghasilkan lulusan unggul, bukan lulusan yang ‘penghafal teori’ atau ‘Rote Learner’. [9] Siswa harus bertanggung jawab untuk dapat mengembangkan diri mereka melalui interaksi sosial menjadi ‘Independent Thinker’ sebagai constructivist learning. Alwasilah, dalam buku ‘Bahasa Inggris dalam Konteks Persaingan Global’, ada beberapa indikator atas ketidakunggulan penguasaan pengetahuan bahasa Inggris secara akademik di perguruan tinggi.[10] Pertama, banyak pengajar mengajar bahasa Inggris hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan menganalisa kalimat.  Detailnya, pernyataan ini; “…menguasai bahasa Inggris seyogyanya menyajikan kesempatan dan pajanan (exposure) bagi pembelajar dalam isu-isu nyata sehingga menumbuhkan keberanian untuk berinteraksi, berdialog dan berfikir kritis. Berkontribusi terhadap perkembangan daya nalar dan pembaruan kebudayaan (cultural renewal)“. Kewajiban para dosen EFL tidak hanya mengajar bahasa sekedar pada penggunaan ‘tobe’ (am, is, are) dan ‘to have’ atau memperbaiki bahasa secara gramatikal tetapi juga harus mengajarkan fungsi bahasa itu sendiri dalam konteks komunikasi sosial, interaksi, budaya dan berfikir kritis dalam kehidupan nyata. Kedua, para pengajar masih kurang mereproduksi literasi dan pengetahuan.  Rudy  menjelaskan bahwa tahun 2004 The times Higher Education Supplement memilih 200 universitas terbaik di dunia.  10 universitas terbaik adalah Harvard University, University of Barkeley, Masschusetts Institute of Technology, California Institute of Technology, Oxford University, Cambridge University, Stanford University, Yale University, Princeton University dan ETH Zurich Swiss. National University of Singapore (ke-18), Nanyang University (ke-50), Malaya University (ke-89) dan Sains Malaya Univeristy (ke-111).[11] Ironisnya, tidak satu pun universitas dari Indonesia termasuk didalamnya.  Mengapa? Para pengajar tidak dapat menghasilkan produk tertulis yang dipublikasikan di forum dunia. Satu dari lima kriteria untuk menilai untuk menilai 200 universitas terbaik adalah melalui karya tulis dosen yang aktif. Dalam hal ini, universitas berkualitas bukan berdasarkan dari fasilitas yang baik, tetapi produk tertulis yang sering dikutip di forum internasional. Bagaimana pengajar kita bisa berpatisipasi secara internasional berdasarkan sumber Replubika bahwa  tingkat terendah penyerahan proposal penelitian ke Ditjen Dikti Diknas berasal dari universitas? [12]. Kebiasaan literasi kita belum optimal dalam atmosfir akademik. Kurangnya kebiasaan literasi disebabkan karena masih banyak manajemen universitas yang mengabaikan dan kurang memberi apresiasi karya tulis pengajar dan kurang memfasilitasi dalam ‘writing workshop.’  Universitas memerlukan perencanaan terstruktur dan baik untuk membangkitkan dan mendorong pengajar menghasilkan pengetahuan melalui jurnal, buku, atau makalah. Kurangnya kompetensi pengajar dalam literasi akan berdampak besar dalam mengembangkan kemampuan mahasiswa menulis khususnya membuat skripsi seperti dalam menuangkan ide, grammar, ejaan kata bahasa Inggris, penguasaan kosa kata sehingga mahasiswa hanya meng-copy paste karya skripsi orang lain. Makna yang tersirat dari uraian tersebut mengindikasikan tumpulnya kreativitas literasi kalangan intelektual menjadi tantangan terbesar yang dihadapi kita saat ini. Apa daya negara tetangga seperti Malaysia, Nigeria dan Thailand sudah lebih dahulu Go International?  Sekedar mengingat kembali sejarah kejayaan beberapa dekade yang lalu, kita pernah mengirimkan para pendidik yang kompeten ke negeri jiran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ketiga, tidak hanya lemah dalam karya tulis, kualifikasi pengajar dalam berkomunikasi secara lisan juga kurang. Apalagi persyaratan umum minimal penguasaan TOEFL 500 belum tercapai sehingga banyak kesempatan untuk beasiswa tidak termanfaatkan secara maksimal.[13].  Status Bahasa Inggris kita sebagai bahasa asing (English Foreign Language) terbatas digunakan hanya dalam pembelajaran dikelas dan tidak berkembang sebagai alat komunikasi pergaulan menjadi hambatan tersendiri. Keempat, Sakri menjelaskan bahwa penyerapan ilmu pengetahuan melalui produk terjemahan buku teks, jurnal dari bahasa sumber ke bahasa sasaran masih kurang maksimal.  Fakta membuktikan Indonesia memiliki judul lebih dari 100.000 dalam bahasa Inggris tetapi hanya 20-25% saja yang produktif menterjemahkan.[14]. Berbagai alasan terungkap dalam penelitian bahwa motivasi pengajar untuk menterjemahkan buku kurang seiring dengan kurangnya pembayaran honor menterjemahkan. Alasan lain adalah kegiatan menterjemahkan memerlukan waktu dan pemikiran lebih bukan sebagai pekerjaan sampingan sementara, pengajar memiliki tugas utama yaitu mengajar.  Selain itu, yang memiliki keterampilan dalam menterjemahkan secara resmi masih sangat sedikit karena kewenangan untuk mendapatkan ‘sworn translator’ atau ‘certified translator’ hanya satu dari Universitas Indonesia. Tentu saja hal ini akan menjadi hambatan bagi mereka yang berada diluar jangkauan dan ingin mengambil kesempatan menjadi penterjemah resmi karena hambatan biaya dan waktu. Aceh adalah miniatur dari kondisi nyata pendidikan saat ini yang mewakili ketidakunggulan penguasaan bahasa Inggris baik para pengajar. Pengalaman penulis melihat masih banyak pengajar yang belum menguasai  Bahasa Inggris nyatanya mereka adalah sarjana S-2.  Sementara untuk melanjutkan program S-2 dan S-3 di dalam negeri saja memerlukan persyaratan minimal TOEFL 450 untuk memudahkan pengajar memahami dan  menterjemahkan buku teks bahasa Inggris sebagai buku wajib. Dalam Interaksi dikelas, pengajar tidak membiasakan merangsang interaksi yang komunikatif dalam bahasa Inggris karena masih adanya stigma apabila berbicara bahasa Inggris merasa malu disebut ‘gaya-gaya’an saja. Metode mengajar yang tidak berfokus pada komunikasi di tambah kurangnya mahasiswa membaca referensi pengetahuan.  Mereka hanya duduk, diam, dengar dan menerima yang pengajar ajarkan tanpa mempertajam kemampuan berfikir kritis.  Efek domino yang lebih besar adalah lulusan tidak unggul yang menjadi guru dan menyebar keseluruh daerah untuk mengajar sehingga menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Depdiknas program belajar bahasa Inggris tidak berjalan lancar di sekolah-sekolah karena kemampuan guru dalam penguasaan materi rendah. Apakah masih ada solusi yang dapat memecahkan masalah tersebut? Apakah sudah terlambat? Usaha pemerintah Aceh untuk memberdayakan para dosen melaui program beasiswa layak mendapat apresiasi tetapi usaha tersebut patut memerlukan follow-up! Tujuan penulisan ini, penulis memberikan sajian solusi alternatif untuk meningkatkan kompetensi pendidik Bahasa Inggris yang memerlukan perencanaan dan pengembangan strategi di masing-masing kampus sehingga menghasilkan para pengajar yang betul-betul profesional dan menghasilkan produk akhir para lulusan yang unggul. PEMBAHASAN   Pengajar sebagai ujung tombak meningkatkan daya saing yang mengglobal, perlu melakukan pengembangan dengan strategi yang baik.   Meningkatkan Daya Saing Pendidik Bahasa Inggris Secara Profesi Seperti yang diungkapkan Stigler; “Professionals have longer and more specialized training, greater freedom, to organize their time, greater personal responsibility for directing their own work, and the respect that comes from the uniqueness and quality of their contribution”.[15]   Profesional tidak sekedar mendapatkan sertifikasi dan pengetahuan serta melakukan pelatihan khusus dalam waktu lama tetapi memerlukan kebebasan lebih luas, mengorganisir waktu, memiliki tanggung jawab pribadi yang besar yang mengarah kepada pekerjaan mereka sendiri dan menghargai sesuatu yang berasal dari keunikan dan kualitas atas kontribusi pengajar sendiri! Memberikan pemahaman bahwa sertifikasi adalah langkah baik sebagai bagian upaya pemerintah memberikan tunjangan terhadap profesi pengajar namun akan lebih baik apabila profesi yang mereka sandang dilengkapi dengan membangun tanggung jawab profesionalitas mengajar yang terkait dengan wilayah profesinya, Bahasa Inggris seperti yang diungkapkan Richards, (1) dengan memperbanyak metode pengajaran seperti human interaksi model, active learning model, competence based teaching models, Diharapkan pula, agar para dosen ketika mengajar dalam kelas siap menghadapi masalah yang muncul, (2) teaching skill berarti keterampilan ‘mengajar’ itu sendiri melibatkan kegiatan pembelajaran yang kesemuanya mengarahkan pada kemampuan mahasiswa untuk bereksplorasi dan berkomunikasi, menyiapkan siswa untuk mempelajari hal-hal baru, memberikan kesempatan mempelajari materi baru, mempersiapkan kegiatan interaktif dan komunikatif melalui group work, games, simulasi, presentasi, role play, (3) keterampilan berkomunikasi atau ‘communicative skill’ mengarah pada kelancaran berbahasa Inggris dan kemampuan membangun psikologi kedekatan dengan mahasiswa.  Melalui pendekatan keterampilan ini, mahasiswa dapat berujar bagaimana cara meminta, bagaimana cara berjanji, bagaimana memberi salam, berterima kasih, mengucapkan belasungkawa dalam bahasa Inggris, (4) mengembangkan keterampilan berfikir kritis dan membuat keputusan, dimana materi dikembangkan dan ditransformasi kedalam bentuk pengajaran yang adaptif sesuai dengan latar belakang, budaya, sosial, (5) dalam kontekstual pengetahun dan (6) pengetahuan di bidang sosiolinguistik yang erat kaitannya dalam fenomena variasi berbahasa dalam atmosfir sosial atau performansi.[16] Meningkatan Daya Saing Pendidik Bahasa Inggris secara Akademik Pertama, pihak kampus dapat mempertimbangkan cara ‘Pembinaan Dosen Muda’ Alwasilah (2004) mengkategorisasikan ke dalam:  (1) Dosen Terbina yaitu dosen yang belum memiliki persyaratan minimal,  (2) Dosen Pembina yaitu yang memiliki gelar dan dapat mengarahkan ‘Dosen Terbina’, (3) ‘Jalur Pembinaan’ yaitu dosen yang memiliki gelar S2 dan S3 untuk mengikuti studi, (4) ‘Materi Pembinaan’ tentang pengetahuan teoritis (Perceived Knowledge), pengetahuan lapangan (Learning Experience) seperti simulasi, micro teaching, studi  kasus, observasi, seminar, diskusi, dan karya tulis. Proses pembinaan memerlukan persyaratan, (1) dari ‘Umum ke Khusus’, dosen terbina dapat menjadi asisten terlebih dahulu dan dapat memilah subjek yang sesuai dari dosen Pembina, (2) dari ‘Terbina ke Mandiri’, dosen yang sudah S2 memiliki kewenangan mengajar program S-1 yang sesuai dengan bidang studi dan dapat menjadi ‘teaching team’. Dengan memenuhi persyaratan diatas melalui program pembinaan maka profesionalitas pengajar diharapkan berkembang dalam supervisi mengajar, mengajar ‘across curriculum’, mengajar subjek favorit, dan mengembangkan materi.  Untuk dua persyaratan mengembangkan kompetensi pengajar dari ‘Sistematik ke Koordinatif’ berkaitan erat dengan penunjukan ‘Dosen Pembina’, penentuan ‘Materi Pembinaan’ dan (2) ‘Dinamis’ dimana kompetensi professional mengarah pada ketepatan (adequacy), kelancaran (proficiency), sampai ahli (expertise). [17] Kedua, kampus hendaknya memiliki ‘Wadah Profesi’ jangka pendek secara rutin untuk kegiatan akademik selain pelatihan peer-writing. Untuk jangka panjang, pihak kampus dapat menjadi keanggotaan organisasi TESOL untuk membangun jaringan. “The association exists to provide opportunities for networking not only among the members of TESOL but also among the members of the several affiliates and with the membership of other local, national, and international professional association with which TESOL shares a common interest” (Asworth 1993:11).   Asosiasi ada untuk menyediakan atau memberikan kesempatan jaringan tidak hanya diantara anggota TESOL tetapi juga diantara beberapa anggota afiliasi dan anggota lokal, nasional dan internasional untuk saling berbagi minat yang sama. Kampus juga dapat membangun minat baca-tulis dosen dengan cara: (1) setiap pengajar bertukar informasi referensi satu sama lain.  Kurangnya referensi menyebabkan kurangnya minat menulis.  Di sini, pengajar satu sama lainnya bisa menjadi fasilitator dalam memfasilitasi referensi, (2) menyediakan ‘writing workshop’ yang berorientasi pada proses mencari ide, menulis draft, merevisi sampai pada menerbitkan tulisan.  Proses merevisi berarti meng-kolaborasikan tulisan untuk saling mengoreksi tatabahasa (grammar), tulisan, ide dengan rekan.  Dengan melakukan ini, diharapakan akan terbiasa menulis dan plagiarisme dapat dihindari.  Proses menulis lebih berharga dan bermakna daripada sekedar hasil tulisan.  Tahapan ini dapat juga diterapkan untuk mahasiswa dan dosen dapat memotivasi mahasiswa itu sendiri untuk menulis, (3) Tulisan pengajar dapat direspon sendiri oleh mahasiswa sebagai pembaca untuk menajamkan dan mengeksplorasi pendapat sebagai bagian dari menumbuhkan keberanian berdialog, berinteraksi, berfikir kritis dalam akademik, Menurut Rudy, respon mahasiswa yang terus-menerus melalui karya tulis dapat pula meningkatkan tulisan mereka sendiri, (4) komitmen dari pihak universitas untuk selalu memajukan dan memfasilitasi dosen mengaktualisasikan diri di lingkungan kampus terlebih dahulu, (5) memberikan apresiasi akan memotivasi pelaku akademik untuk tetap menulis dana akan dapat menghasilkan atau ‘reproduce’ ilmu pengetahuan kedalam jurnal, buku.[18] Ketiga, kampus memfasilitasi para pengajar untuk selalu meng-upgrade atau memperbaharui nilai TOEFL atau IELST  sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Keempat, prospektifitas bidang terjemahan masih luas untuk dilakoni.  Agar tepat sasaran untuk meningkatkan keterampilan menterjemahkan ada beberapa saran yang diajukan berdasarkan penelitian Harto bahwa (1) pengajar yang memegang mata kuliah ‘translation’ harus mengetahui tujuan akhir apa yang akan dipersiapkan bagi para lulusan dan menganalisa kebutuhan mahasiswa sebelum memutuskan materi apa yang akan dipelajari.  Koherensi kurikulum dengan kebutuhan pasar menjadi perhatian utama, sehingga produk akhir dari lulusan siap pakai, (2) pengajar harus mempersiapkan proses menterjemahkan dari memahami materi secara utuh sesuai konteksnya, menterjemahkan teks, membaca hasil teks, dan mengedit hasil teks, jika perlu membuat ‘footnote’, (3) pemerintah hendaknya mempertimbangkan institusi lain di Aceh untuk memiliki kewenangan mencetak lulusan menjadi ‘sworn translator’.[19] PENUTUP Pada sesi penutup ini, para dosen perlu meningkatkan sumberdaya manusia sehingga dapat menghasilkan lulusan unggul yang mampu dan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh agar bisa bersaing di era globalisasi.  Menumbuhkan atmosfir akademik dengan membangun ‘Wadah Profesi’ di kampus untuk melakukan pembinaan dosen muda, membangun ‘peer-teaching’ atau kolaborasi mengajar dan ‘writing workshop’ atau peer-writing yaitu metode kolaborasi menulis untuk saling mengkoreksi ide, grammar, spelling dan bertukar informasi referensi satu dengan yang lain untuk menambah informasi referensi pengetahuan dan sumber untuk menulis. Membangun dan memelihara profesionalisme melalui peningkatan dedikasi, komitmen, kerja keras, efisien, jujur dan selalu mengaktualisasikan diri secara akademik dalam kehidupan nyata dengan membangkitkan minat melakukan penelitian, memperkaya variasi metode mengajar dalam pembelajaran, sehingga profesionalisme tumbuh  seiring dengan kepiawaian mengajar, kepiawaian menulis, serta kepiawaian dalam ranah pendidikan bahasa Inggris lainnya.   DAFTAR PUSTAKA     Alwasilah, Chaedar. 1995.  Profesionalism in Language.  Jakarta: Jakarta Post. Alwadilah, Chaedar. 1997.  Lemahnya Diplomat Indonesia. Jakarta: Republika. Alwasilah, Chaedar. 2003. Revitalisasi Pendidikan Bahasa: Mengungkap Tabir Bahasa demi peningkatan SDM yang kompetitif. Bandung: CV.  Andira. Alwasilah, Chaedar. 2004. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia: Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV. Andira. Adam, Anas. M. 2010. Banyak Guru Belum Tersentuh Pelatihan. Serambi: Direktur Pembinaan Pendidikan Depdiknas. Banda Aceh: Serambi. Buchori, Mochtar. 2010.  Guru Profesional dan Plagiarisme. Jakarta: Kompas. Harto, Sri. 2003. Peluang dan Tantangan Bisnis Terjemahan: Studi Kasus Tujuh Penerjemah Profesional. Bandung: CV.  Andira. Indrawati. 2003. Meningkatkan Daya Saing SDM Indonesia di Era Pasar Bebas. Bandung: CV. Andira. Informasi Pendidikan.  1995.  Kualifikasi Dosen.  Jakarta: Republika. Kartadinata, Sunaryo. 2009.  Sertifikasi Guru: Perlu Manajemen Cerdas di Tingkat Pemerintah Daerah. Makalah Seminar Peningkatan Mutu Pendidikan. Banda Aceh: Dinas Pendidikan Banda Aceh. Naisbitt, John.  1995.  Global Paradox. New York: Avon Books. Rudy,    Inderawati. 2011. Aktualisasi Literasi Kalangan Intelektual dalam Mereproduksi Ilmu. JPBS FKIP. Malang : Universitas Sriwijaya. Richards, Jack C. 1998.  Beyond Training: Perspective on Language Teacher Education. New York: Cambridge University Press. Stevenson, Harold W. dan James W Stigler. 1992. The Learning Gap: Why our school are failing and what we can learn from Japanese and Chinese Education. New York: Touchstone. Saad, Hasballah. 2009. Kebijakan Meningkatkan Mutu Pendidikan di Aceh: Sebuah Gagasan Alternatif. Makalah Seminar Peningkatan Mutu Pendidikan Banda Aceh: Dinas Pendidikan Banda Aceh. Sakri, Adjat.  1985.  Ihwal Menterjemahkan, Terbitan 2.  Bandung: Penerbit ITB. Webster’s New Collegiate Dictionary. 1981. Professional Definition. At http://webster.com           [1] Naisbitt, John.  Global Paradox (NY: Avon Books, 1995). [2]. Alwasilah, Chaedar. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global (Bandung: Andira, 2004). [3]. Indrawati, Meningkatkan daya saing SDM Indonesia di era Pasar bebas (Bandung:           Andira, 2003). [4]. Saad, Hasballah. Kebijakan Meningkatkan Mutu Penddidikan di Aceh: sebuah Gagasan Alternatif. Makalah Seminar Peningkatan mutu Pendidikan (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Provinsi Banda Aceh, 2009), pp.5   [5]. Saad, Hasballah. Kebijakan Meningkatkan Mutu Penddidikan di Aceh: sebuah Gagasan Alternatif. Makalah Seminar Peningkatan mutu Pendidikan (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Provinsi Banda Aceh, 2009), pp.8.   [6]. Websters’ New Collegiate, Dictionary.  Definition of Profession at Http://www.webstercollegiate.org (1981).   [7]. Kartadinata, Sertifikasi Guru: Perlu Manajemen Cerdas di Tingkat Pemerintah Daerah. Makalah Seminar Peningkatan Mutu Pendidikan (Banda Aceh: Dinas Pendidikan Provinsi Banda Aceh, 2009). [8]. Buchori, Mochtar. Guru profesional dan Plagiarisme (Jakarta: Kompas, 2010). [9]. Saad, Hasballah. 2009. Kebijakan Meningkatkan Mutu Pendidikan di Aceh: Sebuah Gagasan Alternatif. Makalah Seminar Peningkatan Mutu Pendidikan (Banda Aceh: Dinas Pendidikan, 2009).   [10]. Alwasilah, Chaedar. Revitalisasi Pendidikan Bahasa: Mengungkap Tabir Bahasa demi peningkatan SDM yang kompetitif (Bandung: Andira, 2003). [11]. Rudy, Inderawati. Aktualisasi Literasi Kalangan Intelektual dalam mereproduksi ilmu (JPBS IKIP: Universitas Sriwijaya, 2011). [12]. Alwasilah, Chaedar.  Artikel Lemahnya Diplomat Indonesia (Jakarta: Republika, 1997). [13]. Alwasilah, Chaedar. Artikel tentang Profesionalism in English Language (Jakarta: Jakarta Post, 1995).. [14]. Sakri, Adjat. Ihwal Menterjemahkan, Terbitan 2 (Bandung: ITB, 1985). [15]. Stevenson, Harold W dan James W Stigler. The Learning Gap: Why our school are failing and what we can learn from Japanese and Chinese Education (NY: Touchstone, 1992). [16].  Richards, Jack C.  Beyond Training: Perspective on Language Teacher Education (NY: Cambridge University Press, 1998). [17]. Alwasilah, Chaedar. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia: Dalam Konteks Persaingan Global (Bandung: Andira, 2004). [18]. Rudy, Inderawati. Aktualisasi Literasi Kalangan Inteletual dalam Mereproduksi Ilmu (JPBS FKIP: Universitas Sriwijaya, 2011). [19]. Harto, Sri. Peluang dan Tantangan Bisnis Terjemahan (Bandung: Andira, 2003).
BRIKET ARANG DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU MERANTI DAN ARANG KAYU GALAM Yuniarti, Yuniarti
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol 3, No 2 (2011)
Publisher : Kementerian Perindustrian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.124 KB)

Abstract

Saw dust waste has a big potential to be used as charcoal briquettes. The galam wood charcoal was added to increase the quality of the Meranti saw dust charcoal. The composition arrangement of Meranti saw dust and galam wood charcoal were 100%:0% ; 90%:10% ; 85%:15% ; 80%:20% ; and 0%:100%. Tapioca flour was used as the adhesive agent. We use 10.000 kg/cm2 for the pressure clamp. The result show that the charcoal briquette have the physical characteristics such as 3.78% - 4.54% for water content with the density between 0.49 – 0.77 gr/cm3 – 0,77 gr/cm3. For the chemical characteristics, the ash content is between 2.64% - 3.24%, substances fly content is 25,40% - 29,40% and the calorific value is between 5502.40 – 6249 cal/gr. The addition of galam wood charcoal is causing the decreasing of the ash and substance fly content but in contrast the calorific value and the residual carbon are increase.Keywords: charcoal briquette, meranti, galam, physic, chemistry
SIFAT KIMIA TIGA JENIS KAYU RAKYAT Yuniarti, Yuniarti
Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol 3, No 1 (2011)
Publisher : Kementerian Perindustrian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (40.021 KB)

Abstract

The objective of this study was to determine the chemical components of three kinds of social forestry timber of Jengkol, Madang, and Bangkinang, where wood samples was procured from Loksado South Kalimantan. The analysis was conducted according to TAPPI Standard with three replications for each sample. Result shows that Jengkol wood contained 44.73% of cellulose, 79.19% of holocellulose, 32.14% of lignin, 4.08% of extractive and 3.42% of ash. Madang wood contained 45.02% of cellulose, 80.05% of holocellulose, 31.60% of lignin, 4.06% of extractive and 4.59% of ash. Bangkinang wood contained 45.76% of cellulose, 72.84% of holocellulose, 20.90% of  lignin, 2.89% of extractive and 3.9% of ash. This research indicated that among three social forestry timber investigated, the Bangkinang wood is better than two others as sources of raw material for pulp and paper due to the highest cellulose content and lowest lignin and extractives contents.Keywords: chemical properties, Jengkol, Madang, Bangkinang
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PERSEORANGAN DAN KELOMPOK KECIL (PPKK) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PECAHAN DI KELAS VII B7 SMP NEGERI 14 PALU Yuniarti, Yuniarti; Jaeng, Maxinus; Sudarman, Sudarman
AKSIOMA : Jurnal Pendidikan Matematika Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : AKSIOMA : Jurnal Pendidikan Matematika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang penerapan model Pembelajaran Perseorangan dan Kelompok Kecil (PPKK) yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam menyelesaikan soal penjumlahan dan pengurangan pecahan di kelas VII B7 SMP Negeri 14 Palu. Rancangan penelitian mengacu pada desain penelitian Kemmis dan Mc Taggart. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VII B7 SMP Negeri 14 Palu sebanyak 27 orang serta informan yang dipilih pada penelitian ini sebanyak 3 orang dengan tingkat kemampuan yang berbeda. Data penelitian ini dikumpulkan melalui lembar observasi, hasil wawancara, catatan lapangan, dan hasil tes akhir tindakan siklus I dan II. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran perseorangan dan kelompok kecil (PPKK) dapat meningkatkan hasil belajar yang tahapannya yaitu : 1) pembukaan/pengantar, 2) informasi demonstrasi dan aktivitas perseorangan, 3) informasi dan aktivitas kelompok, 4) kuis evaluasi, 5) penutup.Kata Kunci : Model PPKK, hasil belajar, penjumlahan dan pengurangan pecahan
EFEKTIFITAS TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM DAN DZIKIR TERAPI TERHADAP NYERI POST OP KATARAK Yuniarti, Yuniarti; Darwin, Darwin; Huda, Nurul
Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Keperawatan Vol 5: Edisi I Januari - Juni 2018
Publisher : Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Keperawatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The purpose of this study was to investigate the effectiveness of breath relaxation techniques and dzikir therapy to postop cataract pain. The research method used was quasy experiment with pre test design and post test design with nonequivalent control group. This research was conducted in RSUD Arifin Achmad Riau Province to 34 subjects that weredivided into two groups, namely experimental group 17 subjects and control group 17 subjects. The measuringinstrument used in both groups is a pain observation sheet with a numeric rating scale. The analysis used wasunivariate and bivariate analysis using Wilcoxon and Mann-Whitney. Wilcoxon test obtained experimental group pvalue 0.000 < α (0,05) and control group p value 0,034 < α (0,05) showed that decrease of group experiment grouppain scale bigger than control group. The independent t test result showed p value 0.000 <α (0,05), which means thatgiving deep breath relaxation technique and dzikir therapy effective to reduce patient's post cataract pain. Based on thisresearch, the provision of deep breath relaxation and dzikir therapy can be used as one of the non-pharmacologicaltechniques in reducing post-operative pain of cataract patients.Key Words : Pain, Breath Relaxation, Dzikir Therapy
Pengaruh konseling gizi dan penambahan makanan terhadap asupan zat gizi dan status gizi pasien HIV/AIDS Yuniarti, Yuniarti; Purba, Martalena Br; Pangastuti, Retno
Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol 9, No 3 (2013): Januari
Publisher : Minat S2 Gizi dan Kesehatan, Prodi S2 IKM, FK-KMK UGM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (150.324 KB) | DOI: 10.22146/ijcn.15446

Abstract

Background: Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) is a syndrome of opportunistic disease due to decreased immunity in patient HIV/AIDS with the symptom of losing weight progressively and low nutrition status. To cover the condition, it is necessary to give nutrition support. Objective: To compare the effect of nutrition counseling and nutrition supplementation with nutrition counseling only towards the nutrition status and nutrition intake of people living with HIV/AIDS (PLWHA).Method: The study was experimental non randomized control group pre-post test design. Subject consisted of two groups  i.e. nutrition counseling plus (with nutrition supplementation) and nutrition counseling only. The study was carried out at Dr. Sardjito Hospital from January to March 2012. The sample were taken purposively with inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed by using paired t-test and linear regression to calculate nutrient intake and nutrition status.Results: The energy intake of nutrition counseling plus group showed significantly higher amount than the group with nutrition counseling only (change of 141.40 kcal vs 15.99 kcal; OR=4.96). Protein intake was insignificantly higher than nutrition counseling (change of 6.28 g vs 5.11 g; OR=1.94), weight were insignificantly lower than nutrition counseling (change of 0.46 kg vs 0.75 kg; OR=1.21), and nutrition status were insignificantly lower than nutrition counseling (changes in body mass index 0.18 kg/m2 vs 0.32 kg/m2; OR=1.25).Conclusion: Nutrition counseling plus could increase energy intake but could not increase protein intake, weight, and body mass index.
INTERNATIONALLY LEGAL MEASURES TO COMBAT TERRORIST FINANCING Yuniarti, Yuniarti
Brawijaya Law Journal Vol 1, No 1 (2014): Legal and Development
Publisher : Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.blj.2014.001.01.04

Abstract

Following the terrorist attacks in the USA on September 11th, 2001, it was discovered that money laundering was a significant source of finance for terrorists. Although, the amount of money that involve is not as involve as in drug and gun trafficking, terrorist financing had been the most important substance to be monitor. Further, various legal measures have been taken internationally in order to combat terrorist financing. This research analyses the legal measures that have been taken internationally and at EU level to combat terrorist financing.Key words: Money Laundering, Terrorist Financing, International Legal measures, EU.
BAHASA PENULIS PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF FEMINIS Yuniarti, Yuniarti
Media Bahasa, Sastra, dan Budaya Wahana Vol 1, No 10 (2015): Vol. 1, No. 10, Ganjil, Tahun Akademik 2015/2016
Publisher : Media Bahasa, Sastra, dan Budaya Wahana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.274 KB)

Abstract

AbstrakBahasa memiliki kekuatan besar yang tersembunyi dalam operasi kekuasaan. Perkem­ bangan bahasa sangat ditentukan juga oleh perkembangan zaman. Teori feminis menganggap bahasa sebagai simbol dari sikap patriarkis, dan distribusi seksual mengenai peran dan status. Sastra memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya, sehingga mencermati perkembangan sastra sama halnya dengan mencermati perkembangan masyarakat, pemikiran dan kebudayaan. Kata kunci: Feminis, Penulis Perempuan, Operasi Kekuasaan
Faktor yang Berhubungan dengan Keikutsertaan Suami pada Program KB Vasektomi di Wilayah Kecamatan Banjarmasin Timur Yuniarti, Yuniarti; Rusmilawaty, Rusmilawaty; Zakiah, Zakiah
Jurnal Kesehatan Vol 6, No 2 (2015): JURNAL KESEHATAN
Publisher : Politeknik Kesehatan Tanjungkarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.431 KB) | DOI: 10.26630/jk.v6i2.101

Abstract

Tujuan  mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan suami pada program KB vasektomi di Wilayah Kecamatan Banjarmasin Timur tahun 2014. Metode Penelitian  adalah survey analitik dengan rancangan cross-sectional. Teknik sampling Stratified random sampling, jumlah sampel 100 responden di Wilayah Kecamatan Banjarmasin Timur. Analisis data dengan uji statistik Chi-Square (α=0,05). Hasil Penelitian 55 responden (55%) ikut serta dalam program KB Vasektomi. 71 responden (71%) berumur ≥35 tahun. 53 responden (53%) mempunyai anak ≥3.50 responden (50%) mempunyai pengalaman yang lalu dalam berkontrasepsi dan 72 responden (72%) mempunyai sikap mendukung terhadap program KB Vasektomi. Ada hubungan antara umur, jumlah anak dan sikap suami dengan keikutsertaan suami dalam program KB Vasektomi serta tidak ada hubungan antara pengalaman lalu dengan keikutsertaan suami dalam program KB Vasektomi di Wilayah Kecamatan Banjarmasin Timur tahun 2014.Kata kunci: Vasektomi, Umur, Jumlah anak, Pengalaman dengan kontrasepsi lalu, Sikap
KAJIAN STRATEGI PROMOSI KESEHATAN SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM) DI KELURAHAN TIRTO KECAMATAN PEKALONGAN BARAT KOTA PEKALONGAN Indriyani, Yulis; Yuniarti, Yuniarti; Nur Latif, Rr Vita
Unnes Journal of Public Health Vol 5 No 3 (2016): Unnes Journal Of Public Health
Publisher : Universitas Negeri Semarang in cooperation with Association of Indonesian Public Health Experts (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI))

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.277 KB) | DOI: 10.15294/ujph.v5i3.11286

Abstract

Latar Belakang: Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Fenomena yang terjadi di Kelurahan Tirto masih terdapat perilaku BABS sebanyak 84 KK, perilaku buang sampah secara sembarangan (di lahan kosong dan sungai), dan mengalirkan limbah cair rumah tangga (limbah deterjen dan air bekas mandi) ke sungai. Tujuan penelitian: Mengkaji secara mendalam strategi promosi kesehatan (advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat) STBM di Kelurahan Tirto Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan. Rancangan penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan desain eksploratoris kualitatif. Hasil penelitian: Pencapaian lima pilar&nbsp; STBM di Kelurahan Tirto belum maksimal yaitu pada pilar stop BABS dan pilar pengelolaan limbah cair rumah tangga secara aman. Terdapat beberapa hambatan yang mempengaruhi hasil capaian tersebut diantaranya konsistensi komitmen yang tegas belum diterapkan bagi pelaku yang mengalirkan pembuangan feses ke sungai, belum adanya pelatihan teknis STBM bagi tokoh masyarakat, metode CLTS bersifat terbatas di satu RW, dan masyarakat Kelurahan Tirto belum mengoptimalkan swadaya atau iuran secara kolektif untuk menyediakan penambahan sarana sanitasi berupa septic tank dan bak penampungan. Saran: Pertama, penerapan punishment dari Kelurahan Tirto untuk mencapai Kelurahan ODF bagi pelaku yang mengalirkan pembuangan feses ke sungai. Kedua, pertemuan untuk menjalin koordinasi antara Pemerintah Kota Pekalongan dan Pemerintah Kabupaten Pekalongan untuk bersama mengelola limbah cair rumah tangga secara aman. Ketiga,&nbsp; pelatihan teknis STBM bagi tokoh masyarakat untuk mencapai perilaku buang air besar secara sehat di Kelurahan Tirto. Keempat, penambahan bak penampungan limbah cair rumah tangga melalui swadaya masyarakat.