Claim Missing Document
Check
Articles

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK BERPARTISIPASI DALAM PELESTARIAN SITUS PATIAYAM DI KABUPATEN KUDUS Wasino, Widiyati dan
Paramita: Historical Studies Journal Vol 21, No 1 (2011)
Publisher : Paramita: Historical Studies Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The results showed that groups who empowered society are Department of Culture and Tourism is Kudus Regency, Site Conservation Forum Patiayam, interpreters maintained, and the Society of Conservation Society Patiayam Site. Form of empowerment to do is socialize Heritage Law, the socialization of the Master Plan which is equipped with RTBL, to socialize and fossil sites Patiayam, lift the savior maintain Patiayam fossils at the site, and create a mini museum Patiayam site. Studies on community participation suggests that public understanding of the importance of the Patiayam as Heritage Objects, including the criteria to be positive both in terms of preservation Patiayam site. Public awareness in the form of active participation in preserving good sites including Patiayam. Active participation in preserving good sites that carry the impact of the sustainability of the site remains in preventive and curative.   Keywords: empowerment, society, sites, patiayam  
PEMBELAJARAN IPS DALAM REALITA DI ERA KTSP: STUDI EKSPLORASI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS PADA JENJANG SMP DI KABUPATEN PATI Sutrisna, Edi; Wasino, Wasino
Paramita: Historical Studies Journal Vol 20, No 2 (2010)
Publisher : Paramita: Historical Studies Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Application of KTSP as a curriculum based on competency requires the implementation of strategies and methods that can deliver a number of learners achieving a particular competence. IPS as a subject who has a noble purpose, namely to prepare students to be good citizens, should be taught to students through appropriate strategies and methods by utilizing various media sources and learning. Most social studies teachers still promote the use of expository strategies in presenting lessons of Social Science education and the use of resources and learning media are minimal. Environment, as a laboratory of IPS is not utilized properly.The study shows that most teachers still tend to use expository teaching strategies, use of resources and learning media that are less varied, and integrated approaches to teaching social studies can not be realized by the teachers due to various constraints.   Keywords: learning, IPS, junior school, KTSP   Penerapan KTSP sebagai kurikulum berbasis kompetensi membutuhkan penerapan strategi dan metode yang dapat memberikan sejumlah peserta didik mencapai kompetensi tertentu. IPS sebagai subjek yang memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik, harus diajarkan kepada siswa melalui strategi yang tepat dan metode dengan memanfaatkan berbagai sumber media dan pembelajaran. Kebanyakan guru IPS masih menggunakan strategi ekspositori dalam menyajikan meteri pelajaran IPS dengan menggunakan sumber daya dan media pembelajaran yang minimal. Lingkungan sekitar, sebagai laboratorium IPS tidak digunakan menunjukkan pembelajaran yang baik. Kebanyakan guru masih cenderung untuk menggunakan strategi pengajaran ekspositori, penggunaan sumber daya dan media pembelajaran yang kurang bervariasi, dan pendekatan terpadu untuk mengajar IPS, sehingga tidak dapat direalisasikan oleh para guru karena berbagai kendala.   Kata kunci: pembelajaran, IPS, SMP, KTSP  
KONSEP DAN INTEGRASI ILMU-ILMU SOSIAL DALAM IPS Wasino, Wasino
Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 3, No 1 (2010): Juni
Publisher : Jurnal Sejarah dan Budaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.515 KB)

Abstract

Abstract: Allienation between Social studies in Indonesia nowadays caused by inconspicuous subject than other subjects. There are many factors that social studies became pathetic, such as society imaging about social studies, social studies subjects allocation among the schools, teachers performance and confidence, unavailable teacher for integrated social studies subject in junior high scholls and confused content standardization. Social studies need improvement towards better quality. In fact, Social studies in Indonesia influence by America’s that given integrated pespective for social studies. Should be, Indonesia applying integrated social studies in school. There are two models to integrate social studies, Social Phenomenon and topics from the subject depends on the points of view. Integrated learning for Social studies education is needed in University as best sollution into this problems nowadays
INDONESIA: FROM PLURALISM TO MULTICULTURALISM Wasino, Wasino
Paramita: Historical Studies Journal Vol 23, No 2 (2013): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v23i2.2665

Abstract

Indonesia was not a new entity when started to become national country. It was called a continuation of the history of the Dutch East Indies. The people lived under western colonial was a pluralistic society, people separated by social class, ethnicity, religion, race and inter-group. Between the authorities and the people separated along racial lines. In addition there was the separation of ethnic groups associated with the economic, educational and social relations. After Indonesian independence the pluralistic society situation continues. The end of the New Order has opened a Pandoras Box of poor relations between ethnic and inter-religious. As a result many conflicts occurred based on religious and ethnic differences. The conflict heated up as the influx of political interests. The process of political reform gave birth to a new awareness of the relationship between ethnicity and religion. The starting point of this change was when the President Abdurrahman Wahid unlocked barriers on multicultural relationship that respects the differences of cultural orientation among the existing ethnic. From that moment the concept of multiculturalism experienced socialization process within Indonesian society. Key words: pluralism, multiculturalism, colonial, new order, socialization Ketika Indonesia lahir sebagai negara nasional, Indonesia bukanlah  entitas yang baru. Ia merupakan kelanjutan  sejarah dari masyarakat yang disebut Hindia Belanda. Masyarakat di bawah penjajah Barat ini merupakan masyarakat majemuk, masyarakat yang terpisah-pisah berdasarkan kelas sosial, suku, agama, ras, dan antar golongan. Antara penguasa dan rakyat terpisah secara garis rasial. Selain itu ada pe-misahan suku bangsa terkait dengan ekonomi, pendidikan, dan hubungan-hubungan sosial. Setelah Indonesia merdeka situasi masyarakat majemuk terus berlangsung. Berakhirnya Orde Baru telah membuka kotak pandora  buruknya hubungan antar etnik dan antar agama. Akibatnya banyak terjadi konflik-konflik yang berdasarkan perbedaan etnik dan agama. Hal itu semakin meruncing ketika kepentingan-kepentingan politik masuk. Proses reformasi  politik melahirkan kesadaran baru tentang hubungan antar etnik dan agama. Titik awal perubahan ini ketika  Presiden Abdurahman Wahid membuka sekat-sekat hubungan multikultural yang menghormati  perbedaan dalam orientasi budaya di kalangan etnik yang ada. Sejak itu konsep multikulturalisme mengalami proses sosialisi dalam masyarakat Indonesia. Kata Kunci: Pluralisme, Multikultural, Kolonial, Orde Baru, Sosialisasi.    
MODERNISASI PEMERINTAHAN PRAJA MANGKUNAGARAN SURAKARTA Wasino, Wasino
Paramita: Historical Studies Journal Vol 22, No 1 (2012): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v22i1.1842

Abstract

Mangkunagaran is one of government and cultural center of Java in the Dutch colonial period. It was formed in 1757 through Salatiga Agreement, as product of Jawa War succession. At the beginning Praja Mangkunagaran was a district of Kasunanan, then it raised into a small empire. Government modernization was done since Mangkunagara IV by establishing some new institution. Increasingly sophisticated modernization carried out in the early twentieth century during the reign of Mangkunagara VI and Mangkunagara VII. Modernization of gover-nance is heavily influenced by the Dutch colonial governance combined with Javanese culture. The rise of new governance generates new identity that is different from another Javanese culture center. Key words: modernization, governance, Mangkunagaran  Mangkunagaran merupakan salah satu pusat pemerintahan dan budaya Jawa pada masa Kolonial Belanda. Ia terbentuk pada tahun 1757 melalui perjanjian Salatiga, sebagai hasil perang suksesi di Jawa. Praja ini semula hanya merupakan sebuah kabupaten, namun dalam perkembangannya berkembang menjadi sebuah kerajaan kecil. Modernisasi pemerintahan dilakukan sejak Mangkunagara IV dengan membentuk lembaga-lembaga kerajaan yang berbeda dengan Kasunanan Surakarta. Modernisasi semakin canggih dilakukan pada awal abad XX pada masa pemerintahan Mangkunagara VI dan Mangkunagara VII. Modernisasi tata pemerintahan banyak dipengaruhi oleh tata pemerintahan Kolonial Belanda dipadukan dengan kebudayaan Jawa. Lahirnya tata pemerintahan baru menghasilkan identitas baru yang berbeda dengan pusat-pusat budaya Jawa lain, Kasunanan dan Paku Alaman. Kata kunci: modernisasi, pemerintahan, Mangkunagara  
NASIONALISASI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN ASING MENUJU EKONOMI BERDIKARI Wasino, Wasino
Paramita: Historical Studies Journal Vol 26, No 1 (2016): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v26i1.5146

Abstract

After Indonesia declared its independence, the management of the private companies became a big problem for a new government, Indonesia. Expropriation efforts for those western private plantation companies actually had been developed in the first year of the independence and it continued until the Dutch-Indonesian Round Table Conference. There were three processes passed through companies’ transformation of the western private plantation in Indonesia, namely decolonization, Indonesia-nization and nationalization. Nationalization was legally based on the Indonesian Ordinance number 86 1958, but the real process occured since a year ago. Therefore,  Indonesia had to give financial compensation to the owner, but the reality was that this aspect was still unfinished until the end of Sukarno regime. The compensation had been continued in Suharto era and was fully paid in 2002. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, manajemen perusahaan swasta menjadi masalah besar bagi pemerintahan baru, Indonesia. Upaya pengambilalihan bagi perusahaan perkebunan swasta Barat sebenarnya telah dikembangkan pada tahun pertama kemerdekaan dan itu berlanjut hingga Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia. Ada tiga proses melewati transformasi perusahaan dari perkebunan swasta Barat di Indonesia, yaitu dekolonisasi, Indonesia-nization dan nasionalisasi. Nasionalisasi secara hukum berdasarkan jumlah Ordonansi Indonesia 86 tahun 1958, tetapi proses nyata terjadi sejak setahun yang lalu. Oleh karena itu, Indonesia harus memberikan kompensasi finansial kepada pemilik, tetapi kenyataannya adalah bahwa aspek ini masih belum selesai sampai akhir rezim Sukarno. Kompensasi telah berlanjut di era Soeharto dan telah dilunasi pada tahun 2002.  
PEMIKIRAN KEWIRAUSAHAAN KELUARGA MANGKUNEGARAN Joebagio, Hermanu; Birsyada, Muhammad Iqbal; Wasino, Wasino; Suyahmo, Suyahmo
Paramita: Historical Studies Journal Vol 26, No 2 (2016): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v26i2.6697

Abstract

According to the historical event of the Mangkunegaran dinasty said that of entrepreneurship is more striking than the Mataram kingdom such as Kasunanan Surakarta and Kasultanan Yogyakarta Reign. From the time  Mangkunegaran I until Mangkunegara IV were successful in plugging the power base of the civil economy proves that the civil Mangkunegaran as one kingdom in Kejawen in the field of entrepreneurship is more advanced than in other Javanese kingdoms. For that reason , this study wanted to find the root network entrepreneurial thinking Mangkunegaran as the focus of the study . This study takes the subject of Mangkunegara thought starting Mangkunegaran I until Mangkunegaran IV. The purpose of this study was to analyze in depth network thought what are strongly held by Sri Mangkunegara I until IV in developing civil entrepreneurial base . The research method used is the historical multidimensional method. The result in this study is that the success of the civil Mangkunegaran in building economic power is highly correlated with entrepreneurial thinking of Mangkunegaran. The thought of Mangkunegara I to IV into civil spirit in building the ethos of entrepreneurship as well as the existence of the family and the kingdom . Although it is epistemological, each kings who ruled  differently .Secara historis keberadaan Praja Mang-kunegaran yang unggul dalam bidang kewirausahaan memang lebih maju dari pada kutub-kutub kerajaan Mataram lainnya seperti Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Penelitian ini ingin mendalami dasar pemikiran kewirausahaan Mangkunegaran. Penelitian ini mengambil fokus pemikiran kewirausahaan Mangkunegaran yang bersumber pada ajaran filosofis Mangkunegara I sampai IV. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis secara mendalam pemikiran dan nilai-nilai filosofis yang di pegang teguh oleh Sri Mangkunegara I sampa IV dalam mengembangkan basis kewirausahaan praja. Metode penelitian yang dipakai adalah metode sejarah dengan pendekatan multidimensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan Praja Mangkunegaran dalam membangun kekuatan ekonomi sangat berkorelasi dengan pemikiran filosofis ajaran leluhur Mangkunegaran. Pemikiran filosofis dari Mangkunegara I sampai IV menjadi spirit praja dalam membangun kewirausahaan serta eksistensi trah dan kerajaannya. Walaupun secara epistimologis, masing-masing raja yang memerintah mengaktualisasikannya secara berbeda-beda.    
THE IMPLEMENTATION OF MULTICULTURAL VALUES IN THE EDUCATIONAL INSTITUTION Slamet, Slamet; Masrukhi, Masrukhi; Haryono, Haryono; Wasino, Wasino
The Journal of Educational Development Vol 5 No 1 (2017): February 2017
Publisher : The Journal of Educational Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jed.v5i1.14304

Abstract

Education that is charged with multicultural values ​​is a staged-educational process that can be used as a binder and a bridge to accommodate differences, such as ethnicity, language, culture, gender, region, and religion in a multi-cultural society in order to create intelligent, wise, and polite personality in dealing with diversity issues. Multicultural education should continue to be understood comprehensively, so it is not stagnant only limited to discourse, and ultimately can be implemented in harmony and without any negative effects. It is this basis that causes multicultural education urgent for immediate implementation in educational institutions, so it is necessary to comprehensively study various aspects of life so that there is a synergy between the academic community and the society of a nation-state. This study employed a research and development (R & D) design from Borg and Gall, while the design of the model was adopted from the development of McKenny. The research procedure was based on the ten-phased design from Borg and Gall that has been modified into three phases, namely (1) a preliminary study; (2) the development of the design; and (3) testing the feasibility of the product. Based on the conclusion, this study recommends that multicultural education is a new discourse of education in Indonesia, but the urgency of its implementation is very high; the multicultural education curriculum can be implemented through each level of education, the student program and in the process of habituation through daily learning both within the school and in the family. Multicultural education can be inserted through the planting of multicultural values ​​into the curriculum or learning activities which are responsively multicultural by promoting respect for differences: racial, ethnic, cultural, religious, and territorial between the community members; and no less important is that multicultural education discourse can be implemented within the scope of the family, as the smallest social institution in the community which is most effective learning media in the process of internalization and transformation of values, as well as the socialization of family members.
Perkembangan Tanaman Pangan di Indonesia Tahun 1945-1965 Mudiyono, Mudiyono; Wasino, Wasino
Journal of Indonesian History Vol 4 No 1 (2015): JIH
Publisher : Journal of Indonesian History

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga menjadi perhatian penguasa di suatu negara. Kekurangan bahan makanan tidak hanya menimbulkan masalah ekonomi, tetapi masalah sosial politik pada suatu negara. Kebudayaan menanam padi pada masyarakat Nusantara sudah terdapat sejak zaman pra sejarah, proses pertanian merupakan kegiatan turun temurun yang dilakukan masyarakat terutama pulau Jawa. Pertanian padi sampai awal abad masehi masih sederhana dan belum menggunakan teknologi pertanian. Pertanian padi di Nusantara sampai awal abad masehi masih sederhana dan relatif belum menggunakan teknologi. Perubahan terjadi pada sistem pertanian di Nusantara dalam meningkatkan hasil produksi padi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada masa Kolonial Belanda pusat pemerintahan terpusat di Jawa, makanan pokok masyarakat mayoritas beras pemerintah Kolonial memperhatikan produksi bahan makanan selain tanaman ekspor. Sistem politik etis membuat pertanian pangan mendapat perhatian pemerintah dengan meningkatkan hasil produksi pangan seperti pembanguan bangunan pertanian dan sauran irigasi. Pasca Proklamasi kemerdekaan terjadi perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perkebunan dan instalasi-instalasi industri mengalami kerusakan yang berat, serta meningkatnya jumlah penduduk secara drastis. Akibat dari perang dan revolusi membuat produksi bahan makanan mengalami penurunan. Persoalan untuk menaikan produksi bahan makanan terus dilakukan pemerintah, persoalan beras asih menjadi permasalahan besar yang dihadapi masyarkat Indonesia.
Pertempuran Sidobunder di Kebumen Tahun 1947 Dewanti, Retno Yuni; Wasino, Wasino; Bain, Bain
Journal of Indonesian History Vol 4 No 1 (2015): JIH
Publisher : Journal of Indonesian History

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Agresi militer Belanda tahun 1947 di Kebumen mengakibatkan Kota Gombong diduduki oleh Belanda. Meskipun sudah ada seruan gencatan senjata oleh Dewan Keamanan, Belanda tetap mengadakan patroli militernya di daerah sekitar Gombong-Karanganyar. Tindakan Belanda ini menyebabkan pada tanggal 29 Agustus 1947 TP Sie 321 pimpinan Anggoro dan pasukan PERPIS ditugaskan untuk mempertahankan Sidobunder sebagai daerah pertahanan dan menghambat gerak Belanda menuju ke Timur dari arah barat. Pada tanggal 2 September 1947 terjadi pertempuran antara pasukan TP dengan pasukan Belanda, karena kekuatan yang tidak seimbang pasukan Belanda berhasil memukul mundur pasukan TP ke Karanganyar. Jenazah korban pertempuran baru bisa dikumpulkan tanggal 3 Agustus 1947 dan dibawa ke Yogyakarta. Setelah Sidobunder dikuasi oleh Belanda, pertahanan RI di wilayah selatan menjadi lemah. Hal ini menyebabkan tentara Belanda dapat dengan mudah menduduki Kecamatan Puring dan Kecamatan Kuwarasan. Akibat dari pertempuran ini membuat warga desa Sidobunder mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Co-Authors A.A. Ketut Agung Cahyawan W Abdul Muntholib Aditya Rizki Alkautsar Aditya Tanuwijaya Agus Nuryatin Ahmad, Nanang Rendi Ahmad, Nanang Rendi Aisyah Nur Sayidatun Nisa, Aisyah Nur Sayidatun Albert Albert Ali Djamhuri Amin Yusuf Amna, Radhiah Anak Agung Gede Sugianthara Ananto Aji, Ananto Andy Suryadi Anggraeni Kusnadi Anthony Anthony Apik Budi Santoso Argitha Aricindy Argitha Aricindy Arief Subakti Ariyanto Arif Purnomo Armylia, Manzila Asmarani, Kartika Aspin, Pipin Yunita At. Sugeng P Atika Wijaya Atno Atno Aulia Rahmana Bagus Mulyawan Bain Bain Bianca Debby Cahyo Budi Utomo Cahyo Budi Utomo Cahyo Seftyono Carissa Liora chandra, Septian Adi Chandra, Septian Adi Christy, Dian Eka Dali Santun Naga Daniel Hadiyanto Dedi Trisnawarman Denis Gunawan Desi Arisandi Desi Arisandi Dewanti, Retno Yuni Dewanti, Retno Yuni Dewi Liesnoor Setyowati Dewi Lisnoor Setyowati, Dewi Lisnoor Diki Tri Apriansyah Putra Djoko Widodo Eddy Waluyo, Eddy Edi Sutrisna Edy Trihatmoko Edy, Agus Nowo Eko Handoyo Eko Handoyo Elysia Putri Elysia Putri, Elysia Endah Sri Hartatik Endah Sri Hartatik Erma Susilowati, Erma Ery Dewayani Eunike Eunike Fahrudin Alfi Huda Fandy Fandy Farida Ratu Wargadalem Felicia Kasinda Fitria Dwi Prasetyaningtyas Francisca Francisca Fransisca Pranata Ginanjar, Asep Hadi Sutopo Hadi Sutopo Hadi, Tjokro Hamdan Tri Atmaja Hamdan Tri Atmaja Handani, Lisa Novia Handani, Lisa Novia Handoko, Susanto T Happy Ardeena Haryono Haryono Hendra Hendra Hendra Hendra Hendro Ari Wibowo, Hendro Ari Hermanu Joebagio Hermanu Joebagio I Ketut Sudiana Ibnu Sodiq Ifada Retno Ekaningrum Jap Tji Beng Jayusman Jayusman Jeanny Pragantha Jeffri Alfred Jeffri Alfred, Jeffri Johyandi Lukmana Junaidi Junaidi Juwita Juwita Juwita Juwita, Juwita Kittisak Jermsittiparsert Kristina Kristina Kurniawan, Yanuar Rezza Luh Putu Ratna Sundari Lukmansyah, Nurul Lukmansyah, Nurul Manatap Dolok Lauro, Manatap Dolok Martitah Martitah Masrukhi Masrukhi Mawardi Mawardi Melani Asta Rosari Meli Adriani Hotma Hasibuane Meyliani Tanjung Mudiyono Mudiyono Mufti Riyani Mufti Riyani Muhammad Iqbal Birsyada Muhammad Iqbal Birsyada Muhammad Mujibur Rohman, Muhammad Mujibur Nadya Aliwarga, Nadya Nimas Puspitasari, Nimas Noeratri Andanwerti Novandi, Ardhi Setyawan Noviandi Noviandi Nugroho Trisnu Brata P. Eko Prasetyo Pamikat, Renardi Parhadi Parhadi Parhadi Parhadi, Parhadi Priyanto, Agustinus Sugeng Purbiyanti, Elis Dwi Purwadi Suhandini Putri Agus Wijayanti Rabeea Mohammed Mansour Imleesha Rachel Noveris Sukisman Radhiah Rini Amna, Radhiah Rini Rahman, Abdul Haris Bahtiar Retno Suminar Rianafik, Ifti Rifqi Aulia Abdillah, Rifqi Aulia Risman Risman Robert Robert Ronald Chandra Ronald Chandra Rosikhatul Ilmiyah, Rosikhatul Rusdarti - S.Pd., Musonef Saptono Putro Satya Budi Nugraha Sayuti, Akhmad Sayuti, Akhmad Sharon Yosephine Shintasiwi, Fitri Amalia Siti Nur Fatimah Slamet . Sri Sudarsih Steven Steven Subagyo Subagyo Sugeng P Sugiyo Sugiyo, Sugiyo Supriyadi Supriyadi Supriyadi Supriyadi Suyahmo Suyahmo Suyahmo Suyahmo Tedjo Mulyono Thiwaty Arsal Thriwaty Arsal Timothius Simon Timothy Rufus Tjokro Hadi Tony Tony Tony Tony Trhiwaty Arsal Tri Handayani Tri Joko Raharjo Tri Suminar Triwardaya Triwardaya Triwardaya Triwardaya Triwardaya Triwardaya, Triwardaya Tsabit Azinar Ahmad Udi Utomo Umi Darojah, Umi Valencia Ilona vincent sandrya Vincentius Gunawan, Vincentius Wahyu Tri Putra Wahyu Tri Putra, Wahyu Tri Warsiti Warsiti Wasro Wasro, Wasro Watcharin Joemsittiprasert Wicaksono, Teguh Mulyo William Hermawan Yansen Henly Halim Yunepto Yunepto Yuni Suprapto Yuni Suprapto Yustinus Eka Wiyana Yustinus Eka Wiyana, Yustinus Eka Zyad Rusdi Zyad Rusdi Zyad Rusdi